Mempraktekan Al Islam Kemuhammadiyahan dengan kajian pendidikan lingkungan Hidup
1. Pengertian
Lingkungan Hidup
Kelangsungan
hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan
lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh
karena itu, lingkungan hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia
sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi,
tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan
keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup
dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa‑jasa lingkungan
yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan
hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan
lingkungan lainnya.
Berbagai
masalah lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan pemanasan global,
kepunahan jenis flora dan fauna serta melebarnya lubang lapisan ozon,
pencemaran dan kemiskinan, telah menjadi masalah global karena meliputi seluruh
bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang luput dari dampak
yang ditimbulkan oleh berbagai masalah tersebut.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya (Undang-Undang No. 23 tahun 1997, pasal 1,
ayat 1). Lingkungan hidup terdiri dari: lingkungan hidup
alami, buatan atau binaan, dan sosial yang ketiganya saling berkaitan yaitu
merupakan ekosistem, teknosistem, dan sosiosistem (Taqim, et al, 2000: 1).
Lingkungan hidup alami adalah lingkungan yang tatanan ekosistemnya belum
mendapatkan dampak dari kegiatan manusia. Lingkungan hidup tetap dapat disebut
alami selama manusia yang terdapat di dalamnya tidak bersikap dan berperilaku
mendominasi lingkungan hidup atau ekosistem di mana dia berada (Soerjani, 1997: 8). Lingkungan hidup alam atau ekosistem terdiri
atas lingkungan hidup fisik dan lingkungan hidup hayati, manusia sebagai bagian
dari lingkungan hidup hayati (Hardjasoemantri, 1993: 9). Konsep sentral dalam ekologi
ialah ekosistem yaitu terbentuk hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungannya (Soemarwoto,
2003: 23). Pada ekosistem
tidak saja terjadi interaksi, tetapi juga saling ketergantungan baik antar
makhluk hidup (sebagai komponen biotik) yang satu dengan yang lainnya
maupun dengan lingkungannya.
Lingkungan hidup memberikan dukungan terhadap kehidupan dan kesejahteraan
bukan saja terhadap manusia tetapi juga bagi makhluk hidup yang lain, seperti
hewan dan tumbuhan karena itu lingkungan hidup perlu dijaga, diperhatikan
hubungan timbal balik makhluk sesamanya, dan dengan benda-benda mati di sekitarnya.
Pada pengelolaan lingkungan hidup yang baik, tidak hanya manusia yang harus
sejahtera tetapi juga makhluk hidup lainnya, kesejahteraan juga ditujukan
kepada makhluk yang lain. Makhluk hidup yang lain adalah juga umat-umat yang sama
kedudukannya dengan manusia. Sebagaimana firman Allah:
“Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
sayapnya melainkan umat-umat seperti kamu” (Q.S
Al An’am :38 ).
Lingkungan
hidup manusia adalah semua komponen ekosistem di dalamnya terdapat atau ada
keterlibatan kepentingan manusia. Dengan kata lain bahwa manusia tidak terpisah
dari segala zat, unsur, dan keadaan yang ada dalam lingkungan hidupnya sehingga
terdapat hubungan timbal balik yang membentuk suatu ekosistem.
Kenyataannya
ekosistem dalam lingkungan hidup dilihat secara antropo-sentrik, di mana tidak
lagi bersifat netral, melainkan
menggunakan ukuran-ukuran subyektif manusia. Padahal ekosistem dalam lingkungan
hidup dicirikan oleh sifat yang merupakan totalitas dari semua komponennya,
yang ditentukan oleh interaksi, baik yang tercermin dalam susunan maupun fungsi
dari semua komponennya. Jadi pada hakikatnya ekosistem atau lingkungan hidup
itu mengalami dinamika yang teratur. Artinya ada perubahan yang terus-menerus
yang selalu mengikuti keteraturan. Seolah-olah sistem itu mengatur sendiri yang
bersifat homeostatis. Tetapi keadaan stabil ini pun tidak berlangsung terus, karena
perubahan-perubahan baru selalu akan terjadi lagi.
2. Aspek Keseimbangan Lingkungan
Dalam menghadapi masalah kerusakan
lingkungan hidup, tindakan saling menunjuk dan menyalahkan pihak tertentu yang
dianggap harus bertanggung jawab bukanlah suatu sikap yang bijaksana. Hal lain
yang lebih penting dilakukan adalah mengusahakan bersama langkah-langkah
tertentu yang dapat dijadikan jalan keluar dari keruwetan krisis lingkungan
hidup yang sudah, sedang dan mungkin akan terjadi.
Pada hakikatnya
setiap keadaan merupakan transisi dari keadaan berikutnya. Keteraturan itu
berada dalam suatu ambang batas tertentu, baik nilai terendah (minimum maupun
nilai tertinggi/maksimum) sebagai batas toleransi. Karena itu dikenal konsep
kelentingan, yang berarti bahwa suatu sistem yang stabil akan melenting pada
batas-batasnya, sehingga terjadi proses keseimbangan. Proses keseimbangan
tersebut dapat terganggu karena pengaruh yang berasal dari komponen-komponen
dalam sistem itu sendiri maupun dari sistem lain di luarnya. Pengaruh itu dapat
dilihat dari kejadian alami, misalnya gempa bumi, tetapi seringkali juga
berasal dari ulah manusia, khususnya yang menggunakan perangkat teknologi
modern seperti yang terjadi sekarang ini.
Manusia merupakan
mahkluk yang mempenggaruhi lingkungan hidup, maka peranan dan perilaku manusia
dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia (Soerjani,1985: 5). Ekologi
manusia berarti ekologi yang memusatkan pengkajian pada manusia sebagai
individu maupun populasi. Seringkali pemusatan perhatian ini menimbulkan subyektifitas
yang berlebihan tentang peranan dan pengaruh dan dominasi manusia dalam
lingkungan hidup, hal ini mendorong perkembangan ilmu lingkungan yang melihat
kedudukan manusia sebagai immanen (inklusif) yakni secara obyektif
kedudukan manusia adalah sama dengan mahkluk lain di bumi. Segi yang sama dari
kehidupan manusia yaitu komponen yang
tidak lain dari kehidupan manusia
berdimensi faktor psikis seperti watak, gagasan, pikiran dan keinginan
pribadi manusia yang ikut membentuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungan secara keseluruhan.
Keadaaan atau faktor
psikis inilah yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengubah keadaan
lingkungannya. Kota dibangun, sungai dibendung, hewan diternakan, cara-cara
pertanian ditingkatkan dengan memakai bahan kimia yang kesemuannya ini
menimbulkan lingkungan hidup baru buatan manusia. Manusia dengan segala
kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya, seharusnya tidak berbuat sesuka hatiinya
tanpa menghiraukan komponen lainya dari ekosistem.
Namun, dalam sejarah
pandangan manusia dengan alam, dijumpai sekelompok orang yang menganggap bahwa
alam disediakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memenuhi kepuasan manusia tanpa
menghiraukan komponen lain yang ada di alam. Pandangan demikian dalam etika
lingkungan disebut frontier mentality. Frontier mentality adalah
pandangan hidup manusia yang berasal dari ajaran agama Kristen-Yahudi yang
mengatakan bahwa alam dijadikan oleh Tuhan untuk memenuhi dan melayani
kebutuhan manusia, ia dapat menaklukan alam semesta ini. Manusia memandang
bahwa alam ini penuh dengan sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan tanpa batas.
Dengan demikian
manusia secara leluasa dapat menguasai sumber-sumber alam sesuai dengan
kebutuhan hidup material yang diperlukan. Alam adalah sumber material yang
dinilai hanya dri segi ekonomis atau internal cost tanpa memperhitungkan aspek external
cost seperti kebahagiaan seseorang untuk menikmati lingkungan sehat. Pakar
Psikologi Alan Watts memandang sikap sewenang-wenang manusia itu merupakan
sifat biologis yang mendarah daging bagi setiap manusia. Mereka beranggapan I
versus not I, saya adalah saya dan semua yang di luar saya bukan golongan
saya.
Akibat lebih jauh
sifat ini adalah manusia cenderung mementingkan diri dan keluarganya dalam
menggunakan sumber daya alam dan ia akan melakukan sesuai dengan kebutuhan
materialnya saja. Munusia menguasai alam sebagaimana majikan menguasai
budaknya. Manusia memandang dirinya terpisah dari alam. Sifat ini menurut Alan
Watts diistilahkan dengan biological imperialism. Akibat dari sifat ini
lingkungan menjadi rusak dan terancam bahaya akibat ulah manusia yang
menganggap dirinya di atas segala-galanya, superior dan terpisah dari alam.
Semua perbuatan manusia hanya ditujukan pada kebutuhan material. Teknologi dan industri
yang dikembangkan kurang memperhitungkan aspek external cost seperti
kebahagiaan, kesehatan, ketenangan, keindahan, dan lain-lain.
Penebangan hutan, tumbuh-tumbuhan dan
tanaman, berburu dan memusnahkan satwa, pengikisan tanah dari sungai yang
berakibat banjir adalah wujud dari perbuatan manusia yang didasari biological
imperialism (Chiras, 1990 : 458-459). Untuk mengatasi sifat-sifat tersebut,
manusia menmgembangkan sistem nilai yang disebut sustainable ethics yang
merupakan prinsip pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada internal cost, tetapi juga pada external
cost. Selain itu manusia perlu dilihat secara transenden (eksklusif)
mengingat bahwa manusia harus bertanggung jawab lebih besar dari makhluk hidup
lainnya (Soerjani, 1985: 1). Pandangan transenden ini sejalan dengan firman Allah
yang memperingatkan agar manusia berperilaku merusak di muka bumi, sebagai
berikut:
“.....Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi, dan membawa kerusakan” (QS. Al A’raaf 7:74).
Sikap transendental ini merupakan
ajaran agama Islam yang mengharuskan manusia untuk bersikap dan bertanggung
jawab lebih besar dari pada makhluk lainnya. Ini merupakan kode etik lingkungan
yang harus dipatuhi oleh manusia. Lingkungan ini bagi manusia semestinya
dimaknai sebagai titipan dari Tuhan yang secara turun-temurun akan dinikmati
pula oleh generasi berikutnya, sehingga apa yang dinikmati oleh umat sekarang
ini sudah selayaknya harus dijaga agar bisa juga dinikmati oleh umat yang akan
datang, sebagimana firman Allah berikut:
“ .... Kepunyaan Allah adalah apa
yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah yang Maha Kaya dan Maha Terpuji”
(QS. Luqman 31: 25- 26).
Jelas bahwa, umat manusia yang
mendiami bumi dengan segala isinya
adalah hanyalah makhluk penikmat bukan sebagai pemilik. Dengan status
bukan sebagai pemilik maka manusia harus menempatkan diri sebagai pihak yang
mempunyai tanggung jawab untuk mengembalikan keutuhan dan keseimbangan alam ini
kepada Tuhan. Oleh karenanya, sangat naif bila manusia semena-mena
memperlakukan lingkungan hidupnya.
BAB 2
MANUSIA SEBAGAI BAGIAN DARI KEHIDUPAN ALAM
1. Kedudukan Manusia di Alam
Secara
ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada di
sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan
lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai
sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen
lainnya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang
berguna bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk masa kini
maupun masa mendatang.
Manusia adalah makhluk Allah
yang paling sempurna, karena manusia diciptakan Allah dilengkapi dengan
jasmani, rokhani, dan akal, sehingga terbentuk kesatuan yang utuh sebagaimana
firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya” (Q.S. At Tin, 95: 4).
Manusia sebagai makhluk yang
palng sempurna dalam bentuk sebaik-baiknya ditandai oleh badannya lurus ke atas,
parasnya cantik, mengambil segala sesuatu yang dikehendakinya dengan
perantaraan mulut. Dengan diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima
macam-macam ilmu pengetahuan dan
kepandaian, sehinga manusia dapat berdaya cipta (berkreasi) dan sanggup
menguasai seluruh alam dan binatang.
Akan tetapi kadang-kadang
manusia lupa. Mereka seringkali mereka melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan akal sehat dan tidak sesuai dengan fitrahnya. Dikumpulkannya perhiasan
dunia dan apa saja yang sanggup dicapainya untuk memenuhi hawa nafsunya. Ia
lupa bahwa semua yang bermanfaat baginya untuk kebahagiaan hidup di hari
kemudian tidak dihiraukannya lagi. Peringatan Allah dalam firman-Nya:
“(Yaitu) pada hari harta dan anak laki-laki tidak
berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”
(QS. As Syu’araa, 26: 88-89).
Diangkatnya manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini terkandung suatu hikmah yang tinggi dari hikmah
illahi yang tidak diketahui oleh para malaikat. Sebab, andaikata Allah
mengangkat malaikat menjadi khalifah dan penghuni bumi ini niscaya mereka tidak
akan dapat mengetahui rahasia-rahasia alam ini, serta ciri khas yang ada pada
masing-masing makhluk, sebab para malaikat tidak mempunyai kebutuhan sesuatu
apapun, seperti kebutuhan fisik, biologis, harta, benda lainnya. Maka
seandainya malaikat yang menjadi penghuni dan pengusaha di bumi ini, niscaya
tidak akan ada sawah ladang, tak akan ada pabrik-pabrik atau tambang-tambang,
takkan ada gedung-gedung tinggi, takkan ada seni dan musik, dan sebagainya. Dan
juga tidak akan lahir berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi seperti
yang dicapai manusia sekarang ini, yanjg
hampir tak terhitung jumlahnya.
Pengangkatan
manusia menjadi khalifah, berarti pengangkatan Adam AS dan keturunannya menjadi khalifah terhadap mahkluk-mahkluk
lannya di bumi ini. Itulah keistimewaan yang telah dikaruniakan Allah kepada
umat manusiayang tidak diberikan kepada mahkluk yang lainnya. Keistimewaan yang diberikan Allah tersebut selayaknya
harus dimanfaatkan oleh manusia untuk kemaslahatan umat seperti mengembangkan
ilmu pengetahuan guna menyelidiki dan memanfaatkan isi alam di bumi ini.
Allah SWT mengkaruniakan bumi
dan langit bserta seluruh isinya agar manusia dapat hidup sejahtera.
Masalah-masalah kehidupan banyak timbul oleh karena kelengahan dan kebodohan
manusia sendiri. Masalah masalah berkenaan dengan lingkungan maka bagi umat
manusia harus dapat turut memecahkan masalah tadi karna manusa diberi hati,
mata, telinga, akal dan fikiran. Manusia
mahkluk yang mulia. Kita dapat berfikir, dapat menimbang-nimbang mana yang
baik, mana yang buruk. Manusia harus bertanggung jawab. Manusia sebagai khalifah di muka bumi,
memiliki kewajiban mestarikan alam semesta dan lingkungan hidup dengan
sebaik-baiknya. Agar hidup di dunia menjadi makmur sejahtera penuh keberkahan
dan menjadi bekal di hari akhir kelak.
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah
kepada Nya….” (QS. Al A’raaf: 56)
Tuhan Maha Kuasa, Maha Tahu,
Tuhan menciptakan bumi dan langit beserta isinya. Manusia dijadikan makhluk
yang paling mulia. Allah menciptakan makhluk di muka bumi ini bermacam-maca:
ada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan itu
diberi kehidupan. Masing-masing mempunya kebutuhan makanan. Hewan dan
tumbuh-tumbuhan juga membutuhkan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan itu, mereka
saling memerlukan. Manusia memerlukan
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan membutuhkan
hewan dan manusia. Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan, yang
merupakan bagian dari alam ini.
Artinya manusia terikat oleh kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya. Ia
terikat oleh hukum Tuhan yang mengenai ciptaanNya. Karena manusia merupakan
bagian dari ciptaan-Nya, maka manusia di alam/bumi ini tidak dapat berbuat
sekehendak hatinya tetapi terikat oleh hukum Tuhan. Alam ini sepenuhnya milik Tuhan Yang Maha Esa karena Dialah yang
menciptakanNya. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada mereka (manusia), siapakah yang menciptakan langit dan bumi,
tentu mereka akan menjawab Allah. Katakanlah; segala puji bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui....” (QS. Luqman 31: 25- 26).
Salah satu ciptaan Tuhan di alam ini
adalah bumi seisinya termasuk manusia. Bumi ini diciptakan untuk seluruh mahklukNya,
seperti difirmankan Allah SWT di dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai berikut:
“Dialah Yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezeki untukmu, ...” (QS. Al Baqarah 2: 22 ).
Kedudukan manusia di muka bumi sungguh
tinggi di hadapan pencipta-Nya. Tuhan telah mempersiapkan bumi sebagai tempat
tinggal manusia dengan diturunkannya hujan dari langit dan ditumbuhkan
berjenis-jenis tumbuh-tumbuhan. Kehadiran
manusia di muka bumi dalam penciptaannya dinyatakan dalam firman Allah SWT
sebagai berikut:
“...
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...” (QS. Al
Baqarah 2: 30)
Karena
manusia ciptaan Tuhan, maka kekhalifahannya mengharuskan manusia taat
dan patuh terhadap PenciptaNya. Ketundukan dan ketaatan kepada hukum-hukum yang
mengikat kodrat alamiah merupakan suatu ketentuan yang tidak bisa ditolaknya,
karena merupakan bagian dari hukum-hukum Tuhan. Sebagaimana diperintahkan dalam
firman Allah SWT:
“Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertaqwa” (QS. Al Baqarah 2: 21).
Manusia sebagai mahkluk yang
dilebihkan dari pada makhluk ciptaan
Tuhan lainnya, dengan akalnya ia mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu
yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Jadi esensi seorang khalifah
adalah kebebasan dan kreativitas, tetapi karena ia sebagai ciptaan Tuhan
sebagaimana mahkluk lainnya, maka ia adalah abdi (hamba) yang harus taat dan
patuh kepada peraturan-peraturan serta hukum-hukum Tuhan.
Ajaran islam tersebut tercermin dalam
konsep ekologi yang memandang kedudukan manusia di dalam ekosistem adalah immanen
dan transenden. Manusia yang immanen berarti bahwa kedudukannya adalah sama dengan kedudukan mah-kluk lainnya
di bumi ini yang merupakan suatu sistem. Ciri suatu sistem adalah saling pengaruh-mempengaruhi,
saling menambah dan menutupi kekurangan dari antar komponen sistem tersebut,
sehingga terjadilah suatu kesatuan yang harmonis, serasi, dan seimbang.
Kedudukan
manusia yang transenden ialah bahwa manusia bertanggung jawab atas
kestabilan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup serta memanfaat-kannya
tidak bertentangan dengan kehendak Illahi yaitu untuk kemaslahatan kehidupan
manusia dan mahkluk lainnya, sesuai dengan ciri manusia sebagai khalifah.
Selama kekhalifahan dijalankan sebagaimana mestinya, maka selama itu
pula keseimbangan lingkungan hidup akan terjamin. Sebaliknya apabila lingkungan
hidup dirusak atau dicemari oleh perbuatan manusia berarti bukan saja kekhalifahannya
tidak ditegakkan dengan benar, akan tetapi dapat diartikan sebagai suatu kezaliman
manusia atau suatu penghianatan terhadap amanat kekhalifahan. Provokasi yang
dilakukan manusia terhadap daya dukung lingkungan dapat dikendalikan dan sesuai
dengan naluri manusia sebagai mahkluk dengan strategi hidup “k” atau serasi
dengan daya dukung lingkungan (Soerjani, 1960: 3).
Tuhan telah
mempersiapkan untuk kehidupan manusia di bumi ini beragam tumbuhan, baik di
hutan yang sangat kaya dengan sumber daya alam.
Manusia di muka bumi ini telah dipersiapkan oleh Allah SWT tempat untuk
kehidupannya yang berdampingan dengan mahkluk lainnya. Selain manusia di bumi
ini banyak mahkluk lainnya seperti berbagai binatang (fauna) dari yang kecil
semisal semut dan binatang melata lainnya sampai gajah dan sejenisnya. Namun
karena manusia mahkluk yang memiliki akal maka Allah SWT senantiasa
mengingatkan agar manusia jangan lupa diri dan selalu mengunakan akalnya dan ia
akan diminta pertanggungjawaban-nya, karena ia akan kembali kepada-Nya. Ini
ditegaskan dalam firman-Nya sebagai berikut;
“Allah yang menjadikan bagimu bumi
sebagai hamparan dan telah menjadikan di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan
dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis jenis
tumbuh-tumbuhan. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang
berakal. Dari bumi/tanah itulah Kami menjadikan kamu dan kepadaNya Kami akan
mengembalikan kamu pada kali yang lain” (QS. Thaahaa 20: 53-55).
Agar kehidupan ini berkelanjutan telah
diturunkanNya air hujan sebagai sarana kehidupan yang paling vital, dengan air
itu berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan hidup subur sehingga menghasilkan
berbagai buah-buahan dan biji-bijian untuk kelangsungan kehidupan manusia dan
berbagai jenis binatang. Semua ini merupakan bahan perenungan bagi manusia atas
tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Allah SWT berfirman sebagai berikut:
“Dan kami telah menghamparkan bumi
dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran (QS. Al Hijr 15:19).
Tuhan Yang Maha Esa telah menyediakan
bumi dan seisinya untuk kehidupan manusia dan makhluk lainnya, karena itu bumi
yang diamanatkan kepada manusia harus dijaga dan jangan dirusak. Bumi
dilengkapi dengan air sebagai nikmat Tuhan kepada makhluknya. Air merupakan hal
yang vital bagi kehidupan. Murwani (1978:29), dalam bukunya “Pengantar Kimia”, mengemukakan
bahwa “Air merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat penting untuk
setiap makhluk hidup. Kira-kira 75% dari permukaan bumi tertutup oleh air atau
es, dan seluruh planet bumi diliputi
oleh uap air. Juga di dalam tumbuhan dan di dalam segala makhluk hidup terdapat
banyak air”. Dari air inilah kemakmuran umat manusia beserta makhluk lainnya
dapat diwujudkan.
Melindungi dan merawat lingkungan
hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap muslim. Oleh karena
itu, rasanya sangat perlu sekali gagasa-gasan yang telah terungkap di atas
diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya
pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia
khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasa
yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang
diberi label penerus para Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan
sumbangsih riil bagi pembumian konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus
meyakinkan publik bahwa tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi beban
setiap Muslim, bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks
keindonesiaan, pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian
mendesak mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan
lingkungan hidup.
2. Kekayaan Alam adalah Anugrah Tuhan
Di dalam Al Qur’an tersurat
bahwa “kehidupan, bermula dari air, baik kehidupan flora, “kehidupan fauna”, maupun
“kehidupan manusia” seperti firman Allah SWT berikut:
” ..... Maka
kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang
bermacam-macam (QS. Thaahaa 20: 53)
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis
hewan dari air ... (QS. An Nuur 24: 45)
“Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani) (QS. As Sajdah 32: 8).
Di bumi ini Tuhan
juga menciptakan berbagai jenis tanaman atau flora. Beberapa ayat dari kitab Al Qur’an
menyebutkan tentang flora sebagai berikut:
“Kami tumbuhkan untuk kamu
kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan
yang banyak dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan. Dan pohon kayu ke
luar dari Thursina (pohon zaitun) yang menghasilkan minyak, dan pemakan makanan
bagi orang yang makan” (QS. Al Mu’minuun 23: 19-20).
Negara kita
Indonesia yang kaya akan flora yang dapat dilihat dengan luasnya hutan di berbagai
kepulauannya. Misalnya hutan yang terletak di Kalimantan, tercatat lebih dari
tiga ribu jenis pohon, belum termasuk pakis, paku-pakuan, lumut, jamur, dan
anggrek (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1990: 47). Hutan
sebagai salah satu tempat dari bermacam-macam flora, merupakan lingkungan hidup
dari berbagai daur kehidupan, dan menjadi tempat berlangsungnya hidup manusia.
Kekayaan flora Indonesia yang melimpah dapat dilihat dari sebaran tipologi
ekosistem seperti diungkapkan oleh Zulkifli (1997: 57-65) sebagai berikut:
1) Ekosistem
Daratan
Ekosistem daratan lingkungan hidupnya
didominasi oleh daratan. Hutan merupakan salah satu tipe ekosistem darat.
Beberapa tipe ekosistem hutan hujan yang berada pada ketinggian di bawah 1000
meter di atas permukaan laut (dpl):
a. Hutan Hujan Dipterocarpaceae
Hutan didominasi oleh keluarga
Dipterocarpaceae yang mengandung berbagai jenis kayu komersial terutama:
meranti, keruing, merawan, dan kapur. Pohon-pohon ini dapat mencapai tinggi
antara 40-60 meter. Terdapat di Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan
Filipina.
b. Hutan Hujan non Dipterocarpaceae
Terdapat di Sulawesi, Maluku, dan Irian
Timur. Di Pulau Jawa sebagian besar hutan tipe ini sudah lenyap dan hanya
tersisa di beberapa suaka alam, misalnya: Taman Nasional Ujung Kulon.
c. Hutan Kerangas
Berada pada elevasi antara 0-800 meter
dpl. Terutama di Kalimantan dan
Sumatera. Tanah podsolik dari batuan dasar silika yang bertekstur kasar dan
sangat asam dan drainasenya bebas. Kekayaan flora dan faunanya sangat miskin.
Pada musim hujan air menggenang di lantai hutan sehingga berupa rawa sedangkan
musim kemarau lantai hutan sangat kering. Pohon-pohon memiliki tinggi 2,5 cm –
1 meter. Dilihat dari komposisi jenisnya hutan kerangas mirip hutan rawa
gambut. Hutan ini bila mengalami gangguan, misal penebangan habis atau
pembakaran sukar untuk pulih kembali. Hutan kerangas bila dieksploitasi tidak
banyak memberikan keuntungan maka lebih baik dimanfaatkan untuk keperluan lain,
misal: hutan rekreasi, taman nasional atau kawasan konservasi.
d. Hutan
Pegunungan Bawah
Terdapat di dataran tinggi 1000-1025 meter
dpl. Kecuali di Pulau Jawa hutan tipe ini belum banyak dieksploitasi. Tipe
pohon semakin rendah dan diameternya semakin kecil. Di punggung dan lereng
gunung pohonnya lebih menyerupai semak. Di punggung gunung yang berbatuan
kwarsa dan di pohon-pohon sering ditumbuhi lumut yang sangat lebat. Di Sumatera
komposisi jenis hutan ini hampir serupa dengan di Kalimantan. Jenis-jenis dari
Dipterocarpaceae dijumpai meskipun dalam jumlah sedikit.
e. Hutan Pegunungan Atas
Hutan berada pada ketinggian lebih dari
1500-3000 meter dpl. Hutannya lebat dengan pohon yang tingginya sekitar 25
meter. Jumlah jenisnya lebih sedikit. Di Sumatera hutan ini disusun oleh jenis tusam (Pinus mercusii) dan
menunjukkan kurang beranekaragam dibandingkan dengan hutan hujan dataran
rendah.
2)
Ekosistem Pesisir dan Lautan
Ekosistem laut merupakan sumber pangan
khususnya protein hewani. pada kedalaman 2000-5000 meter terdapat kandungan nikel,
perak, kobalt, tembaga dan besi di samping minyak dan gas bumi. Ekosistem
pesisir berada di antara daratan dan lautan maka memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan ekosistem daratan. Tipe-tipe ekosistem wilayah pesisir antara
lain:
a. Hutan mangrove
Merupakan ekosistem penyangga antara lain
daratan dengan daratan dan memegang peranan penting dalam mendukung
produktifitas laut yang berdekatan. Sebaliknya, mangrove sangat bergantung pada
hara yang terbawa aliran sungai. Dari arah lautan ke daratan hutan mangrove
dibagi ke dalam beberapa zona yang berbeda dengan suksesinya, yaitu:
-
Zona
tumbuhan pioner, pohon api-api (Avicennia) dan pedada (Sonneratia)
yang tumbuh pada batas pasang dan tahan terhadap genangan air laut yang terus
menerus.
-
Zona
pohon bakau
-
Zona
pohon tancang (Bruguiera), berada di atas batas pasang naik. marga ini
tahan terhadap kadar garam yang kadang-kadang meningkat pada waktu pasang naik.
Pohon tancang merupakan tanda batas dimulainya pembentukan daratan permanen
tempat di mana daratan cukup kering, hutan hujan dapat tumbuh. Hutan mangrove
yang berkembang baik dengan pohon-pohon yang tinggi dan berdiameter besar
terdapat di sekitar muara sungai besar dan dapat membentang jauh ke pedalaman
di sepanjang sungai tersebut. Mangrove mempunyai fungsi penting bagi biota
perairan yaitu sebagai tempat mencari ikan, berlindung, dan tempat berpijah
bagi berbagai jenis udang, ikan, kepiting, dan kerang-kerangan.
b.
Rawa non Bakau
Nipah dan rawa pasang surut dijumpai di
daerah pesisir yaitu di muara delta sungai di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya,
dan Barat Laut Sulawesi. Jalur nipah berada di belakang hutan mangrove,
kelebatan nipah dapat menahan air dan lumpur yang masuk ke daerah estuaria.
Nipah juga menyediakan makanan dan minuman, bahan makanan dan kayu bakar bagi
sebagian besar penduduk yang tinggal di pedesaan.
c. Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem khas di
daerah tropika dan di dalamnya terkandung keanekaragaman biota laut yang
menarik. Berdasarkan lokasi dan morfologinya terumbu karang di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi:
1)
Terumbu
karang pantai (frigging reef), yang tumbuh pada pantai yang keras dan
berbatu. Tipe ini paling dominan dan dijumpai di sepanjang perairan pantai
Sulawesi, Maluku Barat, dan Selatan Irian Jaya, Bali, Mentawai, Belitang dan
Kepuluan Riau.
2)
Terumbu
karang penghalang (barier reef), dijumpai di ujung paparan Sunda,
Kalimantan Timur, dan Pulau Togian di Sulawesi Tengah.
3)
Karang
cincin (atol), merupakan lingkaran karang berbentuk cincin. Dijumpai di
lepas pantai flores.
4)
Karang
lepas (patch reef), berkembang di laguna di bagian belakang karang
penghalang, dijumpai di Kepulauan Seribu dan sedikit di Ujung Pandang.
Fungsi terumbu karang sebagai
pelindung fisik bagi sistem pulaunya terhadap hempasan ombak dan gelombang.
Bersama-sama dengan daratan, terumbu karang sanga penting bagi pembentukan
pulau. Ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai tempat tinggal,
berlindung, mencari makan, dan berkembang baik bagi bota yang hidup di terumbu
karang dan perairan sekitarnya.
d. Padang Lamun
Ekosistem padang lamun (sea grass)
seringkali dijumpai berasosiasi dengan hutan mangrove dan terumbu karang.
Diperkirakan terdapat 12 jenis padang lamun yang tersebar di Selat Malaka,
Teluk Jakarta, Kepulauan Seribu, dan Kepulauan Riau. Hamparan yang tebal jenis Thalassia
hemprichii dan Syringodium isoetilivum di Indonesia Timur. Padang lamun menjadi tempat migrasi fauna
laut yang mencari makan, berpijah, dan berlindung. Fungsi lainnya adalah
mengatur aliran hara organik dan anorganik yang tercuci dari daratan sehingga
kekeruhan menjadi berkurang. Peranan lainnya adalah sebagai habitat dan
penyedia sumber makanan bagi udang, ikan, teripang, dan kerang-kerangan. Bagi
manusia, padang lamun dimanfaatkan untuk pembuatan tikar, bahan kimia, dan
obat-obatan.
e. Rumput Laut
Ekosistem rumput laut terdapat pada zona
antara terumbu karang dan hutan mangrove. Potensi terbesar dijumpai di wilayah
Indonesia Timur. Rumput laut merupakan sumber agar-agar dan dimanfaatkan untuk
makanan ternak dan bahan baku industri.
f. Estuari (muara)
Merupakan perairan semi tertutup yang
memiliki hubungan bebas dengan laut. Dijumpai di sepanjang pantai Pulau
Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Irian Jaya. paling sedikit ada 6 kelompok
tumbuhan yang menunjang produktifitas primer, yaitu: makrofit (rumput laut,
mangrove, dan semak belukar), mikroepifit algae, makroepifit algae, mikroalgae,
benthic makroalgae, dan fitoplankton. stuari memiliki produktifitas primer
netto sekitar 2000 gram berat kering per m2 per tahun, dibandingkan
dengan rata-rata daratan sekitar 730 dan lautan 155 gram berat berat kering per
m2 per tahun. Produktifitas estuari hampir sama dengan produktifitas
hutan hujan tropika basah. Keadaan disebabkan:
-
daerah
estuari sebagai daerah tangkapan nutrien
-
adanya
faktor fisik yang menghasilkan sirkulasi percampuran air laut dan air tawar
sehingga nutrien terangkat ke atas dan dapat digunakan oleh organisme
fotosintetik untuk pertumbuhannya.
3) Ekosistem Air Tawar
Sebagai tempat hidup dari
organisme perairan memiliki porsi relaif lebih kecil dibandingkan daratan dan
lautan, namun dari segi kepentingan manusia sangat besar. Peranan penting bagi
manusia antara lain:
-
sebagai
sumber dalam produksi ikan dan hewan air lainnya.
-
digunakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia akan air minum, MCK, irigasi, PLTA, industri,
dan lain-lain.
Kekayaan alam Indonesia
sebagaimana dipaparkan di atas tidak lain adalah anugrah yang di karuniakan
Tuhan kepada kita semua, seperti dalam
firmanNya:
“Dan di bumi ini terdapat
bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman, dan
pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang
sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang
rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran
Allah bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Ra’d 13: 4)
Begitu melimpahnya kekayaan
alam Indonesia yang tersebar baik di daratan,
pesisir, dan perairan seharusnya
dijadikan pangkal terketuknya jiwa kita untuk ingat kepada Sang Pencipta.
Bangsa Indonesia mendapatkan kekayaan alam flora yang melimpah, seharusnya
tidak disia-siakan di dalam memanfaatkannya. mengingat firman Allah SWT:
“Dan
tumbuh-tumbuhan serta pohon-pohonan keduanya tunduk kepada-Nya” (QS. Ar Rahman 55: 6).
Kekayaan flora ini tidak
seharusnya malahan menimbulkan bencana, seperti yang kerap terjadi yaitu tanah
longsor dan banjir bandang, apabila manusia di dalam memanfaatkannya
mengedepankan amanah yaitu memperhatikan hukum-hukum alam sesuai dengan
kedudukannya sebagai khalifah di bumi.
Allah SWT berfirman:
“ .... dan bagimu ada tempat
kediaman di bumi, kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al
Baqarah 2: 36).
Menurut Mangunjaya (2005: 8),
kediaman di muka bumi diberikan Allah kepada manusia sebagai suatu karunia yang
harus disyukuri. Maka manusia wajib memeliharanya sebagai suatu amanah. Manusia
telah diberitahu oleh Allah bahwa mereka akan hidup di bumi dalam batas waktu
yang tertentu. Oleh karena itu manusia dilarang keras berbuat kerusakan. Allah
SWT berfirman:
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagia-an) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbua kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan” (QS. Al Qashas 28: 77).
Kerusakan lingkungan pada saat
ini semakin bertambah parah. Kelalaian dan dominasi manusia terhadap alam dan
pengelolaan lingkungan yang belum baik membuat segala unsur harmoni dan sesuatu
yang tumbuh alami berubah menjadi kacau dan sering berakhir dengan bencana.
Allah SWT berfirman:
“Tidaklah kamu (manusia) perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan
apa yang ada di bumi dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin”
(QS. Luqman 31:20).
Memang nikmat Tuhan begitu banyak
kepada manusia, tetapi terkadang manusia lupa akan nikmat tersebut dan berlaku
serakah serta tidak berlaku adil. Firman Allah mengingatkan manusia yang
mempunyai sifat tidak berlaku adil terhadap nikmat Allah artinya tidak
memperhitungkan makhluk lainnya dan tidak pandai mensyukuri nikmat-Nya. Firman
Allah tersebut adalah sebagai berikut:
“Dan ia memberikan kepadamu segala
yang kamu minta kepada-Nya, jika kamu hitung nikmat Allah tidak kamu dapat
menghitungnya, sesungguhnya manusia tidak adil dan tidak tahu berterimakasih”
(QS. Ibrahim 14:34).
Di samping flora, di dalam Al Qur’an Tuhan menyebutkan berbagai binatang (fauna)
sebagai kelengkapan bumi kita ini. Air
juga merupakan asal mula terciptanya jenis hewan seperti tertera di dalam kitab
suci Al Qur’an sebagai berikut:
“Dan Allah telah menciptakan semua
jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang di kehendaki-Nya, sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” (QS. An Nuur 24: 45).
Sebagai contoh di Indonesia, terdapat
keanekaragaman fauna. Kekayaan tersebut perlu diketahui secara dini oleh generasi
muda, terutama yang sedang mengenyam pedidikan formal di sekolah-sekolah.
Allah SWT berfirman tentang manfaat
binatang ternak bagi manusia, sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya
pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberi
minum kamu dari apa yang berada dalam perutnya, berupa susu yang bersih yang
berada di antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang
meminumnya” (QS. Al Mu’minuun 23: 21).
Allah berfirman tentang lebah sebagai berikut:
“Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit yang dibuat
manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap macam buah-buahan dan tempuhlah jalan
Tuhanmu yang telah memudahkan bagimu dari perut lebah itu keluar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, di alamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan” (QS. An Nahl 16: 68-69).
Apabila generasi muda yaitu siswa-siswa
di negeri ini dalam mempelajari kekayaan flora dan fauna sejak dini sudah didasari
dengan ajaran agamanya maka akan lebih tertanam dan dihayati keberadaan flora
dan fauna tersebut, sehingga timbul rasa syukur atas nikmat Tuhan, dan
senantiasa mereka akan memelihara serta melestarikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar