Rabu, 20 April 2016

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


                                       
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
oleh: Dirgantara Wicaksono

Realitas kondisi pendidikan di Indonesia setiap tahunnya mengalami perubahan, baik secara holistic ataupun parsial, termasuk kebutuhan akan perkembangan kurikulum di sekolah Islam, sejalan dengan hal tersebut ,perkembangan Rumusan tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri dan mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan ( UU No. 2/1989). Rumusan tujuan pendidikan Islam sangat relevan dengan tujuan pendidikan nasional.
Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1.    Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak.
2.    Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal dan rohani.
3.    Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal dan rohani manusia.
4.    Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus dan pendidikan jasmani.
5.    Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman.
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1.    Prinsip yang berorientasi pada tujuan.
2.    Prinsip relevansi.
3.    Prinsip efisiensi dan efektifitas.
4.    Prinsip fleksibilitas program.
5.    Prinsip integritas.
6.    Prinsip kontinuitas (istiqamah).
7.    Prinsip sinkronisme.
8.    Prinsip objektivitas.
9.    Prinsip demokrasi.
10. Prinsip analisis kegiatan.
11. Prinsip individualisasi.
12. Prinsip pendidikan seumur hidup.

A.   Tujuan Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam memiliki perbedaan dengan tujuan pendidikan lain. Tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada Sang Khalik dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan-Nya. Tujuan yang akan dicapai dari kurikulum pendidkan Islam adalah membentuk anak didik berakhlak mulia, dalam hubungannya dengan hakikat penciptaan manusia.
Islam sebagai agama wahyu yang sangat mementingkan hidup masa depan yang berorientasi duniawi-ukhrawi telah menempatkan dasar teoritis dalam ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain tercantum dalam surat Al-Hasyr (59) : 18
Hai orang-orang Mukmin, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri manusia memerhatikan hal-hal apa yang hendak dilakukan bagi hari esoknya, dan bertakwalah kepada Alla; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat Al-Qur’an di atas, dapat diakui bahwa sumber ilmu pengetahuan itu sangatlah luas. Ilmu pengetahuan yang diharapkan Allah SWT, menjadi penopong kemantapan keimanan (umat manusia sebagai khalifah Allah SWT.). Menurut Arifin (1991:113), dapat disederhanakan ke dalam tiga sumber orientasi teoritis ilmiah yaitu: a) pengembangan pada Allah SWT, Yang Maha Mengetahui sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan, b) pengembangan kearah kehidupan social manusia, yang semakin kompleks dan menekankan ilmu pengetahuan dan teknologi, c) pengembangan kea rah alam sekitar yang diciptakan-Nya sebagai penopang kehidupan manusia
Sumber bahan dan materi kurikulum Pendidikan Islam dapat dikembangkan melalui bahan yang terdapat dalam nash dan realitas kehidupan. Kutipan beberapa nash Al-Qur’an dan al-Hadits berikut diharapkan dapat memberi gambaran sumber bahan (materi) dari kurikulum Pendidikan Islam atau yang menjadi isi (content) dari suatu kegiatan Pendidikan Islam.
1.    Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa (QS. Al-Baqarah [2]: 129).
Sebagaimana kami telah mengutus seorang Rasul diantara kamu dan mengajarkan kepada kami al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (QS. Al-Baqarah [2]: 151)
Dialah yang mengutus kepada kamu yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya dan mensucikan mereka serta mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2)
2.    Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl [16]: 44)
3.    Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya dikala ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu kezaliman yang besar (QS. Luqman [31]: 13)
4.    Hai anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap yang menimpa kamu (QS. Luqman [31]: 17)
Perintahkanlah anak-anakmu untuk menunaikan shalat di kala ia berumur tujuh tahun dan pukullah mereka jika bandel mematuhi shalat dan pisahlah tidur mereka di kala berumur sepuluh tahun (HR. Abu Daud)
5.    Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya mengandung dengan keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun (QS. Luqman [31]: 14)
6.    Dan janganlah kamu sekalian memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh (QS. Luqman [31]: 18)
7.    Dan bersabarlah kamu dari apa yang menimpa kamu, sesungguhnya hal yang demikian itu termasuk yang diwajibkan (QS. Luqman [31]: 17)
8.    Lalu kedua bertemu dengan hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan rahmat dari sisi kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS. Al-Kahfi [18]: 65)
9.    Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara kamu kepada mereka untuk memperdalam pengetahuan agama (QS. Al-Taubah [9]: 22)
10. Dan Allah mengajarkan Adam tentang nama-nama benda (asma’) seluruhnya kemudian mengemukakan kepada para Malaikat lalu berfirman, sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang yang benar (QS. Al-Baqarah [2]: 31)
11. Maka hendaklah manusia memerhatikan dari apa yang dia ciptakan (QS. Al-Thariq [86]: 5)
12. Apakah mereka tidak melihat kepada unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana dia ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 17, 18, 19)
Dalam kaitannya dengan kurikulum, para pemikir ( pendidik ) Islam juga mempunyai perbedaan dalm hal istilah dan bentuk dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Ibnu Khaldun ( 732 H atau 1332 M ) menetapkan tiga kategori ilmu pengetahuan Islam yang harus dijadikan materi kurikulum sekolah:
1.    Ilmu lisan ( bahasa ) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah. Maani, bayan, adab ( sastra ) atau syair-syair.
2.    Ilmu naqly, yakni ilmu-ilmu yang dinukilkan dari Al-Qur’an dan hadis, yang terdiri dari: Qiraah Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir, sanad-sanad hadis dan pentashihannya, serta istinbath tentang qanun-qanun fiqhiyah-nya.
3.    Ilmu ‘aqly, yakni ilmu untuk mengembangkan daya pikir manusia kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan lainnya. Kelompok ilmu ini antara lain: Logika (ilmu Mantiq), Ilmu Alam, Teknologi, Ilmu Teknik, Ilmu Bintang, dan lain sebagainya.
Sedangkan Al-Ghazali menempatkan ilmu pengetahuan berikut agar dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan, yakni:
1.    Ilmu fardli’ain (wajib dipelajari), yakni ilmu agama yang dipelajari dari Al-Qur’an: fikih, hadis dan tafsir.
2.    Ilmu fardu kifayah (untuk menyokong kehidupan di dunia), yakni meta fisika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.

B.   Praktik Kurikulum Pendidikan Islam: Sosio-Historis Pendidikan
Munir Mursi dalam Abdullah Idi dan Toto Suharto (2006: 3-18) membagi periode sejarah pendidikan Islam menjadi empat periode: (1) periode pembinaan, dimulai sejak kelahiran Islam yang ditandai dengan turunnya wahyu pertama sampai akhir masa kekuasaan Bani Umayyah (610-750 M); (2) periode keemasan, dimulai dari lahirnya Bani Abbasiyyah sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol (750-1258M); (3) periode kejatuhan dan kemunduran, dimuliai dengan Imperium Turki Usmani hingga kemerdekaan Negara-negara Islam (1258-1800M); dan (4) periode pembaruan dan pembinaan kembali, dimulai dari kemerdekaan Negara-negara Islam dari Imperium Turki Usmani hingga sekarang (1800M-sekarang).
Tiap periode di atas memiliki ciri-ciri sendiri. Salah satu ciri yang dominan adalah kelahiran madrasah pada periode keemasan. Kemunculan madrasah pada periode tersebut secara historis menjadi bukti awal kemapanan system pendidikan Islam. Ketika mengkaji lembaga-lembaga pendidikan Islam, sebagian besar peneliti sejarah pendidikan Islam menggunakan dua batasan periodisasi, yakni periode pra-,madrasah dan pasca-madrasah.
Muhammad Yunus (1990:69-71) menuturkan bahwa setidaknya ada empat faktor eksternal penyebab kelahiran madrasah: (1) faktor politik, di mana para penguasa berusaha menarik hati rakyat dengan jalan memajukan agama dan mementingkan pendidikan. Untuk tujuan politis tersebut, penguasa tidak segan-segan mengeluarkan sejumlah besar dana membangun madrasah; (2) faktor religius, di mana para penguasa yang hidup dengan kemewahan bermaksud beramal dan menyiarkan agama Islam dengan jalan mendirikan madrasah untuk memperoleh ridho Allah SWT. ; (3) faktor ekonomi, di mana para penguasa dan orang-orang kaya mewakafkan harta mereka untuk pembangunan madrasah, dengan syarat pengelolanya adalah putra-putra mereka secara turun-temurun, dengan harapan tujuan ekonomi keturunannya akan terjamin; dan (4) faktor fanatisme, di mana terjadinya pertentangan antara kaum Sunni dan Syi’i menjadikan masing-masing pihak berlomba mendirikan madrasah sebagai alat untuk memperkuat aliran keagamaan masing-masing.
Seperti diungkapkan Papadopoulus dalam Dede Rosyada terdapat sejumlah pemikiran tentang pengembangan pendidikan ke depan yang berdampak pada problematika ekonomi, sosial dan politik, antara lain:
Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang harus disampaikan dalam proses pendidikan menjadi lebih banyak, yang dikhawatirkan berdampak bagi stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban, terutama pada perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian penghargaan dan intensif yang memadai dalam pengembangan sains dan teknologi, yang diharapkan temuan-temuan baru dalam bidang tersebut terus bertambah agar peradaban terus meningkat.
Kedua, perkembangan teknologi akan terjadi terus-menerus dalam percepatan yang tinggi pada Negara-negara berbeda, yang dapat berdampak pada perkembangan ekonomi melalui industry dan jasa. Pendidikan harus mampu menjembatani antara sektor kerja dengan kemajuan sains pengetahuan teknologi tersebut, melalui updating skill dan keterampilan serta beragam temuan baru yang harus dikuasai oleh pekerja yang bertalian dengan perkembangan sains dan teknologi.
Ketiga, perubahan demografis di berbagai Negara berdampak pada distribusi penduduk berdasarkan usia. Negara-negara terbelakang akan memiliki indeks kelahiran yang tinggi, karena itu, angka usia sekolah dasar akan tinggi. Di Negara-negara maju akan cenderung kekurangan usia angkatan kerja dan angka pension konstan atau meningkat dan membutuhkan jaminan sosial dan kesehatan. Negara-negara maju akan terus meningkatkan pendapatan negaranya melalui sektor pajak dari sektor usaha jasa agar tetap dapat memberikan jaminan bagi mereka. Pada saat yang sama, negara-negara  maju akan tergantung pada Negara berkembang atau Negara tertinggal untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Karena itu, negara-negara berkembang harus mendesain lulusan (out-puts) pendidikannya agar masuk pasar kerja di era global, dengan memiliki skill dan keterampilan, bahasa komunikasi global, dan memahami kultrul negara-negara yang menjadi tujuannya.
Keempat, negara-negara menunjukkan saling tergantung satu sama lainnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, sains dan teknologi, dan lain-lain. Pendidikan harus mampu merespons kecenderungan global tersebut, mampu mengarahkan sikap dan perilaku multikulturalisme dalam mempersiapkan pasar tenaga kerja pada negara tujuannya.
Kelima, kemajuan sains dan teknologi yang berdampak pada kemajuan sector ekonomi dengan keterbukaan secara global, akan berdampak terhadap terbentuknya masyarakat “dunia baru”. Pendidikan diharapkan mampu mendesain masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, akrab dengan lingkungan, menjaga stabilitas ekosistem, anti obat terlarang, dan senantiasa hidup sehat.
Jika ada sebagian masyarakat beranggapan bahwa lulusan PTAI, termasuk IAIN, kurang berkualitas, hal ini sebesarnya “berkat” proses perkuliahan dan pembinaan itu sendiri. Arif Furqon dalam (Media Informasi Ditpertais, No 12 Tahun 11, 31 Juli 2004) mengungkapkan bahwa kekurang berhasilan PTAI dalam menjalankan tugasnya , utamanya dalam menciptakan SDM berkualitas (capabable people), dapat disebabkan faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi : a) bergesernya aspirasi pendidikan masyarakat (umat Islam) yang dulu lebih mementingkan pendidikan agama ke ilmu umum seiring dengan perkembangan pembangunan bangsa; b) semakin sempitnya lulusan PTAI untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) akibat kebijakan zero growth; c) banyaknya lulusan PTAI yang tidak segera mendapatkan pekerjaan yang diinginkan berpengaruh terhadap rendahnya minat mahasiswa untuk masuk PTAI; d) beratnya tantangan yang harus dihadapi ahli agama dalam profesinya dapat berpengaruh terhadap calon mahasiswa, dimana mereka kurang berminat menjadi ahli agama; e) kurangnya minta lulusan SLTA yang memiliki profesi akademik tinggo untuk kuliah di PTAI berpengaruh terhadap kualitas mahasiswa PTAI; dan f) in-put mahasiswa yang kurang ideal berdampak terhadap kualitas lulusan (out-put) seperti diharapkan masayarakat.
Faktor eksternal, meliputi: a) manajemen dan kepemimpinan yang belum mampu mengelola PTAI secara modern; b) kurikulum PTAI kurang komunikatif terhadap semua pihak terkait; c) kualitas dosen belum memadai; d) proses perkuliahan di PTAI masih tradisional dan formalistic; e) in-put mahasiswa dari SLTA kurang berkualitas di PTAI yang berdampak pada rendahnya kualitasin-put; f) fasilitas perkuliahan di PTAI belum memadai; g) lingkungan kampus PTAI kurang kondusif dalam mendukung perkuliahan; h) dana operasional belum memadai; i) rendahnya kemampuan dosen PTAI dalam penelitian ilmiah; j) rendahnya kemampuan dosen PTAI dalam menulis laporan penelitian ilmiah atau menulis artikel ilmiah; k) rendahnya perhatian pimpinan PTAI dalam menyebarluaskan hasil penelitian para dosen dan mahasiswanya; dan l) kurang sejalan program pengabdian masyarakat dengan hasil penelitian.

II.    Asas-Asas Kurikulum
A.   Asas Filosofis
Falsafah dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua pengertian, yakni philein (cinta) dan Sophia (kebajikan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat amnesia di dalamnya.
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang:
1.    Metafisika, yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realitas;
2.    Epistemologi, yakni studi tentang hakikat pengetahuan;
3.    Aksiologi, yakni studi tentang nilai;
4.    Etika, yakni studi tentang hakikat kebaikan;
5.    Estetika, yakni studi tentang hakikat keindahan;
6.    Logika, yakni studi tentang hakikat penalaran
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah dalam mengembangkan kurikulum, pengembang tidak hanya menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan falsafah yang lain, antara lain: falsafah Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik.

1.    Falsafah Bangsa
Setiap Negara di dunia ini, baik Negara berkembang maupun Negara maju, memiliki falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Setiap individu memiliki pandangan tertentu mengenai pendidikan yang kadang tidak sama dengan pandangan umum. Keberadaan kurikulum adalah untuk memelihara keutuhan dan persatuan bangsa dan Negara. Agaknya, memang tidak mudah menciptakan falsafah pendidikan yang dapat diterima semua pihak. Kondisi masyarakat menyangkut suku, agama, golongan, kepentingan politik tertentu, akan turut mempengaruhinya. Namun, bagi bangsa Indonesia, persoalan falsafat pendidikan bukanlah persoalan, mengingat Pancasila dan UUD 1945 telah diterima secara resmi menjadi filsafat dan dasar pendidikan nasional, bahkan tidak bertentangan dengan filsafat Pendidikan Islam atau filsafat pendidikan (agama) lain.

2.    Falsafah Lembaga Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, Pancasila dijadikan pedoman bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan falsafat ataua pandangan masing-masing sesuai dengan misi dan tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya.
Falsafah suatu lembaga pendidikan (Universitas, UIN, IAIN, STAIN, akademi maupun sekolah) jarang dinyatakan secara jelas, spesifik dan eksplisit dalam bentuk tulisan. Ada juga rumusan falsafaah pendidikan yang sangat umum, sehingga dalam memberi arah yang jelas bagi proses pengembangan kurikulum belum menemui sasaran yang tepat. Nasution mengungkapkan bahwa dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan secara tertulis, perlu memiliki komponen-komponen berikut: a) alas an rasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu; b) prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya; c) nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi; dan d) prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak didik, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat pengetahuan.

3.    Falsafah Pendidikan
Keberadaan falsafah seorang pendidik memang sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. Oleh karenanya, seorang pendidik mesti professional. Pendidik professional secara implicit selalu menempatkan dirinya untuk menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikul orang tua dan orang tua pun sangat mengharapkan anaknya untuk memiliki pendidikan yang baik dan professional. Keberhasilan anak didik menerima ilmu pengetahuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan orang tua, masyarakat, dan bangsa sangat ditentukan oleh falsafah pendidik terhadap profesinya. Karena itu, dimensi filsafat perlu memperoleh perhatian serius dalam wacana pendidikan nasional dan pemikiran produktif tentang filsafat pendidikan senantiasa dibutuhkan.

B.   Asas Sosiologis
Asas sosiologi mempunyai peran penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu kurikulum pada pinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajranya kalau pendidikan memperhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan.
Dari sudut pandang sosiologis, dalam sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat (Nasution, 1989: 23-24), yakni:
1.    Mengadakan revisi dan perubahan sosial;
2.    Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah;
3.    Mendukung dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan;
4.    Menyampaikan kebudayaan dan nila-nilai tradisional serta mempertahankan status quo;
5.    Mengeksploitasi orang banyak demi kesejahteraan golongan elite;
6.    Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh-pengaruh pemerintah terdahulu;
7.    Mendukung kelompok-kelompok tertentu, antara lain kelompok militer, industri, atau politik;
8.    Menyebarluaskan falsafah, politik dan kepercayaan tertentu;
9.    Membimbing dan mendisiplinkan jalan pikiran generasi muda;
10. Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
11. Mendidik generasi muda agar menjadi warga Negara nasional dan warga dunia;
12. Mengajarkan keterampilan pokok, misalnya membaca, menulis, dan berhitung serta
13. Memberikan keterampilan yang berhubungan dengan mata pencarian.
Kadang-kadang, para pengembang kurikulum menghadapi bermacam kendala, antara lain ketentuan pemerintah yang hingga pada taraf tertentu membatasi keputusan yang diambilnya. Meskipun demikian, prinsip dasar dalam pengembangan itu sendiri tetap di berlakukan sama. Misalnya, perlunya pemahaman filosofis bangsa, filosofis pendidikan, kebutuhan masyarakat, dan lain-lain. Kurikulum sedapat mungkin dibangun dan dikembangkan dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan sekaligus dengan kebutuhan masyarakat.

C.   Asas Psikologis
Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk. Pertama, model konseptual dan informasi yang akan membangun perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodologi yang dapat diadaptasi untuk penelitian pendidikan (Meggi Ing, 1978: 29). Pengetahuan psikologi akan membantu para pengembang kurikulum untuk lebih realistik dalam memilih tujuan-tujuan, tetapi tidak akan menentukan tujuan-tujuan apa yang seharusnya. Dalam memilih pengalaman belajar yang akurat, psikologi secara umum sangat membantu. Teori-teori belajar, teori-teori kognitif, pengembangan emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian, model formasi sikap dan perubahan, dan mengetahui motivasi, semuanya sangat relevan dalam merencanakan pengalaman-pengalaman pendidikan.

Teori-teori Belajar
Untuk merencanakan suatu kurikulum, sangat penting memiliki teori bagaimana pembelajaran ditentukan dan bagaimana kondisi pembelajaran menjadi pembelajaran yang lebih efisien. Sebagai pendidik, kita tidak memperhatikan dengan apa sesungguhnya belajar itu, dan kita memperhatikan perbedaan-perbedaan di antara anak didik dan juga persmaan-persamaannya. Kita berharap bisa mendapatkan teori-teori psikologi yang menbantu kita sebagai pendidik meski tidak secara langsung.
1.    Behaviorisme
Prinsip utama aliran behaviorisme adalah berdasarkan unit belajar namun dalam mengajar, pendidik dihadapkan dengan sejumlah stimulus yang kompleks, simultan, dan tidak dapat diprediksi, sehingga untuk memikirkan suatu kondisi sebagai basis belajar menjadi sesuatu yang terbatas bagi kita, khususnya ketika kita memperhatikan kesadaran pendidik maupun anak didik serta pengertian personal dan sosial, aksi-aksi dan materi-materi.
Peranan pendidik adalah menyajikan stimulus tertentu yang membangkitkan respons tertentu yang merupakan hasil belajar yang diinginkan, serta menganalisis bahan pelajaran, membaginya dalam bagian-bagian kecil, menyajikan satu per satu kepada siswa sabil memberi balikan (reinforcement) berupa pujian bila benar dan kadang hukuman bila salah.

2.    Teori Gestalt
Kata gestalt tidak sama denga yang ada dalam istilah bahasa inggris. Gestalt mempunyai arti pattern atau configuration. Awalnya, teori persepsi dikembangkan  untuk pembelajaran, khususnya untuk pemecahan masalah (problem solving). Gambaran umumnya adalah bahwa bentuk itu menggambarkan perhatian pada pembawaan lahir (innate), dan mempelajari pengaturan proses yang kita miliki, ketimbang kondisi-kondisi respons yang bersifat eksternal.
Lewis mengambangkan pendekatan Gestalt ke dalam ilmu sosial dan teori personalitas yang berhasil berkembang dengan baik dibandingkan terapi gestalt dan jenis-jenis lain dari teori personal growth. Meski terkesan over-ambitions namun teori ini sungguh memiliki manfaat dalam menggambarkan perhatian terhadap pengalaman hidup dan kesadaran pribadi anak didik, yang mana pendidik harus sensiif dalam hal itu.
Pengembangan suatu teori dalam sekala besar bukanlah hal yang mudah bagi para psikolog, meskipun hamper semua pekerjaan ada dalam kerangka kerja yang bebas dari asumsi-asumsi serta menggunakan metodologi behaviorisme secara luas.
Penganut teori ini cenderung menganjurkan pendidikan humanistik dengan memupuk konsep diri yang positif pada anak didik. Hal ini disebabkan karena teori ini sangat mementingkan individu. Konsep diri yang positif akan mempengaruhi yang baik pada anak didik, sebaliknya konsep diri negative akan menghalangi proses belajar. Peranan pendidik sedapat mungkin mendorong anak didik dalam mengembangkan konsep diri tersebut.

3.    Teori Psikologi Daya
Penganut aliran teori psikologi daya berpandangan bahwa belajar merupakan mendiplinkan dan menguatkan daya-daya mental, terutama daya pikir, melalui latihan mental yang ketat. Jadi yang menjadi fokus utama ialah cara mempelajari materi pelajaran yang sulit, seperti matematika dan bahasa klasik, agar mendisiplinkan dan mengembangkan proses-proses mental.

4.    Teori Pengembangan Kognitif
Menurut teori ini kematangan mental tumbuh secara bertahap pada anak didik sebagai follow up dari interaksinya dengan lingkungan. Anak didik mesti dibimbing dengan teliti, bahan pelajarannya harus seimbang dengan tingkat perkembangan kognitifnya, dan perlu didorong agar mereka maju kea rah tingkat perkambangan selanjutnya. Piaget mengemukakan bahwa proses belajar terjadi bukan sebagai hasil pujian dan hukuman, melainkan sebagai hasil proses restrukturisasi kognitif atas pengaruh lingkungan eksternal. Berkat adanya struktur kognitif, anak didik dapat memahami lingkungan. Restrukturisasi kognitif dilakukan apabila anak didik tidak dapat memahami struktur yang ada dalam lingkungannya, yakni dengan mengubah struktur tersebut agar lingkungan itu dapat dikenal sehingga dapat diasimilasinya.
Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap pokok dalam perkembangan kognitif-intelektual, yaitu:
a.    Tahap Senso-Motoris (0-2)
Bayi mulai mengenal lingkungan sekitarnya dengan alat inderanya (sensoris: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan peradaban). Kemampuan motoris (bergerak ,merangkak, dan berjalan) sehingga dapat mengenal berbagai pengaruh lingkungan ini.
b.    Tahap Pra-Operasional (2-6)
Lingkungan dikenalnya melalui lambang (warna, bentuk, gambar, dan lain-lain). Bayi pun mulai mengenal dunianya dan juga orang lain.
c.    Tahap Operasional Konkret (6-12)
Logika mulai berkembang. Kesimpulan yang diambil berdasarka logika ketimbang persepsi sederhana. Masalah sederhana dapat dipecahkan dengan sistematis.
d.    Tahap Operasional Format (12 tahun ke atas)
Sanggup berpikir abstrak, memecahkan masalah secara formal (tanpa menghadapi objek secara langsung). Alas an atas kejadia-kejadian mulai dicari, serta mulai membentuk hipotesis dan menguji sesuatu dengan eksperimen dalam proses belajar maupun dalam kehidupan sehari-hari (Helen Bee, 1985: 228).
Sementara itu, John Dewey mengemukakan tahap-tahap perkembangan moral dengn berdasarkan teori Jean Piaget, yaitu:
a.    Tahap Amoral
Tidak tahu mana yang benar dan salah, tidak menghiraukan orang lain.
b.    Tahap Konvensional
Menghormati nilai-nilai konvensional yang diperoleh dari orang tua dan masyarakat. Pujian dan hukuman dari orang dewasa direspons sebagai dasar norma moralnya.
c.    Tahap Otonom
Mulai memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan mesti mengetahui tahap perkembangan anak, apa dapat mempelajari jenis kegiatan belajar yang sesuai serta ganjaran dan hukuman yang tepat agar dapat menumbuhkan motivasi anak didik.

5.    Teori Kepribadian
Pada tahun 1950-an, Peck dan Haviqhurst mengembangkan Tipologi Kepribadian yang disebit Teori Motivasi yang ditinjau dari psikososial. Ada lima tipe watak yang mempengaruhi pola motivasi individu, yaitu:
a.    Tipe A-Moral
Anak sepenuhnya egosentris, memuaskan diri tanpa menghiraukan orang lain.
b.    Tipe Expedient
Agak egosentris, patuh tanpa sistem moral internal, dan dapat memuaskan kebutuhan diri, namun masih diatur oleh control eksternal.
c.    Tipe Expedient
Belum memiliki sistem moral internal tentang yang baik dan buruk, tapi masih kaku dan ketat, tanpa pertimbangan atau pengecualian, serta masih mengabaikan perasaan orang lain (tidak rasional).
d.    Tipe Expedient
Sistem moral sudah berkembang, dan anak sudah menyadari kebutuhan dan keinginan orang lain, serta sensitive dan rela berkorban untuk orang lain (Nasution, 1989: 33).
Teori kepribadian berhubungan erat dengan teori perkembangan kognitif dan teori lapangan dalam upaya mengenal anak didik sebagai individu berkembang menurut fase-fase perkembangannya, tetapi berdasarkan cara dan speed yang berlainan.


D.   Asas Organisatoris
Nasution (1989: 34) menyatakan bahwa ada dua masalah pokok yang harus dipertimbangkan, yakni: a) pengetahuan apa yang paling berharga untuk diberikan bagi anak didik dalam suatu bidang studi, b) bagaimana mengorganisasi bahan itu agar anak didik dapat menguasainya dengan sebaik-baiknya.
Sementara itu, para pengembang kurikulum mempunyai tugas untuk membantu mereka (para spesialis) agar memahami sepenuhnya akan tugas mereka dalam menentukan pengetahuan paling berharga tersebut. Pendekatan yang paling baik kemungkinan adalah dengan membentuk tim yang diketuai ahli pengembang kurikulum yang juga memiliki pengetahuan yan memadai mengenai bidabf studi tersebut. Ada bermacam cara dalam mengorganisasikan bahan bagi keperluan pengajaran. Salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan berdasarkan: topik, tema, kronologi, isu, logika, dan proses disiplin. Agar lebih jelas, dapat dilihat conton berikut:

Organisasi Bahan Berdasarkan:
Contoh:
a.
Topik (biasanya digabungkan dengan salah satu pendekatan lainnya atau dibagi dengan sejumlah sub topik)
Perang kemerdekaan
b.
Tema
Sebab-sebab perang kemerdekaan
c.
Kronologi
Tahap-tahap perang kemerdekaan
d.
Konsep
“Kemerdekaan”
e.
Isu
Pengaruh perang kemerdekaan terhadap watak bangsa Indonesia
f.
Logika
Analisis peristiwa-peristiwa yang mendukung atau menghambat tercapainya pengakuan de jure atas kemerdekaan Indonesia
g.
Proses disiplin
Pandangan tentang perang kemerdekaan oleh ahli sejarah Indonesia? Ahli sejarah Belanda? Amerika Serikat? Proses dan instrumen apakah yang digunakan? Dan lain-lain

Sebagai konklusif dari uaraian di atas organisatoris tersebut, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan, yakni:
1.     Tujuan Bahan Pelajaran
Mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau mengajarkan keterampilan untuk keperluam masa depan, untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah, untuk memupuk jiwa warga negara yang baik, dan lain-lain.
2.    Sasaran Bahan Pelajaran
Siapakah pelajar itu, apakah latar belakang pendidikan dan pengalamannya, sampai di manakah tingkat perkembangannya, bagaimanakah profil kepribadian dan motivasinya, dan lain-lain
3.    Pengorganisasian Bahan
Bagaiman bahan pelajaran diorganisasi: apakah berdasarkan topik, konsep, kronologi, dan lain-lain.

Berdasarkan pengertian yang sudah diketahui bahwa kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya kearah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan Islam bukanlah proses yang dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia, transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus terususun. Dari penjelasan tersebut maksud kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum pendidikan yang berasaskan ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma` dan lainnya.
Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
6.    Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak.
7.    Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal dan rohani.
8.    Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal dan rohani manusia.
9.    Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus dan pendidikan jasmani.
1. Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman.
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
.          Prinsip yang berorientasi pada tujuan. Prinsip relevansi. Prinsip efisiensi dan efektifitas. Prinsip fleksibilitas program.Prinsip integritas.Prinsip kontinuitas (istiqamah).Prinsip sinkronisme.Prinsip objektivitas.Prinsip demokrasi.Prinsip analisis kegiatan.Prinsip individualisasi,  Prinsip pendidikan seumur hidup.
Al-Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan empat kelompok dengan mempertimbangkan jenis, dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:
1.    Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu fiqih, As-Sunnah, tafsir dan sebagainya;
2.    Ilmu-ilmu bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu Al-qur’an dan ilmu agama;
3.    Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika, industri, pertanian, teknologi dan sebagainya;
4.    Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Dalam pendidikan kurikulum dapat didesain sesuai dengan keperluannya, maka langkah-langkah dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1.    Rumuskanlah tujuannya sejelas mungkin.
2.    Menentukkan isi kurikulum pendidikan Islam.
3.    Menentukkan cara mencapai tujuan.
4.    Menentukkan teknik dan alat evaluasi.


DAFTAR PUSTAKA
Dirgantara wicaksono,Dr.M.Pd,2016. Pengembangan Inovasi Kurikulum, PT.EGI  perss, Jakarta.
David Middlewood,2001, Managing the Curriculum, Sage publication, London.
Abdullah Idi,Prof .Dr.H. M.Ed.2014. Pengembembangan Kurikulum  Teori &Praktik .Jakarta.
Nasution, S. 2009. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

1 komentar: