Metode yang tepat dalam Pembelajaran Sejarah
oleh : Dirgantara Wicaksono (Ketua Pendiri klub Tempo Doeloe)
Metode yang
dipergunakan guru perlu mendapat perhatian agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Misalnya tujuan pembelajaran untuk menjelaskan tentang reformasi di Indonesia . Guru
harus memilih metode yang paling tepat digunakan. Apakah tujuan yang akan
dicapai pada ranah kognitif, afektif, atau psychomotor perlu dipertimbangkan
guru dalam menentukan metode. Sebaiknya tidak semua materi ajar disampaikan
dengan metode yang sama sepanjang tahun. Misalnya pembelajaran sejarah yang
bertujuan untuk mengembangkan ranah afektif, metode yang digunakan tidak sama
dengan metode untuk mencapai tujuan pembelajaran pada ranah kognitif. Perbedaan
penggunaan metode untuk mencapai ketiga tujuan itu harus tampak pada hasil yang
didapat setelah proses pembelajaran selesai. Untuk mencapai ranah afektif
diperlukan metode yang membentuk sikap siswa yang menitikberatkan pada perasaan
senang ataupun tidak senang terhadap pelajaran sejarah. Sedangkan pencapaian
ranah kognitif lebih kepada pengetahuan yang dimiliki siswa tentang sejarah.
Sedangkan untuk ranah psychomotorik dititikberatkan pada minat dan bakat siswa.
Metode simulasi cocok untuk ranah afektif, dan metode ceramah cocok untuk ranah
kognitif.
Di samping itu,
guru sebagai “pemimpin tertinggi” di kelas harus mampu memotivasi siswa melalui
metode yang digunakannya agar aktif dalam proses pembelajaran. Misalnya dalam
metode sinektik, siswa diberi kebebasan untuk mengembangkan kreativitasnya.
Untuk itu siswa harus diberi kebebasan berbicara agar berpartisipasi dalam
memecahkan masalah. Proses pembelajaran seperti itu akan mendorong siswa untuk
bersikap positif. Dalam penggunaan metode simulasi, guru tidak dapat memaksakan
skenarionya kepada siswa, karena akan mematikan kreativitas siswa yang
membentuk robot-robot yang selalu menurut dalam melakukan perintah dan kehendak
guru. Akibatnya siswa tidak mau dan tidak mampu berpikir kreatif, karena siswa
berpendapat bahwa tugasnya hanyalah melaksanakan semua tugas yang dibebankan
guru. Penggunaan simulasi yang
dilaksanakan berdasarkan skenario guru, tidak boleh
menghilangkan kebebasan melalui suasana bermain, sesuai dengan yang dikehendaki
asal jangan keluar dari alur cerita yang telah disusun guru. Baik melalui
metode sinektik maupun simulasi, guru sebaiknya mampu menciptakan kondisi
pembelajaran yang kondusif agar sejarah diminati siswa.
Selanjutnya guru
dapat memilih satu dan atau beberapa metode
dari metode-metode yang tersedia. Penentuan metode apa yang akan digunakan bergantung kepada beberapa faktor, yaitu: tujuan yang akan dicapai, siswa yang berbagai ragam, besar dan situasi kelas, fasilitas yang tersedia, topik yang akan dibicarakan, dan kemampuan profesional guru.
dari metode-metode yang tersedia. Penentuan metode apa yang akan digunakan bergantung kepada beberapa faktor, yaitu: tujuan yang akan dicapai, siswa yang berbagai ragam, besar dan situasi kelas, fasilitas yang tersedia, topik yang akan dibicarakan, dan kemampuan profesional guru.
Salah satu metode
yang dapat digunakan dalam pembelajaran khususnya penanaman konsep adalah
metode ceramah. Kondisi yang terjadi tetap komunikasi satu arah di mana yang
aktif guru menyampaikan informasi, tidak ada umpan balik dari siswa dan siswa
pasif. Melalui ceramah guru tidak hanya dapat menyampaikan fakta yang harus
dihafalkan, tetapi juga konsep seperti yang dikemukakan oleh Romiszowski (1986)
bahwa ceramah yang tepat pemakaiannya adalah efektif untuk menyampaikan
informasi faktual dan penanaman konsep. Ini dipertegas lagi oleh Elzey &
Browling (n.d.:3). “In a lecture, the
instructor can identify difficult concepts and important points that must be
clarified and emphasized and channel the thingking of his students in
appropriate directions”.
Metode lain yang
dapat digunakan adalah metode tanya
jawab, Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk memberikan umpan balik.
Komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua arah. Dengan umpan balik ini guru
dapat mengetahui apakah informasi yang disampaikannya dapat diterima dengan
baik oleh siswa dan apakah siswa dapat memahami atau tidak. Guru mengajukan
pertanyaan, siswa diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan
demikian secara mental siswa turut aktif dalam proses pembelajaran. Dari
jawaban yang diberikan siswa, guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanya-an yang meminta jawaban lebih lanjut dari siswa (probling questions) baik yang berupa pertanyaan perluasan, klasifikasi, justifikasi, pengalihan, maupun dorongan (Taylor, Verble & Dodd,
1980). Hal ini sangat penting dalam pelajaran sejarah. Dari
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menggali tersebut siswa secara aktif
berusaha untuk memperoleh jawabannya dan ini akan membantu siswa untuk memahami
informasi atau konsep yang diberikan, karena pertanyaan-pertanyaan menggali itu
adalah pertanyaan pancingan agar siswa menemukan sendiri jawabannya.
Graves yang dikutip
oleh Seabrook (1991) mengatakan bahwa awal dari suatu jawaban, pemahaman
terhadap suatu informasi atau konsep adalah terdapat dalam formulasi suatu
pertanyaan. Taylor ,
Verble & Dodd (1980) lebih tegas lagi mengatakan bahwa suatu pertanyaan
adalah merupakan separuh dari jawaban, dan separuhnya lagi adalah jawaban itu
sendiri.
Menurut
Reigeluth metode pembelajaran sebagai istilah umum adalah cara untuk menolong
seseorang dalam belajar. Dalam arti luas, metode pembelajaran sama dengan
strategi pembelajaran disebut taktik pembelajaran. Di sisi lain, teori-teori
pembelajaran merupakan panduan mengenai kapan menggunakan dan kapan tidak
menggunakan metode pembelajaran yang berbeda, baik strategi maupun taktik
pembelajaran. Teori-teori pembelajaran berorientasi pada tujuan pembelajaran
dan menawarkan bantuan tentang bagaimana mencapai tujuan yang berbeda
sebagaimana dibedakan dengan teori-teori deskriptif yang berorientasi pada
kesimpulan dan menawarkan deskripsi mengenai proses alam. Dengan demikian
menurut Reigeluth teori-teori pembelajaran harus mengkhususkan pada tiga hal,
yaitu: 1) tujuan-tujuan yang berbeda yang mungkin dipilih seseorang untuk
dikejar; 2) metode-metode berbeda yang dapat digunakan untuk menolong
pembelajar mencapai setiap tujuan dan; 3) kondisi-kondisi berbeda yang
mempengaruhi kapan menggunakan dan kapan tidak menggunakan setiap metode untuk
menolong mencapai tujuan.
Metode pembelajaran mencakup tiga strategi pokok yaitu
strategi pengorganisasian materi ajar, strategi penyampaian
materi ajar, dan strategi pengelolaan pembelajaran. Hasil pembelajaran dapat
berbentuk penguasaan yang seharusnya dicapai dan penguasaan yang dapat dicapai
siswa.
Pendapat
lain tentang tiga komponen pokok pembelajaran yang dikemukakan Reigeluth yaitu
kondisi pembelajaran, metode pembelajaran dan hasil pembelajaran terikat dalam
satu sistem. Metode pembelajaran, terutama dalam aspek strategi
pengorganisasian materi ajar, terikat pada karakteristik materi yang diajarkan,
yang dapat diorganisasikan pada tahap (level) mikro atau makro. Strategi mikro
merupakan metode pembelajaran untuk mengajar ide tunggal, dan strategi makro
merupakan metode pembelajaran untuk mengajar beberapa ide. Landa, Scandura dan
Reigeluth-Stein semuanya cenderung untuk menekankan pada strategi makro.
Sedangkan Gropper, Collins-Stevens and Merrill cenderung untuk memfokuskannya
pada strategi mikro. Metode pembelajaran juga ditentukan oleh hasil belajar
yang diharapkan.
Hasil
ditentukan oleh kondisi dan metode pembelajaran. Metode pembelajaran dapat
membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tersedia berbagai ragam
metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah. Guru dapat memilih satu
metode atau lebih diantara metode-metode yang tersedia. Tidak ada keterbatasan
dalam menggunakan metode tertentu untuk mata pelajaran tertentu. Penggunaan
suatu metode harus relevan dengan tujuan yang akan dicapai. Pada dasarnya semua
metode baik, jangan tanyakan mana yang terbaik atau tidak perlu
membandingkannya satu sama lain. Setiap metode mempunyai kekuatan dan
kelemahan. Metode apapun yang digunakan, dipengaruhi oleh kesungguhan seorang
guru dalam melaksanakan program dan kegiatan pembelajaran atau tergantung pada
kesungguhan guru dalam menggunakan metode yang dipilihnya.
Sikap
seorang guru di kelas juga ikut menentukan sikap siswa selama dan setelah
selesai pembelajaran. Seorang guru yang sikapnya bersahabat dengan siswa, mungkin lebih disukai daripada
sikap guru yang acuh pada siswa. Tugas-tugas dari guru yang disampaikan pada
siswa secara bertubi-tubi mungkin akan dirasakan sebagai beban yang tidak
disukai dan tidak mendorong siswa untuk belajar. Oleh karena itu sikap guru dan
metode yang digunakan guru ikut mewarnai sikap siswa. Tidak ada satupun metode
yang cocok untuk semua mata pelajaran,
karena dipengaruhi oleh siapa dan untuk apa metode itu digunakan. Guru
tidak boleh fanatik pada satu metode, karena akan menimbulkan kebosanan, baik
bagi guru, apalagi bagi siswa. Dengan demikian pemilihan dan penentuan untuk
menggunakan suatu metode, selain bergantung pada tujuan yang akan dicapai ,juga
dipengaruhi oleh siswa sebagai individu yang beragam, situasi dan ukuran kelas, fasilitas yang
tersedia, topik yang akan dibicarakan dan kemampuan profesional guru.
Kemudian,
metode sinektik dapat menjadi salah satu alternatif dalam kegiatan pembelajaran
sejarah. Gordon menyebut metode sinektik sebagai metode untuk meningkatkan
kreativitas dengan meningkatkan penggunaan analogi dalam berpikir kreatif.
Metode tersebut meliputi beberapa analogi sebagai berikut:
1.
Analogi pribadi yang dapat
membawa seseorang ke dalam situasi yang dihadapi secara langsung.
2.
Analogi yang langsung membantu
seseorang untuk menemukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi sekaligus
solusi yang disarankan.
3.
Analogi simbolik yang
menggunakan penilaian objektif, impresional atau imajinasi yang positif untuk
menggambarkan suatu masalah.
Peso,
dkk. dalam Joice and Weil mengembangkan metode
sinektik. Metode yang unik dan menarik ini merupakan pendekatan baru yang
dirancang untuk mengembangkan kreativitas individu atau kelompok. Pengembangan
kreativitas bertujuan agar individu atau kelompok mampu memecahkan masalah yang
dihadapi. Dalam pembelajaran sejarah metode ini akan bermanfaat karena
memotivasi siswa untuk mencari tentang ke “mengapa”an sejarah.
Pada awalnya Peso dkk menerapkan prosedur sinektik untuk
mengembangkan aktivitas kelompok. Dalam kenyataannya akan berdampak pula pada
peningkatan kreativitas individu, karena sinektik yang dirancang untuk
meningkatkan kreativitas kelompok bersumber dari saling tukar menukar
pengalaman antar individu. Di samping itu sinektik juga menempatkan unsur
empati emosional dan irrasional mendampingi kemampuan rasional individu dalam
memecahkan masalah. Kondisi ini cocok untuk mengajarkan materi sejarah karena
memecahkan masalah dan memahami konsep-konsep sejarah memang memerlukan
unsur-unsur tersebut. Misalnya mengapa terjadi perang? Apa sebenarnya konsep
perang itu?
Metode
sinektik membantu kreativitas kelompok untuk memecahkan masalah secara
bersama-sama mengarahkan alur pikir anggotanya. Dengan demikian partisipasi individu
untuk bergabung harus dilandasi oleh perasaan senang dan keinginan yang tinggi
dari anggota. Prosedur sinektik dapat dimanfaatkan dalam semua bidang studi.
Dua strategi pembelajaran yang mendasari prosedur sinektik menurut Peso adalah
(1) menciptakan sesuatu yang baru dan (2) memperkenalkan keanehan.
Strategi
pertama dirancang untuk membantu siswa dalam memahami masalah, ide, dan konsep
agar kreativitas siswa dapat berkembang. Strategi ini menggunakan
analogi-analogi untuk menciptakan konsep jarak dengan tujuan untuk
mengembangkan suatu pemahaman baru tentang konsep atau masalah. Dalam pelajaran
sejarah misalnya konsep tentang kebudayaan. Apa yang dimaksud dengan
kebudayaan, apakah ada hubungan antara kebudayaan dengan kesenian, mengapa
kebudayaan penting untuk dibicarakan.
Berlainan dengan strategi pertama,
strategi kedua dirancang untuk memberikan pemahaman dalam menambah dan
memperdalam sesuatu yang baru atau materi yang sulit dipahami, melalui analisis
dan konvergensi. Untuk itu siswa diberikan pilihan dengan membedakan
karakteristik antara subyek yang dikenalnya dengan yang tidak dikenalnya.
Misalnya siswa disuruh menjelaskan hubungan antara konsep reformasi dan wanita
cantik. Elemen-elemen tentang wanita cantik tertulis pada kolom kiri dan elemen-elemen
reformasi pada kolom kanan.
TABEL 4
HUBUNGAN
ANTARA KONSEP-KONSEP TENTANG
WANITA
CANTIK DAN REFORMASI
No.
|
Wanita Cantik
|
Reformasi
|
1.
|
Berhias
|
Perubahan
|
2.
|
Individu
|
Mahasiswa
|
3.
|
Tetap Cantik
|
Masyarakat Adil
Makmur
|
4.
|
Nalar
|
Aturan Main
|
5.
|
Terlalu Gemuk
|
Gagal
|
Kemudian siswa ditugaskan untuk
membuat wacana satu paragraf
tentang hubungan antara reformasi dan wanita cantik tersebut. Misalnya sebagai berikut:
tentang hubungan antara reformasi dan wanita cantik tersebut. Misalnya sebagai berikut:
Berhias dalam mempercantik diri merupakan sikap dinamis yang selalu
menginginkan perubahan seperti yang diinginkan reformasi. Wanita sebagai
individu terus melakukannya agar tetap cantik dan mahasiswa sebagai anggota
masyarakat juga melakukannya untuk mencapai tujuan segenap bangsa yaitu
masyarakat yang adil dan makmur. Jika wanita cantik tidak menggunakan
penalarannya untuk tetap cantik akan terbentuk sebuah sosok yang merupakan
perpaduan antara dewi dan si tolol. Demikian juga mahasiswa yang ingin ikut
ambil bagian dalam menciptakan masyarakat adil makmur harus melalui aturan main
yang jelas. Wanita cantik yang tidak menggunakan otak dalam berdiet atau tidak
dapat mengatur cara makan akan menjadi gemuk atau terlalu kurus dan sakit,
sehingga tidak cantik lagi. Demikian juga mahasiswa yang mengabaikan aturan
main akan gagal dalam mewujudkan reformasi yang dicita-citakan.
Dilihat dari wacana di atas sinektik merupakan metode unik, menarik
dan berbeda dari metode-metode lain serta memerlukan kreativitas siswa. Kondisi
seperti ini perlu diciptakan dalam pembelajaran sejarah agar siswa menikmatinya.
Selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan strategi pembelajaran kedua
yang tahapan-tahapannya seperti berikut.
TABEL 5
TAHAPAN
UNTUK MEMPERKENALKAN KEANEHAN
|
|
TAHAP PERTAMA:
|
TAHAP KEDUA:
ANALOGI LANGSUNG
|
Guru
menyajikan informasi tentang suatu topik yang baru
|
Guru mengusulkan
analogi langsung dan menyuruh siswa menjabarkannya.
|
TAHAP KETIGA:
ANALOGI PERSONAL
|
TAHAP KEEMPAT:
MEMBEDAKAN ANALOGI
|
Guru menyuruh siswa “menjadi” analogi langsung.
|
|
TAHAP KELIMA:
MENJELASKAN PERBEDAAN
|
TAHAP KEENAM:
PENJELAJAHAN
|
|
|
TAHAP KETUJUH:
MEMBANGKITKAN ANALOGI
|
|
langsung dan menjelajahi persamaan dan perbedaannya.
|
Pada strategi
pembelajaran kedua diperlukan kreativitas guru untuk memilih dengan cermat informasi
berupa topik yang akan disampaikan pada siswa. Dalam hal ini peranan guru
sangat penting karena guru bukan hanya sekedar orang yang berdiri di depan
kelas tetapi harus aktif dan kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak
didiknya.
Tujuan strategi pembelajaran yang kedua adalah untuk
memecahkan masalah dengan pendekatan baru yang lebih segar. Untuk
pelaksanaannya tidak dapat hanya dilakukan sekali, tetapi harus sering berlatih
seperti kata Thorndike dalam Law of Exercise yang dikutip Hilgard & Bower
bahwa makin sering dilakukan latihan akan meningkatkan kemampuan siswa terhadap
sesuatu. Metode sinektik dapat dimanfaatkan oleh siswa semua tingkatan usia.
Sinektik merupakan cara baru untuk mengenal ide yang masih “asing’ bagi siswa
dan akan menghasilkan perspektif baru.
Partisipasi aktif
siswa dalam kelompok melalui metode sinektik membantu siswa untuk mengembangkan
kemampuan interpersonalnya. Gardner
dalam multiple intelegence yang ditulis Amstrong (1995-1995: 79-85) mengatakan
bahwa kemampuan interpersonal yang dimiliki individu harus selalu ditingkatkan,
terutama dalam memecahkan berbagai masalah.
Metode sinektik hampir sejalan
dengan model pertemuan kelas. Perbedaan pertemuan kelas dengan sinektik antara
lain pada masalah yang didiskusikan. Dalam pertemuan kelas masalah berasal dari
siswa, sedangkan metode sinektik masalah diberikan guru sesuai pokok bahasan
yang harus dibicarakan. Kemudian peserta pada pertemuan kelas, bukan teman
sekelas, sedangkan peserta pada metode sinektik semuanya teman sekelas. Tindak
lanjut yang merupakan tahap akhir pada pertemuan kelas tidak selalu ada pada
metode sinektik. Namun keduanya sama-sama mengembangkan daya pikir, nalar,
spontanitas dalam upaya siswa untuk memecahkan masalah. Metode sinektik yang
melatih siswa untuk memecahkan masalah cocok diberikan di SLTP karena menurut
Piaget (1988: 242-245) hanya anak-anak yang berumur 11 tahun ke atas yang mampu
memecahkan masalah.
Dalam
memecahkan masalah pada metode sinektik dibutuhkan kreativitas. Jika seorang
siswa terlibat dalam kreativitas, akan merasa “hidup” dan berbahagia di
tempatnya. Disadari atau tidak, barang-barang yang lebih menarik merupakan
hasil kreativitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar