KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
oleh: Dirgantara Wicaksono
Realitas kondisi pendidikan di Indonesia setiap tahunnya mengalami perubahan, baik secara holistic ataupun parsial, termasuk kebutuhan akan perkembangan kurikulum di sekolah Islam, sejalan dengan hal tersebut ,perkembangan Rumusan tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yakni manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri dan mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan ( UU No. 2/1989). Rumusan tujuan pendidikan Islam sangat relevan
dengan tujuan pendidikan nasional.
Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam,
yaitu:
1.
Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan
mata pelajaran agama dan akhlak.
2.
Kurikulum pendidikan Islam harus
memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani,
akal dan rohani.
3.
Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan
keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal
dan rohani manusia.
4.
Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga
seni halus dan pendidikan jasmani.
5.
Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan
perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan
tempat dan juga perbedaan zaman.
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan
Islam, yaitu:
1.
Prinsip yang berorientasi pada tujuan.
2.
Prinsip relevansi.
3.
Prinsip efisiensi dan efektifitas.
4.
Prinsip fleksibilitas program.
5.
Prinsip integritas.
6.
Prinsip kontinuitas (istiqamah).
7.
Prinsip sinkronisme.
8.
Prinsip objektivitas.
9.
Prinsip demokrasi.
10.
Prinsip analisis kegiatan.
11.
Prinsip individualisasi.
12. Prinsip
pendidikan seumur hidup.
A.
Tujuan
Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam bersumber dari
tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam memiliki perbedaan dengan
tujuan pendidikan lain. Tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan manusia
Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan
dirinya kepada Sang Khalik dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri
kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.
Tujuan yang akan dicapai dari kurikulum pendidkan Islam adalah membentuk anak
didik berakhlak mulia, dalam hubungannya dengan hakikat penciptaan manusia.
Islam sebagai agama wahyu yang sangat
mementingkan hidup masa depan yang berorientasi duniawi-ukhrawi telah
menempatkan dasar teoritis dalam ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain tercantum dalam
surat Al-Hasyr (59) : 18
“Hai orang-orang Mukmin, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri manusia memerhatikan hal-hal apa yang hendak
dilakukan bagi hari esoknya, dan bertakwalah kepada Alla; Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat Al-Qur’an di atas, dapat diakui
bahwa sumber ilmu pengetahuan itu sangatlah luas. Ilmu pengetahuan yang
diharapkan Allah SWT, menjadi penopong kemantapan keimanan (umat manusia
sebagai khalifah Allah SWT.). Menurut Arifin (1991:113), dapat disederhanakan
ke dalam tiga sumber orientasi teoritis ilmiah yaitu: a) pengembangan pada
Allah SWT, Yang Maha Mengetahui sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan, b)
pengembangan kearah kehidupan social manusia, yang semakin kompleks dan
menekankan ilmu pengetahuan dan teknologi, c) pengembangan kea rah alam sekitar
yang diciptakan-Nya sebagai penopang kehidupan manusia
Sumber bahan dan materi kurikulum Pendidikan
Islam dapat dikembangkan melalui bahan yang terdapat dalam nash dan realitas
kehidupan. Kutipan beberapa nash Al-Qur’an dan al-Hadits berikut diharapkan
dapat memberi gambaran sumber bahan (materi) dari kurikulum Pendidikan Islam
atau yang menjadi isi (content) dari suatu kegiatan Pendidikan Islam.
1.
Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat
Engkau dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah serta mensucikan
mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa (QS. Al-Baqarah [2]: 129).
Sebagaimana kami telah mengutus seorang
Rasul diantara kamu dan mengajarkan kepada kami al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah
(QS. Al-Baqarah [2]: 151)
Dialah yang mengutus kepada kamu yang
buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya dan
mensucikan mereka serta mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (QS.
Al-Jumu’ah [62]: 2)
2.
Dan
kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl [16]: 44)
3.
Dan
ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya dikala ia memberi pelajaran
kepadanya: Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah itu kezaliman yang besar (QS. Luqman [31]: 13)
4.
Hai
anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah
perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap yang menimpa kamu (QS. Luqman [31]:
17)
Perintahkanlah anak-anakmu untuk
menunaikan shalat di kala ia berumur tujuh tahun dan pukullah mereka jika
bandel mematuhi shalat dan pisahlah tidur mereka di kala berumur sepuluh tahun
(HR. Abu Daud)
5.
Dan
kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya
mengandung dengan keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua
tahun (QS. Luqman [31]: 14)
6.
Dan
janganlah kamu sekalian memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh (QS. Luqman [31]: 18)
7.
Dan
bersabarlah kamu dari apa yang menimpa kamu, sesungguhnya hal yang demikian itu
termasuk yang diwajibkan (QS. Luqman [31]: 17)
8.
Lalu
kedua bertemu dengan hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan
rahmat dari sisi kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS.
Al-Kahfi [18]: 65)
9.
Mengapa
tidak pergi dari tiap golongan di antara kamu kepada mereka untuk memperdalam
pengetahuan agama (QS. Al-Taubah [9]: 22)
10. Dan Allah mengajarkan Adam tentang
nama-nama benda (asma’) seluruhnya kemudian mengemukakan kepada para Malaikat
lalu berfirman, sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang yang
benar (QS. Al-Baqarah [2]: 31)
11. Maka hendaklah manusia memerhatikan dari
apa yang dia ciptakan (QS. Al-Thariq [86]: 5)
12. Apakah mereka tidak melihat kepada unta
bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ditinggikan, dan gunung-gunung
bagaimana dia ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan (QS. Al-Ghasyiyah
[88]: 17, 18, 19)
Dalam kaitannya dengan kurikulum, para
pemikir ( pendidik ) Islam juga mempunyai perbedaan dalm hal istilah dan bentuk
dari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist yang dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan Islam. Ibnu Khaldun ( 732 H atau 1332 M ) menetapkan tiga
kategori ilmu pengetahuan Islam yang harus dijadikan materi kurikulum sekolah:
1. Ilmu
lisan ( bahasa ) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah. Maani,
bayan, adab ( sastra ) atau syair-syair.
2. Ilmu
naqly, yakni ilmu-ilmu yang dinukilkan dari Al-Qur’an dan hadis, yang terdiri
dari: Qiraah Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir, sanad-sanad hadis dan pentashihannya,
serta istinbath tentang qanun-qanun fiqhiyah-nya.
3. Ilmu
‘aqly, yakni ilmu untuk mengembangkan daya pikir manusia kepada filsafat dan
semua ilmu pengetahuan lainnya. Kelompok ilmu ini antara lain: Logika (ilmu
Mantiq), Ilmu Alam, Teknologi, Ilmu Teknik, Ilmu Bintang, dan lain sebagainya.
Sedangkan Al-Ghazali menempatkan ilmu
pengetahuan berikut agar dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan, yakni:
1. Ilmu
fardli’ain (wajib dipelajari), yakni ilmu agama yang dipelajari dari Al-Qur’an:
fikih, hadis dan tafsir.
2. Ilmu
fardu kifayah (untuk menyokong kehidupan di dunia), yakni meta fisika, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.
B.
Praktik
Kurikulum Pendidikan Islam: Sosio-Historis Pendidikan
Munir Mursi dalam Abdullah Idi dan Toto
Suharto (2006: 3-18) membagi periode sejarah pendidikan Islam menjadi empat
periode: (1) periode pembinaan, dimulai sejak kelahiran Islam yang ditandai
dengan turunnya wahyu pertama sampai akhir masa kekuasaan Bani Umayyah (610-750
M); (2) periode keemasan, dimulai dari lahirnya Bani Abbasiyyah sampai jatuhnya
Baghdad ke tangan Mongol (750-1258M); (3) periode kejatuhan dan kemunduran,
dimuliai dengan Imperium Turki Usmani hingga kemerdekaan Negara-negara Islam
(1258-1800M); dan (4) periode pembaruan dan pembinaan kembali, dimulai dari
kemerdekaan Negara-negara Islam dari Imperium Turki Usmani hingga sekarang
(1800M-sekarang).
Tiap periode di atas memiliki ciri-ciri
sendiri. Salah satu ciri yang dominan adalah kelahiran madrasah pada periode
keemasan. Kemunculan madrasah pada periode tersebut secara historis menjadi
bukti awal kemapanan system pendidikan Islam. Ketika mengkaji lembaga-lembaga
pendidikan Islam, sebagian besar peneliti sejarah pendidikan Islam menggunakan
dua batasan periodisasi, yakni periode pra-,madrasah dan pasca-madrasah.
Muhammad Yunus (1990:69-71) menuturkan bahwa
setidaknya ada empat faktor eksternal penyebab kelahiran madrasah: (1) faktor
politik, di mana para penguasa berusaha menarik hati rakyat dengan jalan
memajukan agama dan mementingkan pendidikan. Untuk tujuan politis tersebut,
penguasa tidak segan-segan mengeluarkan sejumlah besar dana membangun madrasah;
(2) faktor religius, di mana para penguasa yang hidup dengan kemewahan
bermaksud beramal dan menyiarkan agama Islam dengan jalan mendirikan madrasah
untuk memperoleh ridho Allah SWT. ; (3) faktor ekonomi, di mana para penguasa
dan orang-orang kaya mewakafkan harta mereka untuk pembangunan madrasah, dengan
syarat pengelolanya adalah putra-putra mereka secara turun-temurun, dengan
harapan tujuan ekonomi keturunannya akan terjamin; dan (4) faktor fanatisme, di
mana terjadinya pertentangan antara kaum Sunni dan Syi’i menjadikan
masing-masing pihak berlomba mendirikan madrasah sebagai alat untuk memperkuat
aliran keagamaan masing-masing.
Seperti diungkapkan Papadopoulus dalam Dede
Rosyada terdapat sejumlah pemikiran tentang pengembangan pendidikan ke depan
yang berdampak pada problematika ekonomi, sosial dan politik, antara lain:
Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang harus disampaikan dalam
proses pendidikan menjadi lebih banyak, yang dikhawatirkan berdampak bagi
stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban, terutama pada perguruan tinggi.
Perguruan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian penghargaan dan
intensif yang memadai dalam pengembangan sains dan teknologi, yang diharapkan
temuan-temuan baru dalam bidang tersebut terus bertambah agar peradaban terus
meningkat.
Kedua, perkembangan teknologi akan terjadi
terus-menerus dalam percepatan yang tinggi pada Negara-negara berbeda, yang
dapat berdampak pada perkembangan ekonomi melalui industry dan jasa. Pendidikan
harus mampu menjembatani antara sektor kerja dengan kemajuan sains pengetahuan
teknologi tersebut, melalui updating skill dan keterampilan serta beragam
temuan baru yang harus dikuasai oleh pekerja yang bertalian dengan perkembangan
sains dan teknologi.
Ketiga, perubahan demografis di berbagai
Negara berdampak pada distribusi penduduk berdasarkan usia. Negara-negara
terbelakang akan memiliki indeks kelahiran yang tinggi, karena itu, angka usia
sekolah dasar akan tinggi. Di Negara-negara maju akan cenderung kekurangan usia
angkatan kerja dan angka pension konstan atau meningkat dan membutuhkan jaminan
sosial dan kesehatan. Negara-negara maju akan terus meningkatkan pendapatan
negaranya melalui sektor pajak dari sektor usaha jasa agar tetap dapat
memberikan jaminan bagi mereka. Pada saat yang sama, negara-negara maju akan tergantung pada Negara berkembang
atau Negara tertinggal untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Karena itu,
negara-negara berkembang harus mendesain lulusan (out-puts) pendidikannya agar
masuk pasar kerja di era global, dengan memiliki skill dan keterampilan, bahasa
komunikasi global, dan memahami kultrul negara-negara yang menjadi tujuannya.
Keempat, negara-negara menunjukkan saling
tergantung satu sama lainnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, sains dan
teknologi, dan lain-lain. Pendidikan harus mampu merespons kecenderungan global
tersebut, mampu mengarahkan sikap dan perilaku multikulturalisme dalam
mempersiapkan pasar tenaga kerja pada negara tujuannya.
Kelima, kemajuan sains dan teknologi yang
berdampak pada kemajuan sector ekonomi dengan keterbukaan secara global, akan
berdampak terhadap terbentuknya masyarakat “dunia baru”. Pendidikan diharapkan
mampu mendesain masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, akrab dengan
lingkungan, menjaga stabilitas ekosistem, anti obat terlarang, dan senantiasa
hidup sehat.
Jika ada sebagian masyarakat beranggapan bahwa
lulusan PTAI, termasuk IAIN, kurang berkualitas, hal ini sebesarnya “berkat”
proses perkuliahan dan pembinaan itu sendiri. Arif Furqon dalam (Media
Informasi Ditpertais, No 12 Tahun 11, 31 Juli 2004) mengungkapkan bahwa
kekurang berhasilan PTAI dalam menjalankan tugasnya , utamanya dalam
menciptakan SDM berkualitas (capabable
people), dapat disebabkan faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi : a) bergesernya
aspirasi pendidikan masyarakat (umat Islam) yang dulu lebih mementingkan
pendidikan agama ke ilmu umum seiring dengan perkembangan pembangunan bangsa;
b) semakin sempitnya lulusan PTAI untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil
(PNS) akibat kebijakan zero growth; c)
banyaknya lulusan PTAI yang tidak segera mendapatkan pekerjaan yang diinginkan
berpengaruh terhadap rendahnya minat mahasiswa untuk masuk PTAI; d) beratnya
tantangan yang harus dihadapi ahli agama dalam profesinya dapat berpengaruh
terhadap calon mahasiswa, dimana mereka kurang berminat menjadi ahli agama; e)
kurangnya minta lulusan SLTA yang memiliki profesi akademik tinggo untuk kuliah
di PTAI berpengaruh terhadap kualitas mahasiswa PTAI; dan f) in-put mahasiswa yang kurang ideal
berdampak terhadap kualitas lulusan (out-put)
seperti diharapkan masayarakat.
Faktor eksternal, meliputi: a) manajemen dan
kepemimpinan yang belum mampu mengelola PTAI secara modern; b) kurikulum PTAI
kurang komunikatif terhadap semua pihak terkait; c) kualitas dosen belum
memadai; d) proses perkuliahan di PTAI masih tradisional dan formalistic; e) in-put
mahasiswa dari SLTA kurang berkualitas di PTAI yang berdampak pada rendahnya
kualitasin-put; f) fasilitas perkuliahan di PTAI belum memadai; g) lingkungan
kampus PTAI kurang kondusif dalam mendukung perkuliahan; h) dana operasional
belum memadai; i) rendahnya kemampuan dosen PTAI dalam penelitian ilmiah; j)
rendahnya kemampuan dosen PTAI dalam menulis laporan penelitian ilmiah atau
menulis artikel ilmiah; k) rendahnya perhatian pimpinan PTAI dalam
menyebarluaskan hasil penelitian para dosen dan mahasiswanya; dan l) kurang
sejalan program pengabdian masyarakat dengan hasil penelitian.
II.
Asas-Asas
Kurikulum
A.
Asas
Filosofis
Falsafah dalam arti sebenarnya adalah cinta
akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua pengertian, yakni philein (cinta) dan Sophia (kebajikan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua
hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap
agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis
mengenai alam semesta dan tempat amnesia di dalamnya.
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat
dirumuskan sebagai kajian tentang:
1. Metafisika,
yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realitas;
2. Epistemologi,
yakni studi tentang hakikat pengetahuan;
3. Aksiologi,
yakni studi tentang nilai;
4. Etika, yakni studi tentang
hakikat kebaikan;
5. Estetika,
yakni studi tentang hakikat keindahan;
6. Logika,
yakni studi tentang hakikat penalaran
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang
kurikulum adalah dalam mengembangkan kurikulum, pengembang tidak hanya
menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu
mempertimbangkan falsafah yang lain, antara lain: falsafah Negara, falsafah
lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik.
1.
Falsafah
Bangsa
Setiap Negara di dunia ini, baik Negara
berkembang maupun Negara maju, memiliki falsafah atau pandangan pokok mengenai
pendidikan. Setiap individu memiliki pandangan tertentu mengenai pendidikan
yang kadang tidak sama dengan pandangan umum. Keberadaan kurikulum adalah untuk
memelihara keutuhan dan persatuan bangsa dan Negara. Agaknya, memang tidak
mudah menciptakan falsafah pendidikan yang dapat diterima semua pihak. Kondisi
masyarakat menyangkut suku, agama, golongan, kepentingan politik tertentu, akan
turut mempengaruhinya. Namun, bagi bangsa Indonesia, persoalan falsafat
pendidikan bukanlah persoalan, mengingat Pancasila dan UUD 1945 telah diterima
secara resmi menjadi filsafat dan dasar pendidikan nasional, bahkan tidak
bertentangan dengan filsafat Pendidikan Islam atau filsafat pendidikan (agama)
lain.
2.
Falsafah
Lembaga Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, Pancasila dijadikan
pedoman bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan falsafat ataua pandangan
masing-masing sesuai dengan misi dan tujuan nasional serta nilai-nilai
masyarakat yang dilayaninya.
Falsafah suatu lembaga pendidikan
(Universitas, UIN, IAIN, STAIN, akademi maupun sekolah) jarang dinyatakan
secara jelas, spesifik dan eksplisit dalam bentuk tulisan. Ada juga rumusan
falsafaah pendidikan yang sangat umum, sehingga dalam memberi arah yang jelas
bagi proses pengembangan kurikulum belum menemui sasaran yang tepat. Nasution
mengungkapkan bahwa dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan secara
tertulis, perlu memiliki komponen-komponen berikut: a) alas an rasional
mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu; b) prinsip-prinsip pokok yang
mendasarinya; c) nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi; dan d)
prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak didik, hakikat proses belajar
mengajar dan hakikat pengetahuan.
3.
Falsafah
Pendidikan
Keberadaan falsafah seorang pendidik memang
sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. Oleh karenanya, seorang
pendidik mesti professional. Pendidik professional secara implicit selalu
menempatkan dirinya untuk menerima dan memikul sebagian tanggung jawab
pendidikan yang dipikul orang tua dan orang tua pun sangat mengharapkan anaknya
untuk memiliki pendidikan yang baik dan professional. Keberhasilan anak didik menerima
ilmu pengetahuan dan perubahan tingkah laku yang diharapkan orang tua,
masyarakat, dan bangsa sangat ditentukan oleh falsafah pendidik terhadap
profesinya. Karena itu, dimensi filsafat perlu memperoleh perhatian serius dalam
wacana pendidikan nasional dan pemikiran produktif tentang filsafat pendidikan
senantiasa dibutuhkan.
B.
Asas
Sosiologis
Asas sosiologi mempunyai peran penting dalam
mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini.
Suatu kurikulum pada pinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan
kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajranya kalau pendidikan
memperhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi jawaban atas
tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan.
Dari sudut pandang sosiologis, dalam sistem
pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki
beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat (Nasution, 1989: 23-24), yakni:
1. Mengadakan
revisi dan perubahan sosial;
2. Mempertahankan
kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah;
3. Mendukung
dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan;
4. Menyampaikan
kebudayaan dan nila-nilai tradisional serta mempertahankan status quo;
5. Mengeksploitasi
orang banyak demi kesejahteraan golongan elite;
6. Mewujudkan
revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh-pengaruh pemerintah terdahulu;
7. Mendukung
kelompok-kelompok tertentu, antara lain kelompok militer, industri, atau
politik;
8. Menyebarluaskan
falsafah, politik dan kepercayaan tertentu;
9. Membimbing
dan mendisiplinkan jalan pikiran generasi muda;
10. Mendorong
dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
11. Mendidik
generasi muda agar menjadi warga Negara nasional dan warga dunia;
12. Mengajarkan
keterampilan pokok, misalnya membaca, menulis, dan berhitung serta
13. Memberikan
keterampilan yang berhubungan dengan mata pencarian.
Kadang-kadang, para pengembang kurikulum
menghadapi bermacam kendala, antara lain ketentuan pemerintah yang hingga pada
taraf tertentu membatasi keputusan yang diambilnya. Meskipun demikian, prinsip
dasar dalam pengembangan itu sendiri tetap di berlakukan sama. Misalnya,
perlunya pemahaman filosofis bangsa, filosofis pendidikan, kebutuhan
masyarakat, dan lain-lain. Kurikulum sedapat mungkin dibangun dan dikembangkan
dengan tetap merujuk pada asas kemasyarakatan sekaligus dengan kebutuhan
masyarakat.
C.
Asas
Psikologis
Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum
memiliki dua bentuk. Pertama, model konseptual dan informasi yang akan
membangun perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodologi yang
dapat diadaptasi untuk penelitian pendidikan (Meggi Ing, 1978: 29). Pengetahuan
psikologi akan membantu para pengembang kurikulum untuk lebih realistik dalam
memilih tujuan-tujuan, tetapi tidak akan menentukan tujuan-tujuan apa yang
seharusnya. Dalam memilih pengalaman belajar yang akurat, psikologi secara umum
sangat membantu. Teori-teori belajar, teori-teori kognitif, pengembangan
emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian, model
formasi sikap dan perubahan, dan mengetahui motivasi, semuanya sangat relevan
dalam merencanakan pengalaman-pengalaman pendidikan.
Teori-teori Belajar
Untuk merencanakan suatu kurikulum, sangat
penting memiliki teori bagaimana pembelajaran ditentukan dan bagaimana kondisi
pembelajaran menjadi pembelajaran yang lebih efisien. Sebagai pendidik, kita
tidak memperhatikan dengan apa sesungguhnya belajar itu, dan kita memperhatikan
perbedaan-perbedaan di antara anak didik dan juga persmaan-persamaannya. Kita
berharap bisa mendapatkan teori-teori psikologi yang menbantu kita sebagai
pendidik meski tidak secara langsung.
1.
Behaviorisme
Prinsip utama aliran behaviorisme adalah
berdasarkan unit belajar namun dalam mengajar, pendidik dihadapkan dengan
sejumlah stimulus yang kompleks, simultan, dan tidak dapat diprediksi, sehingga
untuk memikirkan suatu kondisi sebagai basis belajar menjadi sesuatu yang
terbatas bagi kita, khususnya ketika kita memperhatikan kesadaran pendidik
maupun anak didik serta pengertian personal dan sosial, aksi-aksi dan
materi-materi.
Peranan pendidik adalah menyajikan stimulus
tertentu yang membangkitkan respons tertentu yang merupakan hasil belajar yang
diinginkan, serta menganalisis bahan pelajaran, membaginya dalam bagian-bagian
kecil, menyajikan satu per satu kepada siswa sabil memberi balikan (reinforcement) berupa pujian bila benar
dan kadang hukuman bila salah.
2.
Teori
Gestalt
Kata gestalt tidak sama denga yang ada dalam
istilah bahasa inggris. Gestalt mempunyai arti pattern atau configuration.
Awalnya, teori persepsi dikembangkan
untuk pembelajaran, khususnya untuk pemecahan masalah (problem solving). Gambaran umumnya
adalah bahwa bentuk itu menggambarkan perhatian pada pembawaan lahir (innate), dan mempelajari pengaturan
proses yang kita miliki, ketimbang kondisi-kondisi respons yang bersifat
eksternal.
Lewis mengambangkan pendekatan Gestalt ke
dalam ilmu sosial dan teori personalitas yang berhasil berkembang dengan baik
dibandingkan terapi gestalt dan jenis-jenis lain dari teori personal growth. Meski terkesan over-ambitions namun teori ini sungguh
memiliki manfaat dalam menggambarkan perhatian terhadap pengalaman hidup dan
kesadaran pribadi anak didik, yang mana pendidik harus sensiif dalam hal itu.
Pengembangan suatu teori dalam sekala besar
bukanlah hal yang mudah bagi para psikolog, meskipun hamper semua pekerjaan ada
dalam kerangka kerja yang bebas dari asumsi-asumsi serta menggunakan metodologi
behaviorisme secara luas.
Penganut teori ini cenderung menganjurkan
pendidikan humanistik dengan memupuk
konsep diri yang positif pada anak didik. Hal ini disebabkan karena teori ini
sangat mementingkan individu. Konsep diri yang positif akan mempengaruhi yang
baik pada anak didik, sebaliknya konsep diri negative akan menghalangi proses
belajar. Peranan pendidik sedapat mungkin mendorong anak didik dalam mengembangkan
konsep diri tersebut.
3.
Teori
Psikologi Daya
Penganut aliran teori psikologi daya
berpandangan bahwa belajar merupakan mendiplinkan dan menguatkan daya-daya
mental, terutama daya pikir, melalui latihan mental yang ketat. Jadi yang
menjadi fokus utama ialah cara mempelajari materi pelajaran yang sulit, seperti
matematika dan bahasa klasik, agar mendisiplinkan dan mengembangkan
proses-proses mental.
4.
Teori
Pengembangan Kognitif
Menurut teori ini kematangan mental tumbuh
secara bertahap pada anak didik sebagai follow
up dari interaksinya dengan lingkungan. Anak didik mesti dibimbing dengan
teliti, bahan pelajarannya harus seimbang dengan tingkat perkembangan
kognitifnya, dan perlu didorong agar mereka maju kea rah tingkat perkambangan
selanjutnya. Piaget mengemukakan bahwa proses belajar terjadi bukan sebagai
hasil pujian dan hukuman, melainkan sebagai hasil proses restrukturisasi
kognitif atas pengaruh lingkungan eksternal. Berkat adanya struktur kognitif,
anak didik dapat memahami lingkungan. Restrukturisasi kognitif dilakukan
apabila anak didik tidak dapat memahami struktur yang ada dalam lingkungannya,
yakni dengan mengubah struktur tersebut agar lingkungan itu dapat dikenal
sehingga dapat diasimilasinya.
Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap
pokok dalam perkembangan kognitif-intelektual, yaitu:
a. Tahap
Senso-Motoris (0-2)
Bayi mulai mengenal lingkungan sekitarnya
dengan alat inderanya (sensoris: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan,
dan peradaban). Kemampuan motoris (bergerak ,merangkak, dan berjalan) sehingga
dapat mengenal berbagai pengaruh lingkungan ini.
b. Tahap
Pra-Operasional (2-6)
Lingkungan dikenalnya melalui lambang (warna,
bentuk, gambar, dan lain-lain). Bayi pun mulai mengenal dunianya dan juga orang
lain.
c. Tahap
Operasional Konkret (6-12)
Logika mulai berkembang. Kesimpulan yang
diambil berdasarka logika ketimbang persepsi sederhana. Masalah sederhana dapat
dipecahkan dengan sistematis.
d. Tahap
Operasional Format (12 tahun ke atas)
Sanggup berpikir abstrak, memecahkan masalah
secara formal (tanpa menghadapi objek secara langsung). Alas an atas
kejadia-kejadian mulai dicari, serta mulai membentuk hipotesis dan menguji
sesuatu dengan eksperimen dalam proses belajar maupun dalam kehidupan
sehari-hari (Helen Bee, 1985: 228).
Sementara itu, John Dewey mengemukakan
tahap-tahap perkembangan moral dengn berdasarkan teori Jean Piaget, yaitu:
a. Tahap
Amoral
Tidak tahu mana yang benar dan salah, tidak
menghiraukan orang lain.
b. Tahap
Konvensional
Menghormati nilai-nilai konvensional yang
diperoleh dari orang tua dan masyarakat. Pujian dan hukuman dari orang dewasa
direspons sebagai dasar norma moralnya.
c. Tahap
Otonom
Mulai memilih mana yang baik dan mana yang
buruk.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan
mesti mengetahui tahap perkembangan anak, apa dapat mempelajari jenis kegiatan
belajar yang sesuai serta ganjaran dan hukuman yang tepat agar dapat
menumbuhkan motivasi anak didik.
5.
Teori
Kepribadian
Pada tahun 1950-an, Peck dan Haviqhurst
mengembangkan Tipologi Kepribadian yang disebit Teori Motivasi yang ditinjau dari psikososial. Ada lima tipe watak
yang mempengaruhi pola motivasi individu, yaitu:
a. Tipe
A-Moral
Anak sepenuhnya egosentris, memuaskan diri
tanpa menghiraukan orang lain.
b. Tipe
Expedient
Agak egosentris, patuh tanpa sistem moral
internal, dan dapat memuaskan kebutuhan
diri, namun masih diatur oleh control eksternal.
c. Tipe
Expedient
Belum memiliki sistem moral internal tentang
yang baik dan buruk, tapi masih kaku dan ketat, tanpa pertimbangan atau
pengecualian, serta masih mengabaikan perasaan orang lain (tidak rasional).
d. Tipe
Expedient
Sistem moral sudah berkembang, dan anak sudah
menyadari kebutuhan dan keinginan orang lain, serta sensitive dan rela
berkorban untuk orang lain (Nasution, 1989: 33).
Teori kepribadian berhubungan erat dengan
teori perkembangan kognitif dan teori lapangan dalam upaya mengenal anak didik
sebagai individu berkembang menurut fase-fase perkembangannya, tetapi
berdasarkan cara dan speed yang
berlainan.
D.
Asas
Organisatoris
Nasution (1989: 34) menyatakan bahwa ada dua
masalah pokok yang harus dipertimbangkan, yakni: a) pengetahuan apa yang paling
berharga untuk diberikan bagi anak didik dalam suatu bidang studi, b) bagaimana
mengorganisasi bahan itu agar anak didik dapat menguasainya dengan
sebaik-baiknya.
Sementara itu, para pengembang kurikulum
mempunyai tugas untuk membantu mereka (para spesialis) agar memahami sepenuhnya
akan tugas mereka dalam menentukan pengetahuan paling berharga tersebut.
Pendekatan yang paling baik kemungkinan adalah dengan membentuk tim yang
diketuai ahli pengembang kurikulum yang juga memiliki pengetahuan yan memadai
mengenai bidabf studi tersebut. Ada bermacam cara dalam mengorganisasikan bahan
bagi keperluan pengajaran. Salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan
bahan berdasarkan: topik, tema, kronologi, isu, logika, dan proses disiplin.
Agar lebih jelas, dapat dilihat conton berikut:
|
Organisasi
Bahan Berdasarkan:
|
Contoh:
|
a.
|
Topik
(biasanya digabungkan dengan salah satu pendekatan lainnya atau dibagi dengan
sejumlah sub topik)
|
Perang
kemerdekaan
|
b.
|
Tema
|
Sebab-sebab
perang kemerdekaan
|
c.
|
Kronologi
|
Tahap-tahap
perang kemerdekaan
|
d.
|
Konsep
|
“Kemerdekaan”
|
e.
|
Isu
|
Pengaruh
perang kemerdekaan terhadap watak bangsa Indonesia
|
f.
|
Logika
|
Analisis
peristiwa-peristiwa yang mendukung atau menghambat tercapainya pengakuan de
jure atas kemerdekaan Indonesia
|
g.
|
Proses
disiplin
|
Pandangan
tentang perang kemerdekaan oleh ahli sejarah Indonesia? Ahli sejarah Belanda?
Amerika Serikat? Proses dan instrumen apakah yang digunakan? Dan lain-lain
|
Sebagai konklusif dari uaraian di atas
organisatoris tersebut, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan, yakni:
1. Tujuan Bahan Pelajaran
Mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang
atau mengajarkan keterampilan untuk keperluam masa depan, untuk membantu siswa
dalam memecahkan masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan
ciri ilmiah, untuk memupuk jiwa warga negara yang baik, dan lain-lain.
2. Sasaran
Bahan Pelajaran
Siapakah pelajar itu, apakah latar belakang
pendidikan dan pengalamannya, sampai di manakah tingkat perkembangannya,
bagaimanakah profil kepribadian dan motivasinya, dan lain-lain
3. Pengorganisasian
Bahan
Bagaiman bahan pelajaran diorganisasi: apakah
berdasarkan topik, konsep, kronologi, dan lain-lain.
Berdasarkan
pengertian yang sudah diketahui bahwa kurikulum merupakan landasan yang
digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya kearah tujuan pendidikan
yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap
mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan Islam bukanlah proses yang
dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi
manusia, transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang
harus terususun. Dari penjelasan tersebut maksud kurikulum pendidikan Islam
adalah kurikulum pendidikan yang berasaskan ajaran Islam, yang bersumber dari
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma` dan lainnya.
Ciri-ciri
kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
6.
Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan
mata pelajaran agama dan akhlak.
7.
Kurikulum pendidikan Islam harus
memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani,
akal dan rohani.
8.
Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan
keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal
dan rohani manusia.
9.
Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga
seni halus dan pendidikan jasmani.
1. Kurikulum
pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di
tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman.
Prinsip-prinsip
kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
. Prinsip
yang berorientasi pada tujuan. Prinsip relevansi. Prinsip efisiensi dan efektifitas. Prinsip fleksibilitas program.Prinsip integritas.Prinsip kontinuitas (istiqamah).Prinsip sinkronisme.Prinsip objektivitas.Prinsip demokrasi.Prinsip analisis kegiatan.Prinsip individualisasi, Prinsip
pendidikan seumur hidup.
Al-Ghazali
membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan empat kelompok dengan
mempertimbangkan jenis, dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:
1.
Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama,
misalnya ilmu fiqih, As-Sunnah, tafsir dan sebagainya;
2.
Ilmu-ilmu bahasa sebagai alat untuk
mempelajari ilmu Al-qur’an dan ilmu agama;
3.
Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, seperti ilmu
kedokteran, matematika, industri, pertanian, teknologi dan sebagainya;
4.
Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Dalam
pendidikan kurikulum dapat didesain sesuai dengan keperluannya, maka
langkah-langkah dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1. Rumuskanlah
tujuannya sejelas mungkin.
2. Menentukkan
isi kurikulum pendidikan Islam.
3. Menentukkan
cara mencapai tujuan.
4. Menentukkan
teknik dan alat evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dirgantara wicaksono,Dr.M.Pd,2016. Pengembangan Inovasi Kurikulum, PT.EGI perss, Jakarta.
David Middlewood,2001, Managing the Curriculum, Sage publication, London.
Abdullah
Idi,Prof .Dr.H. M.Ed.2014. Pengembembangan Kurikulum Teori &Praktik .Jakarta.
Nasution, S. 2009. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa,
E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
v
BalasHapus