Kamis, 24 Januari 2013

Bahasa sebagai Sarana Komunikasi Ilmiah


Bahasa sebagai Sarana Komunikasi Ilmiah
Oleh :Dirgantara wicaksono

     Latar Belakang

Manusia memiliki akal yang digunakan untuk berpikir. Berpikir dimaksudkan untuk mengetahui segala sesuatu, memecahkan masalah atau mencari kebenaran. Dalam proses berpikir, terjadi pengorganisasian dari pengalaman-pengalaman secara empiris atau eksperimen sehingga tercapailah suatu  pengetahuan.

Dalam melakukan proses berpikir, manusia membutuhkan sarana untuk berpikir. Sarana pada dasarnya adalah sesuatu yang digunakan sebagai alat. Hal tersebut termasuk ke dalam ciri manusia yang disebut homo faber, yaitu mahluk yang dapat menciptakan alat.

Pada dasarnya sarana ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah. Melalui sarana berpikir ini, manusia dapat melakukan penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Adapun sarana dalam proses berpikir yaitu: bahasa, logika, matematika, dan statistika. Masing-masing sarana ini memiliki fungsi-fungsi yang khas dalam kegiatan ilmiah secara menyeluruh.

Bahasa sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah memegang peran yang penting mengingat bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam peranannya sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain. Sebagai peranannya sebagai sarana berpikir, bahasa digunakan dalam proses berpikir itu sendiri dan untuk mengkomunikasikan pengetahuan yang didapat kepada pihak lain.

HAKIKAT  BAHASA

Bahasa memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Keunikan manusia bukan pada kemampuannya berpikir tetapi pada kemampuannya berbahasa. Ernst Cassier (jujun: 2003) menyebutkan bahwa manusia adalah animal symbolicum yaitu mahluk yang mengunakan simbol. Simbol-simbol ini merupakan hasil trasformasi dari objek-objek yang faktual. Simbol-simbol inilah yang memungkinkan manusia untuk berpikir.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian bahasa antara lain:
  1. Sistem lambang bunyi berartikulasi ( yang dihasilkan alat ucap) yang dipakai untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
  2. perkataan-perkataan yang dipakai suatu bangsa
  3. Percakapan ( perkataan yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik)
Dapat dikatakan bahwa bahasa adalah serangkaian bunyi yang bermakna. Dalam hal ini, bunyi yang dimaksud adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang kemudian dirangkai untuk menjadi simbol hasil transformasi dari objek yang faktual.

Menurut Jujun, Bahasa memungkinkan manusia untuk berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol yang bersifat abstrak.   
Perbendaharaan kata atau simbol abstrak dari suatu objek faktual merupakan hasil kesepakatan masyarakat pemakai bahasa. Misalnya masyarakat pengguna bahasa Indonesia sepakat bahwa tempat tinggal seseorang disimbolkan rumah. Sedangkan Masyarakat pengguna bahasa inggris sepakat untuk objek yang sama menyebutnya dengan simbol house.

Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak terwujud dalam bentuk perbendaharaan kata yang dirangkai dan diatur oleh tata bahasa tertentu yang kemudian digunakan untuk mengemukakan jalan pikiran atau ekspresi perasaan. Mengemukakan jalan pikiran merupakan aspek informatif dari bahasa sedangkan mengungkapan perasaan merupakan aspek emotif dari bahasa. Menurut Kneller (Jujun:2003) mengungkapkan bahwa bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik.

Bahasa memungkinkan manusia memikirkan sesuatu meskipun objek tersebut tidak berada didekat kita. Misalnya, pada saat istirahat makan siang, seorang karyawan memikirkan laporan yang akan disampaikan pada atasannya. Hal ini membuat bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan suatu masalah terus menerus. Jujun menyatakan bahwa melalui bahasa manusia hidup di dunia nyata yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa.

Perbendaharaan kata yang dimiliki seorang manusia merupakan hasil  akumulasi dari pengalaman dan pemikiran manusia itu sendiri. Dengan Perbendaharaan kata yang dimiliki, manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Sejalan dengan semakin maju dan berkembangnya manusia , maka semakin berkembang pulalah bahasa. Bahkan, di setiap komunitas tertentu banyak yang memiliki kosakata yang khas dalam bidang masing-masing , misalnya kosakata yang dimiliki oleh para dokter, para guru, atau bahkan profesi copet. Manusia selalu mencoba memberi simbol pada semua gejala fisik yang dialami.


HAKIKAT  BAHASA SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI ILMIAH

Sebagai mahluk sosial manusia harus dapat  berkomunikasi dengan manusia lainnya. Komunikasi berarti upaya untuk membuat pendapat, menyatakan perasaan, menyampaikan informasi dan sebagainya agar diketahui atau dipahami oleh orang lain. Proses komunikasi dikatakan efektif jika pesan atau informasi yang akan disampaikan oleh seorang komunikator sama dengan yang didapatkan oleh komunikan. Syarat utama bahasa digunakan sebagai sarana komunikasi ilmiah adalah Komunikatif.

Komunikasi terbagi menjadi komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal yaitu komunikasi melalui bahasa. Sedangkan komunikasi nonverbal melalui isyarat (gestur), gerak-gerik, suatu barang atau hal yang lainnya. Dalam komunikasi ilmiah yang digunakan tentu komunikasi verbal. Komunikasi verbal yaitu komunikasi yang mengunakan bahasa sebagai hasil transformasi dari objek yang bersifat faktual menjadi simbol yang abstrak. Hal inilah yang kemudian menyebabkan manusia mampu memikirkan sesuatu.

Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berbentuk pengetahuan. Hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi ilmiah adalah bahwa bahasa harus terhindar dari unsur-unsur emotif. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi adanya salah informasi atau informasi yang didapat tidak sesuai dengan informasi yang ingin disampaikan. Bahasa dalam komunikasi ilmiah bersifat reproduktif artnya apa yang disampaikan oleh komunikator maka itu pula yang didapatkan oleh komunikan. Oleh karena itu bahasa dalam komunikasi ilmiah  harus jelas dan objektif.

Komunikasi ilmiah menuntut kemampuan berbahasa dengan jelas. Hal ini berarti kata-kata yang digunakan harus diungkapkan secara eksplisit untuk mencegah kasalahpahaman makna. Oleh karena itulah dalam komunikasi ilmiah sering ditemukan definisi dari kata-kata yang dipergunakan. Hal ini dilakukan agar komunikan tidak memberi arti atau definisi yang berbeda dari makna yang dimaksudkan komunikator. Jika hal tersebut terjadi, maka akan menghasilkan proses berpikir yang berbeda pula.

Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah. Tanpa penguasaan tata bahasa dan kosakata yang baik, maka akan sulit bagi ilmuan untuk dapat mengkomunikasikan gagasan kepada pihak lain. Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pikiran dalam mendapatkan pengetahuan itu. Agar dapat mengemukakan informasi dan jalan pikirannya, seorang ilmuwan dituntut mampu menguasaai pengunaan ejaan dan tanda baca yang benar serta mampu membuat kalimat-kalimat yang efektif.

Melalui  bahasa sebagai alat komunikasi ilmuwan bukan hanya menyampaikan informasi, gagasan, atau pengetahuan saja tetapi juga harus menyertakan argumentasi yang menuntut kejelasan kosakata dan logika tata bahasa. Charlton laird dalam Jujun mengatakan bahwa  tata bahasa merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Hal ini berarti penguasaan tata bahasa yang baik  harus dimiliki dalam komunikasi ilmiah.

Karya ilmiah yang berbentuk tulisan harus menggunakan ragan bahasa formal yang memenuhi kaidah tata bahasa baku. Hal ini untuk menghindari ketaksaan/keambiguan makna. Masalah  ilmiah biasanya menyangkut hal yang bersifat abstrak atau konseptual yang sulit dicari analoginya dengan keadaan nyata. Untuk mengungkapkan  hal tersebut, dibutuhkan kemampuan berbahasa penulisnya agar gagasan dapat terungkap dengan cermat tanpa kesalahpahaman makna.

Seorang ilmuwan sangat dituntut untuk menguasai bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah. Hal ini diperlihatkan dengan kemampuannya menyampaikan gagasan, konsep atau informasi melalui tata bahasa yang baik dan kosakata yang tepat. Dalam menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah harus dihindari kecenderungan yang bersifat emosional.  Selain itu, seorang ilmuwan juga harus memperhatikan format-format penulisan karya ilmiah seperti penulisan catatan kaki atau daftar pustaka. Bila semua telah dikuasai, maka seorang ilmuwan akan mampu untuk berkomunikasi dengan baik.


KEKURANGAN BAHASA SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI ILMIAH

Ada beberapa gejala yang dalam keadaan tertentu  menjadi kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi. Pertama,  bahasa memiliki multifungsi yaitu emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah tentu saja hanya fungsi simbolik yang dibutuhkan dari bahasa karena bahasa ilmiah harus bersifat objektif dan reproduktif.

Kekurangan yang kedua terjadi ketika penulis akan memberi definisi atau batasan dari sebuah kata/simbol tertentu. Hal ini terjadi karena batasan arti sebuah kata/simbol tersebut tidak jelas dan tidak pasti. Misalnya saat kita berusaha memberi arti dari istilah motivasi, sulit sekali untuk memberi gambaran, batasan atau arti yang jelas tentang kata tersebut.  Hal ini terlihat dengan banyak sumber ahli yang memberikan definisi motivasi dengan redaksi yang berbeda.

Kekurangan ketiga adalah dalam kondisi tertentu bahasa bersifat majemuk (pluralistik). Hal ini terlihat dengan adanya kata yang memiliki lebih dari satu arti. Misalnya kata bisa melambangkan dua konsep yang berbeda dalam kalimat ” Bisa ular itu bisa mematikan”. Kata bisa yang pertama menyimbolkan racun, sedangkan bisa yang kedua menyimbolkan mampu/dapat. Selain itu, dalam kondisi tertentu ada pula satu konsep yang dapat disimbolkan oleh beberapa kata yang berbeda. Misalnya konsep untuk sesuatu yang tidak memiliki tanda kehidupan bisa disimbolkan oleh mati, tewas, wafat, mampus, gugur, dan lain-lain. Sifat kemajemukan bahasa ini sering menyebabkan kekacauan semantik. Kekacauan akan terjadi jika dua pihak yang berkomunikasi memiliki konsep makna yang berbeda untuk simbol/kata yang sama atau mereka menggunakan sebuah kata yang berbeda untuk konsep yang sama.



Kelemahan lain dari bahasa yaitu dalam kondisi tertentu bahasa bersifat berputar-putar(sirkular) dalam menggunakan kata-kata terutama dalam pemberian definisi dari suatu kata. Kata data misalnya, diartikan sebagai bahan yang diolah menjadi informasi, dan kata informasi diartikan sebagai keterangan yang didapat dari data.  Hal ini tentu dapat menimbulkan kebingungan atau ketidakjelasan.


Beberapa kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para filsafat modern. Kekacauan dalam filsafat menurut Wittgetstein dalam Jujun mengatakan bahwa kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka menguasai logika berbahasa.

Kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya dalam beberapa hal akan diefisienkan  melalui sarana berpikir ilmiah yang lain yaitu matematika. Melalui matematika, sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa dapat dikurangi.Dalam matematika dibuat lambang-lambang secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang dikaji. Jujun menyebutkan bahwa matematika adalah bahasa yang melambangkan makna dari pernyataan yang ingin disampaikan


KESIMPULAN

Bahasa memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia yaitu sebagai alat komunikasi verbal dan sebagai sarana berpikir. Sebagai sarana berpikir ilmiah, bahasa juga memegang perangan yang tak kalah pentingnya. Melalui bahasa manusia mampu memberikan simbol terhadap suatu objek faktual tertentu. Hal ini memungkinkan manusia memikirkan suatu objek meski objek tersebut tak berada di dekatnya. Sebagai sarana komunikasi ilmiah, bahasa memungkinkan seseorang untuk berpikir dan harus mampu menyampaikan hasil pemikirannya tersebut kepada pihak lain.

Seorang ilmuwan yang baik dituntut untuk dapat menguasai tata bahasa dan kosakata yang baik dan benar agar dapat memikirkan sesuatu dengan sistematis dan teratur. Selain itu, seorang ilmuwan harus mampu menyampaikan gagasan atau pikirannya itu kepada pihak lain dengan tidak terjadi kesalahpahaman. Bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, apa yang ingin disampaikan komunikator sama dengan yang didapatkan oleh komunikan. Hal ini berarti bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi yaitu harus komunikatif.

Dalam kondisi atau keadaan tertentu bahasa memiliki beberapa gejala yang dapat menjadi kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah seperti emosional, kabur,  majemuk, dan sirkular( berputar-putar). Kekurangan ini dalam keadaan tertentu dapat diefisienkan melalui sarana berpikir yang lain yaitu matematika.

PENDEKATAN ILMIAH


PENDEKATAN ILMIAH
OLEH : DIRGANTARA WICAKSONO

A.   LATAR BELAKANG
Secara alamiah manusia memiliki hasrat ingin tahu, bertolak dari hasrat ingin tahu ini manusia berusaha mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai berbagai hal yang dihadapinya. Sifat ingin tahu manusia telah dapat disaksikan sejak manusia masih kanak-kanak.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “ini apa?”, “itu apa?” telah keluar dari mulut kanak-kanak. Kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan “mengapa begini?”, “mengapa begitu?”, dan selanjutnya berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan semacam”bagaimana hal itu terjadi?”, “bagaimana memecahkannya”, dan sebagainya. Manusia berusaha mencari jawaban atas berbagai pertanyaan itu atau dengan kata lain mencari pengetahuan yang benar.
Hasrat ingin tahu manusia terpuaskan kalau dia memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakan. Dan pengetahuan yang diinginkannya adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar ini dapat diperolah manusia baik melalui pendekatan non-ilmiah maupun pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah menuntut dilakukannya cara-cara atau langkah-langkah tertentu agar dapat dicapai pengetahuan yang benar mengenai hal yang dipertanyakan. Namun masih ada dikalangan masyarakat saat ini menggunakan pendekatan non-ilmiah untuk memperoleh kebenaran.

  1. PENDEKATAN NON-ILMIAH
Pendekatan non-ilmiah yang banyak digunakan yaitu: (1) akal sehat, (2) prasangka, (3) intuisi, (4) penemuan kebetulan dan coba-coba, (5) pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.

1.    Akal Sehat
Akal sehat dan ilmu adalah dua hal yang berbeda sekalipun dalam batas tertentu keduanya mengandung persamaan. Randal dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadic dan kebetulan. Sedangkan karakteistik akal sehat diberikan oleh Titus sebagai berikut: (1) karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan; (2) karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-samar; dan (3) karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
2.    Prasangka
Pencapaian pengetahuan secara akal sehat diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal yang demikian itu, menyababkan akal sehat mudah beralih menjadi prasangka. Dengan akal sehat orang cenderung mempersempit pengamatannya karena diwarnai oleh pengamatannya itu, dan cenderung mengkambinghitamkan orang lain atau menyokong suatu pendapat. Orang sering cenderung melihat hubungan antar dua hal sebagai hubungan sebab akibat yang langsung dan sederhana, padahal sesungguhnya gejala yang diamati itu merupakan akibat dari berbagai hal. Dengan akal sehat orang cenderung ke arah pembuatan generalisasi yang terlalu luas, yang lalu merupakan prasangka.
3.    Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietzsche merupakan inteligensi yang paling tinggi.
4.    Penemuan Coba-coba atau Kebetulan
Sepanjang sejarah manusia, penemuan secara kebetulan itu banyak terjadi, dan banyak diantaranya yang sangat berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa rencana, tidak pasti, serta tidak melalui langkah-langkah yang sistematik dan terkendali (terkontrol). Penemuan coba-coba (trial and error) diperoleh tanpa kepastian akan diperolehnya sesuatu kondisi tertentu atau pemecahan suatu masalah. Usaha coba-coba pada umumnya merupakan serangkaian percobaan tanpa kesadaran akan pemecahan masalah tertentu. Pemecahan terjadi secara kebetulan setelah dilakukan serangkaian usaha; usaha yang berikutnya biasanya agak lain, yaitu lebih maju, dari  pada yang mendahuluinya. Penemuan secara kebetulan pada umumnya tidak efisien dan tidak terkontrol.
5.    Pendapat Otoritas Ilmiah dan Pikiran Kritis
Otoritas ilmiah adalah orang-orang biasanya telah menempuh pendidikan formal tertinggi dalam sesuatu bidang cukup banyak. Pendapat mereka sering diterima orang tanpa diuji, karena dipandang benar. Namun pendapat otoritas ilmiah itu tidak selamanya benar. Ada kalanya, atau bahkan sering, pendapat mereka itu ternyata tidak benar, karena pendapat tersebut tidak didasarkan pada penelitian, melainkan hanya didasarkan atas pemikiran logis. Kiranya jelas bahwa pendapat-pendapat sebagai hasil pemikiran yang demikian itu akan benar kalau premis-premisnya benar.

