Sabtu, 31 Mei 2014

Betulkah PKI Terlibat G30S ?

Asvi Warman Adam, 

 Betulkah PKI Terlibat Gerakan 30 September 1965 ?


« SEJARAH, menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya. Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Bila ditemukan sumber atau fakta baru, buku sejarah yang lama bisa direvisi. Demikian pula halnya dengan kasus Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S).
Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden pada 1998 lalu, sudah terbit beberapa buku baru yang mengungkapkan hal yang selama ini kurang diketahui masyarakat. Misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), dan pleidoi Kolonel A. Latief, Soeharto Terlibat G30S (2000). Di samping itu, telah terbuka pula berbagai arsip mengenai Indonesia tahun 1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di atas dapat dijadikan landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah tentang peristiwa tersebut versi pemerintah Indonesia, yang menyebut pelaku utamanya adalah PKI dan Biro Chusus-nya.
Dalam bukunya, Latief mengungkapkan bahwa ia ditangkap tanggal 11 Oktober 1965. Ketika itu paha kanannya ditusuk bayonet dan lutut kirinya ditembak. Selama 10 tahun ia berada dalam sel isolasi yang dikunci dan baru diadili pada 1978. Dari rangkaian tekanan di dalam penjara atau ketika diperiksa dalam sidang Mahmilub, dapat dipertanyakan apakah pengakuan sebelum dan dalam sidang itu dapat dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya.

Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani, seperti dituturkan dalam buku Perempuan-Kebenaran dan Penjara(1999). Wanita ini ditangkap pada 1967 dan baru diadili pada 1975. Antara lain ia dituduh memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana Bogor. "Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan memerintahkan algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara.... Dengan geram interogator bertanya, ‘Bagaimana? Ngakutidak?’ Saya diamkan saja. Ia teriak, ‘Cambuk sepuluh kali.’ Algojo penginjak kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan belahan. Tiga malam saya mengalami keadaan itu...."

Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan validitas sumber yang dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah Orde Baru. Selain itu, dapat dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan bahwa PKI--sebagai organisasi--mendalangi G30S tidak kuat. Yang dipakai alat bukti adalah pengakuan Aidit sebanyak 50 halaman folio sebelum ditembak di Jawa Tengah, yang konon berbunyi, "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh penjabat PKI lainnya serta penjabat organisasi rakyat di bawah PKI" (Soegiarso Soerojo, 1988: 265). Apakah betul Aidit yang menulis surat pengakuan itu? Kalau benar ia mengaku, mengapa ia ditembak mati?
Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965. Dalam buku putih yang disunting oleh Alex Dinuth itu (1997), dicantumkan isi Harian Rakyat yang terdiri dari Pojok ("Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djenderal. Simpati dan dukungan rakjat di pihak Gerakan 30 September.") Tajuk surat kabar itu antara lain menyatakan, "Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD. Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan rakjat". Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi (anggota Politbiro CC PKI) bahwa "Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua" dan karikatur H.R. dengan kata-kata "Letkol Untung Komandan Bataljon Tjakrabirawa menjelamatkan Presiden dan RI dari coup Dewan Djenderal".
Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koranAngkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan".
Menjadi tanda tanya mengapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI selama ini bisa terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 1015/218 10 Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut, apakah betul mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised initiative." Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965 dipersiapkan oleh pihak lain.
Larangan terbit semua koran itu--meskipun hanya lima hari--sangat menentukan, karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai dengan keinginan pemerintah/pihak keamanan.Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer tersebut. Berita Yudha Minggu, 11 Oktober 1965, memberitakan bahwa tubuh para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka." Sedangkan sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para jenderal itu. Padahal, menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata danBerita Yudha menyiarkan kampanye sadistis sejenis ini secara teratur sampai bulan Desember 1965.

Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI. Kampanye untuk menghantam komunis ini mendapat dukungan penuh dari dunia Barat. Dalam dokumen dari pihak Inggris yang dialamatkan ke Singapura mengenai "Indonesian Disturbances" (D 1835, 6 Oct 1965) ditulis "Meanwhile we certainly do not exclude any unattributable propaganda or psywar activities which would contribute to weakening the P.K.I. permanently. We therefore agree with the recommendation in last sentence your paragraph 2. Suitable propaganda themes might be: P.K.I. brutally in murdering Generals and Nasution's daughter; Chinese interference in particular arms shipments; P.K.I. subverting Indonesia as agents of foreign Communists; fact that Aidit and other prominent Communists went to ground; the virtual kidnapping of Sukarno by Untung and P.K.I.; etc., etc. We want to act quickly while the Indonesian are still off balance, but treatment will need to be subtle."
Sebetulnya, kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1994 dibaca dengan seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuat buku tersebut. Dalam buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat daftar indeks itu terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128 kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul adalah 1)Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik.
Aidit memang Ketua PKI, tetapi dalam suratnya kepada Sukarno ia mengatakan bahwa "Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal) dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal." (Soegiarso Soerojo, hlm. 262). Sedangkan Sjam sendiri dalam berbagai buku masih diragukan identitas aslinya, apakah ia agen PKI yang disusupkan ke kalangan Angkatan Darat atau sebaliknya, intel tentara yang menyamar di tubuh PKI, atau bisa juga ia merupakan agen ganda.
Mengenai G30S, penulis sendiri berpendapat bahwa mustahil peristiwa berdarah itu dirancang oleh pelaku tunggal, dan peristiwa tragis itu disebabkan oleh unsur internal (dalam negeri), didukung faktor eksternal (unsur asing). Tuduhan bahwa PKI menjadi dalang G30S sebagaimana dimuat dalam buku putih versi pemerintah Orde Baru dan diajarkan di sekolah-sekolah patut dipertanyakan kembali. Tanggal 1 Oktober 1965 malam, selain sebagai tanggal pembredelan pers yang pertama dalam sejarah Orde Baru, bisa pula dianggap sebagai awal upaya perekayasaan sejarah di Indonesia.
Saya tidak membantah perihal tindakan brutal oleh PKI dan ormasnya sebelum tahun 1965. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh orang-orang komunis dalam mengampanyekan ketentuan land reform telah menimbulkan konflik sosial, terutama di pedesaan. Di bidang seni dan budaya terjadi pengekangan kebebasan bagi kelompok yang tidak mendukung Manipol, seperti yang dialami oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Aktivis organisasi Islam PII dipermalukan (seperti dalam insiden Kanigoro), HMI dituntut agar dibubarkan.
Namun, semua tindakan yang kasar itu telah dibalas dengan pembantaian terhadap paling sedikit 0,5 juta orang yang dicurigai sebagai penganut paham komunis di Indonesia. Rasanya, pembalasan itu sudah jauh dari setimpal. Seyogianya rekonsiliasi antara umat Islam dan orang-orang kiri dilakukan pada 1966. Tapi itu tidak dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang malah sengaja mengawetkan masalah ini dan menjadikannya sebagai alat legitimasi se

Pendidikan inklusi

Pendidikan Integrasi dan Inklusi
 oleh: Dirgantara Wicaksono
I.            Pendahuluan
Pendidikan yang berkualitas untuk semua anak merupakan tantangan yang paling berat dan sekaligus merupakan isu sangat penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini masyarakat dunia menyelenggarakan Konferensi Internasional di Jomtien Thailand tahun 1990 yang mempersoalkan pendidikan dasar bagi semua anak. Puncak dari konferensi ini adalah lahirnya deklarasi tentang Pendidikan untuk semua (Education For All). Konferensi ini menyimpulkan antara lain:
1. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas atau masih banyak orang yang belum mendapat akses pendidikan.
2. Kelompok tertentu yang terpinggirkan seperti penyandang cacat (disabled), etnis minoritas, suku terasing dan sebagainya masih terdiskriminasikan dari pendidikan bersama. Meskipun demikian inplementasi hasil dari konferensi ini belum memuaskan, khususnya yang terkait dengan para penyandang cacat. Para praktisi pendidikan luar biasa menyelenggarakan konferensi pendidikan luar biasa (Special Needs Education) di Salamanca, Spanyol tahun 1994 yang menghasilkan Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement). Dalam pernyataan Salamanca inilah pendidikan inklusif (Inclusive Education) mulai diperkenalkan secara meluas ke berbagai negara.

Saat ini banyak negara Eropa dan Amerika telah berupaya menerapkan sistem pendidikan yang menuju inklusi, untuk mencapai pendidikan yang inklusi masing-masing negara memiliki strategi dan cara yang berbeda sesuai dengan karakter negara dan bangsanya, suatu cara yang berhasil di suatu negara belum tentu sesuai dengan negara lain, yang utama adalah persamaan pemahaman.

Di Indonesia berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.                      
Pendidikan inklusif, mendidik anak berkebutuhan khusus bersama– sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu disiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

    II.            Sejarah Perkembangan Pendidikan Integrasi dan Inklusi
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan   deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
 III.   Konsep Pendidikan Integrasi dan Inklusi
A.    Segregasi
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. “Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan khusus di sekolah khusus dengan guru dan kurikulum yang khusus pula” (Salim, A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah, 2003:17). Secara operasional, sistem pendidikan segregatif-eksklusif dilakukan dengan cara mengelompokkan dan memilahkan antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus. Demikian juga dengan peserta didik dengan tingkat jenjang pendidikan, seperti tingkat persiapan (TKLB), dasar (SDLB), lanjutan pertama (SLTPLB), dan lanjutan atas (SMLB). Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Masih dalam Salim, A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah (2003:17), disebutkan oleh Reynolds dan Birch, antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Salim, A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah, memberikan pendapat tentang sistem segregasi yang mempunyai beberapa kelemahan, yaitu : adanya biaya yang lebih mahal dari pendiriannya mengingat kekhususannya yang berbeda dari sekolah reguler, umumnya tempat sekolah di kota sehingga penyandang cacat yang di desa kurang terjangkau oleh sistem pendidikan ini, jumlah guru yang dibutuhkan dengan biaya operasional serta sarana prasarana
B.     Integrasi
Pendidikan integrasi merupakan model lain bagi ABK, dimana pendidikan penyandang cacat diintegrasikan bersama anak normal disekolah regular (Salim, A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah: 2003:10). Setting pendidikannya secara khusus dapat dipilih dari dua model ialah (a) model kelas regular dan (b) model kelas khusus.
Program regular yang teridiri dari: Special materials and equipment; Special materials, equipment and consultation; Tutoring; Itinerant services; Resource room with special education teacher; Diagnostic prespective teaching center. Special class tediri dari: Part time special class, Full time special class. Pelaksanaan pembelajaran bagi peserta didik berkelainan di Sekolah Dasar dapat dipilih dari bentuk-bentuk pembelajaran di sekolah reguler dan disekolah dasar khusus. Pedoman umum yang dapat dijadikan pertimbangan, khususnya berkaitan dengan gradasi kesulitan belajar peserta didik adalah apabila gradasinya masih termasuk ringan dan sedang, maka peserta didik yang bersangkutan diikutkan dalam salah satu tipe dari model layanan regular. Sistem pendidikan ini dimulai dengan terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 002/U/1986. Jenis pendidikan yang diintegrasikan dalam sistem pendidikan ini adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita ringan dan tuna daksa. Jumlah sekolah pelaksana pendidikan rintisan ini pada tahun 2001 yang lalu adalah 163 untuk tingkat SD/MI dengan jumlah murid 875 anak, 15 untuk tingkat SLTP/MTs dengan jumlah murid 40 anak, dan 28 untuk tingkat SMU/SMA dengan jumlah murid 59 anak.

C.    Inklusi
Model yang muncul pada pertengahan abad 20 adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis atau tingkat kelainannya. Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn dalam Sunardi (2003:2). Salah satu usaha awal dalam menawarkan suatu model mainstreaming menekankan tiga unsur yang harus mempunyai ciri-ciri itu, yaitu : suatu rangkaian jenis-jenis layanan pendidikan bagi siswa-siwa yang memiliki hambatan, pengurangan jumlah anak-anak yang ‘ditarik keluar’ dari kelas-kelas reguler, dan penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan di dalam kelas-kelas reguler ketimbang di luar kelas-kelas tersebut. Secara hirarkis, Deno dalam Sunardi (2003:4), telah mengemukakan alternatif sebagai berikut:
1.      Kelas reguler (inklusi penuh). Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2.      Kelas reguler dengan cluster. Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3.      Kelas reguler dengan pull out. Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4.      Kelas reguler dengan cluster dan pull out. Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5.      Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.      Kelas khusus penuh. Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).       
Pendidikan inklusif merupakan Filosofi pendidikan dan sosial, bukan istilah kebijakan atau legislasi dalam pendidikan, yang memungkinkan semua peserta didik memperoleh pendidikan yang terbaik. Pendidikan inklusif merujuk pada kebutuhan belajar semua peserta didik, dengan suatu focus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, social, emosi, bahasa, atau kondisi lainnya dengan dasar layanan yang kooperatif, toleransi, penerimaan, dan fleksibilitas. Pendidikan kita yang sekarang ini lebih mengandalkan kompetisi sesama anak dengan sebuah lingkungan yang dibatasi (List Restrictive Environment) akan tetapi sebuah kondisi yang berkompetisi dengan dirinya sendiri dengan lingkungan yang menumbuhkan anak untuk lebih berkembang (More Enabling Environment).
Dengan demikian pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, social, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak jalanan dan pekerja, anak-anak yang berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah, anak-anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termarjinalisasi (Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus). Menurut Stainback dan Stainback (1990) sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.
Menurut Juang Sunanto (2003) pendidikan inklusif bukan semata-mata memasukkan anak luar biasa ke sekolah umum, namun justru berorientasi bagaimana layanan pendidikan ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan setiap anak dengan keunikan dan keragaman yang secara alamiah telah mereka miliki. Pendidikan inklusif dapat diartikan bagaimana layanan pendidikan ini sangat berarti dalam pengembangan potensi dan kompetensi semua anak yang berbeda-beda sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan irama perkembangannya. Dengan setting pembelajarannya di ciptakan ramah dan menyenangkan.
Menurut Staub dan Peck (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas biasa. Dengan demikian, jika dipakai pengertian tersebut di atas bahwa yang dikatakan pendidikan inklusif adalah semua anak berkebutuhan khusus harus belajar di kelas yang sama dengan teman sebayanya.
Inti pendidikan inklusif adalah hak azasi manusia atas pendidikan, diumumkan pada Deklarasi Hak Azasi Manusia tahun 1949. yang sama pentingnya adalah hak anak agar tidak didiskriminasikan, dimuat dalam Artikel 2 Konvensi Hak Anak (PBB, 1989). Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain. Sedangkan terdapat juga alasan penting kemanusiaan, ekonomi, social dan alasan politis untuk memperjuangkan suatu kebijakan dan pendekatan pendidikan inklusif, ini juga merupakan suatu alat mengetengahkan perkembangan pribadi dan membangun hubungan antar individu, kelompok dan bangsa. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi menegaskan bahwa:
"Sekolah reguler dengan orientasi inklusif adalah media yang paling efektif untuk memerangi diskriminasi, menciptakan komunitas yang ramah, membangun suatu masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua (Pernyataan Salamanca, Artikel 2).

Dalam pendidikan inklusif dikenal istilah dan konsep children with special needs (anak dengan kebutuhan khusus) atau children with special educational needs (anak dengan kebutuhan pendidikan yang khusus) istilah ini tidak bermaksud menggantikan istilah "anak cacat" atau "anak luar biasa" tetapi memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap peserta didik atau anak yang memiliki kebutuhan yang sangat beragam. Yang dimaksud dengan kebutuhan khusus di sini adalah setiap kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan. Setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan khusus baik yang permanen maupun yang temporer. Kebutuhan yang permanen adalah kebutuhan yang terus-menerus ada dan tidak akan hilang, misalnya pada anak yang memiliki kelainan penglihatan ia harus selalu membaca huruf Braille (tulisan khusus bagi tunanetra). Sedangkan kebutuhan yang bersifat temporer adalah kebutuhan yang bersifat sementara, misalnya anak yang tidak dapat berkonsentrasi karena ia sedang sedih, setelah penyebabnya hilang maka ia dapat berkonsentrasi lagi.
Ditinjau dari penyebab munculnya kebutuhan khusus tersebut dapat berasal dari diri sendiri maupun dari luar diri (lingkungan). Salah satu contoh penyebab munculnya kebutuhan khusus dari diri sendiri adalah kecacatan (disability). Sedangkan kebutuhan khusus yang berasal dari lingkungan misalnya anak mengalami kesulitan belajar karena tidak dapat berkonsentrasi dengan baik dan penyebabnya mungkin suasana tempat belajar yang tidak nyaman. Di samping itu, kebutuhan khusus juga dapat dibedakan menjadi: kebutuhan khusus umum, kebutuhan khusus individu, kebutuhan khusus kecacatan.
Kebutuhan khusus umum adalah kebutuhan khusus yang secara umum dapat terjadi pada siapapun misalnya karena sakit tidak bisa belajar dengan baik. Sedangkan kebutuhan khusus individu adalah kebutuhan yang sangat khas yang dimiliki oleh seorang anak, misalnya seseorang tidak bisa belajar sambil mendengarkan musik. Kebutuhan khusus kecacatan adalah kebutuhan khusus yang ada akibat kecacatan, misalnya kebutuhan berbicara dengan bahasa isyarat dan artikulasi bagi anak tunarungu, kebutuhan pengajaran menolong diri sendiri pada anak tunagrahita.

Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru antara lain :
a.Tunagrahita (Mental retardation)
Ada beberapa definisi dari tunagrahita, antara lain:
(1)American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, (p. 20) mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
(2)Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22), mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita ialah fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan dalam perilaku adaptif; dan terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
(3)The New Zealand Society for the Intellectually Handicapped menyatakan tentang tunagrahita adalah bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila kecerdasannya jelas-jelas di bawah rata-rata dan berlangsung pada masa perkembangan serta terhambat dalam adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan sosialnya.
(4)Definisi tunagrahita yang dipublikasikan oleh American Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal tahun 60-an, tunagrahita merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan keterbatasan pada keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area : komunikasi, merawat diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri, functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi ini, ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun.
(5)Menurut WHO seorang tunagrahita memiliki dua hal yang esensial yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tututan yang berlaku dalam masyarakat.[5]
Adapun cara mengidentifikasi seorang anak termasuk tunagrahita yaitu melalui beberapa indikasi sebagai berikut:
1.      Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.
2.      Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
3.      Perkembangan bicara/bahasa terlambat
4.      Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
5.      Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
6.      Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).

b. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional atau kaelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut:
1.      Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual, sensori atau kesehatan.
2.      Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.
3.      Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
4.      Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.
5.      Bertendensi kea rah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi berikut:
1.      Bersikap membangkang,
2.      Mudah terangsang emosinya,
3.      Sering melakukan tindakan aggresif,
4.      Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.

c. Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1.      Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2.      Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
3.      Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
4.      Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5.      Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan pendengaran:
1.      Tidak mampu mendengar,
2.      Terlambat perkembangan bahasa
3.      Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
4.      Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
5.      Ucapan kata tidak jelas,
6.      Kualitas suara aneh/monoton,
7.      Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
8.      Banyak perhatian terhadap getaran,
9.      Keluar nanah dari kedua telinga,
10.  Terdapat kelainan organis telinga.

d. Tunanetra (Partially seing and legally blind)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman dan Haulan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai orientasi dan mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).
Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan penglihatan:
1.      Tidak mampu melihat,
2.      Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
3.      Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
4.      Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
5.      Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
6.      Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
7.      Mata bergoyang terus.
Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6 gejala di atas, maka anak termasuk tunanetra.

e. Tunadaksa (physical disability)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsi, amputasi, polio dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Berikut identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak tubuh:
1.      Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
2.      Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
3.      Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
4.      Terdapat cacat pada alat gerak,
5.      Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
6.      Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal,
7.      Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai standarnya 5.

f. Tunaganda (Multiple handicapped)
Menurut Johnston & Magrab, tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat.
Walker (1975) berpendapat mengenai tunaganda sebagai berikut:
1.      Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus.
2.      Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi.
3.      Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi khusus.

g. Kesulitan Belajar (Learning disabilities)
Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain  injury, disfungsi minaml otak, disleksia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.
Berikut adalah karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca, menulis dan berhitung:
Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
1.      Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
2.      Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
3.      Kalau membaca sering banyak kesalahan

Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
1.      Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
2.      Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
3.      Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
4.      Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
5.      Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.

Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
1.      Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
2.      Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
3.      Sering salah membilang dengan urut,
4.      Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
5.      Sulit membedakan bangun-bangun geometri.

h.  Anak Berbakat (Giftedness and special talents)
Menurut Milgram, R.M (1991:10), anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet (Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa (Marlan, 1972).
Anak berbakat mempunyai empat kategori, sebagai berikut:
1.      Mempunyai kemampuan intelektual atau intelegensi yang menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal.
2.      Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang berbeda dalam matematika, bahasa asing, music, atau ilmu pengetahuan alam.
3.      Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Pada umumnya mampu berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi.
4.      Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil dan berbeda dengan yang lain.
Dari keempat kategori di atas, maka anak berbakat adalah mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, teknik, estetika, social, fisik (Freemen, J. 1975:120), akademik, psikomotor dan psikososial (Sisk,1987 dalam Amin, M. 1996:3).
Berikut identifikasi anak berbakat atau anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa:
1.      Membaca pada usia lebih muda,
2.      Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
3.      Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
4.      Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
5.      Mempunyai minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
6.      Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
7.      Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
8.      Memberi jawaban-jawaban yang baik,
9.      Dapat memberikan banyak gagasan,
10.  Luwes dalam berpikir,
11.  Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
12.  Mempunyai pengamatan yang tajam,
13.  Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap
14.  tugas atau bidang yang diminati,
15.  Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
16.  Senang mencoba hal-hal baru,
17.  Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
18.  Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah,
19.  Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
20.  Berperilaku terarah pada tujuan,
21.  Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
22.  Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
23.  Mempunyai daya ingat yang kuat,
24.  Tidak cepat puas dengan prestasinya,
25.  Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
26.  Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.

i. Anak Autistik
Autism Syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala autism menurut Delay & Deinaker (1952) dan Marholin & Philips (1976) antara lain:
1.      Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
2.      Selalu diam sepanjang waktu.
3.      Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh akan menceritakan dirinya dengan beberapa kata kemudian diam menyendiri lagi.
4.      Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut dan tidak menyenangi sekelilingnya.
5.      Tidak tampak ceria.
6.      Tidak peduli terhadap lingkungannya, kecuali terhadap benda yang disukainya.
Secara umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual, Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

j. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive)
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw & Perret, 1986: 261).symptoms terjadi disebabkan oleh factor-faktor brain damage, an emotional disturbance, a hearing deficit or mental retardaction. Dewasa ini banyak kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4)

Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus.

Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pembelajaran , antara lain:
1.      Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf.
2.      Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic.
3.      Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu.
4.      Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan individual.
5.      Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan melalui media.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi perilaku.

Strategi pembelajaran bagi anak berbakat
Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi pembelajaran adalah :
1.      Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat kompleksitas.
2.      Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi juga mengembangkan kecerdasan emosional.
3.      Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk.
Model-model layanan yang biasa diberikan pada anak berbakat yaitu model layanan
perkembangan kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus.

Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain;
1.      Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
2.      Strategi kooperatif
3.      Strategi modifikasi tingkah laku

Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
1.      Pendidikan integrasi (terpadu)
2.      Pendidikan segresi (terpisah)
3.      Penataan lingkungan belajar

Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
1.      Model biogenetic
2.      Model behavioral/tingkah laku
3.      Model psikodinamika
4.      Model ekologis

Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar
1.      Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan remedial teaching
2.      Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai dengan tingkat kesalahan.
3.      Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan tingkat abstrak.

Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu
Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif dan modifikasi perilaku




Alasan Perlunya Inklusif
Menurut pusat studi pendidikan inklusif di Inggris (Juang Sunanto, 2003) ada sepuluh alasan yang mendasari pendidikan inklusif, Yaitu:
1.      Semua anak mempunyai hak untuk belajar bersama
2.      Anak-anak tidak perlu diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain karena kecacatannya
3.      Para penyandang cacat yang telah lulus dari pendidikan segregrasi menuntut segera diakhirinya system segregrasi
4.      Tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan pendidikan bagi anak cacat, karena setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing
5.      Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi akademik dan sosial anak cacat yang sekolah di sekolah integrasi lebih baik dari pada di sekolah umum
6.      Tidak ada pengajaran di sekolah segregasi yang tidak dapat dilaksanakan di sekolah umum
7.      Dengan komitmen dan dukungan yang baik pendidikan inklusif lebih efisien dalam penggunaan sumber belajar
8.      Sistem segregasi dapat membuat anak menjadi banyak prasangka dan rasa cemas (tidak nyaman)
9.      Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal
10.  Hanya sistem inklusiflah yang berpotensi untuk mengurangi rasa kehawatiran, membangun rasa persahabatan, saling menghargai dan memahami.

Di dalam pernyataan Salamanca disebutkan bahwa, setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dimana ia berada tanpa memperhatikan berbagai kesulitan dan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa sekolah dengan orientasi inklusif adalah sebuah langkah yang efektif untuk menghilangkan terjadinya sikap-sikap yang diskriminatif, menciptakan masyarakat terbuka, membangun masyarakat yang inklusif dan mampu mencapai pendidikan untuk semua, bahkan akan mampu memberikan pendidikan bagi mayoritas anak serta mampu meningkatkan efisiensi dan meningkatkan efektifitas pemanfaatan dana di dalam sebuah sistem pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan inklusif akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap lebih positif dari peserta didik terhadap adanya perbedaan melalui pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dan pada akhirnya akan mampu membentuk sebuah kelompok masyarakat yang tidak diskriminatif dan akomodatif kepada semua orang.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan pendidikan inklusif, antara lain:
a.       Bagi siswa
·         Sejak dini siswa memiliki pemahaman yang baik terhadap adanya perbedaan dan keberagaman
·         Munculnya sikap empati pada siswa terdorong secara alamiah
·         Munculnya budaya saling menghargai dan menghormati pada siswa
·         Menurunkan terjadinya stigma dan labeling kepada semua anak dan khususnya pada anak tertentu
·         Timbulnya budaya kooperatif dan kolaboratif pada siswa sehingga memungkinkan adanya saling bantu satu sama lain

b.      Bagi Guru
·         Lebih tertantang untuk mengembangkan berbagai metode dalam mensiasati pembelajaran
·         Bertambahnya kemampuan dan pengetahuan guru tentang keberagaman siswa termasuk keunikan, karakteristik, dan sekaligus kebutuhannya
·         Terjalinnya komunikasi dan kolaborasi kemitraan antar guru (Guru reguler dan Guru khusus) dan dengan ahli lainnya
·         Bertambahnya pemahaman tentang siswa
·         Berkurangnya stigma dan labeling terhadap anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh guru
·         Menumbuhkan sikap empati terhadap siswa, termasuk anak berkebutuhan khusus

c.      Bagi Otoritas Pendidikan
·        Memberikan kontribusi yang sangat besar bagi program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
·        Memberikan peluang terjadinya pemerataan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat
·        Menggunakan biaya yang relatif lebih efisien
·        Mengakomodasi kebutuhan masyarakat
·        Meningkatkan kualitas layanan pendidikan


Pendidikan luar biasa (special education) berkecimpung dengan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus karena adanya kecacatan. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang berkaitan dengan kecacatan menjadi focus perhatian pendidikan luar biasa. Berkaitan dengan konsep pendidikan inklusif pendidikan luar biasa sangat berkepentingan karena penyandang cacat adalah salah satu subyek pendidikan inklusif. Meskipun demikian pendidikan inklusif bukanlah semata-mata urusan pendidikan luar biasa tetapi urusan pendidikan secara umum.
Konsep pendidikan integrasi terfokus pada persoalan menyatukan atau menggabungkan antara pendidikan luar biasa dengan pendidikan reguler. Konsep integrasi berdekatan dengan konsep mainstreaming yang terfokus pada program pengajaran khusus (tersendiri) bagi penyandang cacat dalam rangka mempersiapkan anak memasuki pendidikan reguler. Dengan kata lain pendidikan integrasi berorientasi mengubah anak untuk menyesuaikan sistem yang ada. Berbeda dengan pendidikan inklusif yang berorientasi pada perubahan sistem untuk mengakomodasi anak dalam segala keadaan.

Selain perbedaan tersebut di atas dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan lain sebagai berikut:
·         Anak luar biasa dianggap sebagai tamu di kelas reguler
·         Anak luar biasa dapat diterima bergabung apabila dianggap mampu menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ada
·         Anak luar biasa lebih sering belajar di kelas khusus dan terpisah dengan temannya yang lain hampir sepanjang hari
·         Seringkali mengabaikan Aksesibilitas
·         Kadang-kadang assessmen tidak dilakukan

Pendidikan Inklusif
·         Anak berkebutuhan khusus secara alami merupakan anggota dari kelas tersebut
·         Tanpa persyaratan (kurikulum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan individu)
·         Anak belajar bersama dengan materi pembelajaran yang disesuaikan dan ramah
·         Aksesibilitas menjadi bagian yang penting untuk dipertimbangkan
·         Assessmen dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan

Integrasi merupakan proses menuju  inklusi. Seperti menuju bentuk yang sekarang ini, inklusi berkembang melalui tahapan-tahapan. Meskipun masih dalam proses mencari, khususnya negara yang paling banyak mengembangkan yaitu Norwegia, perkembangan inklusi terus digalakkan dan dioptimalkan dengan bekerjasama penuh antara pemerintah, sekolah, masyarakat dan pihak-pihak terkait. Lawan dari inclusion adalah exclusion, yang berarti  pengeluaran, melarang masuk (John M. Echols, 2005:222)
Menurut Sholeh, M, Y,A,I (2007:5), persamaan dari integrasi dan inklusi yaitu :
·         Integratif dan inklusi merupakan pendekatan yang berusaha menempatkan anak dalam keterbatasan lingkungan seminimal mungkin (The least restricted environment)
·         Integrasi dan inklusif memandang anak luar biasa bukan karena kecacatannya, melainkan menganggap mereka sebagai anak yang memiliki kebutuhan khusus
·         Integrasi dan inklusif lebih mementingkan pembauran bersama-sama anak lain seusianya dalam sekolah regular
·         Integratif dan inklusif menuntut pendidikan melalui pembelajaran individual. Proses belajar lebih bersifat kebersamaan dari pada persaingan
Adapun untuk lebih jelas mengenai perbedaannya dilihat dari beberapa dimensi adalah sebagaimana tabel berikut:

Dimensi
Segreagasi
Integrasi
Inklusi

Kurikulum
Kurikulum terpisah
Mengikuti kurikulum yang berlaku.
Kurikulum dirancang dan diajarkan berdasarkan kebutuhan anak.
Partisipasi
Belum ada partisipasi. Kalaupun ada, hanya sebatas pada kelompok tertentu saja.
Partisipasi penuh belum terjadi atau bahkan tidak ada.



