Rabu, 20 April 2016

CARA MELAKUKAN INOVASI DAN PENGEMBANGAN DALAM KURIKULUM (Sebuah Kajian Analisis Model Pengembangan Kurikulum)


MODEL INOVASI DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
 Oleh : Dirgantara Wicaksono

 Mengapa Teori dan Model Pengembangan Kurikulum penting ?
Kajian mendalam mengenai studi kurikulum dewasa ini semakin mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan yang menekuni bidang pengembangan kurikulum, teknologi pendidikan dan administrasi pendidikan. Studi ini dianggap menepati bagian terpenting dalam studi pengembangan kurikulum dan administrasi pendidikan. Hal ini sangat penting untuk di kaji, sebab kurikulum adalah komponen penting dan merupakan alat pendidikan yang sangat vital dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Itu sebabnya, setiap institusi pendidikan, baik formal dan non formal, harus memiliki kurikulum yang sesuai dan serasi, tepat guna dengan kedudukan, fungsi dan peranan serta tujuan lembaga tersebut. Jadi artinya, bermutu atau tidaknya sebuah institusi pendidikan sangat bergantung pada sistem kurikulumnya.Dalam kurikulum nasional, semua program belajar sudah baku, dan siap untuk digunakan oleh pendidik atau guru. Kurikulum yang demikian sering bersifat resmi dan dikenal dengan nama ideal curriculum, yakni kurikulum yang masih berbentuk cita-cita. Kurikulum yang masih berbentuk cita-cita ini masih perlu untuk dikembangkan menjadi kurikulum yang berbentuk pelaksanaan, atau sering di kenal dengan actual curriculumyakni kurikulum yang dilaksanakan oleh pendidik dalam proses belajar mengajar.mengkaji serta menyusun kurikulum, sangatlah tergantung pada asas organisatoris, yakni bentuk penyajian bahan pelajaran atau organisasi kurikulum. Ada tiga pola organisasi kurikulum yang dikenal juga dengan sebutan jenis-jenis kurikulum atau tipe-tipe kurikulum. Selain itu juga, terdapat beberapa model pengembangan kurikulum. Aplikasi dari model pengembangan kurikulum bisa didasarkan pada faktor-faktor konstan, sehingga dasar pemikiran ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis model kurikulum.

TEORI KURIKULUM   
Menurut para ahli, keberadaan teori kurikulum belum mantap atau dengan kata lain belum bisa dibentuk. Meskipun demikian, banyak ahli yang menyumbangkan buah pikirannya agar terbentuk teori kurikulum yang akurat. Karenanya, upaya-upaya ke arah terjadinya suatu teori kurikulum sebagai science  of curriculum terus dikembangkan.
Kesulitan-kesulitan dalam menjadikan teori kurikulum disebabkan berbagai faktor, antara lain karena para ahli, yaitu :
a.       James B. MacDonald, mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum merupakan an historical accident yang berlangsung secara kebetulan, acak dan tidak sistematis. Pemikiran mengenai kurikulum tidak dilakukan secara sistematis berdisarkan apa yang dicapai sebelumnya. Karenanya, pengembangan kuriku­lum mesti didahului dengan pembentukan sistem dan model konseptual yang seterusnya diuji melalw penelitian empiric yang sistematis (Nasution, 1993:175).
b.      Colin Marsh dan Ken Stafford (1984:22-23) menyatakan bahwa: Granted that theory building in the field of curriculum is very difficult, it is worth considering wheather succesful theories have been produced in other fields of endeavor Scientific theories, such as in the physical and biological sciences, have been developed over many decades. Such theories usually contain wriable which systematize or unify research findings from seemingly unrelated phenomena, to generate research hypotheses, to make prediction and to provide explanation.
Dapat dipastikan bahwa membangun teori kurikulum itu merupakan pekerjaan. sulit. Mempertimbangkan yang berarti mengingat teori-teori yang sudah berhasil dibentuk ternyata memerlukan usaha yang keras. Teori-teori ilmu pengetahuan seperti dalam bidang fisika dan biologi telah dikembangkan selama berabad-abad.
Kesimpulan dari pendapat-pendapat di atas adalah terdapat bermacam-macam alasan mengapa sulit membuat teori kurikulum. Pertama, belum terdapat definisi kurikulum yang diterima secara umum. Definisi tersebut mencakup dari hal yang sempit (berupa matapelajaran) sampai yang luas, yakni meliputi sernua kehidupan manusia. Kedua, belum bisa ditentukan dengan jelas mengenai batas-batas materi yang menjadi wilayah penelitiannya. Kembali kepada teori kurikulum, pada dasarnya bukanlah hal yang stabil atau mantap keberadaannya, sebagaimana diungkapkan di muka, namun is selalu berkembang mengikun perkembangan rains dan teknologi.
Seperti halnya dalam mengambil keputusan praktis lainnya, teori dapat dimanfaatkan dalam pengambilan (keputusan praktik (pelaksanaan) sistem kurikulum dan sistem pendidikan yang memang memerlukan sifat elektif. Itu berarti, dalam pengambilan keputusan praktis kurikulum maupun pendidikan harus didasarkan pada pengembangan beberapa teori kurikulum dari berbagai airan (misalnya: humanisme, subjek akademik, rekonstruksi sosial, teknologi, dan lain-lain) unutk menciptakan suatu keputusan yang relevan daimana keputusan kurikulum tersebut akan diaplikasikan. Aspirasi serupa inilah yang sering digunakan oleh para praktisi Beauchamp (1985: 5) mengatakan bahwa pendidikan itu, bersama dengan architecture, engineering, law and medicine, merupakan pengetahuan terapan (an applied area) dengan melihat pembentukan bidang-bidang tersebut termasuk dalam humanities, social sciences, dan natural science. Dalam teori pendidikan, terdapat suatu sub bagian yang disebut teori kurikulum tersbut.Semua teori kurikulum mementingkan dasar-dasar yang sistmatik untuk menghadapi berbagai problem praktik. Dalam beberapa kasus, data empiris (contoh data observasi mengenai tingkah laku) akan membantu, namun pada hal-hal yang lain tidak akan membantu (contoh tidak mampu mengobservasi pikiran kritis). Terdapat berbagai kesulitan dalam pengembangan konsep-konsep data prinsip-prinsip yang tepat, karena hal itu menyangkut teori-teori yang tepat dan teori-teor yang sedikit telah dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan peringkat (level) teori kurikiulum menjadi tidak lengkap dan belum mantap (immature).Namun, ada beberapa sub teori dalam teori kurikulum yang pada gilirannya dapat memberi prinsip-prinsip penting, termasuk desain kurikulum, implementasi, pengajaran dan evaluasi. Sebagaimana terlihat pada gambar 3 bahwa sub teori-sub teori tersebut memberikan kontribusi terhadap suatu teori kurikulum yang mana teori itu sendiri merupakan subteori dari teori pendidikan.
Selama tahun 1960-an, banyak penulis memilih teori-teori pengajaran sebagai perhatian khusus. Penulis seperti Mac Donald and Leeper (1965), Braner (1966), dan Gordon (1968) mengembangkan teori-teori yang memberikan petunjuk untuk kondisi-kondisi yang meyakinkan bagi anak didik dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Sebagai peninjau kembali, hal ini mungkin menjadi penting dalam memfokuskan perhatian terhadap aktivitas-aktivitas belajar tertentu yang memerlukan tujuan-tujuan tertentu, tetapi jika, sebagaimana dianjurkan Snecbecker (1974: 226), teori-teori ini berdasarkan asumsi bahwa mereka sangat netral dalam hubungannya dengan pemilihan tujuan-tujuan, maka nilai-nilai mereka akan menjadi problema.
Telah dikemukakan bahwa teori kurikuljum mencakup lebih dari pengajaran semata, karena ia diarakan kepada dua elemen, yakin perencanaan dan implementasi. Pendidik tidak hanya mengajar, namun bertindak berdasarkan prioritas-prioritas tertentu yang telah mereka rencanakan baik secara eksplisit maupun  implisit dengan mendahulukan even pengajaran. Kemudian, diungkapkan pula bahwa para pendidik menyertai nilai-nilai baik secara eksplisit maupun implisit dalam materi atau bahan yang merek seleksi serta dalam metode yang mereka gunakan untuk mengajar dalam kelas. Oleh karena itu, suatu teori kurikulm yang komprehensif harus memberikan petunjuk-petunjuk dan kriteria tertentu.
Suatu teori juga harus memberikan petunjuk kepada para pendidik, yang menemukan empat pertanyaan berikut :
a)    What should it be doing in my classroom?
b)    Who should be involved, apart from me, in planning?
c)    How should the curriculum be implemented?
d)    How should it be evaluated?
Apa itu Penteorian Kurikulum (Curriculum Theorizing) ?
Banyak ahli yang sangat pesimis terhadap upaya-upaya sebelumnya dalam menghasilan teori-teori kurikulum (sebagai contoh Kliebard, 1977; Vallance, 1982; Tripp, 1984; Cherryholms, 1985).
Vallance (1982) mengatakan bahwa “our endeavors at theorizing (usaha melakukan teorisasi) adalah: the process of th identifying important variables operating within school situations have meet with a far greater level of success”. Beberapa ahi telah menghasilkan model-model untuk mengikutsertakan berbaai hubungan ruang kelas secara khusus. Schubbert et. al. (1984) mengatakan bahwa: theorizing is thoughfuless that gives maning and direction to experience” Schubbert et. al. (1984: 70).
Alasan untuk konsentrasi pada theorizing ketimbang penciptaan teori-teori aktual adalah ia mengatasi hampir semua dilema yang berhubungan dengan teori-praktik dictionary. Segala kritik masa lalu telah menempatkan teori sebagai non-practice­ atau impractical. Namun sedikit dari mereka yang mengingkari bahwa theorizing merupakan sesuatu yang khas yang dilaksanakan para pendidik dan praktisi pendidikan. Tak dapat disangkal bahwa tipe refleksi dan analisis aktivitas-aktivitas kurikulum agak bervariasi di antara dua kelompok tersebut, tetapi hal itu merupakan catatan yang bernilai bahwa semua theoriser memerhatikan pengertian bentuk-bentuk kurikulum, mencari asumsu-asumsi pokok, dan pengusulan faktor-faktor tentatif.

A.   Pertanyaan Epistemologi: Pengetahuan Apa yang Paling Bernilai dalam pengembangan kurikulum?
Berbagai asumsi utama yang diungkapkan para pembuat teori kurikulum (curriculum theorizer) adalah berbagai pertanyaan epistemologi mengenai pengetahuan apa yang diseleksi untuk isi kurikulum dan mengapa bisa seperti itu. Terdapat pertanyaan-pertanyaan serupa yang telah dilontarkan para pendidik selama beberapa abad. Mungkin tidak penting mengkhususkan isi secara khusus, namun yang penting adalah petunjuk-petunjuk dapat dibangun dan dibenarkan mengenai prinsip-prinsip umum penyeleksian.Para pemikir (philosopers) secara konstan berpendapat tentang pentingnya jenis-jenis ilmu pengetahuan, termasuk proposisi, praktisi dan presentasi. Sedikit yang akan membantah bahwa anak didik memerlukan contoh pengalaman yang baik, khususnya knowing that (proposisi) dan knowing how to (praktis). Pengetahuan dapat dipertimbangkan dalam bentuk kebenaran yang universal dan dalam bentuk pernyataan pengetahuan individu.Kedua elemen tersebut sangat penting dalam menyeleksi isi kurikulum, meskipun hal itu dapat diargumentasikan bahwa sekolah-sekolah  begitu lama menekankan dimensi yang universal pada pengembangan individu. Kemudian, menjadi mungkin untuk mempertimbangkan pengetahuan dalam bentuk pengelompokan mata pelajaran atau sebagai keinginan pikiran yang berbeda, atau informasi yang mengaplikasikan situasi-situasi keduniaan.


Kinds of Knowledge
1.            Propositional “knowing that” (Plato/Scheffler)
2.            Practical “knowing how to” (Ryle)
3.            Interrelationship between 1 and 2
4.            Direct/Presentational/Intuitive “knowing percent, a pain or a work of art”.
Level of knowledge
1.            Universal
2.            Personal
Grouping of knowledge
1.            Kwowledge grouped for pedagogic purpose into the natural sciences, the social sciences, mathematics and the humalities.
2.            Knowledge grouped according to modes of thought including the analytic, empirical the aesthetic, and the moral.
3.            Knowledge grouped according problems in the world of human affairs.

Banyak pendidik yang telah menemukan berbagai petunjuk tentang pengetahuan kurikulum yang tepat. Sebagai contoh: R.S Peters berpendapat bahwa terdapat berbagai tradisi di budaya Barat ehingga pengetahuan harus diseleksi yang memiliki ide-ide dan objek penting yang telah dihasilkan manusia. Hal yang sama juga dilakukan P.H Hirst, dengan pengecualian bahwa ia mengklasifikasikan prestasi-prestasi manusia dekake yang lalu dengan membagikannya ke dalam delapan bentuk pengetahuan yang ia namakan: Mathematics, Physical Science, Human Science, History Religion, Literature, dan Fine Arts, Philosophy dan Moral Knowledge. Ahli lain, seperti Dewey, menekankan perlunya penyeleksian pengetahuan agar bisa menjadi milik anak didik. Mereka merupakan pemakai terakhir, sehingga individu-individuharus dapat menyeleksi pengetahuan yang akan memberikan pemuasan pengalaman secara personal kepada anak didik.Namun, ada juga perspektif lain dalam pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan. Selama tahun 1960-an di United Kingdom (UK), Inggris, sosiolog seperti M.F.D Young (1971) mulai menanyakan status pengetahuan sekolah, dengan mengargumenkan bahwa pengetahuan adalah social construct  dan kriteria truth  merupakan hal yang relatif secara keseluruhan terhadap konteks sosial di mana mereka dilokasikan.Para ahli telah membangun pola pengembangan ini untuk mengargumenkan bahwa berbagai kelompok yang dominan dalam masyarakat menghasilkan kurikulum yang sangat cocok dengan minat-minat mereka, dan bahwa kurikulum tidak dapat dibenarkan pada suatu dasar logis dan universal. Sebagai hasilnya, berbagai mata pelajaran baru dikembangkan di Open University dan publikasi dilakukan oleh akademis sosiolog terkemuka di United Kingdom, Inggris. Pengetahuan sosiologi ini pun memiliki pendekatan yang menarik banyak pendukung pada tahun 1970-an. Para ahli telah mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa semua pengetahuan merupakan konstruki sosial. Ahli yang lain, seperti Tyler (1979) berpendapat bahwa eksponen pengetahuan sosiologi, dan khususnya pengikut neo-marxis, telah mengonsentrasikan telalu banyak pada aspek-aspek inequity (ketidakadilan) daripada pengabdian nilai-nilai dan adat istiadat melalui kurikulum sekolah (sebagai contoh, eksploitas ekonomi dan penindasan kelas).

B.   Klasifikasi “Theories” dan “Theorizing”
Sebagaimana diterangkan di atas, terdapat banyak problem pokok dalam menciptakan teori-teori kurikulum, dan banyak yang berpendapat bahwa kita masih harus menghasilkan suatu teori kurikulum yang akurat dan dapat digunakan terus menerus. Tetapi, jika kita menggunakan kriteria bahwa suatu teori kuriku­lum, bersama dengan teori-teori yang lain, harus berisi petunjuk-petunjuk dan uraian elemen-elemen, maka dapat diargumentasikan bahwa terdapat sejumlah contoh teori-teori kurikulum.
B. F. Skinner mempunyai teori operant conditioning dan diusulkan sebagai suatu teori belajar pada tahun 1953. Akhirnya, dia mengaplikasikan teorinya dengan lebih langsung melakukan pengajaran di luar keras. Tetapi, teori itu masih menyisakan tan­tangan yang lain dalam mengaplikasikan teori Skinner ke dalam suatu area kurikulum yang lebih spesifik, seperti yang dilakukan Becker Engelmenn dan Thomas (1945).
Proses peneorian lain yang diusahakan oleh pekerja kuriku­lum dan spesialis yang bekerja pada bidang kurikulum menun­jukkan suatu spektrum keseluruhan yang menampakkan berbagai spesialisasi intuisi belaka dalam mendekati teori-teori. Hal itu tergambar pada bidang-bidang, seperti: 11mu. Psikoterapi, Sosiologi, Filsafat, Ekonomi dan Manajemen. Sebagian dari usaha-usaha ter­sebut menunjukkan suatu usaha keras dari individu-individu (contoh, Carl Rogers dan Paul Hirst), sementara yang lain me­nunjukkan usaha-usaha keras terhadap banyak individu dan ke­lompok (sebagai contoh unit teknologi pendidikan di USA dan UK).

1.    Skema Lain Klasifikasi
Skema klasifikasi digunakan untuk mempertahankan berbagai bagian berdasarkan dua kategori yang telah ada, yakni structured,/ controlled dan person-centered. Kategori pertama, structured/controlled category, dipilih untuk mencontohkan tingkatan dari proses peneorian yang terfokus pada perencanaan yang rasional, terfokus pada struktur, dan juga pada cara- cara pengawasan atau pengontrolan hasil (outcomes), selain juga melakukan pengontrolan sekolah secara umum. Yang termasuk dalam kategori ini adalah dua teori yang dikembangkan Taba dan Skinner.
Kategori kedua adalah the person-centered category yang memiliki penekanan atau perhatian pada lmgkungan sekolah. Upaya yang dilakukan kategori ini adalah membongkar seluk-beluk asumsi yang belum diuji mengenai persekolahan. Proposal dibuat demi kesadaran, harapan, dan kemungkinan yang akan dihadapi anak didik. Termasuk dalam kategori ini adalah contoh-contoh theorising yang dilakukan oleh Carl Rogers dan Wifliam. Pinar. Pada periode tahun 1950-an dan 1960-an, Carl Rogers dan koleganya mengembangkan pendekatan selj-'directed learning. Sedangkan konsep Pinar mengungkapkan suatu contoh kontemporer tentang self actualization anak didik dengan penekanannya pada self reflection dan aktivitas otobiografi.

2.    Contoh: Structured/Controlled Category
a.    Teori Hilda Taba
Teori induktif yang dikembangkan Hilda Taba cenderung memfokuskan pada proses berpikir, namun proyek pengembangar, kurikulum berikutnya telah menekankan suatu disiplin yang solid (Durkin et. al., 1997). Teori Taba merupakan salah satu teori (dari beberapa teori) yang telah terkonseptualkan secara penuh dalair, bentuk deskriptif dengan cara membenarkan penggunaan teori kurikulum.
Sebagai graduate student, Hilda Taba belajar di bawah bimbingan Ralp Tyler di Universitas Chicago, dan kemudian bekeria dengannya dalam beberapa bidang studi evaluasi termasuk pada Eight Year Study. Untuk beberapa tahun, dia mengajar di San Fransisco State University, dan kapasitasnya, sebagai dosen (lecturer) dan teacher menjadikan dirinya menjadi sangat terlibat dalam berbagai aktivitas pelayanan dengan pendidik di Contra Costa, suatu sekolah yang ada di wilayah San Fransisco.
Teorinya merefleksikan pengalaman-pengalaman praktik yang la perlukan ketika bekerja dengan para pendidik dan la juga mendapatkan berbagai teknik yang muncul dari pengalaman mengajar tersebut, serta beberapa prinsip spesifik mengenai proses berpikir yang dia kembangkan dari para ahli teori belajar kontemporer dan juga dari para ahli psikologi perkembangan. Bukunya tentang teori kurikulum dipublikasikan pertama kali dalam suatu volume cetakan yang begitu besar, yakni Curriculum Development.• Theory and Practice pada tahun 1962 dan selanjutnya: Teaching Strategic and Cognitive Functioning in Elementary School Children (1996) serta Teacher's Handbook for Elementary Social Studies (1967).

-          Prosesl Fase
Model proses ala Taba adalah berdasarkan model Tyler, tetapi is memasukkan beberapa pengembangan tertentu pada fase-fase pokok. Suatu hal yang paling penting dari modelnya adalah fase diagnosis (diagnosis stage) yang teriadi secara bebas untuk membentuk tujuan (objectives); pengembangan strategi­strategi kognitif secara khusus, dan pengembangan yang efektif serta penggunaan berbagai pendekatan untuk mengevaluasi pengembangan dan pertumbuhan keterampilan-keterampilan berpikir anak didik (dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini).

-          Teacher's role
Peran pendidik atau guru dalam pendekatan Taba adalah sebagai inisiator atau questioner, oner, tetapi dalam suatu dukungan tindakan yang berorientasikan lingkungan. Terserah kepada pendidik dalam memulai tugas, apakah memulai dengan menyeleksi berbagai generalisasi yang penting sebagai fokus atau dengan menggunakan bidang isi yang lugs atau topik dari generalisasi-generalisasi yang akan dimunculkan secara alamiah. Pendidik mendiagnosis situasi awal dalam membuka pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi.

-          Classroom Climate
Dasar pendekatan Taba adalah supportive dan co-operative di ruangan kelas yang mana anak didik dan pendidik dapat mengekspresikan ide-ide dan opini mereka tanpa ada rasa khawatir mendapatkan bahan tertawaan/ejekan. Dengan demikian, pendidik/guru bertindak sebagai inisiator dalam Ease-Ease atau susunan-susunan, sedangkan anak didik mungkin dipecah ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengambil alih inisiatif-inisiatif setelah mereka memahami prosedur-prosedur yang ada.

-          Curriculum Development Examples
Kurikulum untuk social studies yang utama, yakm K-8 Social Studies Curriculum, dikembangkan oleh Taba dan telah digunakan selama tahun 1960-an dan 1970-an yang berjudul: Taba Program in Social Science Grades 1-7 Program tersebut mencakup sebelas konsep yang diproses dari bidang-bidang ilmu sosial, meskipun penekanannya pada keterampilan pengembangan pemikiran ketimbang pada pengembangan isi.

b.    Teori Skinner
Skinner berpendapat bahwa metode pengaturan langsung reinforcement secara positif harus digunakan di sekolah. Anak didik tidak boleti belajar secara simpel dengan hanya memenuhi pengalaman saja. Lingkungan luar perlu juga dieter secara teliti agar anak didik menjadi responsif dengan berbagai pekerjaan dan konsekuensi yang akan mereka kontrol dengan hati-hati. Hal ini dapat dan harus dilakukan dengan prosedur reinforce­ment yang tepat.
Teori Skinner didasarkan pada empat dasar asumsi, dan asumsi tersebut perlu dipertimbangkan ketika mengembang­kan kurikulum yang akurat. Yang pertama, karena semua tingkah laku ditujukan kepada variabel-variabel yang efektif dalam menghasilkan tujuan-tujuan yang ia targetkan. Kedua, karena tingkah laku dapat diobservasi dan diidentifikasi, sehingga pendidik pun bisa berkonsentrasi pada observasi dan pengakuan anak didik. Dari sana kemudian, pendidik mampu mengatasi setiap masalah utama yang dihadapi anak didik. Ketiga, anak didik juga akan merespons dengan care-care yang unik terhadap stimuli yang same.
Untuk selanjutnya, bantuan (dari seorang pendidik) harus dibuat dengan tingkatan yang berbeda rnenurt:' perkembangannya. Keempat, tingkah  laku anak didik dapa-, diubah oleh bentuk reinforcement meskipun tingkah laku masa lalu mereka mungkin mengalami perbedaan. Pendidik harus fokus pada setiap hubungan fungsional yang terjadi antara anak didik dan lingkungan mereka.

-          Process/leases
Fase terakhir dalam perencanaan kurikulum adalah mem­berikan kesempatan kepada umpan batik pads situasi ruangan kelas secara aktual. Data perlu dikoleksi, apakah semua respons dicapai oleh anak didik sebagaimana yang dimaksudkan atau tidak- jika mereka tidak mencapainya, defisiensi pun terbentang dalam teknik pelayanannya, dan menjadi sangat penting untuk memperbaiki contoh-contoh stimulus dan reinforcer.
Karena fase perencanaannya jelas, fase-fase implementasi aktual dilengkapi dalam pendekatan Skinner yang bisa kerangkakan berikut ini:
1.     Present a stimulus;
2.     Observe or model a response (optimal);
3.     Provide practice in responding to the stimulus;
4.     Reinforce appropriate responses as immediately as possible. Goyce & Well, 1980: 336).

-          Teacher's Role dan Classroom Climate
Pendidik yang melaksanakan atau mengaplikasikan pendekatan Skinner harus menjadi seorang ahli perencana dan seseorang yang dipersiapkan untuk melaksanakan struktur ruangan kelas dengan sangat memuaskan. Meskipun seorang pendidik boleh menggunakan beberapa mater yang dipersiap­kan secara komersial, namun dia masih mempunyai persiapan berdasarkan pertimbangan melalui susunan seperti yang terlihat pada Label 6 di atas. jika alat bantu dan perlengkapan komputer tersedia, pendidik punya kesempatan membimbing anak didik yang lebih besar jumlahnya dan efisien dalam waktu mengajar sehingga dapat digunakan pada  suatu periode dengan kelom­pok tutorial kecil. Kesimpulannya, tugas guru/pendidik a" A memberi kepastian bahwa stimulasi yang direncanakan sedang dipresentasikan dan bahwa the reinforcer diberikan kapan dan di mana hat itu dianggap tepat.
Anak didik dalam lingkungan ini pun diatur sesuai de­ngan bentuk-bentuk reinforcer baik yang, negatif maupun positif. Dalam kebudayaan kasus, mereka mungkin akan bekerja pads tugas-tugas individu, khususnya jika materinya merupakan pro­gram berdasarkan komputer atau program tekstual. Mereka akan sadar bahwa tingkah laku yang tidak tepat tidak akan diberi penghargaan (rewards, reinforcer) oleh pendidik atau guru mereka.

-          Curriculum Development Examples
Teks-teks program dan pengajaran dengan menggunakan mesin banyak dikembangkan oleh berbagai perusahaan selama tahun 1950-an. Meskipun hal itu masih digunakan di ruangan kelas, peningkatan atau perkembangan komputer canggih balk hardware maupun software telah mampu membuat suatu produk yang sangat membantu kepentingan pengajaran balk untuk anak didik pada tingkat dasar maupun menengah. Bibliografi secara besar-besaran yang dikembangkan oleh pro­gram Computer Assisted Instruction (CAI) sekarang telah tersedia.
Selanjutnya banyak program kurikulum utama yang telah dikembangkan berdasarkan teori Skinner. Dalam beberapa contoh, program tersebut dikembangkan untuk anak didik de­ngan pelajaran yang spesifik dan anak didik yang tidak normal secara fisik. Program serupa juga telah dicoba secara luas, dievaluasi dan disetujui dengan keberhasilan yang memuaskan, seperti program pengajaran yang dikembangkan W.C. Becker, S. Engelmann, dan Dr. Thomas dalam buku A Modular Revi­sion of Teaching.

-          Evaluation of The Theory
Teori Skinner  berisi serangkaian artikulasi yang balk dan proposisinya berdasarkan konsep-konsep reinforcement dan op­erant conditioning. Skinner dan teman-temannya berhasil me­ngembangkan teknik bahasa yang balk dengan begitu luas dan efisien dalam menjelaskan struktur-struktur dan proses-proses yang dilibatkan dalam implementasi teorinya tersebut.
Teori Skinner pun disebarkan oleh para pendidik secara besar-besaran pada masyarakat umum. Teori tersebut menjelas‑kan salah sate aema yang dihadapi manusia saat ini, yakni konflik antara teknologi dan alam (Milhollan dan Forisha, 1972).

3.    Person-Centered Category
a.    Teorisasi Carl Rogers
Carl Rogers mengembangkan pendekatannya setelah bekerja praktik dengan para individu (klien) diberbagai klinik sehingga ia mengklaim (seperti halnya Taba) bahwa hidup prinsip-prinsipnya telah diuji diberbagai situasi praktik. Pendekatannya tertumpu pada self directed learning yang pertama kali dijelaskan pada bukunya Client-Centered Therapy (1951) dan kemudian di Freedom to Learn (1969). Orientasi Rogers diklasifikasikan sebagai pendekatan kurikulum, dan publikasi-publikasi yang dilakukannya selama lebih dari setahun memberikan perhitungan dan pertimbangan yang mendalam dan total terhadap elemen-elemen perencanaan dan jaringan yang diperlukan untuk mengimplementasikan pendekatannya di ruang kelas. Secara mendetail, hal akan diungkapkan dalam bagian berikut ini :

1)    Major goals/Frame of Reference
Rogers membuat asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas dan unik, serta dapat membuat pilihan-pilihan dalam setiap situasi. Ia mengungkapkan bahwa kesadaran manusia merupakan suatu pribadi yang esensial,sedangkan kehidupan  dunia internal dan tingkah laku menusia merupakan ekspresi terhadap fungsi-fungsi internal yang dapat diobservasi.  Didalam lingkungan sekolah, terdapat berbagai fasilitas yang menempatkan :
a.    Pengembangan akal individu dalam realitas
b.    Kekuatan-kekuatan internal yang menyebabkan individu bisa bertindak
c.    Pengembangan konsep pribadi (self concept) individu itu sendiri (Millholm & Forisha, 1972: 98)
Berbagai aktivitas tersebut dikembangkan lagi ke dalam sembilan prinsip dan kemudian dengan bersama-sama mereka menggambarkan tujuan pendekatannya untuk mengembangkan fungsi seseorang secara penuh yang berimplikasipada proses kurikulum. Tetapi, problem utama perencanaan proses kurikulum adalah tidak mungkin bisa memprediksi pengembangan pengalaman belajar yang diperlukan oleh sekelompok anak didik atau tingkah laku yang akan mereka tunjukkan. Rogers menjamin bahwa tindakan anak didik akan menjadi sah menurut peraturan, sehingga tidak banyak memberikan bantuan untuk tugas-tugas perencanaan.

2)    Process/Phrases, Teacher’s Role, Classroom Climate
Dalam pendekatan Rogers, tidaklah mungkin menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang proses pengembangan tradisional, yakni apa yang akan diajarkan atau apa yang sesungguhnya ingin diketahui oleh anak didik ? proses-proses atau fase-fase kurikulum merupakan hal yang sangat sulit didefinisikan, namun sangatlah mungkin untuk memisahkan pengembangan dengan suatu keadaan fase-fase yang diyakini dan suatu penempatan fase-fase individu atau kelompok.
Fase pertama, mencakup pendidik/guru dan anak didik dalam upaya mengembangkan kondisi ruang kelas yang meyakinkan dan penuh keterbukaan. Rogers (1958) mengisyaratkan bahwa hal ini dapat dilakukan dengan menempatka sejumlah pertanyaan pada pendidik, yang meliputi :
“Can I be in some way which will be perceived by the other person as trustworthy...dependently real ? And I let myself enter fully into the world of his feeling and personal meaning ? Can I act with sufficient sensitivy in the relationship that my behavior will not be spesified as a threat (Ibid: 7)”
Dalam sebuah bukunya, Rogers (1969) berkata bahwa menjadi sangat spesifik menelaah bagaimana pendidik dan anak didik mengembangkan disposisi-disposisi tersebut. Sebagai contoh, Rogers berkata bahwa dengan mengikuti sebuah workshop yang dilaksanakan jauh dari sekolah selama seminggu akan menjadi hal yang sangat penting bagi para pendidik dan tenaga administratif. Selama sekian waktu, mereka akan saling mengenal satu sama lain dan berkesempatan untuk mengeluarkan perasaan-perasaan positif mereka.
Efeknya, menurut Rogers, adalah membuat tingkat toleransi antar pendidik dan tenaga administrasi menjadi lebih tinggi. Begitu juga dengan peningkatan empati dan penerimaan terhadap anak didik mereka. Rogers juga berpendapat bahwa menghadapi bahwa sekelopok anak didik dikelas dan juga peristiwa penting semacam itu mungkin perlu dasar-dasar pemikiran di sekolah ketimbang diluarnya. Rogers mempertahankan bahwa sekelompok sesi pelajaran yang dihadapi anak didik dapat memberikan hasil-hasil yang sangat membantu.
Weil, Joyce, dan Kluwin (1978) berhasil mengembangkan pengaturan terhadap iklim ruangan kelas yang baik dengan menggunakan pendekatan Rogers. Mereka membatasi melakukan interview secara tidak langsung, dan mengembangkan seri face to face, yakni antara guru dan anak didik saling berhadap-hadapan dalam mengembangkan keyakinan/kepercayaan serta menjalin keterbukaan. Para ahli tersebut mengatakan bahwa interview tidak langsung menjadikan anak didik memiliki sesuatu perasaan kesadaran (chatarsis) untuk mendapatkan berbagai pengertian dari guru dan mengintegrasikannya ke dalam suatu orientasi personal baru.
Pada fase kedua proses kurikulum, para pendidik terlibat dalam menentukan tempat individu dan gaya bekerja mereka berdasarkan rencna-rencana mereka sendiri. Satu hal yang dapat pendidik lakukan adalah mengoleksi dan memiliki sumber-sumber materi yang mungkin bisa membantu individu anak didik.
Peran seorang pendidik adalah dengan rendah hati memberikan informasi yang diperlukan anak didik, tetapi bukan program-program awal atau membuat penilaian tentang anak didik atau perilaku mereka. Weil, Joyce dan Kluwin berpendapat bahwa anak didik perlu melakukan perjanjian (contracts) yang disetujui oleh pendidik dan anak didik sendiri untuk melakukan studi independen, yang merupakan hasil metode implementasi pendekatan Rogers dalam kaitannya dengan jadwal sekolah. 

3)    Curriculum Development Examples
Satu yang perlu diperhatikan dari pendekatan kurikulum adalah jumlah dan tingkat materi kurikulum yang dihasilkan berdasarkan materi tersebut. Pendekatan Rogers, dengan penekanannya pada student-initiated learning, tidak kondusif dengan hal itu, dan fakta menunjukan bahwa hal itu antitesis terhadap penyebaran produksi paket-paket mengajar. Jika administrasi dan norma-norma pelaksanaan di sekolah primary dan secondary tidak leluasa dilakukan, hal ini akan membuat peserta didik sulit mengembangkan dan mengimplementasikan aktivitas-aktivitas kelas berdasarkan pendekatan Rogers.
Namun, ada bukti dimana sekolah mau mengaplikasikan prinsip-prinsip Rogers. Hal ini bisa dilihat di berbagai daerah di Australia, dimana ada sekolah-sekolah alternatif yang mengembangkan prinsip Rogers, seperti Shcools without Walls di Canberra atau Kids Shcool in Perth.
Bukti adanya modifikasi peneorian (theorizing) yang dilakukan Rogers bisa dilihat sejumlah proyek ternama, seperti Man A Course of Study (MACOS), yang berusaha menganalisis pertanyaan-pertanyaan : What is human about human being ? sejumlah unti proyek materi pendidikan sosial, seperti dalam lingkungan keluarga, juga memakai prinsip-prinsip Rogers yang telah dimodifikasi. Begitu juga dengan peningkatan secara bertahap dalam penelitian orientasi materi yang dipakai dalam student project dan student contracts yang merefleksikan beberpa aspek dari pendekatan Rogers.
4)    Evaluation
Meskipun Rogers dan teorinya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai kebebasan dan eksplorasi langsung itu sendiri dalam kepustakaan kurikulum, namun pendekatannya sangatlah filosofis. Tentu saja benar bahwa Rogers tidak berusaha menghubungkan konsepnya mengenai self initiated dengan apa yang diucapkan pada masa lalu oleh John Deweyatau seperti yang dikembangkan para perencana kurikulum (seperti Dilton Plan, Winnetka Plan). Pendekatan Rogers menurut Refers (1975) tidak lengkap, karena pndekatan itu mengabaikan nilai-nilai filosofi utama, seperti keyakinan atau kepercayaan dan moralitas.
Kliebart (1974: 178) menyerang pendekatan itu, karena Rogers menggunakan bentuk terminologi fasilisator dan teaching dengan begitu luas. Dengan mendefinisikan teaching sebagai bagian dari pengetahuan dan keterampilan. Rogers mengembangkan straw-mean sehingga dia kemudian mencakupkan banyak aktivitas lain yang menjadi bagian dari pemindahan suatu peranan hubungan yang sebenarnya tidak akan lebih baik dibandingkan penggunaan terminologi teacher. Selain itu,  ia juga menjadi antitesis dengan tesisnya tentang hubungan pribadi yang dekat di antara individu-individu yang mungki tidak berdasarkan atau tergantung pada suatu peranan hubungan.
b.    Pendekatan Teorisasi William Pinar
William pinar sangat dipengaruhi oleh para ahli seperti Klohr, MacDonald, Grene, dan Heubner dalam studi akademiknya di Ohio State University pada akhir 1960-an. Pinar tertarik dengan berbagai pendekatan kurikulum, yakni pendekatan psikoanalitis dan fenomenologi. Dia adalah seorang penggerak yang kuat dalam mengadakan berbagai konferensi tahunan bagi para conceptualists, khususnya bagi para curriculum theorists, yang pertama kalinya dilaksanakan di Rochester, USA, tahun 1973.
Pada tahun 1979, ia mendirikn sebuah jurnal yang mendorng para penulis untuk menulis dibidang reconceptualization, yang bernama Journal of Currulum Theorizing. Pinar juga menulis dan mengedit beberapa buku cukup terkenal, termasuk Heightened Consciousness, Cultural Revolution and Curriculum Theory (1974), dan telah mempublikasikan artikel-artikel yang terkenal di jurnal-jurnal kurikulum utama disepanjang tahun 1980-an.
1)    Major Goal/Frame of Reference
Pada dasarnya, Pinar melaksanakan eksperimennya berdasarkan prinsip kehidupan. Ia menganjurkan agar semua komponen pendidikan (pendidik dan anak didik) mengusahakan dialektika internal (Pinar, 1980). Yakni, seorang merespons suatu ide, sebuah teks, terhadap orang lain. Cara kita merespons akan membuat kita mengerti, mengembangkan serta mentransformasikan perasaan dan pikiran kita. Melalui pengalaman hidup dan refleksi dialektika, kita dapat mengembangkan kualitas kehidupan dan kehidupan orang lain.
Pinar mengkritik konsep kurikulum desain dalam aspek pengalaman pendidikan untu orang lain. Ia berpendapat bahwa :
“One can not product human response, expect in trivial matters an in artificially circumscribed circumstances, as necessary for experiments. Classroom, with certainly artificially limited, are not sufficiently limited for teacher to known with much certainly thr response his or her lesson will receive“ (Pinar, 1980: 75)
Oleh karena itu, Pinar tidak memberikan tujuan-tujuan spesifik terhadap suatu aktivitas kurikulum. Ia menganggap bahwa perencanaan sedapat mungkin harus dijaga dari kepentingan individu, sehingga tujuan-tujuan spesifik tersebut tidak tergambar atau terpengaruh oleh kepentingan individu dalam aktivitas tersebut.
Walaupun demikian, Pinar sebenanarnya sudah memberikan tujuan-tujuan umum, dan hal ini akan memberi kita pengertian akan berbagai eferensi pribadinya, yakni :
a.    Yang paling penting dan utama dari seorang pendidik adalah mampu menganalisis dan merefleksikan bias-bias mereka sendiri. Dengan demikian, pendidik harus mampu menilai diri sendiri dan berperilaku yang baik sebelum memasuki dunia kehidupan anak didik.
b.    Para pendidik rekonseptual saat berhadapan dengan anak didik harus menggambarkan kejernihan sifat, harus kreatif dan jujur.
  
2)    Process/Phases
Pinar tidak memberikan langkah-langkah dalam perencanaan kurikulum, karena ia beragumen bahwa tidaklah mungkin mendesain suatu kurikulum untuk yang lain. Tetapi, ia juga menyadari bahwa adakalanya individu juga ingin memulai dan menjalani pengalaman-pengalaman hidup mereka sendiri dengan menggunakan terminologi currere. Dalam hal ini, dia menguraikan empat fase yang mungkin diawali dengan individu anak didik dan para pendidik.
-          Step 1: One returns t the past, brackets one’s past experience in school, and brings that remembrance of the past to an understanding of the present.
-          Step 2: One imagine the future, perhaps one’s future intellectual interest or career.
-          Step 3: One considers the prensent the ideas, interest, people, and setting and constitute the prensent.
-          Step 4: One attempts to integrate the self knowledge that has been gathered. Mind, emotions, behavior and body are integrated into a more meaningful whole” (Pinar & Grunner, 1976: 51-63)
Dalam memberikan contoh untuk currere, Pinar (1980) berharap anak didik mulai membaca buku-buku yang ia anggap menarik dalam beberapa hal. Tujuannya adalah untuk memberikan teks kepada diri sendiri namun tudak untuk diinterprestasikan. Anak didik merekam bagian-bagian yang menarik, dan pendidik melewati bagian-bagian yang dicatat oleh anak didik dan mendikusikan tema-tema yang direpresentasikan olehnya.
Kemudian, anak didik mempelajari tiap tema sampai bagian-bagian tersebut diidentifikasi. Selanjutnya, anak didik menulis catatan pendek sebagai tambahan bagi kondisi autobiografinya sendiri. Pendidik dan anak didik kemudian membandingkan bagian-bagian teks itu dengan bagian autobiografinya serta mengadakan diskusi sehingga bisa menemukan dan menganalisis sebagai pengalaman untuk mendapatkan transformasi dari knower dan known.

3)    Teacher’s Role and Classroom Climate
Pinar hanya sedikit membahas tentang peran guru atau pendidik, kecuali yang ada kaitannya dengan hal diatas, bahwa pendidik harus menunjukkan diri mereka sendiri dalam suatu analisis  histori biografi yang sama dengan saat pendidik mempromosikan dirinya dihadapan anak didik. Setiap anak didik harus merefleksikan pengalaman-pengalaman hidupnya meski harus mengakui bahwa pengalaman itu tidak menjamin kesuksesan atau sesuatu yang menyenangkan. Pendidik juga harus mendorong anak didik untuk menggunakan imajinasi mereka sebagai sesuatu yang berharga dalam menumbuhkan perasaan emosional. Selain itu, mereka juga perlu menghadapi trauma-trauma pribadi dan memperkaya kepuasan hidup mereka (Feinberg, 1985: 87-88)
Diberbagai tulisannya, Pinar menulis tentang tipe-tipe iklim ruangan kelas yang tidak ia sukai. Ia berkata bahwa keburukan psikis telah terjadi di berbagai ruang kelas hal yang buruk itu adalah :
-          Hyperthropy of fantasy life a child may retreat into day dreaming to save himself/herself,
-          Criticism by other and the loss ofthe it-love,
-          Estrangement from self and its effect upon the process of individuation schooling “numbs children to their own experimence”,
-          Atrophy of capacity to precise aesthetically and seriously dreamers and over-rationalized reality of schoolingg limit aesthetic and sensuous sensibility (Pinar, 1975: 359-283)
Dengan konteks sendiri, Pinar (1982) mengungkapkan bahwa caring (kepedulian) adalah bagian yang paling relevan dalam iklim ruang kelas. Ia berkata bahwa pendidik yang peduli bisa menerima terhadap yang lain. Dengan menggunakan tatap muka, para pendidik dapat mendemonstrasikan kepada anak didik bahwa mereka peduli terhadap anak didik.
Dengan tindakan-tindakan mereka, pendidik dapat berkomunikasi terhadap anak didik dan itu merupakan hal yang jauh ebih penting dari materi pelajaran yang mereka ajarkan. Kepedulian merupakan sesuatu yang bersifat tambahan, sesuatu yang tidak spesifik, dan hal ini merupakan sentral dalam suatu ruangan kelas.
Pinar memberikan contoh kepedulian yang diambil dari Noddings (1982) untuk mengilustrasikan bagaimana dia sebagai pendidik berhubungan dengan anak didik didalam suatu ruangan kelas. Misalnya, ada seorang anak didik yang pintar namun memiliki prestasi yang sangat buruk dalam Matematika. Hampir semua guru memintanya secara tegas untuk belajar lebih giat dan jangan menyia-nyiakan bakatnya.
Pinar (1982: 147) mengatakan bahwa tindakan guru tersebut merupakan suatu angan-angan dan bahwa para pendidik tidak boleh memaksakan suatu realitas kepada anak didik karena memang anak didik mereka benci dengan Matematika. Lebih baik mereka memproyeksikan realitas-realitas mereka sendiri dan mencoba untuk memanipulasi anak didik.

4)    Curriculum Development Examples
Sangat sedikit contoh yang tersedia untuk mengilustrasikan bagaimana teori Pinar dapat diaplikasikan di sekolah. Pinar, bagaimana dilaporkan dalam Feinberg (1985: 92), mengakui bahwa ia tidak menyodori sekolah-sekolah di Amerika Serikat untuk mengimplementasikan a reconceptualized curricuum, namun ini dapat dimengerti, karena teorinya masih dalam proses pembangunan langkah-langkah yang lebih jelas. Meskipun demikian, bisa saja suatu saat mendapatkan beberapa impresi awal (tentang bagaimana teori Pinar dapat diaplikasikan di sekolah, dari contoh yang diberikan oleh koleganya yang bekerja dalam suatu kerangka kerja rekonseptualis).
Sebagai contoh, Pagano (1983) mendeskripsikan a humanities/method course yang ia ajarkan untuk para guru/pendidik di sekolah-sekolah di New York. Tujuannya adalah memperoleh pendidik yang terlatih agar mampu mengkritik friksi-friksi moral mereka sendiri. Selama satu semester, guru/pendidik tersebut diharuskan membangun tiga teks, yakni: life text, a work text, dan a response text. The life text adalah autobiografi pendidik mereka, the work text berkenaan dengan pengalaman-pengalaman mengajar, dan the response merupakan interprestasi dari reaksi mereka terhadap buku-buku dan bahan-bahan yang mereka gunakan.
Seminar teratur telah dilaksanakan untuk mengangkat tema-tema dominan dan khusus tentang tiga teks tersebut. Di akhir seminar, para pendidik diharapkan bisa menghasilkan a critical paper yang menyatu dengan berbagai tema dan sikap. Mereka menulis tulisan dalam bentuk cerita pendek yang memprsentasikan beberapa masalah yang berhubungan dengan tugas mengajar mereka. Tujuan latihan ini adalah untuk memperoleh pendidik yang mampu merefleksikan skema kurikulum dan pengajaran : “The act of fictionalizing, self consciously, one’s own experience helps to make the point that we do things with words do things with us” (Pagano: 1983: 17).
Krall (1982) mendeskripsikan sebuah unit bernama Fields Studies in Environment Educational, sebuah kelompok kecil (yang terdiri dari tujuh level dan tingkatuniversalitas), yang ikut andil dalam kegiatan penelitian selama empat minggu. Penelitian tersebut adalah mengkaji tentang suku “Najavo Indian” dan perlindungan mereka terhadap lingkungan di Amerika Serikat.
Selama periode ersebut, anak didik ditanya tentang aspek-aspek tertentu mengenai susku Najavo Indian untuk melengkapi studi secara independen. Data dapat dikoleksi dalam deskripsi atau iluminasi catatan jurnal. Catatan singkat mereka pun bisa dibagikan kepada yang lain untuk melengkapi unit-unit data dalam kelompok anak didik tersebut. Krall mendokumentasikan secara details perubahan-perubahan yang terjadi terhadap anak didik sebagai hasil dari pengalaman itu.

5)    Evaluation
Sangatlah sulit mengevaluasi konstribusi Pinar dalam proses teori kurikulum. Dalam mendeskripsikan teori dan proses pembuatan teori, tidaklah semuanya tepat untuk mengaplikasikan teorinya Pinar. Pada suatu level luar, kontribusi Pinar dapat ditolak, karena : ”paranoid phraseology...rather rethoric than rigorous analysis...best, a remnant of the broader counteecultural and student protest movement of the 1960’s and early 1970’s which has all but disappeared from pedagogy” (Tanner & Tanner, 1970: 8-10)
Kelemahan utama teori Pinar (dan pengamat reconceptualists lain) adalah kurangnya analisis sehingga hanya memberikan pengertian yang bersifatpraktis (Van manen, 1978). Kesulitan lainnya adalah teori Pinar hanya memberikan garis besarnya saja sehingga sulit dioperasionalkan. Meskipun para pendidik mungkin terpengaruh dengan tulisan-tulisannya, tapi mereka tampak kurang memahami bentuk-bentuk praktiknya di ruangan kelas.
Namun demikian, Mazza berpendapat bahwa orang-orang yang mengkritik Pinar (dan pengamat reconceptualists lainnya) sungguh menyimpang dari maksud pokoknya. Argumen-argumen Mazza tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
a.    Teori mereka (Pinar & koleganya) merupakan jalan dan bukan proyek yang telah lengkap,
b.    Teori tersebut memerlukan waktu yang panjang dan sejumlah riset serta dialog dimasa mendatang,
c.    Bentuk-bentuk penemuan baru harus dibuatkan prioritas demi kepentingan rekomendasi praktis, dan
d.    Telah terjadi kelebihan penekanan pada kurikulum-kurikulum dimasa lalu (Mazza, 1982: 15-16)
Kelemahan utama teori Pinar adalah ia memberikan teori melalui prosedur-prosedur catatan autobiografi setiap individu, dan bukan dengan menggeneralisasi prinsip-prinsip yang dapat menjelaskan validitas mereka. Untuk memperluas peserta didik dan pendidik, Brady (1984) merujuk kepaga fragmentasi relatif dari tipe teori ini. Eisner (1979), dalam teorinya mengenai penelitian dan kritik, mengorganisasi problem-problem generalisasi individu diruang kelas. Ia mengembangkan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan validitas (dengan buku-buku yang kuat dan referensi yang akurat).
Kelemahan teori Pinar lainnya adalah metode pelaporannya sendiri yang tampaknya meminimalkan efek-efek ideologi. Anak didik diharapkan bisa merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dengan segala situasi, sedang para pendidik diposisikan sebagai partisipan melalui bacaan-bacaan jurnal atau melalui diskusi informal dengan anak didik. Hl ini bisa terjadi karena anak didik tidak menyadari dan tidak mengatur struktur-struktur tersembunyi yang memengaruhi pengalaman hidup mereka.
Lebih lanjut, segala komentar yang dibuat para pendidik atau supervisor mungkin memberikan kritikan yang tidak cukup untuk menyadarkan anak didik akan kenaifan yang ada, dan bahan mungkin ada beberapa kesalahan dari kesimpulan-kesimpulan tersebut. Menurut Mazza (1982), Sharp dan Grean (1975), terlalu banyak kepercayaan yang ditempatkan dalam kekuatan refleksi agar bisa menembus pengaruh kekuatan ideologi terhadap pendidik dan aktivitas anak didik.
Namun demikian, terdapat sejumlah pengembangan berarti yang telah dicapai Pinar dan pengikutnya. Pinar telah menstimulasi imajinasi-imajinasi para pendidik dan juga mengungkapkan berbagai kendala pendekatan-katat radisional kurikulum yang ada. Dia juga mengkritik bagian akhir perencanaan yang rasional terhadap contoh yang dianggap komprehensif dalam ulasannya dan memiliki tingkat keyakinan yang tinggi.
Pinar dan koleganya juga telah menghasilkan konsep-konsep dan bahasa baru dalam proses teorisasi kurikulum. Bahasa baru tersebut diperlukan untuk menjelaskan segala perbedaan prospektif dan hubungan yang cukup memadai. Pinar dan kolega-koleganya menggunakan bentuk-bentuk teknis seperti: hermeneutics proses interprestasi, praxis (aktivitas-aktivitas yang diterima dari sikap dan pemecahan masalah), reflexivity (self analysis), phenomenological (fenomena yang menjadi dasar pengalaman), problematic (definisi segala konsep bidang yang dikaji, yang tidak hanya dari bentuk-bentuk yang dimasukkan, tapi juga apa yang dikeluarkan, currere (membuat pengalaman pribadi dengan mengingatkan dan merefleksikan pengalaman-pengalaman masa lalu seseorang di sekolah yang memproyeksikan harapan-harapan seseorang dimasa mendatang).
Pinar dan koleganya menggunakan bentuk-bentuk tersebut untuk mengembangkan model-model alternatif untuk penelitian kurikulum agar dapat mengembangkan proposisi-proposisi baru. Pinar mnggunakan currere sebagai metode, Grumer (1979) menggunakan self-report dalam pendidikan guru, dan Pagano (1983) menggunakan moral fictions, yang merupakan beberapa contoh cara baru dalam menginterprestasikan berbagai fenomena kurikulum. Setiap dari mereka menyadari adanya pendekatan psikomotoris untuk meningkatkan kesadaran akan berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan seseorang.
Kesimpulannya, Pinar dan koleganya telah memberikan sesuatu yang menarik. Mereka adalah para pembuat dan perencana kurikulum melalui tulisan-tulisan yang pertama muncul disekitar tahun 1970-an. Meskipun ada sedikit bahaya disekitar tulisan tersebut yang terlalu banyak berkomentar diberbagai media yang ada (Roogers, 1984). Yang paling penting dari sumbangan mereka adalah mereka mengajak kita untuk kesadaran tentang berbagai fenomena kurikulum.

C.   Fungsi Teori Kurikulum
Teori merupakan suatu alat disiplin ilmu dengan menentukan orientasi ilmu tersebut, memberikan kerangka konseptual tentang cara mensistemasi, mengategorisasi dan mengadakan interrelasi data; fakta-fakta menjadi generalisasi empiris dan sistem generalisasi; meramalkan fakta-fakta; dan memperlihatkan kekurangan-kekurangan dalam pengetahuan manusia mengenal disiplin ilmu tersebut. Karenanya, hanya dengan teori kurikulum saja yang merupakan syarat mutlak mengembangkan kurikulum sebagai disiplin ilmu. 
Menurut Nasution (1993: 172), terdapat dua pendirian dalam kaitannya dengan fungsi teori kurikulum tersebut. Pertama, memandang fungsi teori kurikulum sebagai kegiatan intelektual, misalnya dalam hal memahami hakikat pengalaman dalam pendidikan dan pengajaran secara internal dan eksistensial. Dalam kegiatan intelektual tersebut, mereka menggunakan ilmu-ilmu sosial dan menggunakan intuisi untuk membantu menganalisisnya. Namun, penelitian empiris belum dilakukan, karena bagi mereka teori kurikulum yang dimaksud bukanlah untuk memberi pegangan dalam pelaksanaan kurikulum dalam aktivitas pengajaran.
Persoalan keunikan dan kebebasan individu secara temporalisasi dalam eksistensi dipersoalkan oleh mereka, dan kurikulum dilihat sebagai usaha moral dan bukan sebagai persoalan teknis. Bagi mereka, tujuan teori kurikulum adalah mengembangkan dan mengkritik konsep-konsep mengenai kurikulum dengan harapan bisa ditemukan konsep-konsep mengenai kurikulum. Tidak banyak penganut pendirian yang bersifat filosofis tersebut.
Kedua, pendirian yang diambil oleh mayoritas para ahli teori kurikulum, yakni dengan cara mencari berbagai pendekatan rasional mengenai cara-cara atau metode-metode pencapaian segala tujuan pendidikan dengan mengandalkan data empiris agar dapat memvalidasi keunggulan alat-alat tersebut dalam mencapai sasaran yang ada, sehingga keterkaitan yang kokoh antara teori dan praktik menjadi pegangan dari pendirian ini.     
Teori kurikulum juga memiliki fungsi yang sangat krusial (penting) yang berhubungan dengan penyusunan, pengembangan, pembinaan, dan evaluasi kurikulum pada khususnya dan pendidikan pada umumnya. Dalam kaitan ini, Subandijah (1993: 11) mengungkapkan bahwa ada empat fungsi kurikulum, yakni : 1) sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan memberikan alternatif yang mendetail dalam perencanaan kurikulum, 2) sebagai landasan sistematis dalam pengambilan keputusan, memilih, menyusun dan membuat uruta isi kurikulum, 3) merupakan pedoman dalam evaluasi formatif bagi kurikulum yang sedang berjalan, dan 4) membantu mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan seseorang (pengembang kurikulum) sehingga merangsang dilakukan riset lebih lanjut.
Dengan demikian, agar dipahami bahwa fungsi teori kurikulum paling tidak memberi kerangka pegangan dalam pengembangan dan penelitian serta penilaian terhadap perkembangan kurikulum tersebut. Kemudian, fungsi kurikulum bisa juga untuk menjelaskan variabel-veriabel yang berkaitan dengan aspek-aspek kurikulum yang dapat divalidasi secara empiris serta memberikan seperangkat prinsip dan hubungan yang dapat dites secara empiris dalam pengembangan kurikulum. Akhirnya, fungsi teori tersebut merupakan aktivitas intelektual kreatif dengan mengembangkan, menganalisis, dan cara-cara baru dalam pembicaraan kurikulum menjadi lebih bermanfaat atau berdaya guna dari sebelumnya, terutama bermanfaat untuk anak didik.
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan sehingga sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta masyarakat yang sedang membangun. Pengembangan kurikulum hrus berdasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang berlaku. Maksudnya adalah agar peserta didik, lingkungan, kebutuhan daerah, sehingga dapat memperlancar pelaksanaan pendidikan disuatu negara dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan dan pendidikan nasional bangsa yang bersangkutan.
Pengembangan kurikulum tersebut selalu menggunakan berbagai prinsip dan pendekatannya. Hal ini mempunyai arti bahwa kurikulum itu diharapkan dapat menghasilkan output yang berkualitas, mempunyai nilai relevansi terhadap pengembangan atau apa-apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Dengan kata lain, program-program yang ditawarkan oleh dunia pendidikan diharapkan memiliki arti yang mendalam bagi anak didik, keluarga dan bangsa menurut perkembangan zaman.
Pengertian relevansi pada konteks ini tidak selalu sama artinya dengan kurikulum pendidikan di negara lain, karena banyak faktor lain yang turut andil memengaruhinya. Di Indonesia misalnya, kurikulumnya berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan itu sama halnya di negara tertentu yang akan mempunyai landasan tertentu pula dalam pengembangan kurikulum. Agar kurikulum mempunyai arti bagi anak didik, efektif, dan efisiensi serta sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan, pemahaman mengenal prinsip dan pendekatannya menjadi tidak kalah pentingnya.

JENIS DAN MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
A.   Jenis-jenis Kurikulum
Jenis-jenis kurikulum atau sering dikenal dengan organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk penyusunan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada murid-murid. Organisasi kurikulum sangat erat hubungan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai karena pola-pola yang berbeda akan mengakibatkan isi dan cara penyampaian pelajaran berbeda pula. Adapun organisasi kurikulum tersebut yaitu :

1.    Separateed Subject Curriculum
Kurikulum ini di pahami sebagai kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu sama lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah (separated subject curriculum), bahkan kurikulumnya dimaksudkan dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya. Konsekuensinya adalah anak didik di haruskan mengambil mata pelajaran semakin banyak.
Mata pelajaran disusun sedemikian rupa secara logis dan sistematis, sehingga murid dapat mempelajarinya dengan baik. Akibat dari penggunaan bentuk kurikulum semacam ini adalah bila muncul suatu cabang baru dalam ilmu pengetahuan, maka mata pelajaran menjadi bertambah. Essensi dari organisasi kurikulum semacam ini adalah bahwa ia mengikuti disiplin yang baik dan logis.
Dengan demikian, baik isi maupun pengalaman belajar yang diperoleh bersifat terpisah-pisah. Adapun isi dari setiap mata pelajaran ditentukan oleh ahli-ahli mata pelajaran masing-masing. Guru dalam hal ini berfungsi untuk mencari cara bagaimana agar siswa dapat menguasai mata pelajaran dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu metode mengajar yang paling tepat untuk digunakan adalah metode exposisi (penyampaian bahan). Sumber utama yang patut dan paling penting dalam belajar adalah buku teks pelajaran.
Keunggulan dari bentuk organisasi separated subject curriculum yang paling menonjol adalah karena bahan pelajaran disusun secara logis dan sistematis. Sehingga metode untuk mempelajarinya dapat efektif, demikian juga metode untuk mengorganisasi pengetahuan. Siswa dapat menghipun sebanyak mungkin ilmu pengetahuan secara efektif dan ekonomis. Dengan mempelajari mata pelajaran seseorang dapat mengikuti suatu disiplin ilmu pengetahuan tertentu, juga berlatih untuk menggunakan sistem berfikir tertentu, sehingga kekuatan intelektualnya berkembang.
Penilaian lebih mudah karena biasanya bahan pelajaran ditentukan berdasarkan buku-buku pelajaran tertentu sehingga dapat diadakan ujian umum atau tes hasil belajar yang seragam diseluruh negara. Manfaat praktis lainnya adalah karena bentuk kurikulum ini sudah lama digunakan, maka pada umumnya banyak perguruan tinggi menetapkan syarat masuk berdasarkan kemampuan dalam mata pelajaran. Juga pada umumnya guru sudah terbiasa dan terdidik dalam mata pelajaran terpisah-pisah sehingga dipandang lebih mudah dilaksanakan.
Selain mempunyai keunggulan, terdapat pula berbagai kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol adalah, oleh sebab  kurikulum terdiri dari mata pelajaran terpisah-pisah, tidak dapat mengembangkan kemampuan berfikir aktif dan terpadu. Isi kurikulum merupakan warisan kebudayaan masa lampau, bukan masalah-masalah yang dihadapi pada situasi sekarang. Ini menyebabkan tidak diperhatikan prinsip psikologis yaitu minat dan motivasi. Sehingga apa yang dipelajari sering kali mudah dilupakan, juga tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan dibutuhkan anak.

2.    Correlated Curriculum
Kurikulum jenis ini mengandung makna bahwa sejumlah mata pelajaran dihubungankan antara yang satu dengan yang lain, sehingga ruang lingkup bahan yang tercakup semakin luas. Sebagai contoh pada mata pelajaran fiqih dapat dihubungkan dengan mata pelajaran Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat anak didik mempelajari shalat maka dapat dihubungkan dengan pelajaran Al-Qur’an, Hadits yang berhubungan dengan shalat, dan lainnya.
Masih banyak cara lainnya dalam menghubungkan mata pelajaran dalam kegiatan kurikulum. Korelasi tersebut dengan memperhatikan tipe korelasinya yakni :
a.    Korelasi oksional/incidental, maksudnya korelasi dilaksanakan secara tiba-tiba atau incidental. Misalnya pada pelajaran sejarah dapat dibicarakan yenyang geografi dan tumbuh-tumbuhan.
b.    Korelasi etis, yang bertujuan untuk mendidik budi pekerti sehingga konsentrasi pelajarannya di pilih pendidikan agama. Misalnya pada pendidikan agama itu dibicarakan mengenai cara-cara menghormati tamu, orang tua, tetangga, kawan dan sebagainya.
c.    Korelasi sistematis, yang mana korelasi ini biasanya direncanakan oleh guru. Misalnya mengenai bercocok tanam padi dibahas dalam geografi dan ilmu tumbuh-tumbuhan.

Beberapa kelebihan Correlated Curriculum yaitu dengan korelasi pengetahuan siswa lebih integral, tidak terlepas-lepas. Dengan melihat hubungan erat antara mata pelajaran satu dengan yang lain, minat siswa bertambah. Korelasi memberikan pengertian yang lebih luas dan mendalam karena memandang dari berbagai sudut. Dengan korelasi maka yang diutamakan adalah pengertian dan prinsip-prinsip bukan pengetahuan akan fakta, dengan begitu memungkinkan penggunaan pengetahuan secara fungsional bagi siswa.
Adapun disamping kelebihan yang ada, terdapat kelemahan pada Correlated Curriculum yaitu sulit untuk menghubungkan dengan masalah-masalah yang hangat dalam kehidupan sehari-hari sebab dasarnya subject centered. Tidak memberikan pengetahuan yang sistematis dan mendalam untuk sesuatu mata pelajaran sehingga hal ini dipandang kurang cukup untuk bekal mengikuti pelajaran di perguruan tinggi.

3.    Broad Fields Curriculum
Broad fields merupakan bentuk organisasi kurikulum yang dibuat dengan melebur mata pelajaran sejenis ke dalam satu bidang studi.  Kurikulum broad fields kadang-kadang disebut kurikulum fusi. Taylor dan Alexander menyebutnya dengan sebutan The Broad Fields of Subject MatterBroad Field menghapuskan batas-batas dan menyatukan mata pelajaran (subject matter) yang berhubungan erat. Wiliam B. Ragam mengungkapkan enam macam broad fields yang umumnya ditemukan di dalam kurikulum sekolah dasar. Keenam broad fields itu adalah bahasa (language), ilmu pengetahuan sosial (sosial studies), matematika (maths), sains (science), kesehatan dan pendidikan olah raga (health and sport), dan kesenian (arts).
Phenik, merupakan orang yang pertama mencetuskan tipe organisasi broad fields ini. Keinginan Phenik adalah agar supaya para pendidik mengerti jenis-jenis arti perkembangan kebudayaan yang efektif, manfaat yang didapatkan dari berbagai disiplin ilmu , dan upaya mendidik anak agar menghasilkan sesuatu masyarakat yang civilized. Lima macam broad fields dalam kurikulum, yaitu:
a.      Ilmu pengetahuan sosial (social studies): ilmu bumi, sejarah, civics, ekonomi, dan sejenisnya.
b.      Bahasa (language arts): membaca, tata bahasa, menulis, mengarang, menyimak, pengetahuan bahasa.
c.      Ilmu pengetahuan alam (natural sciences): ilmu alam, ilmu hayat, ilmu kimia, ilmu kesehatan, biologi.
d.      Matematika: berhitung, aljabar, ilmu ukur sudut, bidang dan ruang, dan statistik.
e.      Kesenian: seni tari, seni suara, seni lukis, seni pahat, dan seni drama.

Soetopo dan Soemanto mengemukakan bahwa keunggulan kurikulum broad fields ialah adanya kombinasi mata pelajaran akan semakin dirasakan kegunaannya, sehingga memungkinkan pengadaan mata pelajaran yang kaya akan pengertian dan mementingkan prinsip dasar serta generalisasi. Sementara itu kelemahannya ialah hanya memberikan pengetahuan secara sketsa, abstrak, kurang logis dari suatu mata pelajaran.

4.    Integrated Curriculum
Kurikulum terpadu (integrated curriculum) merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian bahan pelajaran dari berbagai macam masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Integrated curriculum mempunyai ciri yang sangat fleksibel dan tidak menghendaki hasil belajar yang sama dari semua anak didik. Guru, orang tua, dan anak didik merupakan komponen-komponen yang bertanggung jawab dalam proses pengembangannya.
Di sisi lain, kurikulum ini juga mengalami kesulitan-kesulitan bagi anak didik terutama apabila dipandang dari ujian akhir atau test akhir tau tes masuk uniform. Sebagai persiapan studi perguruan tinggi yang memerlukan pengetahuan yang logis, sistematis, kurikulum jenis ini akan mengalami kekuatan. Meskipun demikian selama percobaan delapan tahun (1932-1940), dengan kurikulum terpadu dapat mengikuti pelajaran dengan baik, dan tidak kalah dengan prestasi anak didik lain yang menggunakan kurikulum konvensional, dan justru mereka memiliki nilai tambah dalam hal perkembangan dan kemantapan kepribadian dan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan.
Integrated curriculum (kurikulum terpadu)  juga mementingkan aspek-aspek psikologi yang berpengaruh terhadap integrasi pribadi individu dan lingkungannya. Kurikulum terpadu menurut Soetopo dan Soemanto dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yakni The Child Centered Curriculum, The Social Functions, dan The Experience Curriculum.

B.   Model Pengembangan Kurikulum
Model adalah konstruksi yang bersifat teoritis dari konsep dasar. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula hanya ulasan tentang salah satu komponen kurikulum. Ada suatu model yang memberikan ulasan tentang keseluruhan proses kurikulum, tetapi ada pula yang hanya menekankan pada mekanisme pengembangannya saja.

1.    Model Pengembangan Kurikulum Zais
Robert S. Zais mengemukakan adanya beberapa macam model pengembangan kurikulum. Beberapa Zais:
a)    Model Administratif
Model administratif sering disebut sebagai model garis dan staf atau dikatakan pula sebagai model dari atas ke bawah. Model ini pada dasarnya mudah dilaksanakan pada negara penganut sistem sntralisasi dalam pengembangan kurikulum dan juga bagi negara yang kemapuan profesional gurunya masih lemah. Pengembangan kurikulum ini dilaksanakan sebagai berikut :
-          Atasan membentuk tim yang terdiri atas pejabat teras yang berwenang (pengawas, pendidikan, kepala sekolah, dan pengajar inti).
-          Tim merencanakan konsep rumusan tujuan dan falsafah yang diikuti.
-          Dibentuk beberapa kelompok kerja yang anggotanya terdiri atas para spesialis kurikulum dan staf pengajar yang berugas untuk merumuskan tujuan khusus, GBPP, dan kegiatan belajar.
-          Hasil kerja dari butir 3 direvisi oleh tim atas dasar pengalaman atau hasil daritry out.
-          Setelah try out yang dilaksanakan oleh beberapa kepala sekolah, dan telah direvisi seperlunya, baru kurikulum tersebut diimplementasikan.

b)    Model dari Bawah (Grass-Roats)
Model yang ini inisiatif berasal dari bawah. Model ini didasarkan pada dua pandangan pokok, yaitu :
1.  Implementasi kurikulum akan lebih berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah dari semula terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum.
2.  Pengembangan kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru) saja, tetapi juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum ini, kerja sama dengan orang tua murid dan masyarakat sangatlah penting. Kerjasama diantara sesama guru dengan sendirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari model ini.

Model ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu :
1.    Kurikulum akan bertambah baik, jika kemampuan profesional guru bertambah baik.
2.    Kompetensi guru akan bertambah baik, jika guru terlibat secara pribadi di dalam merevisi kurikulum.
3.    Jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna.
4.    Hendaknya diantara guru-guru terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu konsensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.

Langkah-langkahnya yaitu :
1.    Inisiatif pengembangan berasal dari bawah (para pengajar).
2.    Tim pangajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber lain orang tua peserta didik atau masyarakat luas yang relevan.
3.    Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
4.    Untuk memantapkan konsep perkembangan yang telah dirintisnya diadakan lokal karya mencari input yang diperlukan.

c)    Model Demonstrasi
Model yang ini, inisiatif berasal dari kebersamaan dan hasilnya diumumkan disekolah sekitar yaitu langkah-langkahnya :
1.    Staf, pengajar pda suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan dan ternyata hasilnya lebih baik.
2.    Dan kemudian hasilnya disebarluaskan disekolah sekitar.

Keuntungan model demonstrasi antara lain :
1.    Disebabkan kurikulum yang dihasilkan telah melalui uji coba dalam praktik yang nyata, maka dapat memberikan alternatif yang dapat bekerja.
2.    Perubahan kurikulum pada bagian tertentu cenderung lebih mudah disepakati dan diterima daripada perubahan secara keseluruhan.
3.    Mudah mengatasi hambatan.
4.    Menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan narasumber sehingga para administrator dapat mengarahkan minat dan kebutuhan guru untuk mengembangkan program-program baru.

Kelemahan utama model ini adalah dapat menghasilkan antagonisme baru. Guru-guru yang tidak terlibat di dalam proses pengembangan cenderung bersikap apatis, curiga, tidak percaya, dan cemburu. Akibatnya, mereka akan menerima kurikulum baru itu dengan setengah hati.

d)    Model Beaucham
Model ini dikembangkan oleh G. A Beaucham. Langkah-langkahnya yaitu :
1.    Menentukan arena yaitu suatu gagasan pengambangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas, diperluas disekolah, disebarkan sekolah-sekolah daerah tertentu baik berskala regional maupun nasional.
2.    Memilih kemudian mengikutsertakan para pengembangan kurikulum yang terdiri dari ahli kurikulum, wakil kelompok profesional, staf pengajar, petugas bimbingan, dan narasumber lain.
3.    Mengorganisasikan dan menetukan prosedur perencanaan kurikulum yang meliputi penentuan tujuan, materi pelajaran, dan kegiatan belajar. Untuk tugas tersebut perlu dibentuk dewan kurikulum sebagai koordinasi yang bertugas.
4.    Menerapkan atau melaksanakan kurikulum secara sistematis disekolah.
5.    Mengevaluasi kurikulum yang berlaku.

e)    Model Terbalik Hilda Taba
Model ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas data edukatif yang disebut model terbalik karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara edukatif. Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1.    Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan materi, menemukan penilaian, memperhatikan antara luas dan dalam nya bahan kemudian disusunlah suatu unit kurikulum.
2.    Mengadakan try out.
3.    Mengadakan revisi atas dasar try out.
4.    Menyusun kerangka kerja teori.
5.    Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan didesiminasikan.

f)     The Systematic Action-Reseacrh Model
Tiga faktor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini adalah adanya hubungan antarmanusia, organisasi sekolah, dan masyarakat, serta otoritas ilmu. Langkah-langkah dalam model ini adalah:
1.    Merasakan adanya suatu masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam.
2.    Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
3.    Merencanakan secara mendalam tentang bagaimana pemecahan masalahnya.
4.    Menetukan keputusan apakah yang perlu diambil sehubungan dengan masalah tersebut.melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun.
5.    Mencari fakta secara meluas.
6.    Menilai tentang kekuatan dan kelemahan.

2.    Model Pengembangan Kurikulum Roger
Beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Adapun model-model tersebut (ada empat model) dapat dikemukakan sebagai berikut :
a.    Model I (yang paling sederhana) menggambarkan bahwa kegiatan pendidikan hanya semata-mata terdiri dari kegiatan memberi informasi (isi pelajaran) dan ujian. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa pendidikan aalah evaluasi dan evaluasi adalah pendidikan, serta pengetahuan adalah akumulasi materi dan informasi.
b.    Model II dilakukan dengan menyempurnakan model I di atas dengan menambahkan kedua dengan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan, yaitu tentang metode dan organisasi bahan pelajaran.
c.    Model III pengembangan kurikulum ini merupakan penyempurnaan model yang belum dapat memberikan unsur-unsur teknologi pendidikan kedalamnya.
d.    Model IV pengembangan kurikulum merupakan penyempurnaan model III, yaitu dengan cara memasukkan unsur-unsur tujuan kedalamnya.

Dari macam-macam model pengembangan kurikulum yang telah diuraikan diatas, maka ditemukan perbedaan- perbedaan dalam hal bentuk, kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sebenarnya masih terdapat banyak model kurikulum lain, namun pada dasarnya kurikulum tersebut memiliki komponen tujuan, bahan, proses belajar mengajar, dan penilaian atau evaluasi yang sama

A.   Refleksi sebuah model kurikulum
Pendidikan sebagai praktik yakni seperangkat kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati dan disadari dengan tujuan untuk membantu pihak lain (baca: peserta didik) agar memperoleh perubahan perilaku. Sementara pendidikan sebagai teori yaitu seperangkat pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan, menggambarkan, meramalkan dan mengontrol berbagai gejala dan peristiwa pendidikan, baik yang bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan (empiris) maupun hasil perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas, Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya, Keberadaan teori kurikulum belum mantap atau dengan kata lain belum bisa dibentuk. Teori kurikulum, pada dasarnya bukanlah hal yang stabil atau mantap keberadaannya, sebagaimana diungkapkan di muka, namun is selalu berkembang mengikun perkembangan rains dan teknologi. Seperti halnya dalam mengambil keputusan praktis lainnya, teori dapat dimanfaatkan dalam pengambilan (keputusan praktik (pelaksanaan) sistem kurikulum dan sistem pendidikan yang memang memerlukan sifat elektif.Jenis-jenis kurikulum ada empat yaitu separated subject curriculum, correlated curriculum, broad fields curriculum, dan integrated curriculum. Keempat jenis kurikulum tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Pertimbangan yang mendalam dalam menggunakan suatu bentuk tertentu perlu dilakukan. Oleh karena itu setiap pengembang kurikulum sepatutnya dapat melihat berbagai keunggulan maupun kelemahan yang dimiliki oleh masing-msing jenis kurikulum, agar dapat dicarikan suatu cara mengurangi kelemahan bila suatu bentuk tertentu dipilih.
Model pengembang kurikulum menurut Zais ada 6 yaitu model administratif, model dari bawah, model demonstrasi, model beaucham, model terbalik hilda taba, dan the systematic action-reseacrh model. Setiap model memiliki titik pandang yang berbeda menurut para pengembang. Kita tidak dapat mengatakan suatu model lebih ampuh dari model lainnya karena masing-masing model memiliki keuntungan dan kelemahannya. Apabila kita ingin menerapkan suatu model, sebaiknya dikaji terlebih dahulu situasi dan kondisi kerja yang ada serta kepentingan kita, kemudian menentukan model manakah yang dapat diterapkan dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan beberapa model
  
DAFTAR PUSTAKA


Dirgantara wicaksono,Dr.M.Pd, 2016. Pengembangan Inovasi Kurikulum, PT.EGI  perss, Jakarta.
David Middlewood, 2001, Managing the Curriculum, Sage publication, London.T.EGIerss, Jakart
Hamalik, Oemar. (2008). Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI dan PT Remaja Rosdakary
Idi, Abdullah. (2009). Pengembangan Kurikulum (teori dan praktik). Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.Junaidi, Wawan. (2009). Teori Kurikulum. [online].
            Sudrajat, Akhmad. (2008). Hubungan Teori Pendidikan dengan Kurikulum.
            http://www.Dirgantara.gudangmateri.com