  1. PENDEKATAN ILMIAH
Di dalam pendekatan ilmiah orang berusaha memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan benar, yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang hendak mengujinya.
Pengetahuan yang diperoleh dengan pendekatan ilmiah diperoleh melalui penelitian ilmiah dan dibangun di atas teori tertentu. Teori iti berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat diuji (dites) dalam hal kemantapan internalnya. Artinya jika penelitian ulang dilakukan orang lain menurut langkah-langkah yang serupa pada kondisi yang sama akan diperoleh hasil yang konsisten, yaitu hasil yang sama atau hamper sama dengan hasil terdahulu. Pendekatan ilmiah akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi setiap orang, karena pendekatan tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias dan perasaan. Cara penyimpulannya bukan subyektif, melainkan obyektif.
Pendekatan ilmiah menuntut dilakukannya cara-cara atau langkah-langkah tertentu dengan perurutan tertentu agar dapat dicapai pengetahuan yang benar. Dalam pendekatan ilmiah dikenal lima langkah yang disebut metode ilmiah, yaiu:
1.    Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasannya serta dapat diidentifikasikan factor-faktor yang terkait di dalamnya.
2.    Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3.    Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4.    Pengajuan hipotesis yang meripakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut ada atau tidak.
5.    Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu diterima atau ditolak. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.

  1. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan jawaban atas rasa ingin tahu tersebut manusia memperolehnya dengan melakukan pendekatan-pendekatan baik secara non-ilmiah maupun ilmiah. Jawaban yang ingin diperoleh itu merupakan pengetahuan yang benar yang mana untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan itu melalui pendekatan ilmiah yang melalui tahapan proses tertentu yaitu dengan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan.
Dalam pendekatan non-ilmiah: (1) perumusan kabur atau abstrak, (2) masalah tidak selalu diukur secara empiris dan dapat bersifat supranatural atau dogmatis, (3) jawaban tidak diperoleh dari hasil pengamatan data di lapangan, (4) keputusan tidak didasarkan pada hasil pengumpulan dan analisis data secara logis, (5) kesimpulan tidak dibuat untuk diuji ulang oleh orang lain.
Sedangkan dalam pendekatan ilmiah: (1) perumusan masalah jelas dan spesifik, (2) masalah merupakan hal yang dapat diamati dan diukur secara empiris, (3) jawaban permasalahan didasarkan pada data, (4) proses pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan keputusan berdasarkan logika yang benar, (5) kesimpulan siap dan terbuka untuk diuji oleh orang lain.




ILMU DAN KEBUDAYAAN TIMUR


ILMU DAN KEBUDAYAAN
FILSAFAT TIMUR
Oleh : Dirgantara Wicaksono,M.Pd,MM


A.   ILMU DAN KEBUDAYAAN FILSAFAT TIMUR
Dalam perkembangan pemikiranya antara dunia timur dengan barat selalu bersaing adu kuat antara yang menang dengan kalah, selalu mengedepankan kebenaran. Pada hakikatnya filsafat timur nekankan kepada pandangan hidup manusia dengan alam semesta equilibrium universum, sebagai wujud idea dari kesempurnaan adalah arah pandang dalam kehidupan.
Hakikat Kebudayaan
            Kebudayaan merupakan keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yangdi jadikan milik diri manusia dengan belajar.[1] Kebudayaan pertama kali didefinisikan oleh E.B Taylor (1871) yakni sebagai “Keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”[2] Sedangkan Barnouw (1985) mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu set sikap, nilai dan perilaku suatu kelompok yang dikomunikasikan melalui bahasa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan  pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya dari suatu kelompok yang dikomunikasikan melalui bahasa dari satu generasi ke generasi berikutnya.
            Ilmu dan kebudayaan memiliki kaitan yang amat erat. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya, sedangkan di pihak lain pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat bergantung dari kondisi kebudayaannya, sedangkan pengembangan ilmu juga mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan. Ilmu dalam hal ini mempunyai peran ganda, yakni : Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan, dengan Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa.

            .
            Dalam pandangan Filsafat timur terdapat 4 bidang besar yang mencirikan kebudayaan timur yang mencakup: pengetahuan, sikap terhadap alam, cita-cita hidup dan status personal.yakni [3]

1.    Pengetahuan
Timur lebih menekankan intuisi daripada akal budi. Bagi orang timur hatilah yang mempersatukan akal budi dan intuisi maupun intelegensia dan perasaan. Tujuan utama belajar adalah menjadi bijaksana, sebab dengan kebijaksanaanlah orang menghayati hidup lebih baik dan sempurna karena hidup merupakan seni yang sulit dan membutuhkan refleksi sepanjang hidup, sebuah sikap tidak mengandalkan akal budi sebagai kekuatan utama. “Manusia yang utama adalah manusia yang punya pengetahuan dan manusia yang memiliki pengetahuan adalah manusia bijak.”

2.    Sikap terhadap alam
Manusia merupakan bagian dari alam yang bersama-sama membentuk kesemestaan. Dia dan seluruh alam berasal dari zat yang sama, yang satu. Akan tetapi ia memahami diri sebagai perwujudan kecil dari semesta.

3.    Cita-cita hidup
Manusia lahir dan hidup dalam budaya yang menyebut diri “to be is more important than to do” ( ada dan hadir lebih penting daripada bertindak). Oleh karena itu harmoni dan ketenangan serta kedamaian hati merupakan cita-cita hidup itu sendiri. Ajaran budhisme “Menarik diri dan melupakan diri” yang bertemu dengan “Harmoni antarsesama dan alam” dari konfusianisme dan taoisme melahirkan pandangan: sederhana, tenang, dan kebutuhan sesedikit mungkin.”Lembut berarti kuat” kata lao tze.

4.    Status personal
Timur memandang martabat tetap dijunjung dan dihargai tetapi penekanannya yang berbeda.sikap tidak mencampuri berangkat dari keyakinan bahwa dalam segala sesuatu manusia mempunyai jalan dan cara beradanya sendiri. Dalam budhisme nilai manusia itu sacral. Manusia ada bukan demi dirinya tetapi ada dalam solidaritas dengan sesamanya.
      Menurut pendapat antropolog Indonesia Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi 7 unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
B.           Perkembangan ilmu di timur
1.          Zaman Islam
            Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad SAW. ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, Kemudian islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
A. Penyampaian ilmu dan filsafat yunani ke dunia islam
            Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia islam, terdapat upaya mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda, bahkan sering kali ekstrim antara pandangan filsafat yunani, seperti filsafat plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan islam yang seringkali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh konkret dapat disebutkan bahwa plato dan aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab islam.
b.           Perkembangan ilmu pada masa islam klasik                
            Sejak awal kajian-kajian dalam bidang teologi sudah  berkembang, meskipun masih berbentuk embrio. Embrio inilah yang pada masa kemudian menemukan bentuknya yang lebih sistematis dalam kajian-kajian teologis dalam islam.
            Dapat kita ketahui bahwa pada awal islam pengaruh Hellenisme dan juga filsafat yunani  terhadap tradisi keilmuan, islam sudah sedemikian kental, sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itupun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya.
c.           Perkembangan ilmu pada masa kejayaan islam
            Terjadinya transformasi kebudayaan dan khususnya ilmu dari dunia islam ke barat di sebabkan paling tidak oleh dua alasan. Pertama, kontak pribadi. Terjadinya kontak pribadi ini juga disebabkan karena Byzantium secara geografis berdekatan dengan dunia islam. Dari sinilah kemudian gagasan-gagasan barat masuk ke dunia islam dan sebaliknya gagasan-gagasan dari dunia islam masuk ke barat. khususnya setelah perang salib. Alasan kedua, adanya kegiatan penerjemah. Tidak dapat dipungkiri kebudayaan islamlah yang mendorong orang-orang latin melakukan penerjemah. Setelah mengenal sebagai khazanah kebudayaan islam mereka lalu memperkaya pengetahuan mereka tentangnya. Mereka pernah mencoba menerjemahkan Alqur’an pada abad ke-10 Masehi. Namun gerakan penerjemahan yang sesungguhnya baru bermula pada abad ke-12. Toledo dan Palermo adalah dua pusat penerjemahan tersebar saat itu yang banyak mengoleksi sumber-sumber arab berkat perantaraan orang yahudi dan hubungan mereka dengan orang-orang Kristen dan islam.
d.          Masa keruntuhan tradisi keilmuan dalam islam
            Abad ke-18 dalam sejarah islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban islam secara universal. Dalam bukunya, The Recontruction of Religious Thought in Islam Iqbal menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kematian semangat ilmiah di kalangan umat islam adalah diterimanya paham yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa islam adalah dinamis dan berkembang. Sebab lain yang menyebabkan kehancuran tradisi keilmuan islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami pemikiran Al-Ghazali. Orang umunya mengecam Al-Ghazali karena ia menolak filsafat.



2.  Taoisme
Taoisme adalah suatu filsafat yang menduduki tempat penting di cina. Pengaruhnya terhadap kebudayaan cina memang tidak sebesar seperti konfusianisme, akan tetapi taoisme mempunyai pandangan metafisik dan spekulatif terhadap kodrat realitas, alam semesta dan manusia. Kata taoisme diturunkan dari kata tao, jalan. Pendiri taoisme adalah lao tzu. Tao diidentikkan dengan alam semesta. Pandangan ini berdasarpada pandangan monisme tentang realita dan dunia. Segala sesuatu dipandang sebagai yang satu. Dan yang satu ini adalah tao. Segala sesuatu diturunkan dari tao.
Tao sebagai prinsip totalitas mempunyai dua unsur yang berlawanan yakni yin dan yang. Kedua unsur bisa diartikan sebagai terang dan gelap, negative dan posif, aktif dan pasif, ada dan tidak ada. Dalam taoisme dualisme ini relatif. Dualisme ini berada dalam kontradiksi yang mutlak, namun saling melengkapi dalam fungsinya untuk berbuat apa saja di dunia ini.

3.  Konfusianisme
Pemikiran Konfusianisme dimulai dengan memeriksa dua funsi utama akal budi manusia (Fungsi menilai dan memerintah). Akal budi dimengerti secara fungsional dengan mengacu pada tipe-tipe aktivitas tertentu, misalnya menilai dan mengarahkan tindakan.

4.  Budhisme
Budhisme mengajarkan apa yang perlu untuk mengatasi penderitaan. Budhisme tampil sebagai jalan pelepasan, pembebasan dari diri dan dunia; jawaban atas kondisi manusia yamg menyedihkan yaitu suatu kelahiran kembali dalam hidup yang bercirikan penderitaan, kesementaraan dan ketidakrelaan. Budhisme bercirikan pesimistis. Inti ajarannya adalah bahwa eksistensi dunia ini pada dasarnya adalah penderitaan.
Jadi pada dasarnya Pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat bergantung dari kondisi kebudayaannya, di samping pengembangan ilmu juga mempengaruhi jalannya kebudayaan, seperti yang terlihat pada perkembangan ilmu dan kebudayaan timur. Yang mendominasi dari timur adalah: tidak memaksa, lebih mengutamakan falsafah hidup/kebijaksanaan dengan seluruh kebebasan yang diberikan. Timur mempunyai sumbangan tersendiri dalam peradaban manusia, yang terdapat pada konfusianisme, taoisme dan budhisme. Diantaranya menawarkan serta menyumbangkan perenungan nilai-nilai spiritual, hubungan manusia dengan alam dan sesamanya atau masalah eksistensial lainnya seperti kemiskinan, penderitaan, dan makna hidup.

Kesimpulan
            Terdapat Perbedaan yang signifikan antara filsafat Timur dengan barat yakni:
1.    Pengetahuan

Bagi filsuf barat menekankan kepada akal budi, pengetahuan erat dengan akal budi, mereka yakin segalanya diatur oleh akal budi, sedangkan timur lebih menekankan intuisi dari pada akal budi, orang timur menjalankan hidupnya dengan keseluruhan adanya bukan hanya dengan otak, segala ide abstrak dapat diungkat secara konkrit.
2.    Pandangan tentang alam

Alam menurut barat menjadi sapi perah yang harus dikuasai , sedangkan timur lebih bijaksana dengan melihatnya sebagai sahabat yang perlu dijaga dan dirawat.
3.    Ideal hidup

Pandangan barat lebih menekankan menhgidealkan hidup manusia dengan aktiv melakukan sesuatu lebih dari pada sekedar ada, konsekwensinya sehari-hari hidupnya aktiv, demi pendewasaan dan keberhasilan manusia. Sedangkan timur lebih ada dan hadir lebih penting dari pada bertindak yang dimaksudkan dalam hal ini usaha mengisi hidup dengan semangat kebersamaan dan ketenangan dalam hidup, suatu hidup yang tertinggi adalah mau menerima keadaanya yang sekarang manusia membutuhkan ketenangan dan waktu demi kesempurnaan
4.    Status Pesona
     Orang barat nekankan pribadi sebagai indiividu yang bebas, dalam hal ini tekanan individu diagungkan sehingga mereka bebas menentukan arah serta tujuan hidupnya, mereka menjadi percaya kepada diri sendiri secara berlebihan maka mareka lebih indiferen terhadap yang lain, sedangkan bangsa timur melihat martabat ukan sebagai tujuan , bangsa timur menekankan aspek sisialitas manusia , pada prinsipnya manusia ada bukan terutama bagi dirinya tetapi demi orang lain.


[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu sosiologi, (Jakarta: Rinekacitra, 1990), p.180.
[2] Jujun Suryasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), p. 261
[3] Tim Redaksi Majalah Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama:1993.


TEORI KEBENARAN


TEORI KEBENARAN
Oleh : Dirgantara Wicaksono,M.Pd ,MM
A. Latar Belakang
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya. Sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip melalui penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Ilmu harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Ilmu dicirikan dengan pemakaian sistem dan metode ilmiah yang dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Metode ilmu dapat bersifat sangat teoritis dan apriori dengan membuat unsur-unsur bangunannya sendiri. Metode ilmu juga dapat bersifat empiris dengan unsur-unsur bangunan yang seakan-akan diolah dari lingkungan.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu bergantung dari objek ilmu yang bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio politis, humanistis dan religius.
Filsafat memiliki tiga cabang besar kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi (Ahmad Tafsir, 2004:23). Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan positivistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berarti bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif terkadang diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis. Dengan demikian setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan (Suriasumantri, 1999:5).
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Suriasumantri, 2003). Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang serius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang dimiliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para ahli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth) yang akan di bahas dalam makalah ini.
B. Permasalahan
  1. Apakah manusia itu?
  2. Bagaimana upaya manusia dalam mencari kebenaran?
  3. Apa kegunaan kebenaran itu bagi manusia?
  4. Bagaimana penjelasan tentang teori kebenaran?
C. Tujuan dan Manfaat
  1. Untuk dijadikan sebagai kerangka acuan dalam menemukan kebenaran.
  2. Untuk dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kerangka berpikir ilmiah.
  3. Untuk dijadikan sebagai panduan agar bersikap logis-rasional dan sistematik dalam beropini dan berargumentasi.
  4. Untuk dijadikan wahana dalam mengembangkan sikap toleransi dalam perbedaan pandangan (pluralitas)
A. Ulasan-Ulasan Umum Mengenai Manusia
            Menurut Kattsoff (2004:388), pemakaian kata ‘manusia’ bermakna ganda, seperti dibuktikan dalam kalimat-kalimat:
  1. Manusia tiada lain kecuali hewan.
  2. Manusia merupakan hasil sejarah.
  3. Manusia adalah makhluk rohani
  4. Ia mencoba mempertahankan kemanusiaannya di dalam keadaan yang gawat itu
Masing-masing kalimat di atas mengandung pra-anggapan suatu teori tentang hakikat manusia dan mengacu kepada manusia dalam makna yang berbeda-beda (Kattsoff, 2004:388). Kalimat (a) mengandung makna bahwa manusia adalah hewan; kalimat (b) kiranya tidak mengacu kepada manusia, melainkan mengacu kepada kepribadiannya; kalimat (c) mengandung makna bahwa manusia adalah sesuatu yang lebih daripada raga suatu nyawa atau jiwa; dan kalimat (d) sekali lagi, mengandung barang sesuatu yang terdapat di dalam raga, namun berbeda dari c sejenis kebajikan atau kedirian.
Jawaban tentang manusia ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem dan masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah makhluk yang “misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan (Setiardja, 2005: 21).
Dalam sejarah filsafat manusia dapat kita temukan jawaban mengenai manusia dari berbagai aliran. Aliran yang pertama adalah aliran materialisme belaka (ekstrim) yang dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie yang hidup pada tahun 1709-1751. Menurut aliran ini manusia adalah materia belaka. Aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan mengingkari adanya pendorong hidup. ( Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain yang dapat digolongkan dalam materialisme adalah darwinisme meskipun aliran ini kurang ekstrim. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang, segala tindak tanduk manusia itu ditentukan oleh alam.
Menurut Titus (1959:26) ketika berbicara tentang manusia yang terdidik beliau mengatakan:
“Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself as an organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human existence. To do so he must be able in some sense to stand outside of, or to transcend, the life and condition which he judges and compares. Man lives at the point where nature and spirit somehow meet”.
“Manusia adalah organisme hewani, itu memang benar, namun dia mampu mempelajari dirinya sendiri sebagai suatu organisme yang membandingkan dan menafsirkan bentuk-bentuk hidup serta mampu menyelidiki makna eksistensi insane. Untuk melakukan hal itu dia harus sanggup seakan-akan berdiri di luar atau di atas kehidupan dan kondisi yang ditimbang dan dibandingkannya itu. Manusia hidup pada titik dimana natur dan spirit bertemu”.
Menurut Drijarkara (1988:22) ketika berbicara tentang hakikat manusia beliau mengatakan:
“Lihatlah hidup tanam-tanaman dan hewan. Di situ hidup hanya berjalan. Yang hidup tidak mengangkat diri dan hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi; yang hidup disitu tidak menguasai dan tidak bisa campur tangan. Berlainanlah manusia. Dia tidak hanya hidup; dia juga subjek yang sadar diri. Dia subyek rohani. Hidupnya tidak hanya berjalan; dia mengerti, menguasai dan bisa campur tangan. Dia menentukan dan mengatur hidupnya. Dengan semua ini dia mengangkat hidupnya ke tingkat insani (human level). Hidupnya menjadi hidup insani. Hidup yang demikian bukan hanya alam yang berjalan, melainkan alam yang dibudayakan, atau dengan kata lain: kebudayaan”.
Menurut Almaraghi dalam Anshori (dalam pokok-pokok pikiran tentang Islam) bahwa Tuhan menganugrahi hidayah kepada manusia dengan lima macam tingkatan:

  1. Hidayah Al-Ilhami atau instink
  2. Hidayah Al-Hawasi atau Indra
  3. Hidayah Al-Aqli atau akal-budi
  4. Hidayah Al-Adyani atau agama
  5. Hidayah At-taufiqi
Menurutnya akal-budi lebih tinggi tingkatannya dari pada instink dan indra. Oleh karena itu akal-budilah yang membedakan manusia dengan hewan, di atas akal budi terdapat agama, dan diatas agama ada taufiqi.
MANUSIA
HEWANI/BASARI
INSANI/MANUSIAWI
JASAD/FISIK/BIOLOGIS

JIWA/AKAL/RUHANI
MAKAN

BERFIKIR
MINUM

BERPENGETAHUAN
TUMBUH

BERMASYARAKAT
BERKEMBANGBIAK

BERBUDAYA/BERETIKA/
BERTUHAN
Dimensi-Dimensi Manusia
Dengan demikian maka manusia memiliki perbedaan mendasar atau fundamental dibandingkan dengan hewan, walaupun secara struktur biologis hampir sama. Manusia adalah makhluk yang berakal sehat, pandai membandingkan dan menafsirkan, suka mempertanyakan segala sesuatu, kratif dan sebagainya. Jadi kalau meminjam istilah Drijarkara bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbudaya.
B. Manusia Berfikir Mencari Kebenaran
Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari  anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban.
Dalam Ilmu Manthiq (logika) kita bisa menemukan rumusan tentang manusia yang sekaligus membedakannya dari hewan yaitu Al-Insaanu Hayawanun Nathiqun (Manusia adalah hewan yang berfikir), senada dengan Aristoteles bahwa “man as the animal that reason”. Rene Descartes berpendirian “Cogito ergo sum” (saya berpikir sebab itu saya ada).
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, Menurut Suriasumantri (1999:1-2) bahwa Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut.
Manusia berusaha dengan akalnya memikirkan segala sesuatu yang dia alami dan dianalogikan kepada yang lainnya. Berfikir juga berguna untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat, berfikir untuk berfikir, yang pertama melahirkan ilmu-ilmu terapan (teknologi), sedangkan yang kedua melahirkan ilmu-ilmu murni. Berfikir terhadap alam semesta melahirkan filsafat alam, dan ilmu-ilmu lainnya, contoh berfikir tentang obyek manusia melahir: Ilmu Jiwa, Ilmu kedokteran, logika, antropologi, sosiologi dan sebagainya.  Berfikir menurut Kitab Suci berjalan seimbang antara fikir dan zikir. Kecerdasan yang  sempurna adalah berpadunya antara zikir dan fikir, memikirkan sesuatu melahirkan zikir terhadap yang menciptakan sesuatu Yaitu Allah SWT sesuai firman-Nya dalam Kitab Suci:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (cendekiawan), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS 3:190-191)
Dengan demikian manusia adalah makhluk yang dengan akalnya berfikir selalu mencari kebenaran sebagai makhluk yang mengemban tugas mengelola muka bumi ini.
C. Instrumen Untuk Mencari Kebenaran
1. Ilmu
2. Filsafat
3. Agama
            Menurut Tafsir (2004:16) membagi Pengetahuan Manusia ke dalam tiga jenis seperti dalam tabel berikut:
MACAM PENGETAHUAN
OBJEK
PARADIGMA
METODE
UKURAN
SAINS
EMPIRIS
POSITIVISTIS
SAINS (ILMIAH)
LOGIS DAN BUKTI EMPIRIS
FILSAFAT
ABSTRAK-LOGIS
LOGIS
RASIO
LOGIS
MISTIK
ABSTRAK-SUPRALOGIS
MISTIS
LATIHAN MISTIK
RASA YAKIN, KADANG-KADANG EMPIRIS
D. Teori-Teori Kebenaran (Teori Kebenaran Ilmiah)
            Menurut para ahli merumuskan, umumnya kebenaran ilmiah dapat diterima dikarenakan oleh 3 hal yaitu adanya koheren adanya koresponden dan adanya pragmatis.

1.      Teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth)
Teori ini pertama kali dimunculkan oleh Aristoteles “VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” (kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan).  Menurut Aristoteles kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya.  Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.  Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.  Oleh karenanya ini disebut pula kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak.  Contohnya “ bumi ini bulat” adalah suatu pernyataan benar, karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.  Intinya realitas adalah hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal pokok yang perlu digarisbawahi dalam teori ini. Pertama, teori ini sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek. Subyek atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh obyek. Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat menekankan bukti (eviden) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi pengamatan atau penangkapan fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.
  1. Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth)
Teori ini dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya.  Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.  Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini. Contohnya, pengetahuan “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. 
Bagi kaum empiris (kebenaran persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.  Tetapi bagi kaum rasionalitas, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini cukup mencek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya, atau apakah  pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya.   Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu  60C.   Karena air mendidih pada suhu 1000 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.   Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 600 C dan sejalan dengan pengetahuan lain bahwa iar mendidih pada suhu 1000 C.  Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”, hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.
  1. Teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth)
Teori ini dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti Charles, S. P dan William James.  Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.  Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat gunaBerhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak.  Contoh, ide bahwa kemacetan  jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang.  Maka penyelesaiannya “mewajibkan jalan pribadi ditumpangi oleh tiga orang atau lebih”.  Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah kebenaran  yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know how). Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tetapi juga “pengetahuan bagaimana”.

KESIMPULAN

1)      Manusia adalah makhluk yang berakal sehat, pandai membandingkan dan menafsirkan, suka mempertanyakan segala sesuatu, kratif dan sebagainya. Jadi kalau meminjam istilah Drijarkara bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbudaya.
2)      Manusia adalah makhluk yang dengan akalnya berfikir selalu mencari kebenaran sebagai makhluk yang mengemban tugas mengelola di muka bumi.
3)      Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori ini kebenartan iaah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu sendiri. Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari ARIESTOTELES, dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” (kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan).
4)      Teori Koherensi tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa: Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini.
5)      Teori Pragmatis tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa: kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.  Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.


DAFTAR PUSTAKA

Drijarkara SJ, N (1988). Filsafat Manusia. Yogyakarta
Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar Filsafat. (Penerjemah: Soejono Soemargono) Cetakan ke-9. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Poedjawijatna. (1997). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Saifuddin Anshari, Endang . Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam. Tanpa Tahun
Setiardja, A. Gunawan. (2005). Manusia dan Ilmu Telaah Filsafat atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan. Cetakan Ke-3. Semarang.
Suriasumantri, Jujun S. (1999). Ilmu Dalam Perspektif. Cetakan ke-14. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-16. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad (2004). Filsafat Umum, Akal Dan Hati Dari Thales Sampai Chapra. Cetakan ke-13. Bandung: Remaja Rosdakarya
Titus, Harold H (1959). Living  issues in philosophy, New York, American Book