Minggu, 16 Juni 2013

Konsep Pembelajaran Sejarah

Konsep  Pembelajaran Sejarah
by: BomBom
Pembelajaran sejarah adalah dua konsep yang sama-sama memiliki arti masing-masing. Istilah sejarah bagi para ahli diartikan berbeda-beda. Perbedaan dalam literatur tentang istilah sejarah akhir-akhir ini pada dasarnya ada dua konsep, yaitu sejarah sebagai peristiwa masa lalu (past event, res gestae); dan sejarah peristiwa sebagaimana diceritakan (historia rerum gestarum).[1] Sejarah dalam arti pertama, sebagaimana dikemukakan oleh Taufik Abdullah, diceritakan atau tidak, peristiwa itu terjadi. Menurut Kuntowijoyo Sejarah seperti itu sebagai peristiwa masa lalu yang terjadi di luar pengetahuan manusia, disebut sejarah objektif.[2]
Sejarah sebagaimana diceritakan adalah peristiwa masa lalu yang diceritakan, memiliki pengertian yang sama sebagai peristiwa yang terjadi atas sepengetahuan manusia, disebut oleh Kuntowijoyo sebagai sejarah subyektif.[3] Sejarah subjektif adalah sejarah sebagai pelaksanaan riset yang dilakukan oleh sejarawan, menghasilkan pernyataan-pernyataan peristiwa-peristiwa masa lalu.
Sejarah dalam arti subjektif adalah terminologi sejarah sebagai disiplin ilmiah. Beberapa ahli, sejarawan, dan filsuf mengartikan sejarah secara beragam. Ada yang mengatakan sejarah sebagai kisah atau narasi seperti yang dikemukakan oleh Voltaire sebagaimana dikutip oleh Kochhar, sejarah adalah narasi fakta-fakta yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Sejarah juga diartikan sebagai catatan sebagaimana arti sejarah yang dikemukakan oleh Burckhardt menyatakan bahwa sejarah merupakan catatan tentang suatu masa yang ditemukan dan dipandang oleh generasi dari zaman yang lain.[4] Sejarah juga diartikan sebagai ilmu. Sebagai ilmu sejarah memiliki metodologi penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti dikemukakan oleh Richard E. Evans yang dikutip Sjamsuddin bahwa  “sejarah adalah batang tubuh pengetahuan yang terorganisasi yang diperoleh melalui penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan metode-metode yang disepakati umum, dipresentasikan dalam laporan-laporan yang dipublikasikan dan menjadi pokok yang direvie oleh pakar mitra.”[5]
Dari pendapat para ahli tentang definisi sejarah dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah peristiwa masa lalu tentang manusia baik individu maupun masyarakat yang dihadirkan pada masa kini baik diceritakan maupun hasil dari penelitian sejarawan.
Kenyataan menunjukkan bahwa sejarah terus diteliti dan ditulis orang serta dipelajari membuktikan bahwa sejarah itu memiliki kegunaan.[6] Selanjutnya, Kuntowijoyo menjelaskan lebih detail, sejarah berguna secara intrinsik dan ekstrinsik.[7] Secara intrinsik sejarah berguna untuk mengetahui masa lampau. Mengapa orang ingin mempelajari masa lampau karena manusia itu ingin memecahkan misteri, ingin tahu tentang apa yang terjadi di masa lampau. Secara esktrinsik sejarah berguna sebagai sarana pendidikan. Menurut Sjamsuddin, guna ekstrinsik sejarah sebagai sarana pendidikan berpangkal dari kebutuhan kehidupan modern dari masyarakat industrialis akan pendidikan non-teknis untuk kembali ke pengetahuan tradisional agar dapat menuntut pada masyarakat yang demokratis.[8]
Kegunaan sejarah sebagai media pendidikan banyak dikemukakan oleh para ahli. Menurut Djoko Suryo posisi sejarah memiliki peran sangat strategis sebagai sarana bagi pendidikan, baik pendidikan intelektual (intelectual training), pendidikan kesadaran-diri kolektif dan pendidikan civil society yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.[9] Sejalan dengan pendapat Joko Suryo, Conal Furay dan Michael J. Salevouris seperti yang dikutip oleh Peters N. Stearns, menyatakan “pembelajaran sejarah mengajarkan kemampuan analisis yang sangat bermanfaat dalam bidang akademik dan memelihara rasa identitas.”[10] Carl Becker memperkuat dengan menyatakan bahwa “setiap orang harus keluar dari negeri yang jauh dari masa lalu untuk menginformasikannya ke masa sekarang dan masa depan. Melalui pengetahuan sejarah, hari ini akan menjadi tanpa tujuan dan besok tanpa makna. Sejarah berfungsi sebagai memori kolektif. Tanpa memori kolektif masyarakat akan sama tanpa akar dan hancur sebagai sebuah individu dengan amnesia, sejarah berkontribusi pada makna, tujuan dan kohesi masyarakat.
Sejarah dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang gagasan dan konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, sebagaimana dikemukakan oleh Taufik Abdullah bahwa dengan mempelajari sejarah orang dapat menghindari kegagalan dan kesalahan yang pernah sebelumnya dilakukan serta menemukan sumber-sumber baru untuk merumuskan visi masa depan.[11]
Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kegunaan sejarah dari segi pendidikan bahwa sejarah dapat menjadi sumber pengetahuan yang dari sumber itu seseorang dapat mengambil makna dari pengalaman di masa lalu dan menjadi bijak.
Istilah pembelajaran menurut Reigeluth saat ini semakin mengarah pada konstruksi (construction) dan meninggalkan pengajaran (instruction), yang berimplikasi pada peran siswa dalam proses belajar. Pengajaran merujuk apa yang harus dikerjakan oleh siswa, siswa berperan pasif dalam proses belajar. Sedangkan kontruksi merujuk apa yang diselesaikan oleh siswa, siswa berperan aktif dalam proses belajar.[12] Pembelajaran yang mengarah pada konstruktivis, jika yang terjadi dalam pengajaran adalah apa yang siswa lakukan dan apapun yang dilakukan oleh guru yang bertujuan untuk memfasilitasi belajar.
Belajar sendiri menurut Staincok adalah pengaruh yang relatif permanen pada pengetahuan, perilaku dan keterampilan berfikir yang diperoleh melalui pengalaman.[13] Dari pengertian tersebut bahwa belajar sama dengan pengalaman, tetapi pengalaman yang membawa perubahan pada pengetahuan, perilaku dan keterampilan berfikir seseorang. Seseorang yang dikatakan belajar berarti orang yang telah memiliki dan bertambah pada aspek pengetahuan, perilaku dan keterampilan yang sebelumnya tidak dimiliki atau sebelumnya sedikit.
Pembelajaran dalam arti konstrusi, peran guru terjadi ketika guru membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, keterampilan, nilai, cara berfikir dan tujuan mengekspresikan diri mereka sendiri. Peran guru dalam pembelajaran adalah melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang syarat muatan kognitif dan sosial, mengajari bagaimana mengerjakan tugas-tugas secara produktif, mengajari bagaimana siswa  menyerap dan menguasai informasi. Sedangkan peran murid dalam pembelajaran adalah mampu menggambarkan informasi dan gagasan; menggunakan sumber-sumber belajar.[14]  Pembelajaran yang efektif akan terjadi apabila guru dan siswa sama-sama memainkan peran masing-masing.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran sejarah, menurut Stearn, pembelajaran sejarah bertujuan untuk “… membantu siswa memahami bagaimana dunia bekerja dan bagaimana manusia berperilaku, pengetahuan tentang masa lalu diperlukan untuk memahami kenyataan hari ini.”[15] Agar pembelajaran sejarah dapat memberikan dampak pada siswa, Stearn menyarankan pembelajaran sejarah harus mengembangkan keterampilan untuk menilai bukti, keterampilan untuk berinterpretasi dan keterampilan untuk menilai contoh perubahan.
Lebih luas, Kochhar mengatakan bahwa pembelajaran sejarah di sekolah harus mencapai empat belas sasaran yang mencakup dimensi kognitif, afektif dan psikomotor. Termasuk dalam dimensi kognitif, yaitu: 1) mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri; 2) memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat; 3) membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai-nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya; 4) memperluas cakrawala intelektualisme; 5) memberikan pelatihan mental; 6) melatih siswa menangani isu-isu kontroversial. Sedangkan dimensi afektif dari pembelajaran sejarah, yaitu 1) mengajarkan toleransi; 2) menanamkan sikap intelektual; 3) mengajarkan prinsip-prinsip moral;  4) menanamkan orientasi ke masa depan; 5) membantu mencarikan jalan keluar bagi masalah sosial dan perseorangan; 6) memperkokoh rasa nasionalisme, dan; 7) mengembangkan pemahaman internasional. Dimensi psikomotor adalah mengembangkan keterampilan yang berguna seperti keterampilan membaca, menyatakan pendapat, menggunakan peta, diagram, timeline dan sebagainya.



[1] Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), h. 9
[2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 9.
[3] Ibid.
[4] S.K. Kochhar, Pembelajaran Sejarah, terjemahan Purwanta dan Yovita Hardiwati (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 2.
[5] Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), h. 9
[6] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 19.
[7] Ibid.
[8] Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), h. 278.
[9] Djoko Surjo, “Pelajaran Sejarah yang Baik, Sebuah Catatan”, makalah yang disampaikan pada Simposium Pengajaran Sejarah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sukabumi, 8-11 Agustus 1993.
[10] Peter N. Stearnes, “The uses of history”, www.studentsfriend.com/onhist/uses/html.
[11] Taufik Abdullah, “Sejarah Menentukan Masa Depan”, makalah yang disampaikan pada Konferensi Pers pada Konferensi IAHA ke-15, Jakarta, 1998.
[12] Charles M. Reigeluth dan Alison A. Carr-Chellman (Editor), Instructional Design Theory and Models: Building a Common Knowledge Base, Volume III (New York: Routledge, 2009), h. 6.
[13] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, terjemahan Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 265.
[14] Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emilyy Calhoun, Model-Model Pembelajaran, Edisi Kedelapan, terjemahan Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 7.
[15] Peter N. Stearn, “The Uses of History”, h. 2, 2011, www.studentsfriend.com/onhist/uses/html.