Minggu, 01 Juni 2014

Pendidikan lingkungan Hidup dalam praktik Islam

Mempraktekan Al Islam Kemuhammadiyahan dengan kajian pendidikan lingkungan Hidup   
1. Pengertian Lingkungan Hidup
Kelangsungan hidup manusia tergantung dari  keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan lingkungan lainnya.
Berbagai masalah lingkungan  hidup, terutama yang berkaitan dengan pemanasan global, kepunahan jenis flora dan fauna serta melebarnya lubang lapisan ozon, pencemaran dan kemiskinan, telah menjadi masalah global karena meliputi seluruh bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang luput dari dampak yang ditimbulkan oleh berbagai masalah tersebut. 
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Undang-Undang No. 23 tahun 1997, pasal 1, ayat 1). Lingkungan hidup terdiri dari: lingkungan hidup alami, buatan atau binaan, dan sosial yang ketiganya saling berkaitan yaitu merupakan ekosistem, teknosistem, dan sosiosistem (Taqim, et al, 2000: 1).
Lingkungan hidup alami adalah lingkungan yang tatanan ekosistemnya belum mendapatkan dampak dari kegiatan manusia. Lingkungan hidup tetap dapat disebut alami selama manusia yang terdapat di dalamnya tidak bersikap dan berperilaku mendominasi lingkungan hidup atau ekosistem di mana dia berada (Soerjani, 1997: 8). Lingkungan hidup alam atau ekosistem terdiri atas lingkungan hidup fisik dan lingkungan hidup hayati, manusia sebagai bagian dari lingkungan hidup hayati (Hardjasoemantri, 1993: 9). Konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem yaitu terbentuk hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 2003: 23). Pada ekosistem tidak saja terjadi interaksi, tetapi juga saling ketergantungan baik antar makhluk hidup (sebagai komponen biotik) yang satu dengan yang lainnya maupun dengan lingkungannya.
Lingkungan hidup memberikan dukungan terhadap kehidupan dan kesejahteraan bukan saja terhadap manusia tetapi juga bagi makhluk hidup yang lain, seperti hewan dan tumbuhan karena itu lingkungan hidup perlu dijaga, diperhatikan hubungan timbal balik makhluk sesamanya, dan dengan benda-benda mati di sekitarnya. Pada pengelolaan lingkungan hidup yang baik, tidak hanya manusia yang harus sejahtera tetapi juga makhluk hidup lainnya, kesejahteraan juga ditujukan kepada makhluk yang lain. Makhluk hidup yang lain adalah juga umat-umat yang sama kedudukannya dengan manusia. Sebagaimana firman Allah:
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan sayapnya melainkan umat-umat seperti kamu” (Q.S  Al  An’am  :38 ).
    Lingkungan hidup manusia adalah semua komponen ekosistem di dalamnya terdapat atau ada keterlibatan kepentingan manusia. Dengan kata lain bahwa manusia tidak terpisah dari segala zat, unsur, dan keadaan yang ada dalam lingkungan hidupnya sehingga terdapat hubungan timbal balik yang membentuk suatu ekosistem.
    Kenyataannya ekosistem dalam lingkungan hidup dilihat secara antropo-sentrik, di mana tidak lagi  bersifat netral, melainkan menggunakan ukuran-ukuran subyektif manusia. Padahal ekosistem dalam lingkungan hidup dicirikan oleh sifat yang merupakan totalitas dari semua komponennya, yang ditentukan oleh interaksi, baik yang tercermin dalam susunan maupun fungsi dari semua komponennya. Jadi pada hakikatnya ekosistem atau lingkungan hidup itu mengalami dinamika yang teratur. Artinya ada perubahan yang terus-menerus yang selalu mengikuti keteraturan. Seolah-olah sistem itu mengatur sendiri yang bersifat homeostatis. Tetapi keadaan stabil  ini pun tidak berlangsung terus, karena perubahan-perubahan baru selalu akan terjadi lagi.

2. Aspek Keseimbangan Lingkungan
Dalam menghadapi masalah kerusakan lingkungan hidup, tindakan saling menunjuk dan menyalahkan pihak tertentu yang dianggap harus bertanggung jawab bukanlah suatu sikap yang bijaksana. Hal lain yang lebih penting dilakukan adalah mengusahakan bersama langkah-langkah tertentu yang dapat dijadikan jalan keluar dari keruwetan krisis lingkungan hidup yang sudah, sedang dan mungkin akan terjadi.
Pada hakikatnya setiap keadaan merupakan transisi dari keadaan berikutnya. Keteraturan itu berada dalam suatu ambang batas tertentu, baik nilai terendah (minimum maupun nilai tertinggi/maksimum) sebagai batas toleransi. Karena itu dikenal konsep kelentingan, yang berarti bahwa suatu sistem yang stabil akan melenting pada batas-batasnya, sehingga terjadi proses keseimbangan. Proses keseimbangan tersebut dapat terganggu karena pengaruh yang berasal dari komponen-komponen dalam sistem itu sendiri maupun dari sistem lain di luarnya. Pengaruh itu dapat dilihat dari kejadian alami, misalnya gempa bumi, tetapi seringkali juga berasal dari ulah manusia, khususnya yang menggunakan perangkat teknologi modern seperti yang terjadi sekarang ini.
Manusia merupakan mahkluk yang mempenggaruhi lingkungan hidup, maka peranan dan perilaku manusia dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia (Soerjani,1985: 5). Ekologi manusia berarti ekologi yang memusatkan pengkajian pada manusia sebagai individu maupun populasi. Seringkali pemusatan perhatian ini menimbulkan subyektifitas yang berlebihan tentang peranan dan pengaruh dan dominasi manusia dalam lingkungan hidup, hal ini mendorong perkembangan ilmu lingkungan yang melihat kedudukan manusia sebagai immanen (inklusif) yakni secara obyektif kedudukan manusia adalah sama dengan mahkluk lain di bumi. Segi yang sama dari kehidupan  manusia yaitu komponen yang tidak lain dari kehidupan manusia  berdimensi faktor psikis seperti watak, gagasan, pikiran dan keinginan pribadi manusia yang ikut membentuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan  secara keseluruhan.
Keadaaan atau faktor psikis inilah yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengubah keadaan lingkungannya. Kota dibangun, sungai dibendung, hewan diternakan, cara-cara pertanian ditingkatkan dengan memakai bahan kimia yang kesemuannya ini menimbulkan lingkungan hidup baru buatan manusia. Manusia dengan segala kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya, seharusnya tidak berbuat sesuka hatiinya tanpa menghiraukan komponen lainya dari ekosistem.
Namun, dalam sejarah pandangan manusia dengan alam, dijumpai sekelompok orang yang menganggap bahwa alam disediakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memenuhi kepuasan manusia tanpa menghiraukan komponen lain yang ada di alam. Pandangan demikian dalam etika lingkungan disebut frontier mentality. Frontier mentality adalah pandangan hidup manusia yang berasal dari ajaran agama Kristen-Yahudi yang mengatakan bahwa alam dijadikan oleh Tuhan untuk memenuhi dan melayani kebutuhan manusia, ia dapat menaklukan alam semesta ini. Manusia memandang bahwa alam ini penuh dengan sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan tanpa batas.
Dengan demikian manusia secara leluasa dapat menguasai sumber-sumber alam sesuai dengan kebutuhan hidup material yang diperlukan. Alam adalah sumber material yang dinilai hanya dri segi ekonomis atau internal cost tanpa memperhitungkan aspek external cost seperti kebahagiaan seseorang untuk menikmati lingkungan sehat. Pakar Psikologi Alan Watts memandang sikap sewenang-wenang manusia itu merupakan sifat biologis yang mendarah daging bagi setiap manusia. Mereka beranggapan I versus not I, saya adalah saya dan semua yang di luar saya bukan golongan saya.
Akibat lebih jauh sifat ini adalah manusia cenderung mementingkan diri dan keluarganya dalam menggunakan sumber daya alam dan ia akan melakukan sesuai dengan kebutuhan materialnya saja. Munusia menguasai alam sebagaimana majikan menguasai budaknya. Manusia memandang dirinya terpisah dari alam. Sifat ini menurut Alan Watts diistilahkan dengan biological imperialism. Akibat dari sifat ini lingkungan menjadi rusak dan terancam bahaya akibat ulah manusia yang menganggap dirinya di atas segala-galanya, superior dan terpisah dari alam. Semua perbuatan manusia hanya ditujukan pada kebutuhan material. Teknologi dan industri yang dikembangkan kurang memperhitungkan aspek external cost seperti kebahagiaan, kesehatan, ketenangan, keindahan, dan lain-lain.
Penebangan hutan, tumbuh-tumbuhan dan tanaman, berburu dan memusnahkan satwa, pengikisan tanah dari sungai yang berakibat banjir adalah wujud dari perbuatan manusia yang didasari biological imperialism (Chiras, 1990 : 458-459). Untuk mengatasi sifat-sifat tersebut, manusia menmgembangkan sistem nilai yang disebut sustainable ethics yang merupakan prinsip pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada  internal cost, tetapi juga pada external cost. Selain itu manusia perlu dilihat secara transenden (eksklusif) mengingat bahwa manusia harus bertanggung jawab lebih besar dari makhluk hidup lainnya (Soerjani, 1985: 1). Pandangan transenden ini sejalan dengan firman Allah yang memperingatkan agar manusia berperilaku merusak di muka bumi, sebagai berikut:
“.....Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, dan membawa kerusakan” (QS.  Al A’raaf 7:74).
Sikap transendental ini merupakan ajaran agama Islam yang mengharuskan manusia untuk bersikap dan bertanggung jawab lebih besar dari pada makhluk lainnya. Ini merupakan kode etik lingkungan yang harus dipatuhi oleh manusia. Lingkungan ini bagi manusia semestinya dimaknai sebagai titipan dari Tuhan yang secara turun-temurun akan dinikmati pula oleh generasi berikutnya, sehingga apa yang dinikmati oleh umat sekarang ini sudah selayaknya harus dijaga agar bisa juga dinikmati oleh umat yang akan datang, sebagimana firman Allah berikut:
“ .... Kepunyaan Allah adalah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah yang Maha Kaya dan Maha Terpuji” (QS. Luqman 31: 25- 26).
Jelas bahwa, umat manusia yang mendiami bumi dengan segala isinya  adalah hanyalah makhluk penikmat bukan sebagai pemilik. Dengan status bukan sebagai pemilik maka manusia harus menempatkan diri sebagai pihak yang mempunyai tanggung jawab untuk mengembalikan keutuhan dan keseimbangan alam ini kepada Tuhan. Oleh karenanya, sangat naif bila manusia semena-mena memperlakukan lingkungan hidupnya.








BAB 2
MANUSIA  SEBAGAI BAGIAN DARI KEHIDUPAN ALAM

1. Kedudukan Manusia di Alam
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk masa kini maupun masa mendatang.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, karena manusia diciptakan Allah dilengkapi dengan jasmani, rokhani, dan akal, sehingga terbentuk kesatuan yang utuh sebagaimana firman Allah SWT:
               “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya” (Q.S. At Tin, 95: 4).
              
Manusia sebagai makhluk yang palng sempurna dalam bentuk sebaik-baiknya ditandai oleh badannya lurus ke atas, parasnya cantik, mengambil segala sesuatu yang dikehendakinya dengan perantaraan mulut. Dengan diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima macam-macam ilmu pengetahuan  dan kepandaian, sehinga manusia dapat berdaya cipta (berkreasi) dan sanggup menguasai seluruh alam dan binatang.
Akan tetapi kadang-kadang manusia lupa. Mereka seringkali mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak sesuai dengan fitrahnya. Dikumpulkannya perhiasan dunia dan apa saja yang sanggup dicapainya untuk memenuhi hawa nafsunya. Ia lupa bahwa semua yang bermanfaat baginya untuk kebahagiaan hidup di hari kemudian tidak dihiraukannya lagi. Peringatan Allah dalam firman-Nya:
“(Yaitu) pada hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS.  As Syu’araa, 26: 88-89). 
          
Diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi ini terkandung suatu hikmah yang tinggi dari hikmah illahi yang tidak diketahui oleh para malaikat. Sebab, andaikata Allah mengangkat malaikat menjadi khalifah dan penghuni bumi ini niscaya mereka tidak akan dapat mengetahui rahasia-rahasia alam ini, serta ciri khas yang ada pada masing-masing makhluk, sebab para malaikat tidak mempunyai kebutuhan sesuatu apapun, seperti kebutuhan fisik, biologis, harta, benda lainnya. Maka seandainya malaikat yang menjadi penghuni dan pengusaha di bumi ini, niscaya tidak akan ada sawah ladang, tak akan ada pabrik-pabrik atau tambang-tambang, takkan ada gedung-gedung tinggi, takkan ada seni dan musik, dan sebagainya. Dan juga tidak akan lahir berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang dicapai  manusia sekarang ini, yanjg hampir tak terhitung jumlahnya.        
            Pengangkatan manusia menjadi khalifah, berarti pengangkatan Adam AS dan keturunannya  menjadi khalifah terhadap mahkluk-mahkluk lannya di bumi ini. Itulah keistimewaan yang telah dikaruniakan Allah kepada umat manusiayang tidak diberikan kepada mahkluk yang lainnya.  Keistimewaan yang diberikan Allah tersebut selayaknya harus dimanfaatkan oleh manusia untuk kemaslahatan umat seperti mengembangkan ilmu pengetahuan guna menyelidiki dan memanfaatkan isi alam di bumi ini.
Allah SWT mengkaruniakan bumi dan langit bserta seluruh isinya agar manusia dapat hidup sejahtera. Masalah-masalah kehidupan banyak timbul oleh karena kelengahan dan kebodohan manusia sendiri. Masalah masalah berkenaan dengan lingkungan maka bagi umat manusia harus dapat turut memecahkan masalah tadi karna manusa diberi hati, mata, telinga,  akal dan fikiran. Manusia mahkluk yang mulia. Kita dapat berfikir, dapat menimbang-nimbang mana yang baik, mana yang buruk. Manusia harus bertanggung jawab. Manusia sebagai khalifah di muka bumi, memiliki kewajiban mestarikan alam semesta dan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Agar hidup di dunia menjadi makmur sejahtera penuh keberkahan dan menjadi bekal di hari akhir kelak.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada Nya….” (QS. Al A’raaf:  56)
Tuhan Maha Kuasa, Maha Tahu, Tuhan menciptakan bumi dan langit beserta isinya. Manusia dijadikan makhluk yang paling mulia. Allah menciptakan makhluk di muka bumi ini bermacam-maca: ada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan itu diberi kehidupan. Masing-masing mempunya kebutuhan makanan. Hewan dan tumbuh-tumbuhan juga membutuhkan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan itu, mereka saling  memerlukan. Manusia memerlukan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan membutuhkan  hewan dan manusia. Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan, yang merupakan bagian dari alam ini. Artinya manusia terikat oleh kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum Tuhan yang mengenai ciptaanNya. Karena manusia merupakan bagian dari ciptaan-Nya, maka manusia di alam/bumi ini tidak dapat berbuat sekehendak hatinya tetapi terikat oleh hukum Tuhan. Alam ini sepenuhnya  milik Tuhan Yang Maha Esa karena Dialah yang menciptakanNya. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka (manusia), siapakah yang menciptakan langit dan bumi, tentu mereka akan menjawab Allah. Katakanlah; segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui....” (QS. Luqman 31: 25- 26).

Salah satu ciptaan Tuhan di alam ini adalah bumi seisinya termasuk manusia. Bumi ini diciptakan untuk seluruh mahklukNya, seperti difirmankan Allah SWT di dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai berikut:
“Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, ...” (QS. Al Baqarah 2: 22 ). 
Kedudukan manusia di muka bumi sungguh tinggi di hadapan pencipta-Nya. Tuhan telah mempersiapkan bumi sebagai tempat tinggal manusia dengan diturunkannya hujan dari langit dan ditumbuhkan berjenis-jenis tumbuh-tumbuhan. Kehadiran  manusia di muka bumi dalam penciptaannya dinyatakan dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
  “... Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...” (QS. Al Baqarah 2: 30)
    Karena manusia ciptaan Tuhan, maka kekhalifahannya mengharuskan manusia taat dan patuh terhadap PenciptaNya. Ketundukan dan ketaatan kepada hukum-hukum yang mengikat kodrat alamiah merupakan suatu ketentuan yang tidak bisa ditolaknya, karena merupakan bagian dari hukum-hukum Tuhan. Sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah SWT:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa” (QS. Al Baqarah 2: 21).
Manusia sebagai mahkluk yang dilebihkan dari pada makhluk  ciptaan Tuhan lainnya, dengan akalnya ia mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Jadi esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreativitas, tetapi karena ia sebagai ciptaan Tuhan sebagaimana mahkluk lainnya, maka ia adalah abdi (hamba) yang harus taat dan patuh kepada peraturan-peraturan serta hukum-hukum Tuhan.
Ajaran islam tersebut tercermin dalam konsep ekologi yang memandang kedudukan manusia di dalam ekosistem adalah immanen dan transenden. Manusia yang immanen berarti bahwa kedudukannya  adalah sama dengan kedudukan mah-kluk lainnya di bumi ini yang merupakan suatu sistem. Ciri suatu sistem adalah saling pengaruh-mempengaruhi, saling menambah dan menutupi kekurangan dari antar komponen sistem tersebut, sehingga terjadilah suatu kesatuan yang harmonis, serasi, dan seimbang.
    Kedudukan manusia yang transenden ialah bahwa manusia bertanggung jawab atas kestabilan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup serta memanfaat-kannya tidak bertentangan dengan kehendak Illahi yaitu untuk kemaslahatan kehidupan manusia dan mahkluk lainnya, sesuai dengan ciri manusia sebagai khalifah. Selama kekhalifahan dijalankan sebagaimana mestinya, maka selama itu pula keseimbangan lingkungan hidup akan terjamin. Sebaliknya apabila lingkungan hidup dirusak atau dicemari oleh perbuatan manusia berarti bukan saja kekhalifahannya tidak ditegakkan dengan benar, akan tetapi dapat diartikan sebagai suatu kezaliman manusia atau suatu penghianatan terhadap amanat kekhalifahan. Provokasi yang dilakukan manusia terhadap daya dukung lingkungan dapat dikendalikan dan sesuai dengan naluri manusia sebagai mahkluk dengan strategi hidup “k” atau serasi dengan daya dukung lingkungan (Soerjani, 1960: 3).
Tuhan telah mempersiapkan untuk kehidupan manusia di bumi ini beragam tumbuhan, baik di hutan yang sangat kaya dengan sumber daya alam.  Manusia di muka bumi ini telah dipersiapkan oleh Allah SWT tempat untuk kehidupannya yang berdampingan dengan mahkluk lainnya. Selain manusia di bumi ini banyak mahkluk lainnya seperti berbagai binatang (fauna) dari yang kecil semisal semut dan binatang melata lainnya sampai gajah dan sejenisnya. Namun karena manusia mahkluk yang memiliki akal maka Allah SWT senantiasa mengingatkan agar manusia jangan lupa diri dan selalu mengunakan akalnya dan ia akan diminta pertanggungjawaban-nya, karena ia akan kembali kepada-Nya. Ini ditegaskan dalam firman-Nya sebagai berikut;
“Allah yang menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan telah menjadikan di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis jenis tumbuh-tumbuhan. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. Dari bumi/tanah itulah Kami menjadikan kamu dan kepadaNya Kami akan mengembalikan kamu pada kali yang lain” (QS. Thaahaa 20: 53-55).
Agar kehidupan ini berkelanjutan telah diturunkanNya air hujan sebagai sarana kehidupan yang paling vital, dengan air itu berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan hidup subur sehingga menghasilkan berbagai buah-buahan dan biji-bijian untuk kelangsungan kehidupan manusia dan berbagai jenis binatang. Semua ini merupakan bahan perenungan bagi manusia atas tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Allah SWT berfirman sebagai berikut:
“Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran (QS. Al Hijr 15:19).
Tuhan Yang Maha Esa telah menyediakan bumi dan seisinya untuk kehidupan manusia dan makhluk lainnya, karena itu bumi yang diamanatkan kepada manusia harus dijaga dan jangan dirusak. Bumi dilengkapi dengan air sebagai nikmat Tuhan kepada makhluknya. Air merupakan hal yang vital bagi kehidupan. Murwani (1978:29), dalam bukunya “Pengantar Kimia”, mengemukakan bahwa “Air merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat penting untuk setiap makhluk hidup. Kira-kira 75% dari permukaan bumi tertutup oleh air atau es, dan seluruh  planet bumi diliputi oleh uap air. Juga di dalam tumbuhan dan di dalam segala makhluk hidup terdapat banyak air”. Dari air inilah kemakmuran umat manusia beserta makhluk lainnya dapat diwujudkan.
Melindungi dan merawat lingkungan hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap muslim. Oleh karena itu, rasanya sangat perlu sekali gagasa-gasan yang telah terungkap di atas diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasa yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang diberi label penerus para Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangsih riil bagi pembumian konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus meyakinkan publik bahwa tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi beban setiap Muslim, bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks keindonesiaan, pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian mendesak mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup.

2. Kekayaan Alam adalah Anugrah Tuhan
Di dalam Al Qur’an tersurat bahwa “kehidupan, bermula dari air, baik kehidupan flora, “kehidupan fauna”, maupun “kehidupan manusia” seperti firman Allah SWT berikut:
” ..... Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam (QS. Thaahaa 20: 53)
 “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air ... (QS. An Nuur 24: 45)
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina  (air mani) (QS. As Sajdah 32: 8).

Di bumi ini Tuhan juga menciptakan berbagai jenis tanaman atau flora.  Beberapa ayat dari kitab Al Qur’an menyebutkan tentang flora sebagai berikut:
“Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan. Dan pohon kayu ke luar dari Thursina (pohon zaitun) yang menghasilkan minyak, dan pemakan makanan bagi orang yang makan” (QS. Al Mu’minuun 23: 19-20).

Negara kita Indonesia yang kaya akan flora yang dapat dilihat dengan luasnya hutan di berbagai kepulauannya. Misalnya hutan yang terletak di Kalimantan, tercatat lebih dari tiga ribu jenis pohon, belum termasuk pakis, paku-pakuan, lumut, jamur, dan anggrek (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1990: 47). Hutan sebagai salah satu tempat dari bermacam-macam flora, merupakan lingkungan hidup dari berbagai daur kehidupan, dan menjadi tempat berlangsungnya hidup manusia. Kekayaan flora Indonesia yang melimpah dapat dilihat dari sebaran tipologi ekosistem seperti diungkapkan oleh Zulkifli (1997: 57-65) sebagai berikut:
1) Ekosistem Daratan
    Ekosistem daratan lingkungan hidupnya didominasi oleh daratan. Hutan merupakan salah satu tipe ekosistem darat. Beberapa tipe ekosistem hutan hujan yang berada pada ketinggian di bawah 1000 meter di atas permukaan laut (dpl):
   a. Hutan Hujan Dipterocarpaceae
       Hutan didominasi oleh keluarga Dipterocarpaceae yang mengandung berbagai jenis kayu komersial terutama: meranti, keruing, merawan, dan kapur. Pohon-pohon ini dapat mencapai tinggi antara 40-60 meter. Terdapat di Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan Filipina.

  b. Hutan Hujan non Dipterocarpaceae
      Terdapat di Sulawesi, Maluku, dan Irian Timur. Di Pulau Jawa sebagian besar hutan tipe ini sudah lenyap dan hanya tersisa di beberapa suaka alam, misalnya: Taman Nasional Ujung Kulon.
  c. Hutan Kerangas
      Berada pada elevasi antara 0-800 meter dpl.  Terutama di Kalimantan dan Sumatera. Tanah podsolik dari batuan dasar silika yang bertekstur kasar dan sangat asam dan drainasenya bebas. Kekayaan flora dan faunanya sangat miskin. Pada musim hujan air menggenang di lantai hutan sehingga berupa rawa sedangkan musim kemarau lantai hutan sangat kering. Pohon-pohon memiliki tinggi 2,5 cm – 1 meter. Dilihat dari komposisi jenisnya hutan kerangas mirip hutan rawa gambut. Hutan ini bila mengalami gangguan, misal penebangan habis atau pembakaran sukar untuk pulih kembali. Hutan kerangas bila dieksploitasi tidak banyak memberikan keuntungan maka lebih baik dimanfaatkan untuk keperluan lain, misal: hutan rekreasi, taman nasional atau kawasan konservasi.
d. Hutan Pegunungan Bawah
      Terdapat di dataran tinggi 1000-1025 meter dpl. Kecuali di Pulau Jawa hutan tipe ini belum banyak dieksploitasi. Tipe pohon semakin rendah dan diameternya semakin kecil. Di punggung dan lereng gunung pohonnya lebih menyerupai semak. Di punggung gunung yang berbatuan kwarsa dan di pohon-pohon sering ditumbuhi lumut yang sangat lebat. Di Sumatera komposisi jenis hutan ini hampir serupa dengan di Kalimantan. Jenis-jenis dari Dipterocarpaceae dijumpai meskipun dalam jumlah sedikit.
  e. Hutan Pegunungan Atas
      Hutan berada pada ketinggian lebih dari 1500-3000 meter dpl. Hutannya lebat dengan pohon yang tingginya sekitar 25 meter. Jumlah jenisnya lebih sedikit. Di Sumatera hutan ini disusun oleh  jenis tusam (Pinus mercusii) dan menunjukkan kurang beranekaragam dibandingkan dengan hutan hujan dataran rendah.

2) Ekosistem Pesisir dan Lautan
    Ekosistem laut merupakan sumber pangan khususnya protein hewani. pada kedalaman 2000-5000 meter terdapat kandungan nikel, perak, kobalt, tembaga dan besi di samping minyak dan gas bumi. Ekosistem pesisir berada di antara daratan dan lautan maka memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan ekosistem daratan. Tipe-tipe ekosistem wilayah pesisir antara lain:
a. Hutan mangrove
       Merupakan ekosistem penyangga antara lain daratan dengan daratan dan memegang peranan penting dalam mendukung produktifitas laut yang berdekatan. Sebaliknya, mangrove sangat bergantung pada hara yang terbawa aliran sungai. Dari arah lautan ke daratan hutan mangrove dibagi ke dalam beberapa zona yang berbeda dengan suksesinya, yaitu:
-      Zona tumbuhan pioner, pohon api-api (Avicennia) dan pedada (Sonneratia) yang tumbuh pada batas pasang dan tahan terhadap genangan air laut yang terus menerus.
-      Zona pohon bakau
-      Zona pohon tancang (Bruguiera), berada di atas batas pasang naik. marga ini tahan terhadap kadar garam yang kadang-kadang meningkat pada waktu pasang naik. Pohon tancang merupakan tanda batas dimulainya pembentukan daratan permanen tempat di mana daratan cukup kering, hutan hujan dapat tumbuh. Hutan mangrove yang berkembang baik dengan pohon-pohon yang tinggi dan berdiameter besar terdapat di sekitar muara sungai besar dan dapat membentang jauh ke pedalaman di sepanjang sungai tersebut. Mangrove mempunyai fungsi penting bagi biota perairan yaitu sebagai tempat mencari ikan, berlindung, dan tempat berpijah bagi berbagai jenis udang, ikan, kepiting, dan kerang-kerangan.
   b. Rawa non Bakau
       Nipah dan rawa pasang surut dijumpai di daerah pesisir yaitu di muara delta sungai di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, dan Barat Laut Sulawesi. Jalur nipah berada di belakang hutan mangrove, kelebatan nipah dapat menahan air dan lumpur yang masuk ke daerah estuaria. Nipah juga menyediakan makanan dan minuman, bahan makanan dan kayu bakar bagi sebagian besar penduduk yang tinggal di pedesaan.         
  c. Terumbu Karang
      Terumbu karang merupakan ekosistem khas di daerah tropika dan di dalamnya terkandung keanekaragaman biota laut yang menarik. Berdasarkan lokasi dan morfologinya terumbu karang di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi:
1)      Terumbu karang pantai (frigging reef), yang tumbuh pada pantai yang keras dan berbatu. Tipe ini paling dominan dan dijumpai di sepanjang perairan pantai Sulawesi, Maluku Barat, dan Selatan Irian Jaya, Bali, Mentawai, Belitang dan Kepuluan Riau.
2)      Terumbu karang penghalang (barier reef), dijumpai di ujung paparan Sunda, Kalimantan Timur, dan Pulau Togian di Sulawesi Tengah.
3)      Karang cincin (atol), merupakan lingkaran karang berbentuk cincin. Dijumpai di lepas pantai flores.
4)      Karang lepas (patch reef), berkembang di laguna di bagian belakang karang penghalang, dijumpai di Kepulauan Seribu dan sedikit di Ujung Pandang.
Fungsi terumbu karang sebagai pelindung fisik bagi sistem pulaunya terhadap hempasan ombak dan gelombang. Bersama-sama dengan daratan, terumbu karang sanga penting bagi pembentukan pulau. Ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai tempat tinggal, berlindung, mencari makan, dan berkembang baik bagi bota yang hidup di terumbu karang dan perairan sekitarnya.    
  d. Padang Lamun
      Ekosistem padang lamun (sea grass) seringkali dijumpai berasosiasi dengan hutan mangrove dan terumbu karang. Diperkirakan terdapat 12 jenis padang lamun yang tersebar di Selat Malaka, Teluk Jakarta, Kepulauan Seribu, dan Kepulauan Riau. Hamparan yang tebal jenis Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetilivum di Indonesia Timur.  Padang lamun menjadi tempat migrasi fauna laut yang mencari makan, berpijah, dan berlindung. Fungsi lainnya adalah mengatur aliran hara organik dan anorganik yang tercuci dari daratan sehingga kekeruhan menjadi berkurang. Peranan lainnya adalah sebagai habitat dan penyedia sumber makanan bagi udang, ikan, teripang, dan kerang-kerangan. Bagi manusia, padang lamun dimanfaatkan untuk pembuatan tikar, bahan kimia, dan obat-obatan. 
  e. Rumput Laut
      Ekosistem rumput laut terdapat pada zona antara terumbu karang dan hutan mangrove. Potensi terbesar dijumpai di wilayah Indonesia Timur. Rumput laut merupakan sumber agar-agar dan dimanfaatkan untuk makanan ternak dan bahan baku industri.
  f. Estuari (muara)
      Merupakan perairan semi tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut. Dijumpai di sepanjang pantai Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Irian Jaya. paling sedikit ada 6 kelompok tumbuhan yang menunjang produktifitas primer, yaitu: makrofit (rumput laut, mangrove, dan semak belukar), mikroepifit algae, makroepifit algae, mikroalgae, benthic makroalgae, dan fitoplankton. stuari memiliki produktifitas primer netto sekitar 2000 gram berat kering per m2 per tahun, dibandingkan dengan rata-rata daratan sekitar 730 dan lautan 155 gram berat berat kering per m2 per tahun. Produktifitas estuari hampir sama dengan produktifitas hutan hujan tropika basah. Keadaan disebabkan:
-      daerah estuari sebagai daerah tangkapan nutrien
-      adanya faktor fisik yang menghasilkan sirkulasi percampuran air laut dan air tawar sehingga nutrien terangkat ke atas dan dapat digunakan oleh organisme fotosintetik untuk pertumbuhannya.



3) Ekosistem Air Tawar
Sebagai tempat hidup dari organisme perairan memiliki porsi relaif lebih kecil dibandingkan daratan dan lautan, namun dari segi kepentingan manusia sangat besar. Peranan penting bagi manusia antara lain:
-      sebagai sumber dalam produksi ikan dan hewan air lainnya.
-      digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan air minum, MCK, irigasi, PLTA, industri, dan lain-lain.
Kekayaan alam Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas tidak lain adalah anugrah yang di karuniakan Tuhan kepada kita semua, seperti dalam  firmanNya:
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Ra’d 13: 4)
Begitu melimpahnya kekayaan alam Indonesia yang tersebar baik di daratan,  pesisir, dan perairan  seharusnya dijadikan pangkal terketuknya jiwa kita untuk ingat kepada Sang Pencipta. Bangsa Indonesia mendapatkan kekayaan alam flora yang melimpah, seharusnya tidak disia-siakan di dalam memanfaatkannya. mengingat firman Allah SWT:
“Dan tumbuh-tumbuhan serta pohon-pohonan keduanya tunduk kepada-Nya” (QS.  Ar Rahman 55: 6).
Kekayaan flora ini tidak seharusnya malahan menimbulkan bencana, seperti yang kerap terjadi yaitu tanah longsor dan banjir bandang, apabila manusia di dalam memanfaatkannya mengedepankan amanah yaitu memperhatikan hukum-hukum alam sesuai dengan kedudukannya  sebagai khalifah di bumi. Allah SWT berfirman:
“ .... dan bagimu ada tempat kediaman di bumi, kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al Baqarah 2: 36).
Menurut Mangunjaya (2005: 8), kediaman di muka bumi diberikan Allah kepada manusia sebagai suatu karunia yang harus disyukuri. Maka manusia wajib memeliharanya sebagai suatu amanah. Manusia telah diberitahu oleh Allah bahwa mereka akan hidup di bumi dalam batas waktu yang tertentu. Oleh karena itu manusia dilarang keras berbuat kerusakan. Allah SWT berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagia-an) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbua kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al Qashas 28: 77).   
Kerusakan lingkungan pada saat ini semakin bertambah parah. Kelalaian dan dominasi manusia terhadap alam dan pengelolaan lingkungan yang belum baik membuat segala unsur harmoni dan sesuatu yang tumbuh alami berubah menjadi kacau dan sering berakhir dengan bencana. Allah SWT berfirman:
“Tidaklah kamu (manusia) perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin” (QS. Luqman 31:20).
Memang nikmat Tuhan begitu banyak kepada manusia, tetapi terkadang manusia lupa akan nikmat tersebut dan berlaku serakah serta tidak berlaku adil. Firman Allah mengingatkan manusia yang mempunyai sifat tidak berlaku adil terhadap nikmat Allah artinya tidak memperhitungkan makhluk lainnya dan tidak pandai mensyukuri nikmat-Nya. Firman Allah tersebut adalah sebagai berikut:
“Dan ia memberikan kepadamu segala yang kamu minta kepada-Nya, jika kamu hitung nikmat Allah tidak kamu dapat menghitungnya, sesungguhnya manusia tidak adil dan tidak tahu berterimakasih” (QS. Ibrahim 14:34).
     Di samping flora, di dalam Al Qur’an Tuhan menyebutkan berbagai binatang (fauna)  sebagai kelengkapan bumi kita ini. Air juga merupakan asal mula terciptanya jenis hewan seperti tertera di dalam kitab suci Al Qur’an sebagai berikut:
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang di kehendaki-Nya, sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” (QS.  An Nuur 24: 45).
Sebagai contoh di Indonesia, terdapat keanekaragaman fauna. Kekayaan tersebut perlu diketahui secara dini oleh generasi muda, terutama yang sedang mengenyam pedidikan formal di sekolah-sekolah.
Allah SWT berfirman tentang manfaat binatang ternak bagi manusia, sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberi minum kamu dari apa yang berada dalam perutnya, berupa susu yang bersih yang berada di antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya” (QS.   Al Mu’minuun 23: 21).
Allah berfirman tentang lebah sebagai berikut:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap macam buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah memudahkan bagimu dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di alamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan” (QS. An Nahl 16: 68-69).

Apabila generasi muda yaitu siswa-siswa di negeri ini dalam mempelajari kekayaan flora dan fauna sejak dini sudah didasari dengan ajaran agamanya maka akan lebih tertanam dan dihayati keberadaan flora dan fauna tersebut, sehingga timbul rasa syukur atas nikmat Tuhan, dan senantiasa mereka akan memelihara serta melestarikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar