Menumbuhkan
“Culture of Hope” dalam Sistem
Pendidikan Nasional
Melalui
Pemikiran KH Ahmad Dahlan
Oleh
:
A. Latar Belakang
Sekolah
sebagai ruang reproduksi sumber daya manusia berperan penting dalam pembangunan
bangsa.Di lembaga pendidikan bernama “sekolah” lah banyak orang menggantungkan
masa depannya.Dengan demikian sekolah haruslah mampu membangun harapan masa
depan yang cerah bagi peserta didik, agar memiliki motivasi dan pandangan hidup
yang barbasis pada “culture of hope”
positif untuk menjalankan kehidupan selanjutnya. Sekolah diharapkan dapat
“membaca” masa depan di mana para siswa nantinya mampu berperan di masyarakat,
sehingga apa yang ditanamkan saat ini memiliki dampak positif bagi
kebermanfaatan siswa di masa mendatang. Penguasaan literasi, penguatan
karakter, dan kemampuan 4 C (creativity,
critical thinking, collaboration, and communication) yang digaungkan oleh Bapak
Anies Baswedan dalam perayaan Hardiknas 2016 dapat dijadikan barometer bagi
sekolah agar dapat menghasilkan generasi yang siap menghadapi masa depan. Sebagai
media mobilitas sosial vertikal, yang diharapkan oleh siswa tidak mampu agar dapatkeluar dari jerat kemiskinan ternyata
kurang berperan secara maksimal. Sekolah sebagai wahana pendidikan cenderung hanya
melakukan transfer of knowledgedan lebih
memfasilitasi kalangan siswa mampu untuk dapat mengakses pendidikan yang
berkualitas baik, sehingga lebih menampakkan wujudnya untuk melestarikan status quo kelas menengah dan atas.
Sudah
jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib siswa miskin menggali potensi di tengah
minimnya akses pendidikan bagi mereka. Hal itu menjadi ironis, manakala
pemerintah daerah belum seluruhnya menepati amanah Undang-Undang Dasar RI Tahun
1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk mengalokasikan dana
pendidikan minimal sebesar 20% (Didik Suhardi: Koran-sindo.com/18/04/2016). Di
dalam UU RI Tahun 1945 pasal 31 dikatakan “Negara memperioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,” yang selanjutnya
ditegaskan kembali di dalam UU Sisdiknas pasal 49 dikatakan bahwa ” Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.Dapat
dilihat sebagai contoh, provinsi Sulawesi selatan yang hanya menganggarkan 2,4%
dari APBD untuk pendidikan (Muhammad Yunus: Makassarterkini.com/06/09/2016).Angka
yang sangat jauh dari standar minimal 20%. Indikator lainnya untuk melihat
apakah seluruh anak Indonesia usia sekolah sudah mengenyam pendidikan dapat
dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Berikut
data angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) mulai dari
PAUD, SD/sederajat, SMP/sederajat, dan SMA sederajat tahun 2014/2015:
Tabel
1
APK dan APM tahun 2014/2015
Jenjang
|
APK
|
APM
|
PAUD
sederajat (TK, TKLB, RA, TPA, KB, SPS)
|
68,10%
|
-
|
SD
sederajat (SD, SDLB, MI, Salafiyah Ula)
|
109,05%
|
93,53%
|
SMP
sederajat (SMP, SMPLB, MTs, Paket B, Salafiyah Wustha)
|
100,51%
|
80,76%
|
SMA
sederajat (SMA, SMLB, MA, SMK, Paket C)
|
75,53%
|
57,15%
|
Dari
tabel di atas, dapat dilihat untuk APK PAUD 68,10%. Hal ini menandakan bahwa
tidak semua anak usia 6 tahun mengikuti program PAUD, meskipun sedang digalakanoleh
pemerintah, tetap saja ada “harga” yang harus dibayarkan oleh orang tua untuk
menyekolahkan anaknya di lembaga PAUD yang bermutu baik, lagi-lagi terjadi
diskrepansi akses untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi orang tua yang
tidak mampu membayar “lebih”. Selanjutnya dari tabel di atas juga dapat dilihat
bahwa angka partisipasi murni siswa SD hingga SMP belum mencapai 100%. Ini
menandakan bahwa sekalipun pemerintah memiliki program wajib belajar 9 tahun di
mana seluruh anak Indonesia yang berusia 7-15 tahun diwajibkan untuk bersekolah
dan dikatakan “gratis” tapi nyatanya belum semuanya mampu mengenyam pendidikan.
Hal ini antara lain disebabkan oleh minimnya jumlah sekolah negeri yang dapat
diakses oleh para siswa dan akhirnya bagi siswa yang tidak tertampung di
sekolah negeri, mereka mau tidak mau beralih ke sekolah swasta. Bagi siswa yang
bersekolah di sekolah swasta, tidak semua biaya digratiskan, tentunya ada biaya
tambahan lain, seperti: uang pendaftaran, SPP, seragam, buku paket, dll. Bagi
orang tua dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, alih-alih memilih sekolah
negeri, mereka lebih mempercayai anak mereka di sekolah swasta yang sudah
memiliki nama dan sudah dapat dipastikan ada cost yang harus dibayar. Lagi-lagi terjadi diskriminasi akses untuk
siswa miskin dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.Akhirnya mereka
tertampung di sekolah-sekolah dengan kategori “terbatas”.
Sekolah
pada situasi yang serba terbatas,
baik fasilitas sekolah, tenaga
pengajar maupun dana pendidikan, selanjutnya dapat
ditempatkan sebagai sekolah miskin. Keberadaan sekolah miskin dalam hal ini
adalah sekolah yang mengalami keminiman sumberdaya pendidikan. Selain itu,
adanya sekolah miskin juga dapat ditengarai sebagai dampak yang dihasilkan oleh
tekanan struktural kebijakan negara yang tidak berpihak pada kemajuan
sekolah-sekolah miskin, sehingga membuat
sekolah itu tetap miskin. Kemiskinan sekolah yang direproduksi melalui
kebijakan pendidikan nasional dapat ditengarai melalui beberapa hal.Pertama, kebijakan pendidikan untuk
sekolah miskin yang diskriminatif dalam praktik pendidikan (sekolah miskin
diabaikan).Kedua, bantuan pemerintah
yang selalu berbuntut pada pemberian “upeti” yang dilakukan oleh oknum yang
ingin mengambil keuntungan pribadi di atas jabatan yang dimiliknya.Ketiga, anggaran pendidikan yang
diskriminatif untuk sekolah miskin.Ketiga dilema itu syarat dengan pelanggengan
kondisi yang memiskinkan sekolah yang notabene diakses oleh siswa miskin.
Pada
dasarnya sekolah miskin yang dililit oleh dilema internal dan dilema eksternal
menarik untuk dikaji, mengingat lembaga pendidikan itu banyak diakses oleh
masyarakat dari strata sosial bawah (siswa miskin).Sejauh ini terdapat banyak
ragam studi tentang kemiskinan, namun studi kemiskinan itu hanya dikaitkan dengan
keluarga, agama, dan ekonomi semata.
Kemiskinan
pada dasarnya merupakan suatu kondisi di mana ada ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan
kesehatan.Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Banyak para
ahli mendefinisikan kemiskinan, diantaranya adalah:
1. Bappenas
(1993), mendefinisikan kemiskinan sebagai
situasi kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh orang miskin, tetapi
karena keadaan yang tidak bisa dihindari oleh kekuatan yang ada padanya.
2. Levitan
(1980), Kemiskinan adalah kekurangan barang
dan jasa yang diperlukan untuk mencapai standar hidup yang layak.
- Faturchman dan Marcelinus Molo (1994), mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
- Menurut Ellis (1994), kemiskinan adalah fenomena multidimensi yang dapat dianalisis dari ekonomi, sosial dan politik.
- Menurut Suparlan (1993), kemiskinan didefinisikan sebagai tingkat rendah standar hidup, yaitu tingkat kekurangan materi dalam jumlah atau sekelompok orang dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
- Reitsma dan Kleinpenning (1994), kemiskinan mendefisnisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik material dan non-material.
- Friedman (1979), ketimpangan kemiskinan kesempatan untuk merumuskan kekuatan dasar dari sosial, yang meliptui: asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial sosial politik untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna.
Berbicara mengenai kemiskinan, maka akanditemui beberapa
jenis kemiskinan yaitu:
- Kemiskinan absolut. Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien.
- Kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain dalam suatu daerah.
- Kemiskinan Struktural. Kemiskinan struktural lebih menuju kepada orang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah.
- Kemiskinan Situsional atau kemiskinan natural. Kemiskinan situsional terjadi di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan oleh karenanya menjadi miskin.
- Kemiskinan kultural. Kemiskinan penduduk terjadi karena kultur atau budaya masyarakatnya yang sudah turun temurun yang membuat mereka menjadi miskin (Mardimin, 1996:24).
Kemiskinan
terjadi tentunya pasti ada faktor-faktor penyebabnya. Dibawah ini ada 2
Faktor-faktor penyebab kemiskinan, yaitu: secara manusia dan secara non
manusia.
a.
Faktor-Faktor penyebab kemiskinan secara manusia:
Adapun
Faktor-Faktor penyebab kemiskinan secara manusia, yaitu:
1.
Sikap dan pola pikir serta wawasan yang rendah, Malas berpikir dan
bekerja.
2.
Kurang keterampilan.
3.
Pola hidup konsumtif.
4.
Sikap apatis/egois/pesimis.
5.
Rendah diri.
6.
Adanya gep antara kaya dan miskin.
7.
Belenggu adat dan kebiasaan.
8.
Adanya teknologi baru yang hanya menguntungkan kaum tertentu (kaya).
9.
Adanya perusakan lingkungan hidup.
10.
Pendidikan rendah.
11.
Populasi penduduk yang tinggi.
12.
Pemborosan dan kurang menghargai waktu.
13.
Kurang motivasi mengembangkan prestasi.
14.
Kurang kerjasama.
15.
Pengangguran dan sempitnya lapangan kerja.
16.
Kesadaran politik dan hukum.
17.
Tidak dapat memanfaatkan SDA dan SDM setempat, dan
18.
Kurangnya tenaga terampil bertumpun ke kota.
(Manurung, 1993:4)
b.
Faktor-Faktor penyebab kemiskinan secara non manusia:
Adapun
Faktor-Faktor penyebab kemiskinan secara non manusia:
1)
Faktor alam, lahan tidak subur/lahan sempit
2)
Keterampilan atau keterisolasi desa.
3)
Sarana pehubungan tidak ada.
4) Kurang
Fasilitasi umum.
5)
Langkanya modal.
6) Tidak
stabilnya harga hasil bumi.
7)
Industrialisasi sangat minim.
8) Belum
terjagkau media informasi.
9)
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga desa.
10) Kepemilikan
tanah kurang pemerataan.
(Manurung, 1993:5)
Mengkaji
kemiskinan kaitannya dengan pendidikan, relatif masih sedikit.Beberapa diantaranya
adalah studi yang sudah dilakukan oleh saudara Mustafa. Menurutnya masyarakat
miskin kota, hidup dalam kantong-kantong kemiskinan yang diproduksi oleh culture keluarga, yang tanpa disadari
terus mereproduksi kemiskinannya. Cara pandang
yang menganggap pendidikan tidak penting juga merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan kemiskinannya (Mustafa, 2004).
Pendidikan
dan kemiskinan adalah refleksi ironis dari sebuah negara, khususnya Indonesia.
Pada satu sisi pendidikan berfungsi untuk mengembangkan potensi siswa yang
hidup dalam kemiskinan sehingga mampu keluar dari jerat kemiskinannya, namun di
sisi lain pendidikan juga dapat mereproduksi kemiskinan. Hal itu dapat terjadi
manakala kecenderungan politik pendidikan (UU akses pendidikan bagi orang
miskin, dan alokasi anggaran bagi sekolah dan siswa miskin) tidak berjalan
secara produktif.Kejadian ini dibuktikan melalui studi yang dilakukan oleh
Sarkadi dengan tema Politik Pendidikan di Indonesia.Menurutnya, konsistensi
kebijakan pendidikan memiliki posisi yang strategis untuk menciptakan
pendidikan yang berkualitas.Pada konteks ini, kebijakakan pendidikan dengan
orientasi politik pendidikan yang positif dapat berdampak pada kemajuan seluruh
instrumen pendidikan, baik guru, siswa, dan lembaga pendidikannya (Sarkadi,
2012).
Bersandar
pada studi yang berbeda dari dua studi sebelumnya juga kita dapat temukan melalui
studi yang dilakukan Hubertus Ubur dengan tema Pendidikan dan kemiskinan
Masyarakat Wudi Manggarai, Flores Barat. Di dalam temuan studinya Ia
menyampaikan bahwa institusi pendidikan telah berhasil melaksanakan perannya
diranah sosialisasi ilmu pengetahuan dan tranformasi skill ( Ubur, 2004). Namun, pada konteks ini pendidikan belum
berhasil membebaskan siswa dari jerat kemiskinan.Alasan mendasar dari ketidakmampuan
lembaga pendidikan dalam mengentaskan kemiskinan di Flores karena terbentuk
oleh budaya masyarakatnya sendiri.
Hasil
penelitian menarik lainnya dilakukan oleh Budiana yang berjudul “Pengaruh Kemiskinan Terhadap
Pendidikan Anak dan Kondisi Fisik Bangunan Rumahdi Desa Manduro Kecamatan Kabuh
Kabupaten Jombang”. Penelitian yang dilakukan pada 89 responden (orang tua) ini
menyimpulkan bahwa kemiskinan tidak menghalangi mereka untuk menyekolahkan
anaknya hingga jenjang SMP sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Tabel 2
Pendidikan Anak
Berdasarkan Klasifikasi Kemiskinan di Desa Manduro Tahun 2013
Berdasarkan
tabel 1 di atas, diperoleh informasi bahwa anak dari keluarga paling miskin
terlihat paling banyak yang sedang menempuh dan telah mendapatkan ijazah pada
jenjang pendidikan SMP dan SMA. Terdapat
14 anak yang sedang menempuh pendidikan SMP dan 50 anak yang telah lulus
SMP.Dari 64 anak, 51 diantaranya berasal dari keluarga paling miskin.Berdasarkan
hasil penelitian di atas, mengindikasikan bahwa kemiskinan tidak menghalangi
mereka untuk tetap mengenyam pendidikan dasar 9 tahun.
Studi
sebelumnya yang dilakukan oleh Mustofa berfokus pada kemiskinan yang diproduksi
oleh kultur keluarga dan studi yang dilakukan oleh Sarkadi berfokus diranah
analisis kebijakan pendidikan tentang mutu guru. Sedangkan studi yang dilakukan
oleh Ubur menyatakan bahwa lembaga pendidikan belum mampu mengentaskan
kemiskinan, karena faktor budaya masyarakat Flores yang menghalanginya.Dan
hasil penelitian Budiana yang hanya menggunakan pendekatan kuantitatif yang
berdampak pada hasil penelitian yang kurang mendalam, sehingga keempatstudi
tersebut kurang menyentuh aspek kemiskinan yang mendasar di level mikro maupun
dilevel makro. Berbeda halnya dengan studi ini yang berusaha untuk melihat
sejauh mana sekolah miskin mampu membangun “hope”
bagi siswa miskin untuk keluar dari jerat kemiskinannya. Kemenarikan dari studi
ini terletak pada kondisi sekolah dalam keterbatasan infrastruktur (sekolah
miskin) dan sumber daya manusia mampu memberikan pendidikan bagi masyarakat
strata bawah itu ditengah himpitan kebijakan pendidikan yang kurang berpihak
terhadap lembaga pendidikannya sehingga diharapkan mampu memutus reproduksi
kemiskinan.
Menurut
Lawrence dalam studinya pendidikan anak muda yang hidup dalam kemiskinan:
pembelajaran berbasis inisiatif siswa atau pembelajaran berbasis intruksi guru?
(Lawrence, 1988). Pendidikan untuk siswa yang hidup dalam kemiskinan hendaknya
berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik yang menekankan
pembelajaran berbasis pada inisiatif belajar anak.Sedangkan dalam artikel Daile
yang berjudul education and emergence
from poverty, mengatakan bahwa sekolah yang berfungsi untuk mengentaskan
kemiskinan selalu dihadapkan pada masalah gaji guru yang minim, pengalaman guru
yang sempit, pengadaan buku ajar, gedung sekolah, jumlah kelas, dan lokasi
sekolah yang berada ditengah kemiskinan (Daile, 1964: 434). Sekolah sebagai
media untuk mengentaskan siswa dari lilitan kemiskinan seharusnya sudah mulai
mencoba untuk melakukan pendekatan yang berbasis pada relasi antara sekolah,
siswa, lingkungan rumah (keluarga dan tetangga), dan orang tua (Daile, 1964:
434).Dengan melakukan hal itu sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu
menghubungkan sekaligus menumbuhkan skill siswa kurang mampu kedalam sistem
kerja berbasis modern culture.
Dalam
studi lain dapat ditemui melalui Lewis yang mengangkat tema education is the only way out of poverty, mengatakan
bahwa pengentasan kemiskinan dapat dilakukan melalui pendidikan. Menurut Lewis
fungsi sekolah dan guru adalah membentuk kesadaran siswa miskin untuk bisa
memiliih jalan hidup yang lebih baik (Lewis, 1994: 181).Pada konteks ini guru
memang tidak bisa memberikan pekerjaan atau menghapus segala problem sosial di
tengah kemiskinan siswa, namun guru dan sekolah dapat memberikan “self consciousness” pada siswa untuk
memilih jalan yang terbaik atas masalah-masalah yang menimpanya(Lewis, 1994:
181).
Bahkan
K.H Ahmad Dahlan membuat gerakan pendidikan diawal berdirinya Muhammadiyah
sebelum pada akhirnya berkembang ke berbagai kegiatan perbaikan sosial (social welfare).Diawal berdirinya beliau
merasa bahwa umat islam masih terjajah, terbelakang, sehingga tertinggal dalam
hal pendidikan. Inilah sebabnya
Muhammadiyah sebagai gerakan islam dan dakwah menjadikan pendidikan sebagai
ujung tombak yang strategis dalam pengentasan ketertinggalan/kemiskinan.Model
pendidikan yang
ditawarkan KH.Ahmad Dahlan merupakan sintesis antara model pendidikan Belanda
dengan model pendidikan tradisional.Pendidikan dalam hal ini tidak hanya
terbatas pada sekolah formal tetapi mencakup semua usaha yang dilaksanakan
secara sistematis untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan, nilai dan
keterampilan dari generasi terdahulu kepada generasi muda.Adapun tujuan
pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu membentuk manusia yang: 1) alim dalam
ilmu agama, 2) Berpandangan luas, 3) Siap berjuang mengabdi pada masyarakat. Rumusan
tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan
pesantren yang hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami
ilmu agama.KH.Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna
adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum,
material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi beliau keduanya tersebut
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Mengkaji
Ekslusi Sosial Dalam Pendidikan di Tengah Kelekatan
Negara-Ekonomi- dan Masyarakat
Tulisan ini
akan membahas kekuatan dan kelemahan akses pendidikan bagi masyarakat miskin ditengah
kelekatan antara negara, ekonomi, dan masyarakat. Secara spesifik tulisan ini
akan menghadirkan kasus empiris, yaitu akses pendidikan bagi warga miskin di
Indonesia untuk dianalisis menggunakan matriks pendekatan kelekatan diantara
relasi negara dengan ekonomi serta dengan masyarakat.
Konseptualisasi
konsep sejahtera dan kaya diranah akumulasi modal materil dan non materil pada
konteks global semakin menguatkan budaya kapitalisme.Saat ini kapitalisme telah
mempengaruhi seluruh tata kehidupan manusia, bahkan kapitalisme telah hinggap
di dalam budaya pendidikan nasional. Hinggapnya budaya kapitalisme didalam
dunia pendidikan telah menggeser orientasi pendidikan menjadi dominasi ekonomi
yang bertumpu pada aspek pertumbuhan, dan tidak lagi pada aspek kemanusiaan.
Idealisme
pendidikan yang berfungsi untuk menciptakan manusia kreatif dan inovatif mulai
meredup pasca menguatnya kapitalisme sebagai budaya global.Pada konteks ini
penetrasi kapitalisme menggiring pendidikan menjadi ajang bisnis yang menguntungkan
segelintir kelompok di dalam masyarakat, terutama kelompok yang memiliki modal
finansial yang memadai.Menurut Tilaar, masuknya budaya komersil sebagai idola
kapitalisme diranah pendidikan telah menggeser fungsi pendidikan menjadi ruang
pelatihan untuk menghasilkan manusia pekerja yang dibutuhkan oleh dunia
industri saja (Tilaar, at all, 2008: 33).
Masuknya
kapitalisme kedalam budaya pendidikan telah menggeser orientasi dan mereduksi
makna pendidikan.Pergeseran itu kian terasa manakala pendidikan yang awalnya
berusaha untuk memanusiakan manusia dengan jargon “pendidikan untuk semua"
melalui pemberian akses pendidikan berkualitas bagi siapa saja, berganti
menjadi “pendidikan tidak untuk semua". Kondisi itu ingin menegaskan bahwa
siapa yang memiliki modal finansial memadai (bermodal) maka ia akan mudah
mengakses pendidikan yang berkualitas. Sedangkan bagi kalangan yang modal
finansialnya terbatas (masyarakat miskin) akan mengalami kesulitan mengakses
pendidikan berkualitas.
Pada
konteks ini jurang sosial juga semakin melebar antara masyarakat yang memiliki
modal finansial yang memadai dengan masyarakat yang tidak memiliki modal
memadai dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.Hal tersebut terjadi
manakala keterlekatan antara ekonomi dan masyarakat begitu kuat, dan Negara
tidak hadir didalamnya.Kondisi yang demikian mengharuskan Negara memiliki
intervensi terhadap dominasi ekonomi diranah pendidikan yang berlebihan.Oleh
karena itu keterlekatan antara Negara dengan ekonomi dan ekonomi dengan
masyarakat harus bersifat reciprocal
atau saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.Artinya relasi
diantara ketiga elemen itu harus seimbang tidak ada yang mendominasi dan tidak
ada yang terdominasi. Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan hubungan
keterlekatan antara Negara, ekonomi, dan masyarakat akan digambarkan seperti
dibawah ini:
Gambar
1: Keterlekatan antara Negara, Ekonomi dan Masyarakat
Ditengah
kuatnya penetrasi kapitalisme diranah pendidikan membuat masyarakat mengalami
proses ekslusi sosial. Proses ekslusi sosial ini ditengarai ketika seseorang
tidak lagi mampu untuk beradaptasi dan berpartisipasi kedalam sistem pendidikan
yang berlaku di suatu masyarakat dimana ia hidup. Meminjam gagasan Byrne
ekslusi sosial merupakan potret multidimensional dari ketidakmampuan untuk
berpartisipasi kedalam pengambilan keputusan melalui proses politik, akses
pekerjaan dan akses sumberdaya materil yang terintegrasi kedalam kebudayaan
yang berlaku secara umum dimana ia hidup (Holborn, et all, 2004: 252).
Negara
memang sudah melakukan berbagai strategi untuk mempermudah akses pendidikan
untuk masyarakat miskin.Bentuk kepedulian pemerintah terhadap akses pendidikan
bagi warga miskin ditunjukkan melalui berbagai program pendidikan untuk masyarakat
bawah itu.Beberapa bantuan pendidikan untuk masyarakat kurang mampu antara lain
melalui BOS, beasiswa retrieval, BOP,bantuan siswa miskin, dan pemenuhan
nutrisi serta kalori untuk kesehatan masyarakat miskin.Namun demikian,
intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan itu tidak ditampakkan melalui
implementasi monitoring dan evaluasiyang memadai.Pada konteks ini, pemberlakuan
kebijakan pendidikan untuk orang miskin yang hanya ada di tataran kebijakan
semata tanpa disertakan dengan produk hukum yang kuat seakan menggambarkan
Negara tidak hadir untuk masyarakat, justru yang hadir ditengah masyarakat
adalah dominasi yang begitu kuat disektor pendidikan.
Kemiskinan: Telaah
Kondisi Empiris Jakarta
Pada
konsteks global, perdebatan tentang kemiskinan sebagai masalah sosial sangat laris
di semua kalangan baik akademisi, pemerintahan, maupun pengusaha.Akademisi
sibuk untuk mencari format konseptual dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah
sibuk mencari solusi untuk memecahkan masalah kemiskinan, dan usahawan juga
turut sibuk memikirkan kemiskinan agar perusahaannya tidak dirongrong oleh aksi
masyarakat yang melakukan demonstrasi menuntut keadilan. Inti semua upaya dari
berbagai kalangan memikirkan kemiskinan dikarenakan oleh satu kekhawatiran:
yaitu kemiskinan sebagai masalah sosial dapat berdampak pada semua sektor
kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Kemiskinan
sebagai masalah sosial memang tidak selalu menjadi masalah yang melekat di
negara-negara berkembang. Bahkan di negara-negara maju-pun, kemiskinan menjadi
masalah yang sama seriusnya. Hanya saja
masalah kemiskinan di negara-negara maju memiliki kadar dan kompleksitas yang
berbeda, jika dibandingkan dengan masalah kemiskinan yang melekat di negara
berkembang. Kemiskinan di negara berkembang jauh lebih rumit dan kompleks jika
dibandingkan negara-negara maju.Kita bisa menengok Jakarta sebagai contoh
melihat kerumitan dan kompleksitas masalah kemiskinan.Jakarta di tengah lajur
kemajuan pembangunan ternyata meninggalkan banyak masalah sosial, salah satu masalah
sosial yang membuat kita gregetan
adalah “kemiskinan”.
Jakarta
sebagai kota besar seharusnya mampu menjadi arena membangun peradaban. Namun,
arena membangun peradaban kota kurang menampakkan wujudnya, justru malah
sebaliknya, yaitu merobohkan Jakarta sebagai kota yang menjadi kurang beradab.
Penggusuran pemukiman kumuh, pedagang kaki lima, pemandangan kaum-kaum marjinal
(gepeng/gelandangan dan pengemis),
anak-anak jalanan, pembangunan gedung yang tidak ramah lingkungan, dan polusi
transportasi umum adalah tanda Jakarta kurang beradab. Selain itu, meningkatnya
fenomena perampokan, tawuran pelajar, pengangguran, dan ketidakadilan lainnya,
juga merupakan tanda yang disebabkan oleh masalah kemiskinan yang sedemikian
rumit dan kompleks. Kemiskinan yang tak kunjung diselesaikan akan berdampak
pada situasi sosial-psikologis kewargaan (cititizen)
sebagai ruang penting didalam masyarakat kota dapat hilang. Masalah kemiskinan
yang melanda Jakarta sedemikian menggurita, sehingga berdampak negatif bagi
kehidupan masyarakatnya.
Banyak
faktor yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia, khususnya di kota Jakarta.
Diantara banyak faktor yang terus menyuburkan kemiskinan sebagai masalah sosial
salah satunya adalah ketidakadilan pada taraf kehidupan antara kaum kaya dan
kaum miskin.Kemiskinan di Jakarta merupakan dampak dari jurang sosial antara
kaum miskin dan kaum kaya yang terlampau “menganga”
hingga sulit untuk ditutup rapat.Hal ini ditandai oleh situasi dimana kaum kaya
semakin kaya, dan kaum miskin semakin terperosok kedalam kemiskinannya.Penyebab
disparitas sosial ini dilatari oleh banyak sebab, salah satu sebabnya ialah
kaum kaya bebas berkendak untuk melakukan apapun, baik untuk mengembangkan
potensi diri (intelektual, moral, dan kemampuan diri), serta mengembangkan modal
materil melalui institusi pendidikan.Sedangkan pendidikan yang diharapkan mampu
menjadi saluran untuk meningkatkan taraf hidup kaum miskin ternyata tidak
kunjung dapat terlaksana. Factor dominan yang menyebabkan hal itu terjadi,
salah satu faktornya ialah sejauh ini kebijakan pemerintah untuk pendidikan
kaum miskin belum menyentuh persoalan substantive
dikalangan orang miskin kota. Sampai hari ini kebijakan pemerintah masih hanya
berada di ranah ekonomi (BOS, beasiswa bidik misi, bantuan siswa miskin, kartu
Indonesia pintar)(sumber: http://dikdas.kemdikbud.go.id/).Selain itu di dalam
renstra Dinas Pendidikan DKI Jakarta 2013 s.d 2017 dicantumkan beberapa program
diantaranya: program wajib belajar 12 tahun melalui pemberian biaya operasional
pendidikan (BOP), biaya operasional buku (BOB), biaya personal siswa miskin
(BPSM) melalui kartu Jakarta pintar. Berbagai Jenis bantuan tersebut seakan
tidak kunjung menjadikan sekolah sebagai saluran pendidikan untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat miskin kota, hal ini dapat dilihat dari nilai APM SD sederajat
sebesar 95,54%, APM SMP sederajat sebesar 93,52%, dan APM SMA sederajat sebesar
64,32%. Angka putus sekolah untuk siswa SD di DKI Jakarta sebesar 0,25%, angka
putus sekolah untuk SMP sebesar 0,36% dan angka putus sekolah untuk SMA sebesar
0,36% (sumber: pusat datastatistik pendidikan dan kebudayaan, Tahun 2015)
Masalah
sosial kemiskinan harusnya dapat diselesaiakan secara cepat, jika pemerintah
dapat memaksimalkan peran institusi pendidikan.Institusi pendidikan merupakan
sektor strategis dalam mengentaskan kemiskinan. Penulis sependapat dengan
gagasan saudara (Heuke, SJ) yang mengatakan: Bagaimana pemerintahan DKI dan institusi pendidikan menciptakan
sesuatu, agar orang merasa Jakarta itu kota saya, sehingga anak muda sudah
belajar dari SD tentang Jakarta itu apa (Rohaniawan Heuken. SJ, warga
Menteng).Meminjam gagasan Paulin Rose
bahwa selain menjadi media untuk merubah relasi kekuasaan yang tidak adil,
pendidikan juga bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang
kronis (Rose, 2008:2).Dengan demikian pendidikan mampu manjadi institusi yang
dapat berkontribusi dalam membangun Jakarta yang beradab.
Pemikiran
KH Ahmad Dahlan untuk menumbuhkan Culture
of Hopepada diri siswa
Salah satu caramembangun culture of hope pada diri siswa dapat
dilakukan dengan mengimplementasikan pemikiran futuristik KH Ahmad Dahlan. KH
Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah, memiliki gagasan tentang kemanusiaan
sebagai dasar kerjasama dan kesatuan seluruh umat manusia. Menurut K.H. Ahmad
Dahlan, pendidikan hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari
tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan
pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami
ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan
sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan tersebut
KH.Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah
melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan
spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum,
material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH.Ahmad Dahlan mengajarkan
pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
KH.
Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:
a.
Pendidikan
moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh
yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan
dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.
Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.
Penggunaan metode pembelajaran yang
dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan
penyadaran. Hal ini karena pelajaran tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami
secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.Hubungan
antara guru-murid yang dibangun Ahmad Dahlan dengan mengembangkan hubungan
guru-murid yang akrab.Hal ini diyakini karena guru memegang peranan yang
penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-anak didik menjadi insan
kamil/insan paripurna.
Relevansi
pemikiran tokoh KH. Ahmad Dahlan kaitannya dengan penumbuhan culture of hope pada diri siswa, yakni
kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.
Pendidikan
moral, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
tidak semata-mata mengutamakan dimensi intelektualitas, tetapi juga dimensi
afektif, sosialitas, emosionalitas, dan spiritualitas, maka sudah selayaknya
melakukan pendidikan moral. Pendidikan moral di sekolah ini penting
diperhatikan dan dilakukan karena pendidikan di sekolah harus dipahami sebagai
bagian dari proses pembudayaan anak/siswa. Sekolah merupakan tempat sosialisasi
kedua setelah keluarga.Di sekolah, anak dapat dirangsang pertumbuhan kesadaran
moralnya melalui pelbagai kegiatan yang mungkin di rumah (keluarga) tak
dilakukan.
Pendidikan
moral ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu anak/siswa mengenal,
menyadari, dan menghayati pentingnya nilai-nilai moral yang seharusnya
dijadikan panduan dalam bersikap dan berperilaku, baik secara perorangan maupun
bersama-sama dalam suatu masyarakat. Pemilikan nilai moral yang mendasari
prinsip dan norma hidup yang baik diyakini akan mampu memandu sikap dan
perilaku seseorang dalam hidupnya. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh
nilai-nilai, termasuk nilai moral yang diperoleh melalui pendidikan moral.
Dalam
konteks pendidikan moral di sekolah, agar pendidikan moral tidak terjebak ke
dalam proses indoktrinasi, pendidikan moral perlu menumbuhkan sikap kritis dan
reflektif dalam diri anak. Pendidikan moral perlu memuat pendidikan
nurani dan melatih anak berkomitmen menghayati nilai-nilai moral yang telah
dikenal dan disadari pentingnya itu. Di sini, pelatihan moral menjadi penting
untuk membentuk sikap hati dan melatih kehendak anak untuk membiasakan diri
bertindak sesuai dengan prinsip, norma, dan aturan moral yang berlaku dalam
masyarakatnya. Pendidikan moral mesti mengolah dimensi kognitif, afektif, dan
konatif secara balance dan elegan.
Untuk
itu, pihak sekolah harus menciptakan suatu suasana dan iklim pembelajaran di
sekolah yang sungguh kondusif dalam rangka sosialisasi, desiminasi, dan
internalisasi nilai-nilai moral yang mau dikenalkan, ditumbuhkan, dipahami,
dihayati, dan dipraktikan anak dalam hidupnya, baik sebagai makhluk individu
maupun sosial.
Pihak
sekolah harus menetapkan nilai-nilai moral manakah yang menjadi prioritas di
sekolahnya. Pihak sekolah, mulai dari kepala sekolah sampai jajaran yang paling
bawah, harus menciptakan suasana sekolah yang demokratis-humanistik. Jika
suasana sekolah mengedepankan unsur militeristik dalam proses pembelajarannya,
main perintah, main kuasa, diyakini anak pun cenderung berbuat otoriter dan
sewenang-wenang terhadap teman-temannya. Dengan demikian, suasana di sekolah
justru menggagalkan upaya pendidikan moral tersebut.
Hal
lain yang sangat penting untuk mendukung kesuksesan praktik pendidikan moral di
sekolah adalah keteladanan dari para pendidik dan pemberian semangat bahwa
dengan pendidikan, mereka dapat menata masa depan yang lebih baik lagi.
b.
Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh
yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan
dan intelek serta antara dunia dengan akhirat. Karena bagi
individu, pendidikan memiliki fungsi:
Ø Sebagai sarana
untuk mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Melalui
pendidikan seseorang akan dapat mengasah bakat bawaannya. Orang yang cerdas adalah
orang yang memiliki bakat cerdas dan bakat cerdasnya tersebut telah terasah
melalui proses yang disebut dengan pendidikan. Demikian halnya dengan orang
yang terampil dalam bidang tertentu, ia menjadi terampil bukan semata-mata
karena bakat, melainkan bakat yang dibawa sejak lahir tersebut telah diasah
melalui latihan, dimana latihan merupakan bagian dari pendidikan. Berkaitan
dengan hal tersebut maka para pengelola pendidikan – khususnya guru dan kepala
sekolah - harus mampu memfasilitasi kegiatan belajar para siswa, sedemikian
rupa sehingga para siswa dapat belajar untuk mengembangkan bakatnya
masing-masing semaksimal mungkin dan berupaya mengantarkan mereka untuk menjadi
individu yang bermartabat
yang dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Ø Sebagai sarana
untuk mengubah perilaku. Perilaku merupakan representasi dari
fikiran dan perbuatan seseorang. Seseorang akan dikatakan berperilaku baik jika
fikiran dan perbuatannya baik. Pendidikan memiliki peran penting dalam mengubah
perilaku seseorang dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Melalui pendidikan
yang baik seseorang akan dilatih untuk hanya berfikir dan berbuat hal-hal yang
prositif, oleh karena itu pendidikan memiliki arti yang sangat penting dalam
mengubah perilaku seseorang. Implikasinya adalah bahwa para pengelola dan
pelaksana pendidikan harus mampu memfasilitasi peserta didik agar dapat
memiliki perilaku yang baik. Adapun wujud fasilitasi yang dapat dilakukan oleh
guru dan kepala sekolah adalah melalui keteladanan dan pembiasaan.
Ø Sebagai sarana
untuk mengembangkan fisik, mental dan sipiritual seseorang. Pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang dapat memfasilitasi perkembangan fisik, mental
dan spiritual peserta didik secara seimbang. Dengan demikian, kepala sekolah
dan guru dituntut untuk dapat mendidik para peserta didik bukan saja dari sisi
kemampuan intelektualnya saja, melainkan
mereka harus dapat membimbing para siswa untuk dapat mengembangkan fisiknya dan
ketajaman sipiritualnya, diantaranya dengan memberikan ruang belajar, tempat
bermain, sarana bersosialisasi, fasilitas dan pembiasaan untuk beribadah dan
lain-lain, yang memadai.
Ø Sebagai sarana
untuk mempersiapkan masa depan. Melalui pendidikan yang baik, yang
dapat mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal, baik intelektual,
psikomotorik maupun spiritualnya, akan memungkinkan bagi peserta didik untuk
lebih siap dalam menghadapi masa depan. Oleh karena itu, guru dan kepala
sekolah harus dapat memfasilitasi peserta didik dengan pendidikan berupa bekal
kecakapan hidup.
Ø Membantu
seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Orang yang terdidik
dengan baik(bedakan dengan berpendidikan tinggi), akan memungkinkan baginya
untuk memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan yang lebih baik
dibandingkan dengan orang yang tidak terdidik, karena kemapuan intelektual dan
kecakapan hidupnya memungkinkan bagi dirinya untuk dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapinya. Implikasinya bagi para guru dan kepala
sekolah adalah bahwa sudah selayaknya kegiatan pembelajaran senantiasa
diarahkan kepada pendekatan-pendekatan pembelajaran yang memfasilitasi peserta
didik untuk berlatih memecahkan permasalahan, seperti pembelajaran dengan
pendekatan problem based learning, project based learning, product
based learning, discovery learning dan inquiry learning.
c.
Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.Manusia di samping sebagai makhluk individu, juga makhluk
sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan
tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi
dan sosial. Sebagai makhluk sosial (homo socialis), manusia tidak hanya
mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam
beberapa hal tertentu.Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan
dirinya sendiri.Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol
untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari
individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.Esensi manusia sebagai
makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi
dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan
kewajibannya di dalam kebersamaan.Maka dari itu, sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan
penyadaran bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah agar ia bisa
mengkontribusikan dirinya bagi kebermanfaatan masyarakat luas.
Diharapkan dengan 3 landasan diatas,
dapat membangun culture
of hope pada diri siswa
sehingga terbentuk insan berkarakter dan terpelajar yang memiliki
integritas serta kesadaran etis yang tinggi yang dapat membawa diri dan
keluarganya kepada perubahan hidup yang lebih baik dan keluar dari jerat
kemiskinan, guna kemajuan peradaban pendidikan di Indonesia.
Referensi
Direktorat Pendidikan Dasar,
Kemendiknas, 2011. Policy Brief: Entaskan
Kemiskinan Lewat Pendidikan. Jakarta: Kemendiknas
Farihen, 2013.Akar Pembaharuan Dalam Islam dan Studi Kemuhammadiyahan.Ciputat:
Ceria Ilmu Publishing.
Film dokumenter yang Ditayangkan Oleh Institute For Ecosoc Rights: Bekerjasama
UNDP-Patnership.
Holborn and Haralambos, 2004.Sociology Themes and Prespective: Sixth
Edition. London: Collins Education.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. APK/APM PAUD, SD, SMP, SM Tahun 2014/2015. Jakarta: Pusat Data dan
Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud.
----------------------. 2016. Statistik SD 2015/2016.Jakarta: Pusat
Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud.
----------------------. 2016. Statistik SMA 2015/2016.Jakarta: Pusat
Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud.
----------------------. 2016. Statistik SMP 2015/2016.Jakarta: Pusat
Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud.
Mardimin, Yohanes. 1996. Kritis
Proses Pembangunan di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Mulkhan, Abdul Munir. 2010. Jejak Pembaharuan Sosial dan KemanusiaanKiai
Ahmad Dahlan. Jakarta: Kompas.
Rose, Paulin (at ll), 2008.Chronic Poverty
and Education: a Review of the Literature Chronic. Working Paper: Poverty
Research Centre.
Soedja,
Muhammad. 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan.
Jakarta: Rhineka
Cipta.
Tilaar, at all, 2008.Kebijakan Pendidikan: kebijakan Pendidikan
dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
DAFTAR ID GRATIS SABUNG AYAM ONLINE
BalasHapus* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *
WWW.ID303.INFO
MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *
* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :
- WA : 08125522303
- BBM : CSID303
Sabung Ayam Online Depo S128 Net