Pendidikan
Integrasi dan Inklusi
oleh: Dirgantara Wicaksono
I.
Pendahuluan
Pendidikan yang berkualitas untuk
semua anak merupakan tantangan yang paling berat dan sekaligus merupakan isu
sangat penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini masyarakat dunia
menyelenggarakan Konferensi Internasional di Jomtien Thailand tahun 1990 yang
mempersoalkan pendidikan dasar bagi semua anak. Puncak dari konferensi ini
adalah lahirnya deklarasi tentang Pendidikan untuk semua (Education For
All). Konferensi ini menyimpulkan antara lain:
1. Kesempatan untuk memperoleh
pendidikan masih terbatas atau masih banyak orang yang belum mendapat akses
pendidikan.
2.
Kelompok tertentu yang terpinggirkan seperti penyandang cacat (disabled), etnis
minoritas, suku terasing dan sebagainya masih terdiskriminasikan dari
pendidikan bersama. Meskipun demikian inplementasi hasil dari konferensi ini
belum memuaskan, khususnya yang terkait dengan para penyandang cacat. Para
praktisi pendidikan luar biasa menyelenggarakan konferensi pendidikan luar
biasa (Special Needs Education) di Salamanca, Spanyol tahun 1994 yang
menghasilkan Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement). Dalam
pernyataan Salamanca inilah pendidikan inklusif (Inclusive Education) mulai
diperkenalkan secara meluas ke berbagai negara.
Saat ini banyak negara
Eropa dan Amerika
telah berupaya
menerapkan sistem pendidikan
yang menuju inklusi, untuk mencapai pendidikan yang inklusi masing-masing negara memiliki
strategi dan cara yang berbeda sesuai dengan karakter negara dan bangsanya,
suatu cara yang berhasil di suatu
negara belum tentu
sesuai dengan negara lain, yang utama adalah persamaan pemahaman.
Di Indonesia berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa
negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak
berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak
lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan
melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten,
padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah
(kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari
mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena
merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan
warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada
penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta
didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif
atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan
bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih
operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pendidikan inklusif, mendidik
anak berkebutuhan khusus bersama– sama anak lainnya (reguler) untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di
dalam masyarakat terdapat anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak
dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan
khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu
SD terdekat tersebut perlu disiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusif
diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap
Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
II.
Sejarah
Perkembangan Pendidikan Integrasi dan Inklusi
Sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada
tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar
Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least
restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika
Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya
konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi
dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan
tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi
semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak
berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan
kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif,
Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif.
Untuk memperjuangkan
hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium
internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang
isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan
inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan
sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia
sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini
merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah
diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang,
dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan
dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
III.
Konsep
Pendidikan Integrasi dan Inklusi
A.
Segregasi
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak
berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah
ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi,
dan guru khusus. “Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan dimana anak
berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan khusus di sekolah khusus dengan guru
dan kurikulum yang khusus pula” (Salim, A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah,
2003:17). Secara operasional, sistem pendidikan segregatif-eksklusif dilakukan
dengan cara mengelompokkan dan memilahkan antara siswa normal dengan siswa
berkebutuhan khusus. Demikian juga dengan peserta didik dengan tingkat jenjang
pendidikan, seperti tingkat persiapan (TKLB), dasar (SDLB), lanjutan pertama
(SLTPLB), dan lanjutan atas (SMLB). Dari segi pengelolaan, model segregasi
memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian,
dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Masih dalam Salim,
A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah (2003:17), disebutkan oleh Reynolds dan
Birch, antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan
mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan
kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak
logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan
masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Salim, A.
C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah, memberikan pendapat tentang sistem segregasi
yang mempunyai beberapa kelemahan, yaitu : adanya biaya yang lebih mahal dari
pendiriannya mengingat kekhususannya yang berbeda dari sekolah reguler, umumnya
tempat sekolah di kota sehingga penyandang cacat yang di desa kurang terjangkau
oleh sistem pendidikan ini, jumlah guru yang dibutuhkan dengan biaya
operasional serta sarana prasarana
B.
Integrasi
Pendidikan integrasi merupakan model lain bagi ABK, dimana pendidikan
penyandang cacat diintegrasikan bersama anak normal disekolah regular (Salim,
A. C.H, Munawir Yusuf dan Munzayanah: 2003:10). Setting pendidikannya secara khusus dapat dipilih dari dua model
ialah (a) model kelas regular dan (b) model kelas khusus.
Program
regular yang teridiri dari: Special materials and equipment; Special
materials, equipment and consultation; Tutoring; Itinerant services; Resource
room with special education teacher; Diagnostic prespective teaching center.
Special class tediri dari: Part time special class, Full time
special class. Pelaksanaan pembelajaran bagi peserta didik berkelainan di
Sekolah Dasar dapat dipilih dari bentuk-bentuk pembelajaran di sekolah reguler
dan disekolah dasar khusus. Pedoman umum yang dapat dijadikan pertimbangan,
khususnya berkaitan dengan gradasi kesulitan belajar peserta didik adalah
apabila gradasinya masih termasuk ringan dan sedang, maka peserta didik yang
bersangkutan diikutkan dalam salah satu tipe dari model layanan regular. Sistem
pendidikan ini dimulai dengan terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 002/U/1986. Jenis pendidikan yang diintegrasikan dalam sistem pendidikan
ini adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita ringan dan tuna daksa.
Jumlah sekolah pelaksana pendidikan rintisan ini pada tahun 2001 yang lalu
adalah 163 untuk tingkat SD/MI dengan jumlah murid 875 anak, 15 untuk tingkat
SLTP/MTs dengan jumlah murid 40 anak, dan 28 untuk tingkat SMU/SMA dengan
jumlah murid 59 anak.
C.
Inklusi
Model
yang muncul pada pertengahan abad 20 adalah model mainstreaming. Belajar
dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming
memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan.
Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh)
sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu,
model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least
restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan
jenis atau tingkat kelainannya. Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang
berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif lebih sesuai adalah model yang
mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat
Vaughn, Bos & Schumn dalam Sunardi (2003:2). Salah satu usaha awal dalam
menawarkan suatu model mainstreaming menekankan tiga unsur yang harus
mempunyai ciri-ciri itu, yaitu : suatu rangkaian jenis-jenis layanan pendidikan
bagi siswa-siwa yang memiliki hambatan, pengurangan jumlah anak-anak yang
‘ditarik keluar’ dari kelas-kelas reguler, dan penambahan ketetapan-ketetapan
bagi layanan pendidikan di dalam kelas-kelas reguler ketimbang di luar
kelas-kelas tersebut. Secara hirarkis, Deno dalam Sunardi (2003:4), telah
mengemukakan alternatif sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh). Anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler
dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster.
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out. Anak
berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster
dan pull out. Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5.
Kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian. Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah
reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler.
6.
Kelas khusus penuh. Anak berkelainan
belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan
semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata
pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan
dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang
cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat,
mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler
(inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan
tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke
sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Pendidikan
inklusif merupakan Filosofi pendidikan
dan sosial, bukan istilah kebijakan atau legislasi dalam pendidikan, yang
memungkinkan semua peserta didik memperoleh pendidikan yang terbaik. Pendidikan
inklusif merujuk pada kebutuhan belajar semua peserta didik, dengan suatu focus
spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Pendidikan
inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi
fisik, intelektual, social, emosi, bahasa, atau kondisi lainnya dengan dasar
layanan yang kooperatif, toleransi, penerimaan, dan fleksibilitas. Pendidikan
kita yang sekarang ini lebih mengandalkan kompetisi sesama anak dengan sebuah
lingkungan yang dibatasi (List
Restrictive Environment) akan tetapi sebuah kondisi yang
berkompetisi dengan dirinya sendiri dengan lingkungan yang menumbuhkan anak
untuk lebih berkembang (More
Enabling Environment).
Dengan
demikian pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasikan semua anak
tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, social, emosional, linguistik atau
kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak
jalanan dan pekerja, anak-anak yang berasal dari populasi terpencil atau yang
berpindah-pindah, anak-anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau
budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau
termarjinalisasi (Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus). Menurut Stainback dan Stainback (1990) sekolah yang inklusif
adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang
inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari
kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun
anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.
Menurut Juang
Sunanto (2003) pendidikan inklusif bukan semata-mata memasukkan anak luar biasa
ke sekolah umum, namun justru berorientasi bagaimana layanan pendidikan ini
diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan setiap anak dengan keunikan dan
keragaman yang secara alamiah telah mereka miliki. Pendidikan inklusif dapat
diartikan bagaimana layanan pendidikan ini sangat berarti dalam pengembangan
potensi dan kompetensi semua anak yang berbeda-beda sehingga mereka dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan irama perkembangannya. Dengan setting pembelajarannya di ciptakan
ramah dan menyenangkan.
Menurut Staub
dan Peck (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mengemukakan bahwa pendidikan
inklusif adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas biasa. Dengan demikian, jika dipakai pengertian tersebut
di atas bahwa yang dikatakan pendidikan inklusif adalah semua anak berkebutuhan
khusus harus belajar di kelas yang sama dengan teman sebayanya.
Inti
pendidikan inklusif adalah hak azasi manusia atas pendidikan, diumumkan pada
Deklarasi Hak Azasi Manusia tahun 1949. yang sama pentingnya adalah hak anak
agar tidak didiskriminasikan, dimuat dalam Artikel 2 Konvensi Hak Anak (PBB,
1989). Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai
hak untuk menerima etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan
lain-lain. Sedangkan terdapat juga alasan penting kemanusiaan, ekonomi, social
dan alasan politis untuk memperjuangkan suatu kebijakan dan pendekatan
pendidikan inklusif, ini juga merupakan suatu alat mengetengahkan perkembangan
pribadi dan membangun hubungan antar individu, kelompok dan bangsa. Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi menegaskan bahwa:
"Sekolah
reguler dengan orientasi inklusif adalah media yang paling efektif untuk
memerangi diskriminasi, menciptakan komunitas yang ramah, membangun suatu
masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua (Pernyataan
Salamanca, Artikel 2).
Dalam
pendidikan inklusif dikenal istilah dan konsep children
with special needs (anak dengan kebutuhan khusus) atau children with special educational needs
(anak dengan kebutuhan pendidikan yang khusus) istilah ini tidak bermaksud
menggantikan istilah "anak cacat" atau "anak luar biasa"
tetapi memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap peserta didik
atau anak yang memiliki kebutuhan yang sangat beragam. Yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus di sini adalah setiap kebutuhan yang ada kaitannya dengan
pendidikan. Setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan khusus baik yang permanen
maupun yang temporer. Kebutuhan yang permanen adalah kebutuhan yang
terus-menerus ada dan tidak akan hilang, misalnya pada anak yang memiliki
kelainan penglihatan ia harus selalu membaca huruf Braille (tulisan khusus bagi
tunanetra). Sedangkan kebutuhan yang bersifat temporer adalah kebutuhan yang
bersifat sementara, misalnya anak yang tidak dapat berkonsentrasi karena ia
sedang sedih, setelah penyebabnya hilang maka ia dapat berkonsentrasi lagi.
Ditinjau dari
penyebab munculnya kebutuhan khusus tersebut dapat berasal dari diri sendiri
maupun dari luar diri (lingkungan). Salah satu contoh penyebab munculnya
kebutuhan khusus dari diri sendiri adalah kecacatan (disability). Sedangkan kebutuhan khusus yang berasal dari
lingkungan misalnya anak mengalami kesulitan belajar karena tidak dapat
berkonsentrasi dengan baik dan penyebabnya mungkin suasana tempat belajar yang
tidak nyaman. Di samping itu, kebutuhan khusus juga dapat dibedakan menjadi: kebutuhan
khusus umum, kebutuhan khusus individu, kebutuhan khusus kecacatan.
Kebutuhan
khusus umum adalah kebutuhan khusus yang secara umum dapat terjadi pada
siapapun misalnya karena sakit tidak bisa belajar dengan baik. Sedangkan
kebutuhan khusus individu adalah kebutuhan yang sangat khas yang dimiliki oleh
seorang anak, misalnya seseorang tidak bisa belajar sambil mendengarkan musik.
Kebutuhan khusus kecacatan adalah kebutuhan khusus yang ada akibat kecacatan,
misalnya kebutuhan berbicara dengan bahasa isyarat dan artikulasi bagi anak
tunarungu, kebutuhan pengajaran menolong diri sendiri pada anak tunagrahita.
Jenis dan Karakteristik Anak
Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang paling
banyak mendapat perhatian guru antara lain :
a.Tunagrahita (Mental retardation)
Ada beberapa definisi dari
tunagrahita, antara lain:
(1)American Association on Mental
Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, (p. 20) mendefinisikan retardasi
mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di
bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual;
yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan dalam perilaku
adaptif.
(2)Japan League for Mentally
Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22), mendefinisikan retardasi
mental/tunagrahita ialah fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah
berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan dalam perilaku adaptif; dan
terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18
tahun.
(3)The New Zealand Society for the
Intellectually Handicapped menyatakan tentang tunagrahita adalah bahwa
seseorang dikatakan tunagrahita apabila kecerdasannya jelas-jelas di bawah
rata-rata dan berlangsung pada masa perkembangan serta terhambat dalam adaptasi
tingkah laku terhadap lingkungan sosialnya.
(4)Definisi tunagrahita yang
dipublikasikan oleh American Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal
tahun 60-an, tunagrahita merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan
keterbatasan pada keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area :
komunikasi, merawat diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat,
mengontrol diri, functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi
ini, ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun.
(5)Menurut WHO seorang tunagrahita
memiliki dua hal yang esensial yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah
rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan
tututan yang berlaku dalam masyarakat.[5]
Adapun cara mengidentifikasi seorang
anak termasuk tunagrahita yaitu melalui beberapa indikasi sebagai berikut:
1. Penampilan fisik tidak seimbang,
misalnya kepala terlalu kecil/besar.
2. Tidak dapat mengurus diri sendiri
sesuai usia,
3. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
4. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya
terhadap lingkungan (pandangan kosong),
5. Koordinasi gerakan kurang (gerakan
sering tidak terkendali),
6. Sering keluar ludah (cairan) dari
mulut (ngiler).
b. Tunalaras (Emotional or
behavioral disorder)
Tunalaras
adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol
sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat
disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari
lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak
dengan hambatan emosional atau kaelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya
satu atau lebih dari lima komponen berikut:
1. Tidak mampu belajar bukan disebabkan
karena factor intelektual, sensori atau kesehatan.
2. Tidak mampu untuk melakukan hubungan
baik dengan teman-teman dan guru-guru.
3. Bertingkah laku atau berperasaan
tidak pada tempatnya.
4. Secara umum mereka selalu dalam
keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.
5. Bertendensi kea rah symptoms fisik:
merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di
sekolah.
Anak yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi berikut:
1. Bersikap membangkang,
2. Mudah terangsang emosinya,
3. Sering melakukan tindakan aggresif,
4. Sering bertindak melanggar norma
social/norma susila/hukum.
c. Tunarungu Wicara (Communication
disorder and deafness)
Tunarungu
adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun
tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran
adalah:
1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2. Gangguan pendengaran
ringan(41-55dB),
3. Gangguan pendengaran
sedang(56-70dB),
4. Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di
atas 91dB).
Karena
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan
individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara
internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara.
saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi yaitu cara
berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh.
Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang
abstrak.
Berikut identifikasi anak yang
mengalami gangguan pendengaran:
1. Tidak mampu mendengar,
2. Terlambat perkembangan bahasa
3. Sering menggunakan isyarat dalam
berkomunikasi,
4. Kurang/tidak tanggap bila diajak
bicara,
5. Ucapan kata tidak jelas,
6. Kualitas suara aneh/monoton,
7. Sering memiringkan kepala dalam
usaha mendengar,
8. Banyak perhatian terhadap getaran,
9. Keluar nanah dari kedua telinga,
10. Terdapat kelainan organis telinga.
d. Tunanetra (Partially seing and
legally blind)
Tunanetra
adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat
diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu buta total (Blind) dan low vision.
Definisi Tunanetra menurut Kaufman dan Haulan adalah individu yang memiliki
lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi
atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan
dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra
yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip
yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra
adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya
adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata.
sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar
mengenai orientasi dan mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya
mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana
menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari
alumunium).
Berikut identifikasi anak yang
mengalami gangguan penglihatan:
1. Tidak mampu melihat,
2. Tidak mampu mengenali orang pada
jarak 6 meter
3. Kerusakan nyata pada kedua bola
mata,
4. Sering meraba-raba/tersandung waktu
berjalan,
5. Mengalami kesulitan mengambil benda
kecil di dekatnya,
6. Bagian bola mata yang hitam berwarna
keruh/besisik/kering,
7. Mata bergoyang terus.
Nilai
standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6 gejala di atas, maka
anak termasuk tunanetra.
e. Tunadaksa (physical disability)
Tunadaksa
adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan
neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan, termasuk celebral palsi, amputasi, polio dan lumpuh. Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang
yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik,
berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu
mengontrol gerakan fisik.
Berikut
identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak tubuh:
1. Anggota gerak tubuh
kaku/lemah/lumpuh,
2. Kesulitan dalam gerakan (tidak
sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
3. Terdapat bagian anggota gerak yang
tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
4. Terdapat cacat pada alat gerak,
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat
menggenggam,
6. Kesulitan pada saat
berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal,
7. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai
standarnya 5.
f. Tunaganda (Multiple handicapped)
Menurut
Johnston & Magrab, tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan
perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan
neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam
kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di
masyarakat.
Walker (1975) berpendapat mengenai
tunaganda sebagai berikut:
1. Seseorang dengan dua hambatan yang
masing-masing memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus.
2. Seseorang dengan hambatan-hambatan
ganda yang memerlukan layanan teknologi.
3. Seseorang dengan hambatan-hambatan
yang memerlukan modifikasi khusus.
g. Kesulitan Belajar (Learning
disabilities)
Anak
dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau
lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa,
berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca,
berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minaml otak, disleksia,
dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau
diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan
koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan
perkembangan konsep.
Berikut
adalah karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca,
menulis dan berhitung:
Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
1. Perkembangan kemampuan membaca
terlambat,
2. Kemampuan memahami isi bacaan
rendah,
3. Kalau membaca sering banyak
kesalahan
Anak yang mengalami kesulitan
menulis (disgrafia)
1. Kalau menyalin tulisan sering
terlambat selesai,
2. Sering salah menulis huruf b dengan
p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
3. Hasil tulisannya jelek dan tidak
terbaca,
4. Tulisannya banyak
salah/terbalik/huruf hilang,
5. Sulit menulis dengan lurus pada
kertas tak bergaris.
Anak yang mengalami kesulitan
berhitung (diskalkula)
1. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -,
x, :, >, <, =
2. Sulit mengoperasikan
hitungan/bilangan,
3. Sering salah membilang dengan urut,
4. Sering salah membedakan angka 9
dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
5. Sulit membedakan bangun-bangun
geometri.
h.
Anak Berbakat (Giftedness and special talents)
Menurut
Milgram, R.M (1991:10), anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140
atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet (Terman, 1925), mempunyai
kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan kemampuan dalam
seni drama, seni tari dan seni rupa (Marlan, 1972).
Anak
berbakat mempunyai empat kategori, sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan intelektual atau
intelegensi yang menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan
mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal.
2. Kemampuan intelektual khusus,
mengacu pada kemampuan yang berbeda dalam matematika, bahasa asing, music, atau
ilmu pengetahuan alam.
3. Berpikir kreatif atau berpikir murni
menyeluruh. Pada umumnya mampu berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak
umum dan memerlukan pemikiran tinggi.
4. Mempunyai bakat kreatif khusus,
bersifat orisinil dan berbeda dengan yang lain.
Dari
keempat kategori di atas, maka anak berbakat adalah mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan
yang unggul dalam segi intelektual, teknik, estetika, social, fisik (Freemen,
J. 1975:120), akademik, psikomotor dan psikososial (Sisk,1987 dalam Amin, M.
1996:3).
Berikut
identifikasi anak berbakat atau anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan
yang luar biasa:
1. Membaca pada usia lebih muda,
2. Membaca lebih cepat dan lebih
banyak,
3. Memiliki perbendaharaan kata yang
luas,
4. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
5. Mempunyai minat yang luas, juga
terhadap masalah orang dewasa,
6. Mempunyai inisiatif dan dapat
berkeja sendiri,
7. Menunjukkan keaslian (orisinalitas)
dalam ungkapan verbal,
8. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
9. Dapat memberikan banyak gagasan,
10. Luwes dalam berpikir,
11. Terbuka terhadap
rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
12. Mempunyai pengamatan yang tajam,
13. Dapat berkonsentrasi untuk jangka
waktu panjang, terutama terhadap
14. tugas atau bidang yang diminati,
15. Berpikir kritis, juga terhadap diri
sendiri,
16. Senang mencoba hal-hal baru,
17. Mempunyai daya abstraksi,
konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
18. Senang terhadap kegiatan intelektual
dan pemecahan masalah,
19. Cepat menangkap hubungan
sebabakibat,
20. Berperilaku terarah pada tujuan,
21. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
22. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
23. Mempunyai daya ingat yang kuat,
24. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
25. Peka (sensitif) serta menggunakan
firasat (intuisi),
26. Menginginkan kebebasan dalam gerakan
dan tindakan.
i. Anak Autistik
Autism
Syndrome
merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan
berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala autism
menurut Delay & Deinaker (1952) dan Marholin & Philips (1976) antara
lain:
1. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk
menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang
ke bawah.
2. Selalu diam sepanjang waktu.
3. Jika ada pertanyaan terhadapnya,
jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh
akan menceritakan dirinya dengan beberapa kata kemudian diam menyendiri lagi.
4. Tidak pernah bertanya, tidak
menunjukkan rasa takut dan tidak menyenangi sekelilingnya.
5. Tidak tampak ceria.
6. Tidak peduli terhadap lingkungannya,
kecuali terhadap benda yang disukainya.
Secara
umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi saraf dan
intelektual, Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan
ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
j. Hyperactive (Attention Deficit
Disorder with Hyperactive)
Hyperactive
bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw &
Perret, 1986: 261).symptoms terjadi disebabkan oleh factor-faktor brain
damage, an emotional disturbance, a hearing deficit or mental retardaction.
Dewasa ini banyak kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention
deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4)
Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak
berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara)
dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi:
anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah,
anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah
perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban
HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention
Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar,
Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK tersebut dalam
setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
Strategi
pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari
semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan,
materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi
sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal
yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi
pembelajaran , antara lain:
1. Berdasarkan pengolahan pesan
terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf.
2. Berdasarkan pihak pengolah pesan
yaitu strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic.
3. Berdasarkan pengaturan guru yaitu
strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu.
4. Berdasarkan jumlah siswa yaitu
strategi klasikal, kelompok kecil dan individual.
5. Beradsarkan interaksi guru dan siswa
yaitu strategi tatap muka, dan melalui media.
Selain strategi yang telah
disebutkan di atas, ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi
individualisasi, kooperatif dan modifikasi perilaku.
Strategi pembelajaran bagi anak berbakat
Strategi
pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat akan mendorong anak
tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan
strategi pembelajaran adalah :
1. Pembelajaran harus diwarnai dengan
kecepatan dan tingkat kompleksitas.
2. Tidak hanya mengembangkan kecerdasan
intelektual semata tetapi juga mengembangkan kecerdasan emosional.
3. Berorientasi pada modifikasi proses,
content dan produk.
Model-model
layanan yang biasa diberikan pada anak berbakat yaitu model layanan
perkembangan
kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strategi
pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda
dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi
yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain;
1. Strategi pembelajaran yang
diindividualisasikan
2. Strategi kooperatif
3. Strategi modifikasi tingkah laku
Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi
yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat
pendidikan, sebagai berikut:
1. Pendidikan integrasi (terpadu)
2. Pendidikan segresi (terpisah)
3. Penataan lingkungan belajar
Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras
Untuk
memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan
model-model pendekatan sebagai berikut;
1. Model biogenetic
2. Model behavioral/tingkah laku
3. Model psikodinamika
4. Model ekologis
Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar
1.
Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery
dan remedial teaching
2.
Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial
sesuai dengan tingkat kesalahan.
3.
Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program
remidi yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret
dan tingkat abstrak.
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu
Strategi
yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi deduktif,
induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif
dan modifikasi perilaku
Alasan Perlunya Inklusif
Menurut pusat
studi pendidikan inklusif di Inggris (Juang Sunanto, 2003) ada sepuluh alasan
yang mendasari pendidikan inklusif, Yaitu:
1.
Semua anak mempunyai hak untuk belajar bersama
2. Anak-anak
tidak perlu diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain
karena kecacatannya
3. Para
penyandang cacat yang telah lulus dari pendidikan segregrasi menuntut segera
diakhirinya system segregrasi
4. Tidak
ada alasan yang sah untuk memisahkan pendidikan bagi anak cacat, karena setiap
orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing
5. Banyak
hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi akademik dan sosial anak cacat yang
sekolah di sekolah integrasi lebih baik dari pada di sekolah umum
6. Tidak
ada pengajaran di sekolah segregasi yang tidak dapat dilaksanakan di sekolah umum
7. Dengan
komitmen dan dukungan yang baik pendidikan inklusif lebih efisien dalam
penggunaan sumber belajar
8. Sistem
segregasi dapat membuat anak menjadi banyak prasangka dan rasa cemas (tidak
nyaman)
9. Semua
anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam
masyarakat yang normal
10. Hanya
sistem inklusiflah yang berpotensi untuk mengurangi rasa kehawatiran, membangun
rasa persahabatan, saling menghargai dan memahami.
Di dalam
pernyataan Salamanca disebutkan bahwa, setiap individu memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat
dimana ia berada tanpa memperhatikan berbagai kesulitan dan perbedaan-perbedaan
yang mereka miliki. Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa sekolah dengan
orientasi inklusif adalah sebuah langkah yang efektif untuk menghilangkan
terjadinya sikap-sikap yang diskriminatif, menciptakan masyarakat terbuka,
membangun masyarakat yang inklusif dan mampu mencapai pendidikan untuk semua,
bahkan akan mampu memberikan pendidikan bagi mayoritas anak serta mampu
meningkatkan efisiensi dan meningkatkan efektifitas pemanfaatan dana di dalam
sebuah sistem pendidikan.
Pelaksanaan
pendidikan inklusif akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap lebih positif
dari peserta didik terhadap adanya perbedaan melalui pendidikan yang dilakukan
secara bersama-sama dan pada akhirnya akan mampu membentuk sebuah kelompok
masyarakat yang tidak diskriminatif dan akomodatif kepada semua orang.
Beberapa
manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan pendidikan inklusif, antara lain:
a.
Bagi siswa
·
Sejak dini siswa
memiliki pemahaman yang baik terhadap adanya perbedaan dan keberagaman
·
Munculnya sikap empati
pada siswa terdorong secara alamiah
·
Munculnya budaya saling
menghargai dan menghormati pada siswa
·
Menurunkan terjadinya
stigma dan labeling kepada semua anak dan khususnya pada anak tertentu
·
Timbulnya budaya
kooperatif dan kolaboratif pada siswa sehingga memungkinkan adanya saling bantu
satu sama lain
b. Bagi
Guru
·
Lebih tertantang untuk
mengembangkan berbagai metode dalam mensiasati pembelajaran
·
Bertambahnya kemampuan
dan pengetahuan guru tentang keberagaman siswa termasuk keunikan,
karakteristik, dan sekaligus kebutuhannya
·
Terjalinnya komunikasi
dan kolaborasi kemitraan antar guru (Guru reguler dan Guru khusus) dan dengan
ahli lainnya
·
Bertambahnya pemahaman
tentang siswa
·
Berkurangnya stigma dan
labeling terhadap anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh guru
·
Menumbuhkan sikap
empati terhadap siswa, termasuk anak berkebutuhan khusus
c. Bagi
Otoritas Pendidikan
·
Memberikan kontribusi
yang sangat besar bagi program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun
·
Memberikan peluang
terjadinya pemerataan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat
·
Menggunakan biaya yang relatif lebih efisien
·
Mengakomodasi kebutuhan masyarakat
·
Meningkatkan kualitas layanan pendidikan
Pendidikan
luar biasa (special education) berkecimpung dengan peserta didik yang memiliki
kebutuhan khusus karena adanya kecacatan. Dengan kata lain anak berkebutuhan
khusus yang berkaitan dengan kecacatan menjadi focus perhatian pendidikan luar
biasa. Berkaitan dengan konsep pendidikan inklusif pendidikan luar biasa sangat
berkepentingan karena penyandang cacat adalah salah satu subyek pendidikan
inklusif. Meskipun demikian pendidikan inklusif bukanlah semata-mata urusan
pendidikan luar biasa tetapi urusan pendidikan secara umum.
Konsep
pendidikan integrasi terfokus pada persoalan menyatukan atau menggabungkan
antara pendidikan luar biasa dengan pendidikan reguler. Konsep integrasi
berdekatan dengan konsep mainstreaming yang terfokus pada program pengajaran
khusus (tersendiri) bagi penyandang cacat dalam rangka mempersiapkan anak
memasuki pendidikan reguler. Dengan kata lain pendidikan integrasi berorientasi
mengubah anak untuk menyesuaikan sistem yang ada. Berbeda dengan pendidikan
inklusif yang berorientasi pada perubahan sistem untuk mengakomodasi anak dalam
segala keadaan.
Selain
perbedaan tersebut di atas dapat dikemukakan perbedaan-perbedaan lain sebagai
berikut:
·
Anak luar biasa dianggap sebagai tamu di kelas reguler
·
Anak luar biasa dapat
diterima bergabung apabila dianggap mampu menyesuaikan diri dengan kurikulum
yang ada
·
Anak luar biasa lebih
sering belajar di kelas khusus dan terpisah dengan temannya yang lain hampir
sepanjang hari
·
Seringkali mengabaikan Aksesibilitas
·
Kadang-kadang assessmen tidak dilakukan
Pendidikan Inklusif
·
Anak berkebutuhan
khusus secara alami merupakan anggota dari kelas tersebut
·
Tanpa persyaratan
(kurikulum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan individu)
·
Anak belajar bersama
dengan materi pembelajaran yang disesuaikan dan ramah
·
Aksesibilitas menjadi
bagian yang penting untuk dipertimbangkan
·
Assessmen dilakukan
secara terprogram dan berkesinambungan
Integrasi
merupakan proses menuju inklusi. Seperti menuju bentuk yang sekarang ini,
inklusi berkembang melalui tahapan-tahapan. Meskipun masih dalam proses
mencari, khususnya negara yang paling banyak mengembangkan yaitu Norwegia,
perkembangan inklusi terus digalakkan dan dioptimalkan dengan bekerjasama penuh
antara pemerintah, sekolah, masyarakat dan pihak-pihak terkait. Lawan dari inclusion
adalah exclusion, yang berarti pengeluaran, melarang masuk (John
M. Echols, 2005:222)
Menurut
Sholeh, M, Y,A,I (2007:5), persamaan dari integrasi dan inklusi yaitu :
·
Integratif dan inklusi merupakan pendekatan yang berusaha
menempatkan anak dalam keterbatasan lingkungan seminimal mungkin (The least
restricted environment)
·
Integrasi dan inklusif memandang anak luar biasa bukan
karena kecacatannya, melainkan menganggap mereka sebagai anak yang memiliki
kebutuhan khusus
·
Integrasi dan inklusif lebih mementingkan pembauran
bersama-sama anak lain seusianya dalam sekolah regular
·
Integratif dan inklusif menuntut pendidikan melalui
pembelajaran individual. Proses belajar lebih bersifat kebersamaan dari pada
persaingan
Adapun
untuk lebih jelas mengenai perbedaannya dilihat dari beberapa dimensi adalah
sebagaimana tabel berikut:
Dimensi
|
Segreagasi
|
Integrasi
|
Inklusi
|
Kurikulum
|
Kurikulum
terpisah
|
Mengikuti
kurikulum yang berlaku.
|
Kurikulum
dirancang dan diajarkan berdasarkan kebutuhan anak.
|
Partisipasi
|
Belum
ada partisipasi. Kalaupun ada, hanya sebatas pada kelompok tertentu saja.
|
Partisipasi
penuh belum terjadi atau bahkan tidak ada.
|
Partisipasi
penuh sudah mulai terbentuk dan merupakan faktor kunci dalam keberhasilan
pelaksanaan pendidikan inklusi
|
Manfaat
|
Pendidikan
lebih banyak ditujukan untuk anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Anak
dengan kebutuhan khusus masih sulit mendapatkan pendidikan.
|
Anak
berkebutuhan khusus sudah dapat menikmati pendidikan tapi sekolah (guru dan
siswa/i) tidak dituntut untuk membuat persiapan khusus dan tidak harus
|
1. Sebagian besar anak berkebutuhan
khusus dapat belajar di sekolah umum dengan akses dan lingkungan yang
kondusif.
2. Guru dapat memperkaya
wawasan serta meningkatkan kreativitas dalam pengelolaan kelas.
3. Siswa / siswi lain
menerima perbedaan yang ada dan memiliki
kepekaan sosial yang tinggi serta mampu menjalin persahabatan dengan anak
berkebutuhan khusus.
4. Orang tua anak
berkebutuhan khusus merasa yakin bahwa anaknya akan mendapatkan pendidikan
yang lebih baik
|
Sistem
Pendidikan
|
Pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus terpisah dari sekolah umum.
|
Pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus menjadi bagian dari sekolah umum.
|
Ada
di dalam sistem sekolah umum, dimana pelaksanaan pendidikan, pengelolaan
kelas dapat menjamin peningkatan pendidikan dan akses untuk semua anak,
termasuk anak berkebutuhan khusus.
|
Tanggung
jawab
|
Tanggung
jawab ada pada masing -masing unit penyelenggara pendidikan.
|
Tanggung
jawab tergantung relasi dan kepedulian masing-masing guru.
|
Guru
wali kelas, guru bidang studi serta guru pembimbing khusus bertanggung jawab penuh pada
kelangsungan proses belajar anak berkebutuhan khusus.
|
E.
Kesempatan
dan Tantangan dalam Pendidikan Inklusif
Tantangan: Mengatasi
Hambatan
1)
Partisipasi
yang Berkesinambungan
‘Di mana ada kemauan,
disitu ada jalan', keberhasilan pendidikan inklusif tidak tergantung pada suatu
formula yang sempurna, tetapi ditentukan oleh kesediaan orang untuk bekerjasama
untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan jika muncul. Inilah
sebabnya mengapa
partisipasi yang terus-menerus itu penting. Jika stakeholder utama tidak secara
penuh dilibatkan dan tidak merasa memiliki program pendidikan inklusif, maka
jika muncul masalah dalam konteks mereka, mereka tidak akan termotivasi untuk bertindak.
2)
EENET -
Membangun Percakapan
Salah satu tujuan utama Enabling Education Network (EENET) adalah
untuk ‘membangun percakapan’ tentang inklusi kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi dalam pendidikan. Untuk tujuan tersebut, EENET telah terlibat
dalam beberapa proyek untuk membantu agar orang mampu berpikir kritis tentang hal-hal
yang biasa dipraktekkannya. Salah satu proyeknya adalah membangkitkan para
praktisi lokal untuk merenungkan dan menganalisis pengalamannya sendiri. Tiga
pertanyaan sederhana diajukan untuk memfasilitasi hal tersebut:
1. Apa hambatan partisipasi dan belajar anak?
2.
Bagaimana hambatan ini dapat diatasi?
3. Siapa yang perlu dilibatkan?
Hambatan dan Kesempatan yang
terkait dengan:
a) Orang: anak, guru, orang tua, pekerja berbasis masyarakat;
b) Uang dan
materi: donor eksternal,
keberlangsungan, peralatan yang diproduksi secara lokal;
c)
Pengetahuan dan informasi: melek
huruf, kebijakan, pemecahan masalah lokal, konsep asing, dokumentasi internasional.
Menganalisis Kesempatan
dan tantangan dalam pendidikan inklusif
Tabel berikut memberikan contoh
bagaimana factor penentu keberhasilan pendidikan inklusif (PI) dapat menjadi
kesempatan ataupun tantangan (Sue Stubbs, 2002) :
Faktor penentu utama keberhasilan PI
|
Kesempatan untuk pengembangan PI
|
Tantangan dan hambatan dalam
pengembangan PI
|
·
Kerangka
kerja yang kuat (rangka)
a. Nilai-nilai keyakinan
b. Prinsip-prinsip utama
c. Indicator keberhasilan
|
·
Inisiatif
peningkatan mutu sekolah
·
Instrumen
hak asasi manusia
·
Model-model
baik yang ada
|
·
Tidak
adanya atau lemahnya kebijakan
·
Sistem
persekolahan yang kaku
·
Adanya
SLB dan mentalitas individual
|
2.
Implementasi
dalam budaya dan konteks local
a. Situasi praktis
b. Sumber daya
c. Masalah budaya
|
· Inisiatif berbasis masyarakat
· Rintisan program nonformal
· Budaya dengan focus solidaritas
masyarakat yang kuat
|
·
Dominasi
model segregasi
·
Penggunaan
sumber daya yang berlebihan atau kurang
·
Budaya
yang menolak adanya keberagaman
·
Sumber
daya yang terikat pada system segregasi
|
3.
Monitoring
partisipatory berkesinambungan (nafas-darah)
a. Siapa ?
b. Bagaimana ?
c. Apa dan Kapan ?
|
· Para aktivis : kelompok-kelompok
penyandang cacat dan orang tua
· Inisiatif partisipasi anak, misalnya
dari anak ke anak
· Cara yang partisipatif dan kreatif
|
·
Implementasi
PI yang topdown
·
Tidak
adanya organisasi masyarakat sipil
·
Kurangnya
kolaborasi
·
Tidak
adanya personel yang berkomitmen
|
Contoh cara
menganalisis hambatan yang telah dipergunakan dalam situasi praktis dapat
dilihat pada tabel berikut. Analisis ini dikembangkan selama evaluasi TENGAH
PROGRAM yang melibatkan semua stakeholder utama. Tabel 3. Contoh dari Mali – PENERAPAN model sosial
Hambatan
|
Mengatasi hambatan
|
1.
Penyelenggaraan Negara
yang KURANG tepat dan tidak memadai
|
􀂃 Mencari
alternatif seperti dukungan masyarakat dan LSM
􀂃 Konsultasi
dengan masyarakat setempat
􀂃 Kolaborasi
antara LSM, masyarakat dan Negara
|
2.
Pendidikan untuk anak
perempuan tidak dipandang sebagai prioritas dalam budaya Mali
|
􀂃 Mengambil
keputusan untuk memastikan bahwa 50% jatah tempat di sekolah diperuntukkan
bagi anak perempuan
􀂃 Seorang anggota
komite manajemen (seorang wanita) diberi tanggung jawab khusus untuk
rekrutmen anak perempuan
􀂃 Teater dan grup
musik local dipergunakan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah sikap
masyarakat lokal terhadap anak perempuan dan pendidikan
|
3.
Akses anak penyandang
cacat terhadap pendidikan tidak diprioritaskan oleh pemerintah, LSM, ataupun
masyarakat di Mali
|
􀂃 Kolaborasi dengan LSM kecacatan untuk
mengidentifikasi anak penyandang cacat dan meningkatkan kesadaran
􀂃 Keputusan untuk mewajibkan inklusi anak penyandang
cacat sejak awal
􀂃 Orang dari komite manajemen yang bertanggung jawab
atas rekrutmen anak perempuan juga ditugasi untuk rekrutmen anak penyandang
cacat
􀂃 Teater dan grup musik local dipergunakan untuk
meningkatkan kesadaran dan perubahan sikap terhadap kecacatan.
|
4.
Tidak ada transportasi
bagi anak tunadaksa untuk pergi ke sekolah
|
􀂃 Pada awalnya
orang tua menggendong anaknya setiap hari.
􀂃 Kolaborasi
dengan LSM Kecacatan menghasilkan penyediaan kendaraan roda tiga bagi yang
membutuhkannya.
|
5. Orang tua enggan membawa anaknya yang
cacat ke luar rumah
|
􀂃 Peningkatan kesadaran dan
mobilisasi orang tua dengan dukungan dari LSM Kecacatan
|
6. kurangnya tenaga kependidikan di
desa
|
Diambil keputusan bahwa
pengetahuan dan pengalaman penduduk desa lebih relevan bagi anak desa daripada
keahlian guruguru profesional yang mendapat pendidikan di kota
􀂃 Penduduk
setempat dipilih dan kemudian dilatih oleh profesional
|
7. masyarakat setempat sangat miskin
dan tidak memiliki waktu luang ataupun sumber
|
􀂃Jika penduduk
desa memang menginginkan sebuah sekolah, maka mereka akan mempunyai motivasi
untuk mendukung dan memelihara sekolah itu.
􀂃 Penduduk desa
berhasil mendapatkan sumber untuk membangun rumahnya sendiri dan mengelola
bidang-bidang lain kehidupannya.
􀂃 Keterlibatan
seluruh masyarakat sejak tahap analisis dan perencanaan itu sangat penting.
􀂃 Kontribusi
penduduk desa dimulai sejak awal yang mencakup pembangunan fisik sekolah,
memberikan kontribusi financial untuk gaji guru dan bertanggung jawab untuk
manajemen secara umum.
􀂃 Monitoring dan
dukungan yang berkesinambungan dari SCF juga sangat penting
|
8. Kurangnya pengetahuan
dan pengalaman tentang pendidikan yang aksesibel
bagi anak tunarungu
|
􀂃 Pelatihan dan
dukungan yang berkesinambungan dari ADD dan penilaian yang realistis terhadap
seluruh kehidupan anak tunarungu; tidak ada gunanya jika hanya menempatkan
secara fisik saja anak tunarungu yang lebih besar di sekolah.
􀂃 Lebih banyak
bekerjasama dengan orang tua dan keluarga dalam mengembangkan komunikasi
dengan anaknya yang tunarungu.
|
F.
Implementasi
Integrasi dan Inklusi di Indonesia
Proses menuju pendidikan inklusif di
Indonesia diawali pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra
di Bandung dengan
dukungan organisasi para
tunanetra sebagai satu kelompok
penekan. Pada masa itu SLB untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga
ke tingkat SLTP. Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan
dalam bidang kerajinan tangan atau pijat.
Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke
SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari
pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap
kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra.
Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai
menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller
International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi.
Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu
bagi Anak Cacat yang
mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki
kemampuan seyogyanya diberi kesempatan
untuk belajar bersama-sama dengan sebayanya yang non-cacat di sekolah biasa.
Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi
itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1990-an upaya
baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek
kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo
Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan dimasa lalu
dengan program pendidikan
integrasi yang nyaris mati, perhatian
diberikan pada sustainabilitas
program pengimplementasian pendidikan inklusif.
Strategi
yang diambil adalah sebagai berikut.
·
Diseminasi
ideologi pendidikan inklusif melalui berbagai seminar dan lokakarya;
·
Mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung
sekolah inklusif (dengan
alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dsb.); Penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru
reguler untuk memungkinkan mereka memberikan
layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan kusus dalam setting inklusi;
·
Reorientasi pendidikan guru did LPTK dan keterlibatan universitas dalam program tersebut;
·
Desentralisasi pembuatan
keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada
pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusif;
·
Mendorong dan
memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk
mempromosikan implementasi pendidikan inklusif;
·
Keterlibatan
LSM dan organisasi internasional dalam program ini;
·
Menjalin
jejaring antar berbagai pihak terkait;
·
Mengembangkan
sekolah inklusif perintis
·
Pembukaan
program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan berkebutuhan khusus
Hasil yang dapat teramati dari program tersebut adalah sebagai
berikut.
1)
Sejumlah lokakarya dan seminar tentang pendidikan inklusif, baik pada
tingkat nasional maupun lokal, telah diselenggarakan, yang melibatkan para pendidik dan pengelola
pendidikan.
2)
Sembilan SLB di sembilan
provinsi telah dipilih
untuk menjadi pusat
sumber dan peranannya sebagai pusat sumber sedikit demi
sedikit menjadi kenyataan dengan tetap mempertahankan
peranannya sebagai SLB. The National Resource Centre in Jakarta, Citeureup Regional Resource Centre in West Java and Payakumbuh Regional Resource Centre in West Sumatra are the three most
functional among the nine resource centres. In addition, a number
of other special
schools have been designed to function as supportive centres.
3)
Beberapa
universitas sudah mulai memperkenalkan pendidikan inklusif sebagai satu mata kuliah
atau sebagai satu topik dalam mata kuliah terkait kepada mahasiswanya.
4)
Dosen sejumlah
universitas sudah terlibat
dalam lokakarya atau seminar tentang pendidikan inklusif.
5)
Dinas Pendidikan di sejumlah propinsi
sudah lebih proaktif
dalam mempromosikan pendidikan
inklusif. Sebuah kelompok kerja pendidikan inklusif
telah terbentuk di Jawa Barat,
yang anggotanya berasal dari Pusat Sumber Citeureup, Dinas Pendidikan Jawa
Barat, dan UPI.
6)
UNESCO
telah aktif terlibat dalam promosi pendidikan inklusif di Jawa Barat.
7)
Pada tahun 2002 proyek telah mengembangkan masing-masing tiga sekolah
inklusif perintis di 9 propinsi yang
memiliki Pusat Sumber, , dan pada tahun 2003 Depdiknas secara ambisius
meningkatkan jumlah tersebut.
Sejak saat itu sekitar 2000 anak
penyandang cacat sudah ditempatkan did sekolah reguler.
8)
Program magister
inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus dibuka
di UPI dengan bantuan teknis dari Universitas Oslo.
9)
Pelaksanaan pendidikan inklusif secara eksklusif telah dilaksanakan seperti antara lain di Sekolah
Al-Falah Cibubur Jakarta Timur sejak 1996 yang sekaligus dilaksanakan sekolah tersebut
dalam programnya besarnya yang dikenal dengan Beyond Centre
and Central Times (BCCT) dalam kerjasamanya dengan Thalahasse Creative School Florida
US.
10) Sebagai salah satu implementasi itu telah dilaksanakan Lokakarya Nasional tentang Pendidikan
Inklusif yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia tanggal 8-14 Agustus
2004 dan membuat
deklarasi nasional dan menghimbau kepada
pemerintah, institusi pendidikan,
institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat:
a. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek
kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan,
keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang
handal.
b. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak
berkebutuhan khusus lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan
yang manusiawi, pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan deskriminatif yang merugikan eksistensi
kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum,
politis maupun kultural.
c. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif
yang ditunjang kerja sama yang sinergis
dan produktif di antara para stakeholders,
terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan
industri, orang tua serta masyarakat. Menciptakan
lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga
memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya
secara optimal.
d. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya untuk berinteraksi baik secara
reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan di
lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan.
e. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan
inklusif melalui media masa, forum ilmiah,
pendidikan dan pelatihan, dan lainnnya secara berkesinambungan.
f. Menyusun Rencana Aksi (Action Plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan
pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi
semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus
lainnya.
IV.
Kesimpulan
Pendidikan
inklusi sebagai satu inovasi pendidikan, belum sepenuhnya diterapkan diseluruh
dunia, tetapi kecenderungannya adalah semakin dapat diterima oleh masyarakat
luas . Fakta yang tampak menentukan penerimaan masyarakat terhadap ideology
pendidikan inklusif ini adalah difusi dari inovasi ini. Maksud dari semua ide
adalah kesejahteraan para penyandang cacat untuk memperoleh haknya sebagai
warga Negara.
Apakah
penempatan anak-anak penyandang cacat di sekolah regular saat ini benar-benar
baik bagi kesejahteraannya, kita membutuhkan waktu untuk membuktikannya, tetapi
kita percaya dukungan yang tepat akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Hingga
saat ini penyandang cacat yang bersekolah semakin meningkat secara signifikan,
sehingga target untuk mewujudkan pendidikan untuk semua tahun 2015 tampak
menjadi realistis.
Daftar
Pustaka
Abdul Haris.
2003. “Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Siswa Berkebutuhan Khusus Melalui
Aplikasi Pembelajaran Berbasis Inklusif di Sekolah Reguler”. Jurnal
Rehabilitasi Remidiasi, 13, 102 – 110
Amsori.
Februari 2008. Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta Tentang Model Pendidikan
Inklusi. Makalah. Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari Dalam Rangka
Prayudisium Program Studi PLB-FKIP-UNS, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
Direktorat
Pendidikan Luar Biasa. 2006. Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus (PLB).
Diambil pada 24 Oktober 2009 dari www. ditplb.or.id
Gunarhadi.
2001. “Mengenal Pendekatan Inklusi Dalam Pendidikan Luar Biasa”. Jurnal
Rehabilitasi Remidiasi, 2, 63 – 68
Hameed, Abdul.
2005. “Pendidikan Inklusif Satu-Satunya Cara Untuk Memberantas Ketidaksetaraan
dan Ketidak Adilan”. EENet Asia Newsletter, 1, 30
Hidayat. 2003. Kelompok
Kerja (POKJA) Pengkajian Implementasi Pendidikan Inklusif. Makalah.
Disampaikan Pada Acara Semnar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di
Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
HKI, 2008a. Penelitian
Pendidikan Inklusi Berbasis Sekolah. Hasil Presentasi. Disajikan dalam
Sosialisasi Inklusi
Kepala Dinas P
& K Propinsi Jawa Tengah. 2006. Guru Ideal Dalam Implementasi Pendidikan
Inklusi. Makalah. Disajikan Dalam Rangka Dies Natalis UNS ke XXXIX, di
Universitas Sebelas Maret
Kompedium.
2006. Perjanjian, Hukum dan Peraturan Menjamin Semua Anak : Memperoleh
Kesamaan Hak Untuk Kualitas Pendidikan dalam Cara Inklusif, Respon Sektor
Pendidikan Terhadap HIV dan AIDS. .Dikembangkan Braillo Norway dan IDP
Norway
Moelyono. 2008.
Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Peningkatan Pemerataan Akses
Pendidikan. Makalah. Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari Dalam Rangka
Prayudisium Program Studi PLB- FKIP- UNS, di Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
Mulyono
Abdurrahman. 2006. Implikasi Pendidikan Inklusi Dalam Penyiapan dan Pembinaan
Tenaga Kependidikan, Jurnal Rehabilitasi Remidiasi, 15, 33 - 53
__________________.
1996. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi.
Mumpuniarti.
2001. “Modifikasi Kurikulum Dalam Model Pendidikan Inklusi”. Jurnal
Rehabilitasi Remidiasi, 2, 72-76
Nasichin. April
2003. Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusif. Makalah.
Disampaikan Pada Acara Semnar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di
Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Surakarta
Pusat Rehabilitasi
Remidiasi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. 2003. Panduan
Praktis Pengelolaan Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar. Makalah
Disampaikan dalam lokakarya PPRR-LEMLIT, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ravik Karsidi.
2005. Arah Kebijakan UNS/LPTK dalam Implememtasi Pendidikan Inklusi.
Makalah. Disampaikan dalam Seminar Rekomendasi International Symposium
Inclution And Removal Barries To Learning Participation And Development,
Bukittingi, Sumatra Barat, di Sumatra Barat
Salim, A. C.H,
Munawir Yusuf dan Munzayanah. 2003. Model Pendidikan Inklusi di Indonesia dan
Implementasinya di Propinsi Jawa Tengah. Laporan Seminar Nasional,
Surakarta : PPRR, LPPM, UNS.
__________________
2003. Penanganan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar Model Inklusif.
Laporan penelitian tidak di terbitkan. Surakarta : UNS
Skjorten,
Miriam. 2001. ”Menuju Inklusi dan Pengayaan (Kumpulan Artikel)”. Tempat
penerbit tidak tercantum
Smith, J.
David. 2006. Inklusi, Sekolah Ramah Anak (Edisi terjemahan oleh : M.
Sugiarmin, MIF. Baihaqi). Bandung: Nuansa
Soebagyo
Brotosedjati. 2003. Rintisan Pendidikan Inklusi di Jawa Tengah..
Makalah. Disampaikan Pada Acara Semnar Nasional tentang Model Pendidikan
Inklusif di Indonesia dan Implementasinya di Jawa Tengah, Surakarta, di
Universitas Sebelas Maret, di Surakarta
Sunardi. 2003.
“Pendekatan Inklusif Implikasi Managerialnya” Jurnal Rehabilitasi Remidiasi,
13, 144-153
_______. 2004. Ujicoba
Model Rapot dalam Pendidikan Inklusi. Laporan penelitian tidak di
terbitkan, UNS, Surakarta
_______.
Februari 2008. Pendidikan Inklusif Implementasi di Indonesia, Makalah
Disampaikan Pada Acara Seminar Sehari dalam Rangka Prayudisium Program Studi
PLB- FKIP- UNS, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
_______. 2009. Pendidikan
Inklusif : Implementasinya di Indonesia. Makalah. Disampaikan Pada Acara
Seminar Nasional tentang Model Pendidikan Inklusif di Indonesia dan
Implementasinya di Jawa Tengah, di Universitas Sebelas Maret Surakarta
Syaiful Bahri
Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta
Unesco,
Toolkit. 2007. Merangkul Perbedaan : Perangkat Untuk Menciptakan Lingkungan
Inklusif, Ramah Pembelajaran. Unesco