Partisipasi penuh sudah mulai terbentuk dan merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi
Manfaat
Pendidikan lebih banyak ditujukan untuk anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Anak dengan kebutuhan khusus masih sulit mendapatkan pendidikan.
Anak berkebutuhan khusus sudah dapat menikmati pendidikan tapi sekolah (guru dan siswa/i) tidak dituntut untuk membuat persiapan khusus dan tidak harus
1.   Sebagian besar anak berkebutuhan khusus dapat belajar di sekolah umum dengan akses dan lingkungan yang kondusif.
2.   Guru dapat memperkaya wawasan  serta meningkatkan kreativitas dalam pengelolaan kelas.
3.   Siswa / siswi lain
menerima perbedaan yang ada dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi serta mampu menjalin persahabatan dengan anak berkebutuhan khusus.
4.   Orang tua anak berkebutuhan khusus merasa yakin bahwa anaknya akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik
Sistem Pendidikan
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus terpisah dari sekolah umum.
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus menjadi bagian dari sekolah umum.
Ada di dalam sistem sekolah umum, dimana pelaksanaan pendidikan, pengelolaan kelas dapat menjamin peningkatan pendidikan dan akses untuk semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus.
Tanggung jawab
Tanggung jawab ada pada masing -masing unit penyelenggara pendidikan.
Tanggung jawab tergantung relasi dan kepedulian masing-masing guru.
Guru wali kelas, guru bidang studi serta guru pembimbing khusus bertanggung jawab penuh pada kelangsungan proses belajar anak berkebutuhan khusus.

E.     Kesempatan dan Tantangan dalam Pendidikan Inklusif
Tantangan: Mengatasi Hambatan
1)      Partisipasi yang Berkesinambungan
‘Di mana ada kemauan, disitu ada jalan', keberhasilan pendidikan inklusif tidak tergantung pada suatu formula yang sempurna, tetapi ditentukan oleh kesediaan orang untuk bekerjasama untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan jika muncul. Inilah
sebabnya mengapa partisipasi yang terus-menerus itu penting. Jika stakeholder utama tidak secara penuh dilibatkan dan tidak merasa memiliki program pendidikan inklusif, maka jika muncul masalah dalam konteks mereka, mereka tidak akan termotivasi untuk bertindak.

2)      EENET - Membangun Percakapan
Salah satu tujuan utama Enabling Education Network (EENET) adalah untuk ‘membangun percakapan’ tentang inklusi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dalam pendidikan. Untuk tujuan tersebut, EENET telah terlibat dalam beberapa proyek untuk membantu agar orang mampu berpikir kritis tentang hal-hal yang biasa dipraktekkannya. Salah satu proyeknya adalah membangkitkan para praktisi lokal untuk merenungkan dan menganalisis pengalamannya sendiri. Tiga pertanyaan sederhana diajukan untuk memfasilitasi hal tersebut:
1. Apa hambatan partisipasi dan belajar anak?
2. Bagaimana hambatan ini dapat diatasi?
3. Siapa yang perlu dilibatkan?

Hambatan dan Kesempatan yang terkait dengan:
a) Orang: anak, guru, orang tua, pekerja berbasis masyarakat;
b) Uang dan materi: donor eksternal, keberlangsungan, peralatan yang diproduksi secara lokal;
c) Pengetahuan dan informasi: melek huruf, kebijakan, pemecahan masalah lokal, konsep asing, dokumentasi internasional.

Menganalisis Kesempatan dan tantangan dalam pendidikan inklusif
Tabel berikut memberikan contoh bagaimana factor penentu keberhasilan pendidikan inklusif (PI) dapat menjadi kesempatan ataupun tantangan (Sue Stubbs, 2002) :

Faktor penentu utama keberhasilan PI
Kesempatan untuk pengembangan PI
Tantangan dan hambatan dalam pengembangan PI
·      Kerangka kerja yang kuat (rangka)
a.   Nilai-nilai keyakinan
b.   Prinsip-prinsip utama
c.    Indicator keberhasilan
·   Inisiatif peningkatan mutu sekolah
·   Instrumen hak asasi manusia
·   Model-model baik yang ada
·   Tidak adanya atau lemahnya kebijakan
·   Sistem persekolahan yang kaku
·   Adanya SLB dan mentalitas individual
2.   Implementasi dalam budaya dan konteks local
a.   Situasi praktis
b.   Sumber daya
c.    Masalah budaya
· Inisiatif berbasis masyarakat
· Rintisan program nonformal
· Budaya dengan focus solidaritas masyarakat yang kuat
·   Dominasi model segregasi
·   Penggunaan sumber daya yang berlebihan atau kurang
·   Budaya yang menolak adanya keberagaman
·   Sumber daya yang terikat pada system segregasi
3.   Monitoring partisipatory berkesinambungan (nafas-darah)
a.   Siapa ?
b.   Bagaimana ?
c.    Apa dan Kapan ?

· Para aktivis : kelompok-kelompok penyandang cacat dan orang tua
· Inisiatif partisipasi anak, misalnya dari anak ke anak
· Cara yang partisipatif dan kreatif
·   Implementasi PI yang topdown
·   Tidak adanya organisasi masyarakat sipil
·   Kurangnya kolaborasi
·   Tidak adanya personel yang berkomitmen


Contoh cara menganalisis hambatan yang telah dipergunakan dalam situasi praktis dapat dilihat pada tabel berikut. Analisis ini dikembangkan selama evaluasi TENGAH PROGRAM yang melibatkan semua stakeholder utama. Tabel 3.  Contoh dari Mali – PENERAPAN model sosial

Hambatan
Mengatasi hambatan
1.   Penyelenggaraan Negara yang KURANG tepat dan tidak memadai
􀂃 Mencari alternatif seperti dukungan masyarakat dan LSM
􀂃 Konsultasi dengan masyarakat setempat
􀂃 Kolaborasi antara LSM, masyarakat dan Negara
2.   Pendidikan untuk anak perempuan tidak dipandang sebagai prioritas dalam budaya Mali

􀂃 Mengambil keputusan untuk memastikan bahwa 50% jatah tempat di sekolah diperuntukkan bagi anak perempuan
􀂃 Seorang anggota komite manajemen (seorang wanita) diberi tanggung jawab khusus untuk rekrutmen anak perempuan
􀂃 Teater dan grup musik local dipergunakan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah sikap masyarakat lokal terhadap anak perempuan dan pendidikan

3.   Akses anak penyandang cacat terhadap pendidikan tidak diprioritaskan oleh pemerintah, LSM, ataupun masyarakat di Mali

􀂃 Kolaborasi dengan LSM kecacatan untuk mengidentifikasi anak penyandang cacat dan meningkatkan kesadaran
􀂃 Keputusan untuk mewajibkan inklusi anak penyandang cacat sejak awal
􀂃 Orang dari komite manajemen yang bertanggung jawab atas rekrutmen anak perempuan juga ditugasi untuk rekrutmen anak penyandang cacat
􀂃 Teater dan grup musik local dipergunakan untuk meningkatkan kesadaran dan perubahan sikap terhadap kecacatan.

4.   Tidak ada transportasi bagi anak tunadaksa untuk pergi ke sekolah
􀂃 Pada awalnya orang tua menggendong anaknya setiap hari.
􀂃 Kolaborasi dengan LSM Kecacatan menghasilkan penyediaan kendaraan roda tiga bagi yang membutuhkannya.

5. Orang tua enggan membawa anaknya yang cacat ke luar rumah

􀂃 Peningkatan kesadaran dan mobilisasi orang tua dengan dukungan dari LSM Kecacatan

6. kurangnya tenaga kependidikan di desa

Diambil keputusan bahwa pengetahuan dan pengalaman penduduk desa lebih relevan bagi anak desa daripada keahlian guruguru profesional yang mendapat pendidikan di kota
􀂃 Penduduk setempat dipilih dan kemudian dilatih oleh profesional

7. masyarakat setempat sangat miskin dan tidak memiliki waktu luang ataupun sumber

􀂃Jika penduduk desa memang menginginkan sebuah sekolah, maka mereka akan mempunyai motivasi untuk mendukung dan memelihara sekolah itu.
􀂃 Penduduk desa berhasil mendapatkan sumber untuk membangun rumahnya sendiri dan mengelola bidang-bidang lain kehidupannya.
􀂃 Keterlibatan seluruh masyarakat sejak tahap analisis dan perencanaan itu sangat penting.
􀂃 Kontribusi penduduk desa dimulai sejak awal yang mencakup pembangunan fisik sekolah, memberikan kontribusi financial untuk gaji guru dan bertanggung jawab untuk manajemen secara umum.
􀂃 Monitoring dan dukungan yang berkesinambungan dari SCF juga sangat penting

8. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan yang aksesibel
bagi anak tunarungu

􀂃 Pelatihan dan dukungan yang berkesinambungan dari ADD dan penilaian yang realistis terhadap seluruh kehidupan anak tunarungu; tidak ada gunanya jika hanya menempatkan secara fisik saja anak tunarungu yang lebih besar di sekolah.
􀂃 Lebih banyak bekerjasama dengan orang tua dan keluarga dalam mengembangkan komunikasi dengan anaknya yang tunarungu.


F.     Implementasi Integrasi dan Inklusi di Indonesia
Proses menuju pendidikan inklusif di Indonesia diawali pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang  siswa  tunanetra  di  Bandung  dengan  dukungan  organisasi  para  tunanetra  sebagai  satu kelompok penekan. Pada masa itu SLB untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga ke tingkat SLTP. Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang kerajinan tangan atau pijat. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra.
Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986  tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat yang mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya diberi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan sebayanya yang non-cacat di sekolah biasa.
Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan dimasa lalu  dengan  program  pendidikan integrasi yang nyaris mati,  perhatian  diberikan  pada sustainabilitas program pengimplementasian pendidikan inklusif.

Strategi yang diambil adalah sebagai berikut.
·         Diseminasi ideologi pendidikan inklusif melalui berbagai seminar dan lokakarya;
·         Mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah inklusif (dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dsb.); Penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan kusus dalam setting inklusi;
·         Reorientasi pendidikan guru did LPTK dan keterlibatan universitas dalam program tersebut;
·         Desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusif;
·         Mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk mempromosikan implementasi pendidikan inklusif;
·         Keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini;
·         Menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait;
·         Mengembangkan sekolah inklusif perintis
·         Pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan berkebutuhan khusus
Hasil yang dapat teramati dari program tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Sejumlah lokakarya dan seminar tentang pendidikan inklusif, baik pada tingkat nasional maupun lokal, telah diselenggarakan, yang melibatkan para pendidik dan pengelola pendidikan.
2)      Sembilan SLB di sembilan provinsi telah dipilih untuk menjadi pusat sumber dan peranannya sebagai pusat sumber sedikit demi sedikit menjadi kenyataan dengan tetap mempertahankan peranannya sebagai SLB. The National Resource Centre in Jakarta, Citeureup Regional Resource Centre in West Java and Payakumbuh Regional Resource Centre in West Sumatra are the three most functional among the nine resource centres. In addition, a number of other special schools have been designed to function as supportive centres.
3)      Beberapa universitas sudah mulai memperkenalkan pendidikan inklusif sebagai satu mata kuliah atau sebagai satu topik dalam mata kuliah terkait kepada mahasiswanya.
4)      Dosen sejumlah universitas sudah terlibat dalam lokakarya atau seminar tentang pendidikan inklusif.
5)      Dinas Pendidikan di sejumlah propinsi sudah lebih proaktif dalam mempromosikan pendidikan inklusif. Sebuah kelompok kerja pendidikan inklusif telah terbentuk di Jawa Barat, yang anggotanya berasal dari Pusat Sumber Citeureup, Dinas Pendidikan Jawa Barat, dan UPI.
6)      UNESCO telah aktif terlibat dalam promosi pendidikan inklusif di Jawa Barat.
7)      Pada  tahun 2002 proyek telah mengembangkan masing-masing tiga sekolah inklusif perintis di 9 propinsi yang memiliki Pusat Sumber, , dan pada tahun 2003 Depdiknas secara ambisius meningkatkan jumlah tersebut. Sejak saat itu sekitar 2000 anak penyandang cacat sudah ditempatkan did sekolah reguler.
8)      Program magister inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus dibuka di UPI dengan bantuan teknis dari Universitas Oslo.
9)      Pelaksanaan pendidikan inklusif secara eksklusif telah dilaksanakan seperti antara lain di Sekolah Al-Falah Cibubur Jakarta Timur sejak 1996 yang sekaligus dilaksanakan sekolah tersebut dalam programnya besarnya yang dikenal dengan Beyond Centre and Central Times (BCCT) dalam kerjasamanya dengan Thalahasse Creative School Florida US.
10)  Sebagai salah satu implementasi itu telah dilaksanakan Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklusif yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia tanggal 8-14 Agustus 2004 dan membuat  deklarasi nasional  dan menghimbau  kepada  pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat:
a.    Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal.
b.   Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan deskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural.
c.    Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para stakeholders, terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal.
d.   Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan di lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan.
e.    Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan lainnnya secara berkesinambungan.
f.    Menyusun Rencana Aksi (Action Plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya.

 IV.            Kesimpulan
Pendidikan inklusi sebagai satu inovasi pendidikan, belum sepenuhnya diterapkan diseluruh dunia, tetapi kecenderungannya adalah semakin dapat diterima oleh masyarakat luas . Fakta yang tampak menentukan penerimaan masyarakat terhadap ideology pendidikan inklusif ini adalah difusi dari inovasi ini. Maksud dari semua ide adalah kesejahteraan para penyandang cacat untuk memperoleh haknya sebagai warga Negara.
Apakah penempatan anak-anak penyandang cacat di sekolah regular saat ini benar-benar baik bagi kesejahteraannya, kita membutuhkan waktu untuk membuktikannya, tetapi kita percaya dukungan yang tepat akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Hingga saat ini penyandang cacat yang bersekolah semakin meningkat secara signifikan, sehingga target untuk mewujudkan pendidikan untuk semua tahun 2015 tampak menjadi realistis.  




















Daftar Pustaka
Abdul Haris. 2003. “Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Siswa Berkebutuhan Khusus Melalui Aplikasi Pembelajaran Berbasis Inklusif di Sekolah Reguler”. Jurnal Rehabilitasi Remidiasi, 13, 102 – 110
Amsori. Februari 2008. Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta Tentang Model Pendidikan Inklusi. Makalah. Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari Dalam Rangka Prayudisium Program Studi PLB-FKIP-UNS, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. 2006. Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus (PLB). Diambil pada 24 Oktober 2009 dari www. ditplb.or.id
Gunarhadi. 2001. “Mengenal Pendekatan Inklusi Dalam Pendidikan Luar Biasa”. Jurnal Rehabilitasi Remidiasi, 2, 63 – 68
Hameed, Abdul. 2005. “Pendidikan Inklusif Satu-Satunya Cara Untuk Memberantas Ketidaksetaraan dan Ketidak Adilan”. EENet Asia Newsletter, 1, 30
Hidayat. 2003. Kelompok Kerja (POKJA) Pengkajian Implementasi Pendidikan Inklusif. Makalah. Disampaikan Pada Acara Semnar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta
HKI, 2008a. Penelitian Pendidikan Inklusi Berbasis Sekolah. Hasil Presentasi. Disajikan dalam Sosialisasi Inklusi
Kepala Dinas P & K Propinsi Jawa Tengah. 2006. Guru Ideal Dalam Implementasi Pendidikan Inklusi. Makalah. Disajikan Dalam Rangka Dies Natalis UNS ke XXXIX, di Universitas Sebelas Maret
Kompedium. 2006. Perjanjian, Hukum dan Peraturan Menjamin Semua Anak : Memperoleh Kesamaan Hak Untuk Kualitas Pendidikan dalam Cara Inklusif, Respon Sektor Pendidikan Terhadap HIV dan AIDS. .Dikembangkan Braillo Norway dan IDP Norway
Moelyono. 2008. Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Peningkatan Pemerataan Akses Pendidikan. Makalah. Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari Dalam Rangka Prayudisium Program Studi PLB- FKIP- UNS, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Mulyono Abdurrahman. 2006. Implikasi Pendidikan Inklusi Dalam Penyiapan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan, Jurnal Rehabilitasi Remidiasi, 15, 33 - 53
__________________. 1996. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi.
Mumpuniarti. 2001. “Modifikasi Kurikulum Dalam Model Pendidikan Inklusi”. Jurnal Rehabilitasi Remidiasi, 2, 72-76
Nasichin. April 2003. Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusif. Makalah. Disampaikan Pada Acara Semnar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta
Pusat Rehabilitasi Remidiasi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 2003. Panduan Praktis Pengelolaan Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar. Makalah Disampaikan dalam lokakarya PPRR-LEMLIT, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ravik Karsidi. 2005. Arah Kebijakan UNS/LPTK dalam Implememtasi Pendidikan Inklusi. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Rekomendasi International Symposium Inclution And Removal Barries To Learning Participation And Development, Bukittingi, Sumatra Barat, di Sumatra Barat
Salim, A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah. 2003. Model Pendidikan Inklusi di Indonesia dan Implementasinya di Propinsi Jawa Tengah. Laporan Seminar Nasional, Surakarta : PPRR, LPPM, UNS.
__________________ 2003. Penanganan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar Model Inklusif. Laporan penelitian tidak di terbitkan. Surakarta : UNS
Skjorten, Miriam. 2001. ”Menuju Inklusi dan Pengayaan (Kumpulan Artikel)”. Tempat penerbit tidak tercantum
Smith, J. David. 2006. Inklusi, Sekolah Ramah Anak (Edisi terjemahan oleh : M. Sugiarmin, MIF. Baihaqi). Bandung: Nuansa
Soebagyo Brotosedjati. 2003. Rintisan Pendidikan Inklusi di Jawa Tengah.. Makalah. Disampaikan Pada Acara Semnar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, Surakarta, di Universitas Sebelas Maret, di Surakarta
Sunardi. 2003. “Pendekatan Inklusif Implikasi Managerialnya” Jurnal Rehabilitasi Remidiasi, 13, 144-153
_______. 2004. Ujicoba Model Rapot dalam Pendidikan Inklusi. Laporan penelitian tidak di terbitkan, UNS, Surakarta
_______. Februari 2008. Pendidikan Inklusif Implementasi di Indonesia, Makalah Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari dalam Rangka Prayudisium Program Studi PLB- FKIP- UNS, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
_______. 2009. Pendidikan Inklusif : Implementasinya di Indonesia. Makalah. Disampaikan Pada Acara Seminar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Unesco, Toolkit. 2007. Merangkul Perbedaan : Perangkat Untuk Menciptakan Lingkungan Inklusif, Ramah Pembelajaran. Unesco