PELUANG DAN TANTANGAN
PENDIDIKAN
INKLUSI DAN EKSKLUSI DI
INDONESIA
oleh
Dirgantara Wicaksono
1. SEJARAH
PENDIDIKAN INKLUSI
Sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada
tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar
Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least
restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika
Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya
konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi
dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan
tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi
semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan
kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif,
Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk
memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan
program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak
benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan
sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia
sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini
merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah
diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang,
dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan
dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
2. TUJUAN
PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan
tujuan:
·
Memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
·
Membantu
mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
·
Membantu
meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal
kelas dan putus sekolah
·
Menciptakan
sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta
ramah terhadap pembelajaran
·
Memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap
warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi
’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps.
5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau
mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
3. LANDASAN
PENDIDIKAN INKLUSI
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan
lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman
dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan
kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan
bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di
hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan
berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan
bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, hak pekerjaan
3.1. Landasan Yuridis
a. UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48
‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun
untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan’.
c. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’.
Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal
12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya
(1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil,
dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi
ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa
‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan
pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.
d. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan
meliputi Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar
pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan,
Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005
tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB,
SMPLB dan SMALB.
e. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.
380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:
menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya
4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP ,
SMA, dan SMK.
3.2. Landasan Empiris
a. Deklarasi
Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),
b. Konvensi
Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights
of the Child),
c. Konferensi
Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World
Conference on Education for All),
d. Resolusi
PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan
(the standard rules on the equalization of opportunities for persons with
disabilities)
e. Pernyataan
Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The
Salamanca Statement on Inclusive Education),
f. Komitmen
Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on
Education for All), dan
g. Deklarasi
Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,
h. Rekomendasi
Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak
seyogyanya dipandang sebagai:
(1) Sebuah
pendekatan terhadap peningkatan kualitas
sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk
‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
(2) Sebuah
cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan
yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari
program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
(3) Sebuah
kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati
perbedaan individu semua warga negara.
Disamping
itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas
sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:
(1) Inklusi
seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua
kebijakan nasional
(2) Konsep
kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya
(3) Sistem
asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan
di atas
(4) Orang
dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang
perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula
memperhatikan pandangan mereka
(5) Semua
kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi
(6) Demi
menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap
anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua
dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga
pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local,
orang tua, anak maupun sektor swasta
(7) Semua
pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,
seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah
terhadap pembelajaran bagi semua anak
(8) Pemerintah
seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik
semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah
(9) Program
pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi
guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik
tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah
(pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara
dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan
khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan
bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama
dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di
Indonesia disediakan melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar
Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB,
sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan
yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra),
SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan
hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan
(fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan
perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda).
Sedangkan SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan
pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan
khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar
mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan
penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena
banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus.
Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus
disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan
bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan
peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pendidikan inklusif, mendidik anak berkebutuhan khusus
bersama– sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat
anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai
suatu komunitas. Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di
kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994)
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua
murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang
layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar
anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Berdasarkan batasan
tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya
di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
4. PENDIDIKAN SEGRESI, PENDIDIAKN TERPADU DAN PENDIDIKAN
INKLUSI
Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain
diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai
berikut.
1.
Sekolah segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak
berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk
sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa
sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak
tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D
(untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan
pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB.
Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan
terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem
pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain
aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.
2.
Sekolah terpadu
Sekolah terpadu adalah
sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus
untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus
yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem
pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu
mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta
didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di
sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus
menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari
pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus
tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan
keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan
sosial yang luas dan wajar.
3. Sekolah inklusif
Sekolah inklusif
merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif
setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani
secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai
dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem
pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan
inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan
kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan
sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan
khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan
tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat
terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukan berbagai perubahan,
mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada
kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
5. PRO DAN KONTRA PENDIDIKAN
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh
dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi
setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang
berbeda-beda di setiap negara. Sebagai
inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan
masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia,
Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan
pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis
tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.
Pro
Pendidikan Inklusif
1. Belum
ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik
untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
2. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal
dibanding dengan dengan sekolah regular.
3. Banyak
anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah
di SLB karena jauh dan/atau biaya yang
tidak terjangkau.
4. SLB
(terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan
sosial yang nyata. Sedangkan sekolah
inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
5. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan
khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
6. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak
‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua
tidak mau ke SLB.
7. Melalui
pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar
menghargai adanya perbedaan.
Kontra Pendidikan Inklusif
1. Peraturan
perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan
khusus.
2. Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
3. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di
sekolah reguler.
4. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan
pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.
5. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti
anak yang sejenis.
Pendidikan Inklusif yang Moderat
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang
pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang
moderat. Pendidikan inklusif yang
moderat dimaksud adalah:
1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan
Inklusi penuh.
2. Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
3. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam
prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel
pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti :
·
bentuk
kelas reguler penuh
·
bentuk
kelas reguler dengan cluster
·
bentuk
kelas reguler dengan ’pull out’
·
bentuk
kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’
·
bentuk
kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian.
·
bentuk
kelas khusus penuh di sekolah reguler
6. PELUANG
DAN TANTANGAN PENDIDIKAN INKLUSI DAN EKSKLUSI
Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua
peserta didik yang ada di sekolah reguler. Tidak hanya mereka yang sering
disebut sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mereka yang termasuk anak
‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus memahami dan menerima keanekaragaman
dan perbedaan individual. Secara khusus,
sasaran pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus, baik yang sudah
terdaftar di sekolah reguler, maupun yang belum dan berada di lingkungan
sekolah reguler. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi secara khusus agar
dapat diberikan program yang sesuai.
a. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
1. Identifikasi
§ Hakekat
Istilah
identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assesment dimaknai
sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksudkan sebagai suatu upaya
seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan
proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (phisik,
intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan
pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui
program inklusi.
§ Tujuan
Identifikasi
anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan,yaitu:
(1) Penjaringan
(screning),
(2) Pengalihtanganan
(referal),
(3) Klasifikasi,
(4) Perencanaan
pembelajaran, dan
(5) Pemantauan
kemajuan belajar.
Anak berkelainan atau anak yang
mengalami rintangan “handicapped children” yang kadang-kadang juga
disebut dengan anak cacat atau anak dengan ketidakmampuan, “children with
impairment/disabilities”, “exceptional children” atau “children with
special educational needs”, adalah anak yang karena sesuatu hal mengalami
penyimpangan intelektual, phisik, sosial, dan atau emosional, sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
Dalam buku Exceptional
Children and Youth, menurut William Cruickshank dan G. Orville Jonhson
(1958 : 3), pengertian anak berkelainan:
“
Essentially, an exceptional child is one who deviates intellectually,
physically, socially or emotionally, so markedly from what is considered to be
normal growth and development that he cannot receive maximum benefit from a
regular school program and requires a special class or supplementary
instruction and services”.
program and requires a
special class or supplementary instruction and services”. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya anak
berkelainan adalah seseorang anak yang mengalami penyimpangan intelektual,
phisik, sosial atau emosional secara menyolok dari apa yang dianggap sebagai
pertumbuhan dan perkembangan normal, tentu saja yang bersangkutan tidak dapat
menerima manfaat maksimal dari program sekolah umum dan memerlukan kelas khusus
atau tambahan pengajaran dan berbagai layanan.
Istilah kelainan/mengalami
rintangan mempunyai arti luas. Hal itu mengarah ke satu atau lebih hal-hal
berikut : kondisi apa saja yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan normal
anak; kondisi apa saja yang menyimpang (membuat abnormal/kelainan atau tidak
normal) pertumbuhan dan perkembangan normal anak; kondisi apa saja yang sangat
mempunyai pengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan atau penyesuaiaan
hidup normal anak.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan anak berkelainan atau anak
berkebutuhan pendidikan khusus adalah anak yang karena sesuatu hal mengalami
kondisi-kondisi apa saja yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan normal
anak; yang menyimpang (membuat abnormal/ kelainan atau tidak normal)
pertumbuhan dan perkembangan normal anak; dan kondisi apa saja yang sangat
mempunyai pengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan atau penyesuaiaan
hidup normal anak. Anak bersangkutan mengalami penyimpangan intelektual,
phisik, sosial atau emosional secara menyolok dari apa yang dianggap sebagai
pertumbuhan dan perkembangan normal, yang terdiri dari antara lain anak
tunanetra, anak tunarungu, anak tunagrahita, anak tunadaksa, anak tunalaras,
anak berbakat, anak autis, anak berkesulitan belajar, anak dengan gangguan
emosi/perilaku, anak tunaganda dan anak tunamajemuk. Tentu saja yang
bersangkutan tidak dapat menerima manfaat maksimal dari program sekolah umum
dan memerlukan kelas khusus atau tambahan pengajaran dan berbagai layanan
pendidikan khusus
b. Asessment
Asesmen merupakan proses
pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa
berkebutuhan khusus. Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan
hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar
sesuai dengan kebutuhan belajarnya.Adapun fungsi assessment adalah:
Fungsi
screening/penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk
keperluan screening/penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi
siswa yang mungkin mempunyai problem belajar.
Fungsi
pengalihtanganan/referal, adalah sebagai
alat untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus
kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin
ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan profesional lain.
Fungsi
perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan
berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar
berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan
mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi sosial.
Fungsi
monitoring kemajuan belajar, adalah
untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Fungsi
evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi program
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Sasaran
(1) Anak
berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(2) Anak
berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(3) Anak
berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah
(4) Anak
berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program pendidikan non formal atau
informal.
c.Jenis Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler
yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami
peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya
ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler
perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi (penyelarasan) kurikulum
dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum
sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru
pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
Tujuan Pengembangan Kurikulum
· Membantu
peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang
dialami siswa semaksimal mungkin dalam setting inklusi.
· Membantu
guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah, di luar sekolah
maupun di rumah.
· Menjadi
pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai dan menyempurnakan
program pendidikan inklusif.
Model Pengembangan Kurikulum
a.
Model kurikulum
reguler
Pada
model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum
reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Program
layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi
dan ketekunan belajarnya.
b.
Model kurikulum
reguler dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini guru melakukan
modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program
tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak berkebutuhan
khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang
memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan program
pembelajaran individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yang
mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler sedangkan mata
pelajaran lainnya berdasarkan PPI.
c.
Model kurikulum PPI
Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan
program pendidikan individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang
yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua,
dan tenaga ahli lain yang terkait.
Model ini diperuntukan pada siswa yang
mempunyai hambatan belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses
belajar berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini
dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan PPI dalam setiing
kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti proses belajar sesuai dengan fase
perkembangan dan kebutuhannya.
Penjelasan dan model PPI secara lebih lengkap dapat dilihat pada Buku
Pedoman Pengembangan PPI.
d. Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang
mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang
melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas,
guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan),
dan guru pendidikan khusus (GPK ).
Adapun tugas guru di
sekolah inklusi adalah:
a. Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut:
(1) Menciptakan
iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di
kelas/sekolah.
(2) Menyusun
dan melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan
kebutuhannya
(3) Menyusun program
pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pendidikan khusus (GPK ).
(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian untuk semua mata
pelajaran (kecuali Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan ) yang
menjadi tanggung jawabnya.
(5) Memberikan program remedi pengajaran (remedial teaching), pengayaan/percepatan
bagi peserta didik yang membutuhkan.
(6) Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang tugasnya.
b. Tugas guru mata
pelajaran antara lain sebagai berikut:
(1) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga
anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2) Menyusun dan
melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan
kebutuhannya
(3) Menyusun program
pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).
(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian kegiatan belajar
mengajar untuk mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
(5) Memberikan
program Perbaikan (remedial teaching),
pengayaan/percepatan bagi peserta didik
yang membutuhkan.
c. Tugas Guru
Pendidikan Khusus antara lain sebagai
berikut
(1) Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama
dengan guru kelas dan guru mata pelajaran
(2) Membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah
dan orang tua peserta didik.
(3) Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada
kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru
bidang studi.
(4) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak
berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran di kelas umum, berupa remidi ataupun pengayaan.
(5) Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat
catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan
pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.
(6) Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas
dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus
Guru berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan pada usia dini pada jalur
pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kedudukan untuk
masing-masing guru secara rinci meliputi:
a.
Guru Kelas berkedudukan di sekolah dasar yang
di tetapkan berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
oleh sekolah.
b.
Guru mata pelajaran/bidang studi adalah guru
yang mengajar mata pelajaran tertetu sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di
sekolah.
c.
Guru Pendidikan Khusus berkedudukan sebagai
guru pendamping khusus. Secara administrasi status kepegawaian, ada beberapa
alternatif yang memungkinkan.
D. Kegiatan Pembelajaran
1.
Perencanaan
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada kelas
inklusif antara lain seperti di bawah ini.
a. Merencanakan
pengelolaan kelas
b. Merencanakan
pengorganisasian bahan
c. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar
mengajar
d. Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar
e. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar
f. Merencanakan
penilaian
- Pelaksanaan
a.
Melaksanakan apersepsi
b.
Menyajikan materi/bahan pelajaran
c.
Mengimplementasikan metode, sumber/media
belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik
siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
d.
Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif
e.
Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan
relevansinya dalam kehidupan
f.
Membina hubungan antar pribadi, antara lain:
(1) Bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) Menampilkan
kegairahan dan kesungguhan; (3) Mengelola interaksi antar pribadi.
2. Prinsip-Prinsip
Pembelajaran
a. Prinsip
motivasi
b. Guru
harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah
dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
a. Prinsip
latar/konteks
c. Guru
perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di
lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan
materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
d. Prinsip keterarahan
e. Setiap
akan melakukan kegiatan pembalajaran, guru harus merumuskan
tujuan secara jelas, menyiapkan bahan
dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat
f. Prinsip
hubungan sosial
g.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu
mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara
guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta
interaksi banyak arah.
h.
Prinsip belajar sambil bekerja
i. Dalam
kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk
melakukan praktek atau percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan,
penelitian, dan sebagainya.
j. Prinsip
individulisasi
k. Guru
perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam,
baik dari seagi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya,
sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan
perlakuan yang sesuai.
l. Prinsip
menemukan
m. Guru
perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk
terlibat seacara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan atau emosional.
n. Prinsip
pemecahan masalah
o. Guru
hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan
sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan
memecahkannya seasuai dengan kemampuannnya.
E. Penilaian dan Sertifikasi
1.
Penilaian
Penilaian dalam setting inklusif ini mengacu pada model
pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
a. Apabila
menggunakan model kurikulum reguler
penuh, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada sekolah
reguler.
b. Jika
menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi, maka penilaiannya
menggunakan sistem penilaian reguler yang telah dimodifikasi sekolah disesuaikan
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.
c. Apabila
menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat individu dan didasarkan
pada kemampuan dasar (base line).
2.
Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil
Belajar
a.
Sistem Kenaikan
kelas
1.
Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum
reguler penuh, sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang berlaku pada
sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.
2.
Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum
reguler yang dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat menggunakan
alternatif berikut: (1) menggunakan model kenaikan kelas yang didasarkan pada
usia kronologis; (2) menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.
3.
Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum
PPI, sistem kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.
b.
Sistem Laporan
Hasil Belajar
(1)
Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler
penuh, maka model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model raport
reguler yang sedang berlaku.
(2)
Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler
yang dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport reguler yang
dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang menggambarkan kualitas kemajuan
belajarnya.
(3)
Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI,
maka menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi).
Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada kemampuan dasar (base line anak).
3.
Sertifikasi
F. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana
dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak
yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif
pada satuan pendidikan tertentu.
Pada
hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi,
tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas
bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
D. Model-Model Sekolah
Inklusif di Indonesia
Pelaksanaan
sekolah inklusif di Indonesia mengacu pada pendapat Vaughn, Bos & Schumn
dalam Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007: 6-10) yang mengemukan
bahwa dalam praktek, istilah inklusi dipakai secara bergantian dengan istilah “mainstreaming”
yang diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan
individualnya. Dengan demikian penempatan anak berkelainan harus dipilih yang
paling bebas di antara alternatif layanan yang disediakan dan didasarkan pada
potensi dan jenis serta tingkat kelainannya. Penempatan tersebut tidak
permanen, tetapi sementara; dengan demikian siswa berkelainan dimungkinkan
secara fleksibel pindah dari satu alternatif layanan ke alternatif lainnya,
dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya
inklusi, tetapi dalam prakteknya menyediakan berbagai alternatif layanan yang
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Model ini sering disebut dengan
inklusi moderat.
Mengacu pada
pendapat Vaughn, Bos & Schumn dalam Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
(2007: 6-10); penempatan anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus di
sekolah inklusif di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai model, yaitu :
1.
Kelas reguler “ Full Inclusion”
Anak berkelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif
sepanjang hari dengan menggunakan kurikulum yang sama dengan yang digunakan
anak pada umumnya.
2.
Kelas reguler dengan cluster
Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di
kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus
3.
Kelas reguler dengan pull out
Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di
kelas reguler/inklusif, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari
kelas reguler/inklusif ke ruang bimbingan/ruang sumber untuk belajar dan
mendapat layanan bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus
4.
Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di
kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang bimbingan/ruang sumber
untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing
Khusus
5.
Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan
bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler/ inklusif; tetapi dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar
bersama anak lain di kelas reguler/inklusif
6.
Kelas khusus penuh
Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan
bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus yang
ada pada sekolah reguler/inklusif.
Dalam model sekolah
inklusif tersebut anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus tidak harus
berada di kelas reguler/inklusif sepanjang hari untuk mengikuti semua mata
pelajaran atau “inklusi penuh”; tetapi sebagian anak berkelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus dapat berada di kelas khusus/ruang sumber atau di ruang
terapi untuk memperoleh bimbingan belajar
DAFTAR PUSTAKA
Allen, K Eillen.
(l980). Maistreaming in early childhood education. New York, USA:
Delmar Publisher Inc.
Amer, Atta Malik, et
all. (2007). Inclusive school and inclusive teacher. The Dialogue
Journal (Volume IV nomor: 2)
Ashman, Andrian &
John Elkins. (l994). Educating children with special needs. Victoria,
Australia: Prentice Hall of Australia Pty Ltd.
Cruickshank, William
dan G. Orville Jonhson. (1958).Exceptional Children and Youth. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Balai Pustaka. 22
_____
(1988). UUD 1945 P4 GBHN ( Tap No : II/MPR/1988). Jakarta.
Percetakan UIP.
_____
(2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Simtem Pendidikan Nasional. Jakarta
Hallahan, DP &
Kauffman, JM (1988). Exceptional children, introduction to special
education.(4th Edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Lewis, Rena B.(1983). Teaching
special students in the mainstream. Colombus, Toronto, London, Sydney:
Charles E. Merril Publising Company & A Bell & Howell Company.
Menteri Pendidikan
Nasional RI. (2007).Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 16
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional RI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.
______(2009).Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif
bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa.
Mulyono Abdulrahman.
(2003).Landasan pendidikan inklusif dan implikasinya dalam
penyelenggaraan LKPTK. Makalah disajikan daalam pelatihan penulisan
buku ajar bagi dosen Jurusan PLB yang diseleggarakan oleh Ditjen Dikti
Depdikbud. Yogyakarta, 26 Agustus 2002
Slee,
Roger (2003), Inclusive Education,
(International Jurnal vol. 7 no. 1)
Skidmare,
David (2004) Inclusion the Dynamic of
School Development
New York : Open University Press
Stainback,W.
& Sianback,S.(1990). Support Networks
for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education.
Baltimore: Paul
H.Brooks.
Staub,D.
& Peck,C.A.(1994/195). What are the outcomes for Nondisabled students? Educational Leadership.52 (4) 36-40.
Topping,
Keith and Sheelagh Maloney (2005), The
Routledge Falmer Reader In Inclusive Education
New York : Routledge Falmer
Undang
– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO
(1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs
Education. PARIS:Author.
Vaughn,S.,
Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional, Diverse, and at Risk
Student in the General Educational Classroom,Boston:Allyn Bacon.
Warnock,H.M.(1978).
Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry into the Education
of Handicapped Young People. London: Her Majesty’s
Stationary Office.