MODEL INOVASI DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Kajian mendalam mengenai studi kurikulum dewasa ini semakin mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan yang
menekuni bidang pengembangan kurikulum, teknologi pendidikan dan administrasi
pendidikan. Studi ini dianggap menepati bagian terpenting dalam studi
pengembangan kurikulum dan administrasi pendidikan. Hal ini sangat penting untuk di kaji, sebab
kurikulum adalah komponen penting dan merupakan alat pendidikan yang sangat
vital dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Itu sebabnya, setiap institusi
pendidikan, baik formal dan non formal, harus memiliki kurikulum yang sesuai
dan serasi, tepat guna dengan kedudukan, fungsi dan peranan serta tujuan
lembaga tersebut. Jadi artinya, bermutu atau tidaknya sebuah institusi
pendidikan sangat bergantung pada sistem kurikulumnya.Dalam
kurikulum nasional, semua program belajar sudah baku, dan siap untuk digunakan
oleh pendidik atau guru. Kurikulum yang demikian sering bersifat resmi dan
dikenal dengan nama ideal curriculum, yakni kurikulum yang masih
berbentuk cita-cita. Kurikulum yang masih berbentuk cita-cita ini masih perlu
untuk dikembangkan menjadi kurikulum yang berbentuk pelaksanaan, atau sering di
kenal dengan actual curriculumyakni kurikulum yang dilaksanakan
oleh pendidik dalam proses belajar mengajar.mengkaji serta menyusun kurikulum, sangatlah tergantung pada asas organisatoris, yakni bentuk
penyajian bahan pelajaran atau organisasi kurikulum. Ada tiga pola organisasi
kurikulum yang dikenal juga dengan sebutan jenis-jenis kurikulum atau tipe-tipe
kurikulum. Selain itu juga, terdapat beberapa model pengembangan
kurikulum. Aplikasi dari model pengembangan kurikulum bisa didasarkan pada
faktor-faktor konstan, sehingga dasar pemikiran ini dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam menganalisis model kurikulum.
TEORI KURIKULUM
Menurut para ahli,
keberadaan teori kurikulum belum mantap atau dengan kata lain belum bisa
dibentuk. Meskipun demikian, banyak ahli yang menyumbangkan buah pikirannya
agar terbentuk teori kurikulum yang akurat. Karenanya, upaya-upaya ke arah
terjadinya suatu teori kurikulum sebagai science
of curriculum terus
dikembangkan.
Kesulitan-kesulitan dalam
menjadikan teori kurikulum disebabkan berbagai faktor, antara lain karena para
ahli, yaitu :
a.
James
B. MacDonald, mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum merupakan an
historical accident yang
berlangsung secara kebetulan, acak dan tidak sistematis. Pemikiran mengenai
kurikulum tidak dilakukan secara sistematis berdisarkan apa yang dicapai
sebelumnya. Karenanya, pengembangan kurikulum mesti didahului dengan
pembentukan sistem dan model konseptual yang seterusnya diuji melalw penelitian
empiric yang sistematis (Nasution, 1993:175).
b.
Colin
Marsh dan Ken Stafford (1984:22-23) menyatakan bahwa: Granted
that theory building in the field of curriculum is very difficult, it is worth
considering wheather succesful theories have been produced in other fields of
endeavor Scientific theories, such as in the physical and biological sciences,
have been developed over many decades. Such theories usually contain wriable
which systematize or unify research findings from seemingly unrelated
phenomena, to generate research hypotheses, to make prediction and to provide
explanation.
Dapat
dipastikan bahwa membangun teori kurikulum itu merupakan pekerjaan. sulit.
Mempertimbangkan yang berarti mengingat teori-teori yang sudah berhasil
dibentuk ternyata memerlukan usaha yang keras. Teori-teori ilmu pengetahuan
seperti dalam bidang fisika dan biologi telah dikembangkan selama berabad-abad.
Kesimpulan dari
pendapat-pendapat di atas adalah terdapat bermacam-macam alasan mengapa sulit
membuat teori kurikulum. Pertama, belum terdapat definisi kurikulum yang
diterima secara umum. Definisi tersebut mencakup dari hal yang sempit (berupa
matapelajaran) sampai yang luas, yakni meliputi sernua kehidupan manusia.
Kedua, belum bisa ditentukan dengan jelas mengenai batas-batas materi yang
menjadi wilayah penelitiannya. Kembali kepada teori kurikulum, pada dasarnya
bukanlah hal yang stabil atau mantap keberadaannya, sebagaimana diungkapkan di
muka, namun is selalu berkembang mengikun perkembangan rains dan teknologi.
Seperti halnya dalam
mengambil keputusan praktis lainnya, teori dapat dimanfaatkan dalam pengambilan
(keputusan praktik (pelaksanaan) sistem kurikulum dan sistem pendidikan yang
memang memerlukan sifat elektif. Itu
berarti, dalam pengambilan keputusan praktis kurikulum maupun pendidikan harus
didasarkan pada pengembangan beberapa teori kurikulum dari berbagai airan
(misalnya: humanisme, subjek akademik, rekonstruksi sosial, teknologi, dan
lain-lain) unutk menciptakan suatu keputusan yang relevan daimana keputusan
kurikulum tersebut akan diaplikasikan. Aspirasi serupa inilah yang sering
digunakan oleh para praktisi Beauchamp (1985: 5)
mengatakan bahwa pendidikan itu, bersama dengan architecture, engineering,
law and medicine, merupakan pengetahuan terapan (an applied area) dengan melihat pembentukan bidang-bidang tersebut
termasuk dalam humanities, social sciences, dan natural science. Dalam teori pendidikan,
terdapat suatu sub bagian yang disebut teori kurikulum tersbut.Semua teori kurikulum
mementingkan dasar-dasar yang sistmatik untuk menghadapi berbagai problem
praktik. Dalam beberapa kasus, data empiris (contoh data observasi mengenai
tingkah laku) akan membantu, namun pada hal-hal yang lain tidak akan membantu
(contoh tidak mampu mengobservasi pikiran kritis). Terdapat berbagai kesulitan
dalam pengembangan konsep-konsep data prinsip-prinsip yang tepat, karena hal
itu menyangkut teori-teori yang tepat dan teori-teor yang sedikit telah
dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan peringkat (level) teori kurikiulum menjadi tidak lengkap dan belum mantap (immature).Namun, ada beberapa sub
teori dalam teori kurikulum yang pada gilirannya dapat memberi prinsip-prinsip
penting, termasuk desain kurikulum, implementasi, pengajaran dan evaluasi.
Sebagaimana terlihat pada gambar 3 bahwa sub teori-sub teori tersebut
memberikan kontribusi terhadap suatu teori kurikulum yang mana teori itu sendiri
merupakan subteori dari teori pendidikan.
Selama tahun 1960-an,
banyak penulis memilih teori-teori pengajaran sebagai perhatian khusus. Penulis
seperti Mac Donald and Leeper (1965), Braner (1966), dan Gordon (1968)
mengembangkan teori-teori yang memberikan petunjuk untuk kondisi-kondisi yang
meyakinkan bagi anak didik dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Sebagai peninjau kembali, hal ini mungkin menjadi penting dalam memfokuskan
perhatian terhadap aktivitas-aktivitas belajar tertentu yang memerlukan
tujuan-tujuan tertentu, tetapi jika, sebagaimana dianjurkan Snecbecker (1974:
226), teori-teori ini berdasarkan asumsi bahwa mereka sangat netral dalam
hubungannya dengan pemilihan tujuan-tujuan, maka nilai-nilai mereka akan
menjadi problema.
Telah dikemukakan bahwa
teori kurikuljum mencakup lebih dari pengajaran semata, karena ia diarakan
kepada dua elemen, yakin perencanaan
dan implementasi. Pendidik tidak
hanya mengajar, namun bertindak berdasarkan prioritas-prioritas tertentu yang
telah mereka rencanakan baik secara eksplisit maupun implisit dengan mendahulukan even pengajaran.
Kemudian, diungkapkan pula bahwa para pendidik menyertai nilai-nilai baik
secara eksplisit maupun implisit dalam materi atau bahan yang merek seleksi
serta dalam metode yang mereka gunakan untuk mengajar dalam kelas. Oleh karena
itu, suatu teori kurikulm yang komprehensif harus memberikan petunjuk-petunjuk
dan kriteria tertentu.
Suatu teori juga harus
memberikan petunjuk kepada para pendidik, yang menemukan empat pertanyaan
berikut :
a)
What should it be doing in my
classroom?
b)
Who should be involved, apart from me,
in planning?
c)
How should the curriculum be
implemented?
d)
How should it be evaluated?
Apa
itu Penteorian Kurikulum (Curriculum Theorizing) ?
Banyak ahli yang sangat
pesimis terhadap upaya-upaya sebelumnya dalam menghasilan teori-teori kurikulum
(sebagai contoh Kliebard, 1977; Vallance, 1982; Tripp, 1984; Cherryholms,
1985).
Vallance (1982) mengatakan
bahwa “our endeavors at theorizing (usaha melakukan teorisasi) adalah: the
process of th identifying important variables operating within school
situations have meet with a far greater level of success”. Beberapa ahi telah
menghasilkan model-model untuk mengikutsertakan berbaai hubungan ruang kelas
secara khusus. Schubbert et. al. (1984) mengatakan bahwa: theorizing is
thoughfuless that gives maning and direction to experience” Schubbert et. al.
(1984: 70).
Alasan untuk konsentrasi
pada theorizing ketimbang penciptaan teori-teori aktual adalah ia mengatasi
hampir semua dilema yang berhubungan dengan teori-praktik dictionary. Segala
kritik masa lalu telah menempatkan teori sebagai non-practice atau
impractical. Namun sedikit dari mereka yang mengingkari bahwa theorizing
merupakan sesuatu yang khas yang dilaksanakan para pendidik dan praktisi
pendidikan. Tak dapat disangkal bahwa tipe refleksi dan analisis
aktivitas-aktivitas kurikulum agak bervariasi di antara dua kelompok tersebut,
tetapi hal itu merupakan catatan yang bernilai bahwa semua theoriser memerhatikan
pengertian bentuk-bentuk kurikulum, mencari asumsu-asumsi pokok, dan pengusulan
faktor-faktor tentatif.
A. Pertanyaan
Epistemologi: Pengetahuan Apa yang Paling Bernilai dalam pengembangan kurikulum?
Berbagai asumsi utama yang diungkapkan
para pembuat teori kurikulum (curriculum
theorizer) adalah berbagai pertanyaan epistemologi mengenai pengetahuan apa
yang diseleksi untuk isi kurikulum dan mengapa bisa seperti itu. Terdapat
pertanyaan-pertanyaan serupa yang telah dilontarkan para pendidik selama
beberapa abad. Mungkin tidak penting mengkhususkan isi secara khusus, namun
yang penting adalah petunjuk-petunjuk dapat dibangun dan dibenarkan mengenai
prinsip-prinsip umum penyeleksian.Para pemikir (philosopers) secara konstan berpendapat tentang pentingnya
jenis-jenis ilmu pengetahuan, termasuk proposisi, praktisi dan presentasi.
Sedikit yang akan membantah bahwa anak didik memerlukan contoh pengalaman yang
baik, khususnya knowing that
(proposisi) dan knowing how to
(praktis). Pengetahuan dapat dipertimbangkan dalam bentuk kebenaran yang
universal dan dalam bentuk pernyataan pengetahuan individu.Kedua elemen tersebut sangat penting
dalam menyeleksi isi kurikulum, meskipun hal itu dapat diargumentasikan bahwa
sekolah-sekolah begitu lama menekankan
dimensi yang universal pada pengembangan individu. Kemudian, menjadi mungkin
untuk mempertimbangkan pengetahuan dalam bentuk pengelompokan mata pelajaran
atau sebagai keinginan pikiran yang berbeda, atau informasi yang
mengaplikasikan situasi-situasi keduniaan.
Kinds of Knowledge
1.
Propositional “knowing that”
(Plato/Scheffler)
2.
Practical “knowing how to” (Ryle)
3.
Interrelationship between 1 and 2
4.
Direct/Presentational/Intuitive
“knowing percent, a pain or a work of art”.
Level of knowledge
1.
Universal
2.
Personal
Grouping of knowledge
1.
Kwowledge grouped for pedagogic
purpose into the natural sciences, the social sciences, mathematics and the
humalities.
2.
Knowledge grouped according to
modes of thought including the analytic, empirical the aesthetic, and the
moral.
3.
Knowledge grouped according
problems in the world of human affairs.
Banyak pendidik yang telah
menemukan berbagai petunjuk tentang pengetahuan kurikulum yang tepat. Sebagai
contoh: R.S Peters berpendapat bahwa terdapat berbagai tradisi di budaya Barat
ehingga pengetahuan harus diseleksi yang memiliki ide-ide dan objek penting
yang telah dihasilkan manusia. Hal yang sama juga dilakukan P.H Hirst, dengan
pengecualian bahwa ia mengklasifikasikan prestasi-prestasi manusia dekake yang
lalu dengan membagikannya ke dalam delapan bentuk pengetahuan yang ia namakan: Mathematics, Physical Science, Human
Science, History Religion, Literature, dan Fine Arts, Philosophy dan
Moral Knowledge. Ahli lain, seperti
Dewey, menekankan perlunya penyeleksian pengetahuan agar bisa menjadi milik
anak didik. Mereka merupakan pemakai terakhir, sehingga individu-individuharus
dapat menyeleksi pengetahuan yang akan memberikan pemuasan pengalaman secara
personal kepada anak didik.Namun, ada juga perspektif lain
dalam pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan. Selama tahun 1960-an
di United Kingdom (UK), Inggris, sosiolog seperti M.F.D Young (1971) mulai
menanyakan status pengetahuan sekolah, dengan mengargumenkan bahwa pengetahuan
adalah social construct dan kriteria truth merupakan hal yang
relatif secara keseluruhan terhadap konteks sosial di mana mereka dilokasikan.Para ahli telah membangun pola
pengembangan ini untuk mengargumenkan bahwa berbagai kelompok yang dominan
dalam masyarakat menghasilkan kurikulum yang sangat cocok dengan minat-minat
mereka, dan bahwa kurikulum tidak dapat dibenarkan pada suatu dasar logis dan
universal. Sebagai hasilnya, berbagai mata pelajaran baru dikembangkan di Open
University dan publikasi dilakukan oleh akademis sosiolog terkemuka di United
Kingdom, Inggris. Pengetahuan sosiologi ini pun memiliki pendekatan yang
menarik banyak pendukung pada tahun 1970-an. Para ahli telah mengkritik pendapat
yang mengatakan bahwa semua pengetahuan merupakan konstruki sosial. Ahli yang
lain, seperti Tyler (1979) berpendapat bahwa eksponen pengetahuan sosiologi,
dan khususnya pengikut neo-marxis, telah mengonsentrasikan telalu banyak pada
aspek-aspek inequity (ketidakadilan)
daripada pengabdian nilai-nilai dan adat istiadat melalui kurikulum sekolah
(sebagai contoh, eksploitas ekonomi dan penindasan kelas).
B. Klasifikasi “Theories” dan
“Theorizing”
Sebagaimana diterangkan di atas,
terdapat banyak problem pokok dalam
menciptakan teori-teori kurikulum, dan banyak yang berpendapat bahwa
kita masih harus menghasilkan suatu teori kurikulum
yang akurat dan dapat digunakan terus
menerus. Tetapi, jika
kita menggunakan kriteria bahwa suatu teori kurikulum, bersama dengan
teori-teori yang lain, harus berisi petunjuk-petunjuk dan
uraian elemen-elemen, maka dapat diargumentasikan bahwa terdapat sejumlah contoh
teori-teori kurikulum.
B. F. Skinner
mempunyai teori operant conditioning dan diusulkan sebagai suatu teori
belajar pada tahun 1953. Akhirnya, dia mengaplikasikan teorinya dengan
lebih langsung melakukan pengajaran di luar keras. Tetapi, teori itu masih
menyisakan tantangan yang lain dalam mengaplikasikan teori Skinner ke dalam
suatu area kurikulum yang lebih spesifik, seperti yang dilakukan Becker Engelmenn dan Thomas (1945).
Proses peneorian lain yang diusahakan
oleh pekerja kurikulum dan spesialis yang bekerja pada bidang kurikulum menunjukkan
suatu spektrum keseluruhan yang menampakkan berbagai spesialisasi intuisi
belaka dalam mendekati teori-teori. Hal itu tergambar
pada bidang-bidang, seperti: 11mu. Psikoterapi, Sosiologi, Filsafat,
Ekonomi dan Manajemen. Sebagian dari usaha-usaha tersebut menunjukkan suatu usaha keras dari individu-individu (contoh,
Carl Rogers dan Paul Hirst), sementara yang lain menunjukkan usaha-usaha keras
terhadap banyak individu dan kelompok (sebagai contoh unit teknologi
pendidikan di USA dan UK).
1. Skema
Lain Klasifikasi
Skema
klasifikasi digunakan untuk mempertahankan berbagai bagian berdasarkan dua
kategori yang telah ada, yakni structured,/ controlled dan person-centered.
Kategori pertama, structured/controlled category, dipilih untuk mencontohkan
tingkatan dari proses peneorian yang terfokus pada perencanaan yang rasional,
terfokus pada struktur, dan juga pada cara- cara pengawasan atau pengontrolan
hasil (outcomes), selain juga melakukan pengontrolan sekolah secara umum. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah dua teori yang dikembangkan Taba dan
Skinner.
Kategori kedua
adalah the person-centered category yang memiliki penekanan atau perhatian pada
lmgkungan sekolah. Upaya yang dilakukan kategori ini adalah membongkar
seluk-beluk asumsi yang belum diuji mengenai persekolahan. Proposal dibuat demi
kesadaran, harapan, dan kemungkinan yang akan dihadapi anak didik. Termasuk
dalam kategori ini adalah contoh-contoh theorising yang dilakukan oleh Carl
Rogers dan Wifliam. Pinar. Pada periode tahun 1950-an dan 1960-an, Carl Rogers
dan koleganya mengembangkan pendekatan selj-'directed learning. Sedangkan
konsep Pinar mengungkapkan suatu contoh kontemporer tentang self actualization
anak didik dengan penekanannya pada self reflection dan aktivitas otobiografi.
2. Contoh: Structured/Controlled Category
a. Teori
Hilda Taba
Teori induktif yang dikembangkan Hilda
Taba cenderung
memfokuskan pada proses berpikir, namun proyek pengembangar, kurikulum berikutnya
telah menekankan suatu disiplin
yang solid (Durkin et. al., 1997). Teori Taba merupakan salah satu teori (dari
beberapa teori) yang telah terkonseptualkan secara penuh dalair, bentuk
deskriptif dengan cara membenarkan penggunaan teori kurikulum.
Sebagai graduate student, Hilda Taba
belajar di bawah bimbingan Ralp Tyler di Universitas Chicago, dan kemudian
bekeria dengannya dalam beberapa bidang studi evaluasi termasuk pada Eight Year
Study. Untuk beberapa tahun, dia mengajar di San Fransisco State University,
dan kapasitasnya, sebagai dosen (lecturer) dan teacher menjadikan dirinya
menjadi sangat terlibat dalam berbagai aktivitas pelayanan dengan pendidik di
Contra Costa, suatu sekolah yang ada di wilayah San Fransisco.
Teorinya merefleksikan
pengalaman-pengalaman praktik yang la perlukan ketika bekerja dengan para
pendidik dan la juga mendapatkan berbagai teknik yang muncul dari pengalaman
mengajar tersebut, serta beberapa prinsip spesifik mengenai proses berpikir
yang dia kembangkan dari para ahli teori belajar kontemporer dan juga dari para
ahli psikologi perkembangan. Bukunya tentang teori kurikulum dipublikasikan
pertama kali dalam suatu volume cetakan yang begitu besar, yakni Curriculum Development.• Theory and
Practice pada tahun 1962 dan selanjutnya: Teaching Strategic and Cognitive
Functioning in Elementary School
Children (1996) serta Teacher's Handbook for Elementary Social Studies (1967).
-
Prosesl
Fase
Model proses ala Taba adalah
berdasarkan model Tyler, tetapi is memasukkan beberapa pengembangan tertentu
pada fase-fase pokok. Suatu hal yang paling penting dari modelnya adalah fase diagnosis (diagnosis stage) yang
teriadi secara bebas untuk membentuk tujuan (objectives); pengembangan
strategistrategi kognitif secara khusus, dan pengembangan yang efektif serta
penggunaan berbagai pendekatan untuk mengevaluasi pengembangan dan pertumbuhan
keterampilan-keterampilan berpikir anak didik (dapat dilihat pada tabel 5 di
bawah ini).
-
Teacher's role
Peran
pendidik atau guru dalam pendekatan Taba adalah sebagai inisiator atau
questioner, oner, tetapi dalam suatu dukungan tindakan yang berorientasikan
lingkungan. Terserah kepada pendidik dalam memulai tugas, apakah memulai dengan
menyeleksi berbagai generalisasi yang penting sebagai fokus atau dengan
menggunakan bidang isi yang lugs atau topik dari generalisasi-generalisasi yang
akan dimunculkan secara alamiah. Pendidik mendiagnosis situasi awal dalam
membuka pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi.
-
Classroom Climate
Dasar
pendekatan Taba adalah supportive dan co-operative di ruangan kelas yang mana
anak didik dan pendidik dapat mengekspresikan ide-ide dan opini mereka tanpa
ada rasa khawatir mendapatkan bahan tertawaan/ejekan. Dengan demikian,
pendidik/guru bertindak sebagai inisiator dalam Ease-Ease atau susunan-susunan,
sedangkan anak didik mungkin dipecah ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk
mengambil alih inisiatif-inisiatif setelah mereka memahami prosedur-prosedur
yang ada.
-
Curriculum Development Examples
Kurikulum
untuk social studies yang utama, yakm K-8 Social Studies Curriculum,
dikembangkan oleh Taba dan telah digunakan selama tahun 1960-an dan 1970-an
yang berjudul: Taba Program in Social Science Grades 1-7 Program tersebut
mencakup sebelas konsep yang diproses dari bidang-bidang ilmu sosial, meskipun
penekanannya pada keterampilan pengembangan pemikiran ketimbang pada
pengembangan isi.
b. Teori
Skinner
Skinner
berpendapat bahwa metode pengaturan langsung reinforcement secara positif
harus digunakan di sekolah. Anak didik tidak boleti belajar secara simpel dengan hanya
memenuhi pengalaman saja. Lingkungan luar perlu juga dieter secara teliti agar anak didik
menjadi responsif dengan berbagai pekerjaan dan konsekuensi yang akan mereka
kontrol dengan hati-hati. Hal ini dapat dan harus dilakukan dengan prosedur reinforcement yang tepat.
Teori Skinner
didasarkan pada empat dasar asumsi, dan asumsi tersebut perlu dipertimbangkan ketika mengembangkan kurikulum yang akurat. Yang pertama,
karena semua tingkah laku ditujukan
kepada variabel-variabel yang efektif dalam
menghasilkan tujuan-tujuan yang ia targetkan. Kedua, karena
tingkah laku dapat diobservasi dan diidentifikasi, sehingga pendidik pun bisa berkonsentrasi pada observasi dan pengakuan anak didik. Dari sana kemudian,
pendidik mampu mengatasi setiap
masalah utama yang dihadapi anak didik. Ketiga, anak didik juga akan merespons dengan care-care
yang unik terhadap stimuli yang same.
Untuk
selanjutnya, bantuan (dari seorang pendidik) harus dibuat dengan tingkatan yang
berbeda rnenurt:' perkembangannya. Keempat, tingkah laku anak didik dapa-, diubah oleh bentuk
reinforcement meskipun tingkah laku masa lalu mereka mungkin mengalami
perbedaan. Pendidik harus fokus pada setiap hubungan fungsional yang terjadi
antara anak didik dan lingkungan mereka.
-
Process/leases
Fase terakhir
dalam perencanaan kurikulum adalah memberikan kesempatan kepada umpan batik pads situasi ruangan kelas secara aktual. Data perlu dikoleksi, apakah
semua respons dicapai oleh anak didik sebagaimana yang dimaksudkan atau tidak- jika mereka tidak mencapainya, defisiensi
pun terbentang dalam teknik pelayanannya, dan menjadi sangat penting
untuk memperbaiki contoh-contoh stimulus dan reinforcer.
Karena fase
perencanaannya jelas, fase-fase implementasi aktual
dilengkapi dalam pendekatan Skinner yang bisa kerangkakan berikut ini:
1.
Present a stimulus;
2.
Observe or model a response (optimal);
3.
Provide practice in responding to the stimulus;
4. Reinforce appropriate responses as immediately as possible. Goyce
& Well, 1980: 336).
-
Teacher's
Role dan Classroom Climate
Pendidik yang melaksanakan atau mengaplikasikan
pendekatan Skinner harus menjadi seorang ahli perencana dan seseorang yang
dipersiapkan untuk melaksanakan struktur ruangan kelas dengan sangat memuaskan.
Meskipun seorang pendidik boleh menggunakan beberapa mater yang dipersiapkan
secara komersial, namun dia masih mempunyai persiapan berdasarkan pertimbangan melalui susunan seperti yang terlihat pada Label 6 di atas. jika alat bantu dan perlengkapan
komputer tersedia,
pendidik punya kesempatan membimbing anak didik yang lebih besar jumlahnya
dan efisien dalam waktu mengajar sehingga
dapat digunakan pada suatu periode dengan kelompok tutorial kecil. Kesimpulannya, tugas guru/pendidik a" A memberi
kepastian bahwa stimulasi yang direncanakan sedang dipresentasikan dan bahwa the reinforcer diberikan kapan dan di
mana hat itu dianggap tepat.
Anak didik dalam
lingkungan ini pun diatur sesuai dengan bentuk-bentuk reinforcer baik yang, negatif
maupun positif. Dalam
kebudayaan kasus, mereka mungkin akan bekerja pads tugas-tugas individu,
khususnya jika materinya merupakan program
berdasarkan komputer atau program tekstual. Mereka akan sadar bahwa tingkah laku yang tidak tepat
tidak akan diberi penghargaan (rewards, reinforcer) oleh pendidik
atau guru mereka.
-
Curriculum
Development Examples
Teks-teks program dan pengajaran
dengan menggunakan mesin banyak dikembangkan oleh berbagai perusahaan selama
tahun 1950-an. Meskipun hal itu masih digunakan di ruangan kelas, peningkatan
atau perkembangan komputer canggih balk hardware maupun software telah
mampu membuat suatu produk yang sangat membantu kepentingan pengajaran balk untuk anak didik pada tingkat dasar maupun
menengah. Bibliografi secara besar-besaran yang dikembangkan oleh program
Computer Assisted Instruction (CAI) sekarang telah tersedia.
Selanjutnya banyak program kurikulum
utama yang telah dikembangkan berdasarkan teori Skinner. Dalam beberapa contoh,
program tersebut dikembangkan untuk anak didik dengan pelajaran yang spesifik
dan anak didik yang tidak normal secara fisik. Program serupa juga telah dicoba
secara luas, dievaluasi dan disetujui dengan keberhasilan yang memuaskan, seperti program pengajaran yang dikembangkan W.C.
Becker, S. Engelmann, dan Dr. Thomas dalam buku A Modular Revision of Teaching.
-
Evaluation
of The Theory
Teori Skinner berisi serangkaian artikulasi yang balk dan proposisinya berdasarkan konsep-konsep reinforcement
dan operant conditioning. Skinner dan teman-temannya
berhasil mengembangkan teknik bahasa yang balk dengan begitu luas dan efisien
dalam menjelaskan struktur-struktur dan proses-proses yang dilibatkan dalam
implementasi teorinya tersebut.
Teori Skinner pun disebarkan oleh para
pendidik secara besar-besaran pada masyarakat umum. Teori tersebut menjelas‑kan
salah sate aema yang dihadapi manusia saat ini, yakni konflik antara teknologi
dan alam (Milhollan dan Forisha, 1972).
3. Person-Centered Category
a. Teorisasi Carl Rogers
Carl Rogers
mengembangkan pendekatannya setelah bekerja praktik dengan para individu
(klien) diberbagai klinik sehingga ia mengklaim (seperti halnya Taba) bahwa
hidup prinsip-prinsipnya telah diuji diberbagai situasi praktik. Pendekatannya
tertumpu pada self directed learning yang
pertama kali dijelaskan pada bukunya Client-Centered
Therapy (1951) dan kemudian di Freedom
to Learn (1969). Orientasi Rogers diklasifikasikan sebagai pendekatan
kurikulum, dan publikasi-publikasi yang dilakukannya selama lebih dari setahun
memberikan perhitungan dan pertimbangan yang mendalam dan total terhadap
elemen-elemen perencanaan dan jaringan yang diperlukan untuk
mengimplementasikan pendekatannya di ruang kelas. Secara mendetail, hal akan
diungkapkan dalam bagian berikut ini :
1)
Major
goals/Frame of Reference
Rogers membuat
asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas dan unik, serta
dapat membuat pilihan-pilihan dalam setiap situasi. Ia mengungkapkan bahwa
kesadaran manusia merupakan suatu pribadi yang esensial,sedangkan kehidupan dunia internal dan tingkah laku menusia
merupakan ekspresi terhadap fungsi-fungsi internal yang dapat diobservasi. Didalam lingkungan sekolah, terdapat berbagai
fasilitas yang menempatkan :
a.
Pengembangan akal individu dalam realitas
b.
Kekuatan-kekuatan internal yang menyebabkan individu bisa
bertindak
c.
Pengembangan konsep pribadi (self concept) individu itu sendiri
(Millholm & Forisha, 1972: 98)
Berbagai aktivitas tersebut dikembangkan lagi ke dalam
sembilan prinsip dan kemudian dengan bersama-sama mereka menggambarkan tujuan
pendekatannya untuk mengembangkan fungsi seseorang secara penuh yang
berimplikasipada proses kurikulum. Tetapi, problem utama perencanaan proses
kurikulum adalah tidak mungkin bisa memprediksi pengembangan pengalaman belajar
yang diperlukan oleh sekelompok anak didik atau tingkah laku yang akan mereka
tunjukkan. Rogers menjamin bahwa tindakan anak didik akan menjadi sah menurut
peraturan, sehingga tidak banyak memberikan bantuan untuk tugas-tugas
perencanaan.
2)
Process/Phrases,
Teacher’s Role, Classroom Climate
Dalam pendekatan
Rogers, tidaklah mungkin menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang proses
pengembangan tradisional, yakni apa yang akan diajarkan atau apa yang
sesungguhnya ingin diketahui oleh anak didik ? proses-proses atau fase-fase
kurikulum merupakan hal yang sangat sulit didefinisikan, namun sangatlah
mungkin untuk memisahkan pengembangan dengan suatu keadaan fase-fase yang
diyakini dan suatu penempatan fase-fase individu atau kelompok.
Fase pertama,
mencakup pendidik/guru dan anak didik dalam upaya mengembangkan kondisi ruang
kelas yang meyakinkan dan penuh keterbukaan. Rogers (1958) mengisyaratkan bahwa
hal ini dapat dilakukan dengan menempatka sejumlah pertanyaan pada pendidik,
yang meliputi :
“Can I be in some way which will be perceived by the
other person as trustworthy...dependently real ? And I let myself enter fully
into the world of his feeling and personal meaning ? Can I act with sufficient
sensitivy in the relationship that my behavior will not be spesified as a
threat (Ibid: 7)”
Dalam sebuah
bukunya, Rogers (1969) berkata bahwa menjadi sangat spesifik menelaah bagaimana
pendidik dan anak didik mengembangkan disposisi-disposisi tersebut. Sebagai
contoh, Rogers berkata bahwa dengan mengikuti sebuah workshop yang dilaksanakan
jauh dari sekolah selama seminggu akan menjadi hal yang sangat penting bagi
para pendidik dan tenaga administratif. Selama sekian waktu, mereka akan saling
mengenal satu sama lain dan berkesempatan untuk mengeluarkan perasaan-perasaan
positif mereka.
Efeknya, menurut
Rogers, adalah membuat tingkat toleransi antar pendidik dan tenaga administrasi
menjadi lebih tinggi. Begitu juga dengan peningkatan empati dan penerimaan
terhadap anak didik mereka. Rogers juga berpendapat bahwa menghadapi bahwa
sekelopok anak didik dikelas dan juga peristiwa penting semacam itu mungkin
perlu dasar-dasar pemikiran di sekolah ketimbang diluarnya. Rogers
mempertahankan bahwa sekelompok sesi pelajaran yang dihadapi anak didik dapat
memberikan hasil-hasil yang sangat membantu.
Weil, Joyce, dan
Kluwin (1978) berhasil mengembangkan pengaturan terhadap iklim ruangan kelas
yang baik dengan menggunakan pendekatan Rogers. Mereka membatasi melakukan
interview secara tidak langsung, dan mengembangkan seri face to face, yakni antara guru dan anak didik saling
berhadap-hadapan dalam mengembangkan keyakinan/kepercayaan serta menjalin
keterbukaan. Para ahli tersebut mengatakan bahwa interview tidak langsung
menjadikan anak didik memiliki sesuatu perasaan kesadaran (chatarsis) untuk
mendapatkan berbagai pengertian dari guru dan mengintegrasikannya ke dalam
suatu orientasi personal baru.
Pada fase kedua proses kurikulum, para
pendidik terlibat dalam menentukan tempat individu dan gaya bekerja mereka
berdasarkan rencna-rencana mereka sendiri. Satu hal yang dapat pendidik lakukan
adalah mengoleksi dan memiliki sumber-sumber materi yang mungkin bisa membantu
individu anak didik.
Peran seorang
pendidik adalah dengan rendah hati memberikan informasi yang diperlukan anak
didik, tetapi bukan program-program awal atau membuat penilaian tentang anak
didik atau perilaku mereka. Weil, Joyce dan Kluwin berpendapat bahwa anak didik
perlu melakukan perjanjian (contracts)
yang disetujui oleh pendidik dan anak didik sendiri untuk melakukan studi
independen, yang merupakan hasil metode implementasi pendekatan Rogers dalam
kaitannya dengan jadwal sekolah.
3)
Curriculum
Development Examples
Satu yang perlu
diperhatikan dari pendekatan kurikulum adalah jumlah dan tingkat materi
kurikulum yang dihasilkan berdasarkan materi tersebut. Pendekatan Rogers,
dengan penekanannya pada student-initiated
learning, tidak kondusif dengan hal itu, dan fakta menunjukan bahwa hal itu
antitesis terhadap penyebaran produksi paket-paket mengajar. Jika administrasi
dan norma-norma pelaksanaan di sekolah primary
dan secondary tidak leluasa
dilakukan, hal ini akan membuat peserta didik sulit mengembangkan dan
mengimplementasikan aktivitas-aktivitas kelas berdasarkan pendekatan Rogers.
Namun, ada bukti
dimana sekolah mau mengaplikasikan prinsip-prinsip Rogers. Hal ini bisa dilihat
di berbagai daerah di Australia, dimana ada sekolah-sekolah alternatif yang
mengembangkan prinsip Rogers, seperti Shcools
without Walls di Canberra atau Kids
Shcool in Perth.
Bukti adanya
modifikasi peneorian (theorizing)
yang dilakukan Rogers bisa dilihat sejumlah proyek ternama, seperti Man A Course of Study (MACOS), yang
berusaha menganalisis pertanyaan-pertanyaan : What is human about human being ? sejumlah unti proyek materi
pendidikan sosial, seperti dalam lingkungan keluarga, juga memakai
prinsip-prinsip Rogers yang telah dimodifikasi. Begitu juga dengan peningkatan
secara bertahap dalam penelitian orientasi materi yang dipakai dalam student project dan student contracts yang merefleksikan beberpa aspek dari pendekatan
Rogers.
4)
Evaluation
Meskipun Rogers
dan teorinya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai kebebasan dan eksplorasi
langsung itu sendiri dalam kepustakaan kurikulum, namun pendekatannya sangatlah
filosofis. Tentu saja benar bahwa Rogers tidak berusaha menghubungkan konsepnya
mengenai self initiated dengan apa
yang diucapkan pada masa lalu oleh John Deweyatau seperti yang dikembangkan
para perencana kurikulum (seperti Dilton Plan, Winnetka Plan). Pendekatan
Rogers menurut Refers (1975) tidak lengkap, karena pndekatan itu mengabaikan
nilai-nilai filosofi utama, seperti keyakinan atau kepercayaan dan moralitas.
Kliebart (1974:
178) menyerang pendekatan itu, karena Rogers menggunakan bentuk terminologi fasilisator dan teaching dengan begitu luas. Dengan mendefinisikan teaching sebagai bagian dari pengetahuan
dan keterampilan. Rogers mengembangkan straw-mean
sehingga dia kemudian mencakupkan banyak aktivitas lain yang menjadi bagian
dari pemindahan suatu peranan hubungan yang sebenarnya tidak akan lebih baik
dibandingkan penggunaan terminologi teacher.
Selain itu, ia juga menjadi antitesis
dengan tesisnya tentang hubungan pribadi yang dekat di antara individu-individu
yang mungki tidak berdasarkan atau tergantung pada suatu peranan hubungan.
b. Pendekatan Teorisasi William Pinar
William pinar
sangat dipengaruhi oleh para ahli seperti Klohr, MacDonald, Grene, dan Heubner
dalam studi akademiknya di Ohio State University pada akhir 1960-an. Pinar
tertarik dengan berbagai pendekatan kurikulum, yakni pendekatan psikoanalitis
dan fenomenologi. Dia adalah seorang penggerak yang kuat dalam mengadakan
berbagai konferensi tahunan bagi para conceptualists,
khususnya bagi para curriculum theorists,
yang pertama kalinya dilaksanakan di Rochester, USA, tahun 1973.
Pada tahun 1979,
ia mendirikn sebuah jurnal yang mendorng para penulis untuk menulis dibidang reconceptualization, yang bernama Journal of Currulum Theorizing. Pinar
juga menulis dan mengedit beberapa buku cukup terkenal, termasuk Heightened Consciousness, Cultural
Revolution and Curriculum Theory (1974), dan telah mempublikasikan
artikel-artikel yang terkenal di jurnal-jurnal kurikulum utama disepanjang
tahun 1980-an.
1)
Major
Goal/Frame of Reference
Pada dasarnya,
Pinar melaksanakan eksperimennya berdasarkan prinsip kehidupan. Ia menganjurkan
agar semua komponen pendidikan (pendidik dan anak didik) mengusahakan
dialektika internal (Pinar, 1980). Yakni, seorang merespons suatu ide, sebuah
teks, terhadap orang lain. Cara kita merespons akan membuat kita mengerti,
mengembangkan serta mentransformasikan perasaan dan pikiran kita. Melalui
pengalaman hidup dan refleksi dialektika, kita dapat mengembangkan kualitas
kehidupan dan kehidupan orang lain.
Pinar mengkritik
konsep kurikulum desain dalam aspek pengalaman pendidikan untu orang lain. Ia
berpendapat bahwa :
“One can not product human response, expect in trivial
matters an in artificially circumscribed circumstances, as necessary for
experiments. Classroom, with certainly artificially limited, are not
sufficiently limited for teacher to known with much certainly thr response his
or her lesson will receive“ (Pinar, 1980: 75)
Oleh karena itu,
Pinar tidak memberikan tujuan-tujuan spesifik terhadap suatu aktivitas
kurikulum. Ia menganggap bahwa perencanaan sedapat mungkin harus dijaga dari
kepentingan individu, sehingga tujuan-tujuan spesifik tersebut tidak tergambar
atau terpengaruh oleh kepentingan individu dalam aktivitas tersebut.
Walaupun
demikian, Pinar sebenanarnya sudah memberikan tujuan-tujuan umum, dan hal ini
akan memberi kita pengertian akan berbagai eferensi pribadinya, yakni :
a.
Yang paling penting dan utama dari seorang pendidik
adalah mampu menganalisis dan merefleksikan bias-bias mereka sendiri. Dengan
demikian, pendidik harus mampu menilai diri sendiri dan berperilaku yang baik
sebelum memasuki dunia kehidupan anak didik.
b.
Para pendidik rekonseptual saat berhadapan dengan anak
didik harus menggambarkan kejernihan sifat, harus kreatif dan jujur.
2)
Process/Phases
Pinar tidak
memberikan langkah-langkah dalam perencanaan kurikulum, karena ia beragumen
bahwa tidaklah mungkin mendesain suatu kurikulum untuk yang lain. Tetapi, ia
juga menyadari bahwa adakalanya individu juga ingin memulai dan menjalani
pengalaman-pengalaman hidup mereka sendiri dengan menggunakan terminologi currere. Dalam hal ini, dia menguraikan
empat fase yang mungkin diawali dengan individu anak didik dan para pendidik.
-
Step 1:
One returns t the past, brackets one’s past experience in school, and brings
that remembrance of the past to an understanding of the present.
-
Step 2:
One imagine the future, perhaps one’s future intellectual interest or career.
-
Step 3:
One considers the prensent the ideas, interest, people, and setting and
constitute the prensent.
-
Step 4:
One attempts to integrate the self knowledge that has been gathered. Mind,
emotions, behavior and body are integrated into a more meaningful whole” (Pinar
& Grunner, 1976: 51-63)
Dalam memberikan
contoh untuk currere, Pinar (1980)
berharap anak didik mulai membaca buku-buku yang ia anggap menarik dalam
beberapa hal. Tujuannya adalah untuk memberikan teks kepada diri sendiri namun
tudak untuk diinterprestasikan. Anak didik merekam bagian-bagian yang menarik,
dan pendidik melewati bagian-bagian yang dicatat oleh anak didik dan
mendikusikan tema-tema yang direpresentasikan olehnya.
Kemudian, anak
didik mempelajari tiap tema sampai bagian-bagian tersebut diidentifikasi.
Selanjutnya, anak didik menulis catatan pendek sebagai tambahan bagi kondisi
autobiografinya sendiri. Pendidik dan anak didik kemudian membandingkan
bagian-bagian teks itu dengan bagian autobiografinya serta mengadakan diskusi
sehingga bisa menemukan dan menganalisis sebagai pengalaman untuk mendapatkan
transformasi dari knower dan known.
3)
Teacher’s
Role and Classroom Climate
Pinar hanya
sedikit membahas tentang peran guru atau pendidik, kecuali yang ada kaitannya
dengan hal diatas, bahwa pendidik harus menunjukkan diri mereka sendiri dalam
suatu analisis histori biografi yang
sama dengan saat pendidik mempromosikan dirinya dihadapan anak didik. Setiap
anak didik harus merefleksikan pengalaman-pengalaman hidupnya meski harus
mengakui bahwa pengalaman itu tidak menjamin kesuksesan atau sesuatu yang
menyenangkan. Pendidik juga harus mendorong anak didik untuk menggunakan
imajinasi mereka sebagai sesuatu yang berharga dalam menumbuhkan perasaan
emosional. Selain itu, mereka juga perlu menghadapi trauma-trauma pribadi dan
memperkaya kepuasan hidup mereka (Feinberg, 1985: 87-88)
Diberbagai
tulisannya, Pinar menulis tentang tipe-tipe iklim ruangan kelas yang tidak ia
sukai. Ia berkata bahwa keburukan psikis telah terjadi di berbagai ruang kelas
hal yang buruk itu adalah :
-
Hyperthropy
of fantasy life a child may retreat into day dreaming to save himself/herself,
-
Criticism
by other and the loss ofthe it-love,
-
Estrangement
from self and its effect upon the process of individuation schooling “numbs
children to their own experimence”,
-
Atrophy
of capacity to precise aesthetically and seriously dreamers and
over-rationalized reality of schoolingg limit aesthetic and sensuous
sensibility (Pinar, 1975: 359-283)
Dengan konteks
sendiri, Pinar (1982) mengungkapkan bahwa caring
(kepedulian) adalah bagian yang paling relevan dalam iklim ruang kelas. Ia
berkata bahwa pendidik yang peduli bisa menerima terhadap yang lain. Dengan
menggunakan tatap muka, para pendidik dapat mendemonstrasikan kepada anak didik
bahwa mereka peduli terhadap anak didik.
Dengan
tindakan-tindakan mereka, pendidik dapat berkomunikasi terhadap anak didik dan
itu merupakan hal yang jauh ebih penting dari materi pelajaran yang mereka
ajarkan. Kepedulian merupakan sesuatu yang bersifat tambahan, sesuatu yang
tidak spesifik, dan hal ini merupakan sentral dalam suatu ruangan kelas.
Pinar memberikan
contoh kepedulian yang diambil dari Noddings (1982) untuk mengilustrasikan
bagaimana dia sebagai pendidik berhubungan dengan anak didik didalam suatu
ruangan kelas. Misalnya, ada seorang anak didik yang pintar namun memiliki
prestasi yang sangat buruk dalam Matematika. Hampir semua guru memintanya
secara tegas untuk belajar lebih giat dan jangan menyia-nyiakan bakatnya.
Pinar (1982: 147)
mengatakan bahwa tindakan guru tersebut merupakan suatu angan-angan dan bahwa
para pendidik tidak boleh memaksakan suatu realitas kepada anak didik karena
memang anak didik mereka benci dengan Matematika. Lebih baik mereka
memproyeksikan realitas-realitas mereka sendiri dan mencoba untuk memanipulasi
anak didik.
4)
Curriculum
Development Examples
Sangat sedikit
contoh yang tersedia untuk mengilustrasikan bagaimana teori Pinar dapat
diaplikasikan di sekolah. Pinar, bagaimana dilaporkan dalam Feinberg (1985:
92), mengakui bahwa ia tidak menyodori sekolah-sekolah di Amerika Serikat untuk
mengimplementasikan a reconceptualized
curricuum, namun ini dapat dimengerti, karena teorinya masih dalam proses
pembangunan langkah-langkah yang lebih jelas. Meskipun demikian, bisa saja
suatu saat mendapatkan beberapa impresi awal (tentang bagaimana teori Pinar
dapat diaplikasikan di sekolah, dari contoh yang diberikan oleh koleganya yang
bekerja dalam suatu kerangka kerja rekonseptualis).
Sebagai contoh,
Pagano (1983) mendeskripsikan a
humanities/method course yang ia ajarkan untuk para guru/pendidik di
sekolah-sekolah di New York. Tujuannya adalah memperoleh pendidik yang terlatih
agar mampu mengkritik friksi-friksi moral mereka sendiri. Selama satu semester,
guru/pendidik tersebut diharuskan membangun tiga teks, yakni: life text, a work text, dan a response text. The life text adalah autobiografi pendidik mereka, the work text berkenaan dengan
pengalaman-pengalaman mengajar, dan the
response merupakan interprestasi dari reaksi mereka terhadap buku-buku dan
bahan-bahan yang mereka gunakan.
Seminar teratur
telah dilaksanakan untuk mengangkat tema-tema dominan dan khusus tentang tiga
teks tersebut. Di akhir seminar, para pendidik diharapkan bisa menghasilkan a critical paper yang menyatu dengan
berbagai tema dan sikap. Mereka menulis tulisan dalam bentuk cerita pendek yang
memprsentasikan beberapa masalah yang berhubungan dengan tugas mengajar mereka.
Tujuan latihan ini adalah untuk memperoleh pendidik yang mampu merefleksikan
skema kurikulum dan pengajaran : “The act
of fictionalizing, self consciously, one’s own experience helps to make the
point that we do things with words do things with us” (Pagano: 1983: 17).
Krall (1982) mendeskripsikan
sebuah unit bernama Fields Studies in Environment Educational, sebuah kelompok
kecil (yang terdiri dari tujuh level dan tingkatuniversalitas), yang ikut andil
dalam kegiatan penelitian selama empat minggu. Penelitian tersebut adalah mengkaji
tentang suku “Najavo Indian” dan perlindungan mereka terhadap lingkungan di
Amerika Serikat.
Selama periode
ersebut, anak didik ditanya tentang aspek-aspek tertentu mengenai susku Najavo
Indian untuk melengkapi studi secara independen. Data dapat dikoleksi dalam
deskripsi atau iluminasi catatan jurnal. Catatan singkat mereka pun bisa
dibagikan kepada yang lain untuk melengkapi unit-unit data dalam kelompok anak
didik tersebut. Krall mendokumentasikan secara details perubahan-perubahan yang
terjadi terhadap anak didik sebagai hasil dari pengalaman itu.
5)
Evaluation
Sangatlah sulit mengevaluasi konstribusi Pinar dalam
proses teori kurikulum. Dalam mendeskripsikan teori dan proses pembuatan teori,
tidaklah semuanya tepat untuk mengaplikasikan teorinya Pinar. Pada suatu level
luar, kontribusi Pinar dapat ditolak, karena : ”paranoid phraseology...rather rethoric than rigorous analysis...best,
a remnant of the broader counteecultural and student protest movement of the
1960’s and early 1970’s which has all but disappeared from pedagogy” (Tanner
& Tanner, 1970: 8-10)
Kelemahan utama teori Pinar (dan pengamat reconceptualists lain) adalah kurangnya
analisis sehingga hanya memberikan pengertian yang bersifatpraktis (Van manen,
1978). Kesulitan lainnya adalah teori Pinar hanya memberikan garis besarnya
saja sehingga sulit dioperasionalkan. Meskipun para pendidik mungkin
terpengaruh dengan tulisan-tulisannya, tapi mereka tampak kurang memahami
bentuk-bentuk praktiknya di ruangan kelas.
Namun demikian, Mazza berpendapat bahwa orang-orang yang
mengkritik Pinar (dan pengamat reconceptualists
lainnya) sungguh menyimpang dari maksud pokoknya. Argumen-argumen Mazza
tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
a.
Teori mereka (Pinar & koleganya) merupakan jalan dan
bukan proyek yang telah lengkap,
b.
Teori tersebut memerlukan waktu yang panjang dan sejumlah
riset serta dialog dimasa mendatang,
c.
Bentuk-bentuk penemuan baru harus dibuatkan prioritas
demi kepentingan rekomendasi praktis, dan
d.
Telah terjadi kelebihan penekanan pada kurikulum-kurikulum
dimasa lalu (Mazza, 1982: 15-16)
Kelemahan utama teori Pinar adalah ia memberikan teori
melalui prosedur-prosedur catatan autobiografi setiap individu, dan bukan dengan
menggeneralisasi prinsip-prinsip yang dapat menjelaskan validitas mereka. Untuk
memperluas peserta didik dan pendidik, Brady (1984) merujuk kepaga fragmentasi
relatif dari tipe teori ini. Eisner (1979), dalam teorinya mengenai penelitian
dan kritik, mengorganisasi problem-problem generalisasi individu diruang kelas.
Ia mengembangkan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan validitas (dengan
buku-buku yang kuat dan referensi yang akurat).
Kelemahan teori Pinar lainnya adalah metode pelaporannya
sendiri yang tampaknya meminimalkan efek-efek ideologi. Anak didik diharapkan
bisa merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dengan segala situasi,
sedang para pendidik diposisikan sebagai partisipan melalui bacaan-bacaan
jurnal atau melalui diskusi informal dengan anak didik. Hl ini bisa terjadi
karena anak didik tidak menyadari dan tidak mengatur struktur-struktur
tersembunyi yang memengaruhi pengalaman hidup mereka.
Lebih lanjut, segala komentar yang dibuat para pendidik
atau supervisor mungkin memberikan kritikan yang tidak cukup untuk menyadarkan
anak didik akan kenaifan yang ada, dan bahan mungkin ada beberapa kesalahan
dari kesimpulan-kesimpulan tersebut. Menurut Mazza (1982), Sharp dan Grean
(1975), terlalu banyak kepercayaan yang ditempatkan dalam kekuatan refleksi
agar bisa menembus pengaruh kekuatan ideologi terhadap pendidik dan aktivitas
anak didik.
Namun demikian, terdapat sejumlah pengembangan berarti
yang telah dicapai Pinar dan pengikutnya. Pinar telah menstimulasi
imajinasi-imajinasi para pendidik dan juga mengungkapkan berbagai kendala
pendekatan-katat radisional kurikulum yang ada. Dia juga mengkritik bagian
akhir perencanaan yang rasional terhadap contoh yang dianggap komprehensif
dalam ulasannya dan memiliki tingkat keyakinan yang tinggi.
Pinar dan koleganya juga telah menghasilkan konsep-konsep
dan bahasa baru dalam proses teorisasi kurikulum. Bahasa baru tersebut
diperlukan untuk menjelaskan segala perbedaan prospektif dan hubungan yang
cukup memadai. Pinar dan kolega-koleganya menggunakan bentuk-bentuk teknis
seperti: hermeneutics proses
interprestasi, praxis
(aktivitas-aktivitas yang diterima dari sikap dan pemecahan masalah), reflexivity (self analysis),
phenomenological (fenomena yang menjadi dasar pengalaman), problematic (definisi segala konsep
bidang yang dikaji, yang tidak hanya dari bentuk-bentuk yang dimasukkan, tapi
juga apa yang dikeluarkan, currere
(membuat pengalaman pribadi dengan mengingatkan dan merefleksikan
pengalaman-pengalaman masa lalu seseorang di sekolah yang memproyeksikan
harapan-harapan seseorang dimasa mendatang).
Pinar dan koleganya menggunakan bentuk-bentuk tersebut
untuk mengembangkan model-model alternatif untuk penelitian kurikulum agar
dapat mengembangkan proposisi-proposisi baru. Pinar mnggunakan currere sebagai metode, Grumer (1979)
menggunakan self-report dalam
pendidikan guru, dan Pagano (1983) menggunakan moral fictions, yang merupakan beberapa contoh cara baru dalam
menginterprestasikan berbagai fenomena kurikulum. Setiap dari mereka menyadari
adanya pendekatan psikomotoris untuk meningkatkan kesadaran akan berbagai
fenomena yang terjadi dalam kehidupan seseorang.
Kesimpulannya, Pinar dan koleganya telah memberikan
sesuatu yang menarik. Mereka adalah para pembuat dan perencana kurikulum
melalui tulisan-tulisan yang pertama muncul disekitar tahun 1970-an. Meskipun
ada sedikit bahaya disekitar tulisan tersebut yang terlalu banyak berkomentar
diberbagai media yang ada (Roogers, 1984). Yang paling penting dari sumbangan
mereka adalah mereka mengajak kita untuk kesadaran tentang berbagai fenomena
kurikulum.
C. Fungsi Teori Kurikulum
Teori merupakan
suatu alat disiplin ilmu dengan menentukan orientasi ilmu tersebut, memberikan
kerangka konseptual tentang cara mensistemasi, mengategorisasi dan mengadakan
interrelasi data; fakta-fakta menjadi generalisasi empiris dan sistem
generalisasi; meramalkan fakta-fakta; dan memperlihatkan kekurangan-kekurangan
dalam pengetahuan manusia mengenal disiplin ilmu tersebut. Karenanya, hanya
dengan teori kurikulum saja yang merupakan syarat mutlak mengembangkan
kurikulum sebagai disiplin ilmu.
Menurut Nasution
(1993: 172), terdapat dua pendirian dalam kaitannya dengan fungsi teori
kurikulum tersebut. Pertama,
memandang fungsi teori kurikulum sebagai kegiatan intelektual, misalnya dalam
hal memahami hakikat pengalaman dalam pendidikan dan pengajaran secara internal
dan eksistensial. Dalam kegiatan intelektual tersebut, mereka menggunakan
ilmu-ilmu sosial dan menggunakan intuisi untuk membantu menganalisisnya. Namun,
penelitian empiris belum dilakukan, karena bagi mereka teori kurikulum yang
dimaksud bukanlah untuk memberi pegangan dalam pelaksanaan kurikulum dalam
aktivitas pengajaran.
Persoalan
keunikan dan kebebasan individu secara temporalisasi dalam eksistensi
dipersoalkan oleh mereka, dan kurikulum dilihat sebagai usaha moral dan bukan
sebagai persoalan teknis. Bagi mereka, tujuan teori kurikulum adalah mengembangkan
dan mengkritik konsep-konsep mengenai kurikulum dengan harapan bisa ditemukan
konsep-konsep mengenai kurikulum. Tidak banyak penganut pendirian yang bersifat
filosofis tersebut.
Kedua, pendirian yang diambil oleh mayoritas para ahli teori
kurikulum, yakni dengan cara mencari berbagai pendekatan rasional mengenai
cara-cara atau metode-metode pencapaian segala tujuan pendidikan dengan
mengandalkan data empiris agar dapat memvalidasi keunggulan alat-alat tersebut
dalam mencapai sasaran yang ada, sehingga keterkaitan yang kokoh antara teori
dan praktik menjadi pegangan dari pendirian ini.
Teori kurikulum
juga memiliki fungsi yang sangat krusial (penting) yang berhubungan dengan
penyusunan, pengembangan, pembinaan, dan evaluasi kurikulum pada khususnya dan
pendidikan pada umumnya. Dalam kaitan ini, Subandijah (1993: 11) mengungkapkan
bahwa ada empat fungsi kurikulum, yakni : 1) sebagai pedoman dalam pengambilan
keputusan dan memberikan alternatif yang mendetail dalam perencanaan kurikulum,
2) sebagai landasan sistematis dalam pengambilan keputusan, memilih, menyusun
dan membuat uruta isi kurikulum, 3) merupakan pedoman dalam evaluasi formatif
bagi kurikulum yang sedang berjalan, dan 4) membantu mengidentifikasi kesenjangan
pengetahuan seseorang (pengembang kurikulum) sehingga merangsang dilakukan
riset lebih lanjut.
Dengan demikian,
agar dipahami bahwa fungsi teori kurikulum paling tidak memberi kerangka
pegangan dalam pengembangan dan penelitian serta penilaian terhadap
perkembangan kurikulum tersebut. Kemudian, fungsi kurikulum bisa juga untuk
menjelaskan variabel-veriabel yang berkaitan dengan aspek-aspek kurikulum yang
dapat divalidasi secara empiris serta memberikan seperangkat prinsip dan
hubungan yang dapat dites secara empiris dalam pengembangan kurikulum.
Akhirnya, fungsi teori tersebut merupakan aktivitas intelektual kreatif dengan
mengembangkan, menganalisis, dan cara-cara baru dalam pembicaraan kurikulum
menjadi lebih bermanfaat atau berdaya guna dari sebelumnya, terutama bermanfaat
untuk anak didik.
Kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Kurikulum harus
selalu dikembangkan dan disempurnakan sehingga sesuai dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta masyarakat yang sedang membangun. Pengembangan kurikulum
hrus berdasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang berlaku.
Maksudnya adalah agar peserta didik, lingkungan, kebutuhan daerah, sehingga
dapat memperlancar pelaksanaan pendidikan disuatu negara dalam rangka
mewujudkan cita-cita pembangunan dan pendidikan nasional bangsa yang
bersangkutan.
Pengembangan
kurikulum tersebut selalu menggunakan berbagai prinsip dan pendekatannya. Hal
ini mempunyai arti bahwa kurikulum itu diharapkan dapat menghasilkan output yang berkualitas, mempunyai nilai
relevansi terhadap pengembangan atau apa-apa yang akan terjadi dimasa
mendatang. Dengan kata lain, program-program yang ditawarkan oleh dunia
pendidikan diharapkan memiliki arti yang mendalam bagi anak didik, keluarga dan
bangsa menurut perkembangan zaman.
Pengertian
relevansi pada konteks ini tidak selalu sama artinya dengan kurikulum
pendidikan di negara lain, karena banyak faktor lain yang turut andil
memengaruhinya. Di Indonesia misalnya, kurikulumnya berdasarkan Pancasila, UUD
1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan itu sama halnya di negara
tertentu yang akan mempunyai landasan tertentu pula dalam pengembangan
kurikulum. Agar kurikulum mempunyai arti bagi anak didik, efektif, dan
efisiensi serta sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan, pemahaman
mengenal prinsip dan pendekatannya menjadi tidak kalah pentingnya.
JENIS DAN MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Jenis-jenis Kurikulum
Jenis-jenis kurikulum
atau sering dikenal dengan organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk
penyusunan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada murid-murid. Organisasi
kurikulum sangat erat hubungan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai
karena pola-pola yang berbeda akan mengakibatkan isi dan cara penyampaian pelajaran
berbeda pula. Adapun organisasi kurikulum tersebut yaitu :
1. Separateed Subject
Curriculum
Kurikulum ini di pahami sebagai kurikulum mata
pelajaran yang terpisah satu sama lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah (separated
subject curriculum), bahkan kurikulumnya dimaksudkan dalam bentuk mata
pelajaran yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata
pelajaran lainnya. Konsekuensinya adalah anak didik di haruskan mengambil mata
pelajaran semakin banyak.
Mata pelajaran disusun sedemikian rupa secara logis
dan sistematis, sehingga murid dapat mempelajarinya dengan baik. Akibat dari
penggunaan bentuk kurikulum semacam ini adalah bila muncul suatu cabang baru
dalam ilmu pengetahuan, maka mata pelajaran menjadi bertambah. Essensi
dari organisasi kurikulum semacam ini adalah bahwa ia mengikuti disiplin yang
baik dan logis.
Dengan demikian, baik
isi maupun pengalaman belajar yang diperoleh bersifat terpisah-pisah. Adapun
isi dari setiap mata pelajaran ditentukan oleh ahli-ahli mata pelajaran
masing-masing. Guru dalam hal ini berfungsi untuk mencari cara bagaimana agar
siswa dapat menguasai mata pelajaran dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu
metode mengajar yang paling tepat untuk digunakan adalah metode exposisi
(penyampaian bahan). Sumber utama yang patut dan paling penting dalam belajar
adalah buku teks pelajaran.
Keunggulan dari bentuk organisasi separated subject
curriculum yang paling menonjol adalah karena bahan pelajaran disusun secara
logis dan sistematis. Sehingga metode untuk mempelajarinya dapat efektif,
demikian juga metode untuk mengorganisasi pengetahuan. Siswa dapat menghipun
sebanyak mungkin ilmu pengetahuan secara efektif dan ekonomis. Dengan
mempelajari mata pelajaran seseorang dapat mengikuti suatu disiplin ilmu pengetahuan
tertentu, juga berlatih untuk menggunakan sistem berfikir tertentu, sehingga
kekuatan intelektualnya berkembang.
Penilaian lebih mudah karena biasanya bahan pelajaran
ditentukan berdasarkan buku-buku pelajaran tertentu sehingga dapat diadakan ujian
umum atau tes hasil belajar yang seragam diseluruh negara. Manfaat
praktis lainnya adalah karena bentuk kurikulum ini sudah lama digunakan, maka
pada umumnya banyak perguruan tinggi menetapkan syarat masuk berdasarkan
kemampuan dalam mata pelajaran. Juga pada umumnya guru sudah terbiasa dan
terdidik dalam mata pelajaran terpisah-pisah sehingga dipandang lebih mudah
dilaksanakan.
Selain mempunyai keunggulan, terdapat pula berbagai
kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol adalah, oleh
sebab kurikulum terdiri dari mata pelajaran terpisah-pisah, tidak
dapat mengembangkan kemampuan berfikir aktif dan terpadu. Isi kurikulum
merupakan warisan kebudayaan masa lampau, bukan masalah-masalah yang dihadapi
pada situasi sekarang. Ini menyebabkan tidak diperhatikan prinsip psikologis
yaitu minat dan motivasi. Sehingga apa yang dipelajari sering kali mudah
dilupakan, juga tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan dibutuhkan anak.
2.
Correlated Curriculum
Kurikulum jenis ini
mengandung makna bahwa sejumlah mata pelajaran dihubungankan antara yang satu
dengan yang lain, sehingga ruang lingkup bahan yang tercakup semakin luas.
Sebagai contoh pada mata pelajaran fiqih dapat dihubungkan dengan mata
pelajaran Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat anak didik mempelajari shalat maka
dapat dihubungkan dengan pelajaran Al-Qur’an, Hadits yang berhubungan dengan
shalat, dan lainnya.
Masih banyak cara
lainnya dalam menghubungkan mata pelajaran dalam kegiatan kurikulum. Korelasi
tersebut dengan memperhatikan tipe korelasinya yakni :
a.
Korelasi oksional/incidental, maksudnya korelasi
dilaksanakan secara tiba-tiba atau incidental. Misalnya pada pelajaran sejarah
dapat dibicarakan yenyang geografi dan tumbuh-tumbuhan.
b.
Korelasi etis, yang bertujuan untuk mendidik budi
pekerti sehingga konsentrasi pelajarannya di pilih pendidikan agama. Misalnya
pada pendidikan agama itu dibicarakan mengenai cara-cara menghormati tamu,
orang tua, tetangga, kawan dan sebagainya.
c.
Korelasi sistematis, yang mana korelasi ini biasanya
direncanakan oleh guru. Misalnya mengenai bercocok tanam padi dibahas dalam
geografi dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
Beberapa kelebihan Correlated
Curriculum yaitu dengan korelasi pengetahuan siswa lebih integral, tidak
terlepas-lepas. Dengan melihat hubungan erat antara mata pelajaran satu dengan
yang lain, minat siswa bertambah. Korelasi memberikan pengertian yang lebih
luas dan mendalam karena memandang dari berbagai sudut. Dengan korelasi maka
yang diutamakan adalah pengertian dan prinsip-prinsip bukan pengetahuan akan
fakta, dengan begitu memungkinkan penggunaan pengetahuan secara fungsional bagi
siswa.
Adapun disamping kelebihan
yang ada, terdapat kelemahan pada Correlated Curriculum yaitu sulit untuk
menghubungkan dengan masalah-masalah yang hangat dalam kehidupan sehari-hari
sebab dasarnya subject centered. Tidak memberikan pengetahuan yang sistematis
dan mendalam untuk sesuatu mata pelajaran sehingga hal ini dipandang kurang
cukup untuk bekal mengikuti pelajaran di perguruan tinggi.
3.
Broad Fields Curriculum
Broad fields merupakan bentuk organisasi kurikulum
yang dibuat dengan melebur mata pelajaran sejenis ke dalam satu bidang studi. Kurikulum broad fields kadang-kadang
disebut kurikulum fusi. Taylor dan Alexander menyebutnya dengan
sebutan The Broad Fields of Subject Matter. Broad Field menghapuskan
batas-batas dan menyatukan mata pelajaran (subject matter) yang
berhubungan erat. Wiliam B. Ragam mengungkapkan enam macam broad fields yang
umumnya ditemukan di dalam kurikulum sekolah dasar. Keenam broad fields itu
adalah bahasa (language), ilmu pengetahuan sosial (sosial studies),
matematika (maths), sains (science), kesehatan dan pendidikan
olah raga (health and sport), dan kesenian (arts).
Phenik, merupakan orang yang pertama mencetuskan tipe
organisasi broad fields ini. Keinginan Phenik adalah agar
supaya para pendidik mengerti jenis-jenis arti perkembangan kebudayaan yang
efektif, manfaat yang didapatkan dari berbagai disiplin ilmu , dan upaya
mendidik anak agar menghasilkan sesuatu masyarakat yang civilized. Lima
macam broad fields dalam kurikulum, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan
sosial (social studies): ilmu bumi, sejarah, civics, ekonomi, dan
sejenisnya.
b. Bahasa (language
arts): membaca, tata bahasa, menulis, mengarang, menyimak, pengetahuan
bahasa.
c. Ilmu pengetahuan alam
(natural sciences): ilmu alam, ilmu hayat, ilmu kimia, ilmu kesehatan,
biologi.
d. Matematika:
berhitung, aljabar, ilmu ukur sudut, bidang dan ruang, dan statistik.
e. Kesenian: seni tari,
seni suara, seni lukis, seni pahat, dan seni drama.
Soetopo dan Soemanto mengemukakan bahwa keunggulan
kurikulum broad fields ialah adanya kombinasi mata pelajaran
akan semakin dirasakan kegunaannya, sehingga memungkinkan pengadaan mata
pelajaran yang kaya akan pengertian dan mementingkan prinsip dasar serta
generalisasi. Sementara itu kelemahannya ialah hanya memberikan pengetahuan
secara sketsa, abstrak, kurang logis dari suatu mata pelajaran.
4.
Integrated Curriculum
Kurikulum terpadu (integrated curriculum)
merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian bahan pelajaran dari berbagai
macam masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari
berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Integrated
curriculum mempunyai ciri yang sangat fleksibel dan tidak
menghendaki hasil belajar yang sama dari semua anak didik. Guru, orang tua, dan
anak didik merupakan komponen-komponen yang bertanggung jawab dalam proses
pengembangannya.
Di sisi lain, kurikulum ini juga mengalami
kesulitan-kesulitan bagi anak didik terutama apabila dipandang dari ujian akhir
atau test akhir tau tes masuk uniform. Sebagai persiapan studi
perguruan tinggi yang memerlukan pengetahuan yang logis, sistematis, kurikulum
jenis ini akan mengalami kekuatan. Meskipun demikian selama percobaan delapan
tahun (1932-1940), dengan kurikulum terpadu dapat mengikuti pelajaran dengan
baik, dan tidak kalah dengan prestasi anak didik lain yang menggunakan kurikulum
konvensional, dan justru mereka memiliki nilai tambah dalam hal perkembangan
dan kemantapan kepribadian dan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan.
Integrated curriculum (kurikulum
terpadu) juga mementingkan aspek-aspek psikologi yang berpengaruh
terhadap integrasi pribadi individu dan lingkungannya. Kurikulum terpadu
menurut Soetopo dan Soemanto dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yakni The
Child Centered Curriculum, The Social Functions, dan The
Experience Curriculum.
B.
Model Pengembangan Kurikulum
Model adalah
konstruksi yang bersifat teoritis dari konsep dasar. Dalam kegiatan
pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula hanya ulasan tentang
salah satu komponen kurikulum. Ada suatu model yang memberikan ulasan tentang
keseluruhan proses kurikulum, tetapi ada pula yang hanya menekankan pada
mekanisme pengembangannya saja.
1.
Model Pengembangan Kurikulum Zais
Robert S. Zais mengemukakan adanya beberapa macam
model pengembangan kurikulum. Beberapa Zais:
a)
Model Administratif
Model administratif sering
disebut sebagai model garis dan staf atau dikatakan pula sebagai model dari
atas ke bawah. Model ini pada dasarnya mudah dilaksanakan pada negara penganut
sistem sntralisasi dalam pengembangan kurikulum dan juga bagi negara yang
kemapuan profesional gurunya masih lemah. Pengembangan kurikulum ini
dilaksanakan sebagai berikut :
-
Atasan membentuk tim yang terdiri atas pejabat teras
yang berwenang (pengawas, pendidikan, kepala sekolah, dan pengajar inti).
-
Tim merencanakan konsep rumusan tujuan dan falsafah
yang diikuti.
-
Dibentuk beberapa kelompok kerja yang anggotanya
terdiri atas para spesialis kurikulum dan staf pengajar yang berugas untuk
merumuskan tujuan khusus, GBPP, dan kegiatan belajar.
-
Hasil kerja dari butir 3 direvisi oleh tim atas dasar
pengalaman atau hasil daritry out.
-
Setelah try out yang dilaksanakan
oleh beberapa kepala sekolah, dan telah direvisi seperlunya, baru kurikulum
tersebut diimplementasikan.
b)
Model dari Bawah (Grass-Roats)
Model yang ini
inisiatif berasal dari bawah. Model ini didasarkan pada dua pandangan pokok,
yaitu :
1. Implementasi
kurikulum akan lebih berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah dari
semula terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum.
2. Pengembangan
kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru) saja, tetapi
juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan pengembangan
kurikulum ini, kerja sama dengan orang tua murid dan masyarakat sangatlah
penting. Kerjasama diantara sesama guru dengan sendirinya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari model ini.
Model ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu :
1. Kurikulum akan
bertambah baik, jika kemampuan profesional guru bertambah baik.
2.
Kompetensi guru akan bertambah baik, jika guru
terlibat secara pribadi di dalam merevisi kurikulum.
3.
Jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin
dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil,
maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna.
4.
Hendaknya diantara guru-guru terjadi kontak langsung
sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu konsensus tentang
prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.
Langkah-langkahnya yaitu :
1.
Inisiatif pengembangan berasal dari bawah (para
pengajar).
2.
Tim pangajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber
lain orang tua peserta didik atau masyarakat luas yang relevan.
3.
Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
4.
Untuk memantapkan konsep perkembangan yang telah
dirintisnya diadakan lokal karya mencari input yang
diperlukan.
c)
Model Demonstrasi
Model yang ini,
inisiatif berasal dari kebersamaan dan hasilnya diumumkan disekolah sekitar
yaitu langkah-langkahnya :
1.
Staf, pengajar pda suatu sekolah menemukan suatu ide
pengembangan dan ternyata hasilnya lebih baik.
2.
Dan kemudian hasilnya disebarluaskan disekolah
sekitar.
Keuntungan model demonstrasi antara lain :
1.
Disebabkan kurikulum yang dihasilkan telah melalui uji
coba dalam praktik yang nyata, maka dapat memberikan alternatif yang dapat
bekerja.
2.
Perubahan kurikulum pada bagian tertentu cenderung lebih
mudah disepakati dan diterima daripada perubahan secara keseluruhan.
3.
Mudah mengatasi hambatan.
4.
Menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan
narasumber sehingga para administrator dapat mengarahkan minat dan kebutuhan
guru untuk mengembangkan program-program baru.
Kelemahan utama model ini adalah
dapat menghasilkan antagonisme baru. Guru-guru yang tidak terlibat di dalam
proses pengembangan cenderung bersikap apatis, curiga, tidak percaya, dan
cemburu. Akibatnya, mereka akan menerima kurikulum baru itu dengan setengah
hati.
d)
Model Beaucham
Model ini
dikembangkan oleh G. A Beaucham. Langkah-langkahnya yaitu :
1. Menentukan arena
yaitu suatu gagasan pengambangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas,
diperluas disekolah, disebarkan sekolah-sekolah daerah tertentu baik berskala
regional maupun nasional.
2. Memilih kemudian
mengikutsertakan para pengembangan kurikulum yang terdiri dari ahli kurikulum,
wakil kelompok profesional, staf pengajar, petugas bimbingan, dan narasumber
lain.
3. Mengorganisasikan dan
menetukan prosedur perencanaan kurikulum yang meliputi penentuan tujuan, materi
pelajaran, dan kegiatan belajar. Untuk tugas tersebut perlu dibentuk dewan
kurikulum sebagai koordinasi yang bertugas.
4. Menerapkan atau
melaksanakan kurikulum secara sistematis disekolah.
5. Mengevaluasi
kurikulum yang berlaku.
e)
Model Terbalik Hilda Taba
Model ini
dikembangkan oleh Hilda Taba atas data edukatif yang disebut model terbalik
karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang
datangnya dari atas secara edukatif. Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1.
Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan
materi, menemukan penilaian, memperhatikan antara luas dan dalam nya bahan
kemudian disusunlah suatu unit kurikulum.
2.
Mengadakan try out.
3.
Mengadakan revisi atas dasar try out.
4.
Menyusun kerangka kerja teori.
5.
Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan
didesiminasikan.
f)
The Systematic Action-Reseacrh Model
Tiga faktor utama
yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini adalah adanya hubungan antarmanusia,
organisasi sekolah, dan masyarakat, serta otoritas ilmu. Langkah-langkah
dalam model ini adalah:
1.
Merasakan adanya suatu masalah dalam kelas atau
sekolah yang perlu diteliti secara mendalam.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
3.
Merencanakan secara mendalam tentang bagaimana
pemecahan masalahnya.
4.
Menetukan keputusan apakah yang perlu diambil
sehubungan dengan masalah tersebut.melaksanakan keputusan yang telah diambil
dan menjalankan rencana yang telah disusun.
5.
Mencari fakta secara meluas.
6.
Menilai tentang kekuatan dan kelemahan.
2.
Model Pengembangan Kurikulum Roger
Beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah
dari model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Adapun model-model
tersebut (ada empat model) dapat dikemukakan sebagai berikut :
a.
Model I (yang paling sederhana) menggambarkan bahwa
kegiatan pendidikan hanya semata-mata terdiri dari kegiatan memberi informasi
(isi pelajaran) dan ujian. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa pendidikan aalah
evaluasi dan evaluasi adalah pendidikan, serta pengetahuan adalah akumulasi
materi dan informasi.
b.
Model II dilakukan dengan menyempurnakan model I di
atas dengan menambahkan kedua dengan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan,
yaitu tentang metode dan organisasi bahan pelajaran.
c.
Model III pengembangan kurikulum ini merupakan
penyempurnaan model yang belum dapat memberikan unsur-unsur teknologi
pendidikan kedalamnya.
d.
Model IV pengembangan kurikulum merupakan
penyempurnaan model III, yaitu dengan cara memasukkan unsur-unsur tujuan
kedalamnya.
Dari macam-macam model pengembangan kurikulum yang
telah diuraikan diatas, maka ditemukan perbedaan- perbedaan dalam hal bentuk,
kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sebenarnya masih terdapat banyak model
kurikulum lain, namun pada dasarnya kurikulum tersebut memiliki komponen
tujuan, bahan, proses belajar mengajar, dan penilaian atau evaluasi yang sama
A. Refleksi sebuah model kurikulum
Pendidikan sebagai praktik yakni
seperangkat kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati dan disadari dengan
tujuan untuk membantu pihak lain (baca: peserta didik) agar memperoleh
perubahan perilaku. Sementara pendidikan sebagai teori yaitu seperangkat
pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis yang berfungsi untuk
menjelaskan, menggambarkan, meramalkan dan mengontrol berbagai gejala dan
peristiwa pendidikan, baik yang bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan
(empiris) maupun hasil perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat makna
pendidikan dalam konteks yang lebih luas, Dalam perjalanan sejarah sejak tahun
1945, kurikulum pendidikan nasional
telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, dan direncanakan pada
tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara. kurikulum sebagai seperangkat
rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya, Keberadaan teori
kurikulum belum mantap atau
dengan kata lain belum bisa dibentuk. Teori kurikulum, pada dasarnya bukanlah
hal yang stabil atau mantap keberadaannya, sebagaimana diungkapkan di muka,
namun is selalu berkembang mengikun perkembangan rains dan teknologi. Seperti
halnya dalam mengambil keputusan praktis lainnya, teori dapat dimanfaatkan
dalam pengambilan (keputusan praktik (pelaksanaan) sistem kurikulum dan sistem
pendidikan yang memang
memerlukan sifat elektif.Jenis-jenis kurikulum
ada empat yaitu separated subject curriculum, correlated curriculum, broad
fields curriculum, dan integrated curriculum. Keempat jenis kurikulum tersebut
memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Pertimbangan yang mendalam dalam
menggunakan suatu bentuk tertentu perlu dilakukan. Oleh karena itu setiap pengembang
kurikulum sepatutnya dapat melihat berbagai keunggulan maupun kelemahan yang
dimiliki oleh masing-msing jenis kurikulum, agar dapat dicarikan suatu cara
mengurangi kelemahan bila suatu bentuk tertentu dipilih.
Model pengembang
kurikulum menurut Zais ada 6 yaitu model administratif, model dari bawah, model
demonstrasi, model beaucham, model terbalik hilda taba, dan the systematic
action-reseacrh model. Setiap model memiliki titik pandang yang berbeda menurut
para pengembang. Kita tidak dapat mengatakan suatu model lebih ampuh dari model
lainnya karena masing-masing model memiliki keuntungan dan kelemahannya.
Apabila kita ingin menerapkan suatu model, sebaiknya dikaji terlebih dahulu
situasi dan kondisi kerja yang ada serta kepentingan kita, kemudian menentukan
model manakah yang dapat diterapkan dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan
beberapa model
DAFTAR PUSTAKA
Dirgantara wicaksono,Dr.M.Pd, 2016. Pengembangan Inovasi Kurikulum, PT.EGI perss, Jakarta.
David Middlewood, 2001, Managing the Curriculum, Sage publication, London.T.EGIerss, Jakart
Hamalik, Oemar. (2008). Manajemen Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI dan PT Remaja Rosdakary
Idi, Abdullah. (2009). Pengembangan Kurikulum (teori dan praktik).
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.Junaidi, Wawan. (2009). Teori Kurikulum. [online].
http://www.Dirgantara.gudangmateri.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar