PENINGKATAN MUTU SEKOLAH SWASTA
MELALUI OTONOMI
Oleh:
Dirgantara Wicaksono
ABSTRAK
Diversified school environment conditions and student
needs in instructional processes alongside with
the complexity in Indonesia geographical condition quite often can not
easily be concluded completely in one piece by the central beaurocracy in a
comprehensive way. It stimulates the
deliverance of school based quality management improvement. This type of alternative management empowers
independency to school to initiate its self-governing capacity to manage its
own activities in the framework of educational quality improvement, while
consistently aligned to national policies. Some of the strategies applied at schools comprise self-evaluation to
scrutinize the school strengths and weaknesses. On the basis of the evaluation,
school alongside with parents and community settle on school vision and mission
education quality improvement or to put together the expected education quality
to further developing the school program planning which includes school
financing by refering to the scale of
priorities and national policies in corresponding to scholl condition and its
human resources capacity.
The consequences of the program implementation should
imply highly committed engagement among diversified parties, i.e.,
parents/community, teachers, principals, pupils and other staffs on one hand,
and government (MONE) on the other hand, as the equal partner to attain the
objective of quality improvement.
Key words: School Based Managemen (MBS), school based quality
management improvement concept, self-evaluation.
PENDAHULUAN
Berbicara
mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat
penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan
kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan
proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari
pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah
bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat
tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih
berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem
evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar,
serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada
kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan
kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan
antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SMP dan
SMA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan
konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang
relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya
perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama
strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented.
Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input
pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat
belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga
kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan
dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek,
2005, 2006) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah),
melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented,
diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor
yang diproyeksikan di tingkat makro-pusat tidak terjadi atau tidak berjalan
sebagaimana seharusnya di tingkat mikro- sekolah. Dengan demikian, kompleksitas
cakupan permasala-han pendidikan, kerap kali tidak dapat dikaji secara utuh dan
akurat oleh birokrasi pusat (.Bendell,
Boulter, and Kelly 2003).
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa
pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input
pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses
pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas -
batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan
mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition
to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai
unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi
anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan
yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam
melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan.
hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu,
diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan
kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap
terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada
standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan
indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking).
Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan
peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai
institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian
dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah
(School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat
pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara
sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing
ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada
sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses
peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang
ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro
pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya)
untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke
dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus
dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi
dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun
berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mandiri tetapi masih dalam kerangka
acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai,
memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
Kalangan
pengelola sekolah perlu melakukan perubahan manajemen untuk memenangi
persaingan. Di antara perubahan yang dilakukan, rekonstruksi manajemen hubungan
guru-siswa. Relasi pendidik dan peserta didik hendaknya ditujukan untuk membuat
kedua pihak merasa bahagia, dihargai, dan dicintai.
Kepala sekolah
dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh, agar
mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pada saat yang bersamaan, guru harus memiliki kompetensi sesuai disiplin ilmu
yang diajarkannya dan kreatif dalam membelajarkannya pada siswa.
PERUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah artikel ini dipicu oleh keingintahuan
terhadap kemauan dan kemampuan sekolah di dalam mengaktivasi proses
pembelajaran yang berkualitas secara mandiri, yang pada hakekatnya merupakan dasar
dari manajemen berbasis sekolah (MBS). Namun bagaimana makna kemandirian
sekolah dapat membangun kemauan dan kemampuannya agar dapat melaksanakan fungsi
manajemen pembelajarannya? Apakah makna kemandirian dalam MBS bermakna independensi
penuh yang tidak memerlukan koherensi resiprositas dengan fihak lain dalam
pelaksanaannya? Apakah sekolah masih memerlukan bantuan dari para pemangku
kepentingan yang berhubungan langsung dengan sekolah dalam pelaksanaan MBS?
Dalam paper ini, yang menjadi perhatian penulis adalah hubungan koherensi
sekolah yang terkait dengan fungsi, --jikalau benar kemandirian sekolah analog
dengan fungsi MBS dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Bagaimana fungsi
kemandirian ini dalam penataan organizational
behavior? Dapatkah ’kemandirian’ dipandang sebagai sintesis dari perilaku
sekolah dengan orang-orang di
sekeliling sekolah yang berkepentingan terhadap kualitas pembelajaran?
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan
artikel ini adalah untuk melakukan elaborasi analitis tentang upaya peningkatan
mutu sekolah melalui otonomi satuan pendidikan. Elaborasi yang dilakukan
diharapkan dapat mengkaji seberapa jauh kemandcirian sekolah dalam
penyusunan program, penetapan indikator kinerja, target mutu yang akan dicapai,
serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi program yang sesuai dengan
perencanaan dan implementasi program sekolah tahunan.
PENGERTIAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya
kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya
lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang
tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha
untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap
individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan
kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan
bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan
mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan
(framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang
memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian
terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi
bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut
partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat
berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan
pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan
sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat
mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan
hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang
bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan
kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar
siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa
sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi
kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses
peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini
memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional,
normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan
kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem
pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh
oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran
untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai
pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi
pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan
alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective
school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Chapman,
1990). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini
antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii)
sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki
kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah
(kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v)
adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi)
adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik
dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu,
dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua
murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan
kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya
dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum
yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini
menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah;
kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan
masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang
melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang
bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif
dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk
menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan
fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah
dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat,
sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus
menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/ pendidikan.
Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang
mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara
profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui
penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan
kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada
empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total
yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus
mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh
pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi
bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang
memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan
memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah
untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan
motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya
siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya
manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien
sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu
khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau
otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan -
tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
PENGERTIAN MUTU
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu
produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible
maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu,
dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan.
Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input,
seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi
(bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan
sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input
tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar
mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar
kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup
subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung
proses pembelajaran (Dikmenum, 1998). Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu
pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu
(apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun).
Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa
hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat
pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni
atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik,
jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang
(intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati,
kebersihan, dan sebagainya.
Antara proses dan hasil
pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang
baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus
dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan
dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses
harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata
lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan
hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang
dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama
yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan
benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya: NEM oleh PKG
atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik
yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan
ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri
dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun
berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu
yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
Dalam manajemen pening-katan mutu berbasis sekolah ini
diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu yang paling
tidak terkait dengan sumber daya, akuntabilitas, kurikulum, dan personil
(Dikmenum, 1999). Sumber daya; sekolah harus mempunyai
fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan
setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan
harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan
dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses
peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari
proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Akuntabilitas; sekolah
dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan
harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini
bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan
kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan.
Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan
mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan
melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program
prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum;
berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah
bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi
(content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut
ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta
menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual
dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana,
karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
- pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi
kebutuhan siswa.
- bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan
untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara
efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
- pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur
perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus
dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan
mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek
psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif
kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang
bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan
dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Personil
sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses
rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan
struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf
lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan
kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam
pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan
secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar
sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks
ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan
terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya
manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya
pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal.
Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis
dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
·
mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya
didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
- Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang
telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk
peningkatan mutu.
- Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya
kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan
(pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman
kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro
telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu
sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang
dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang
bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu
cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara
tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa
hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen
yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara
tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus
mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari
sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk
belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau
standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan
lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan
kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan
masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan
pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah
proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap
komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan
dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun
mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas
pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan
pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung
jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang
diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus
mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu
siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam
perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan
diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta
sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang
mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan
dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan
memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya
dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan
kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan
oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan
peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu
mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan
bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu
sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence)
dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya
utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
STRATEGI PELAKSANAN DI TINGKAT SEKOLAH
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang
berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang
tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian
terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
·
Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih
presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek
akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
·
Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk
menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil
sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan
hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan
keterampilan, maupun aspek lainnya.
·
Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus
mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan
dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan
konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang
perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi,
misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan
pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
·
Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu
tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun
program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya.
Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan
sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan
kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan
datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target
mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu
pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu,
perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah
yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya
unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai
dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena
fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa,
maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan
memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk
menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan
menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan
ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk
melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber
daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya
dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah
untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut.
Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan preralatan bukan kepada
output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen
tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada
program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses
pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan
harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas
terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini
memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan
pendanaan disetujui atau ditetapkan.
·
Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka
waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi
perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci
kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan
sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial,
yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil
dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun, dan (ii)
keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus
menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan
tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan
segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai
dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang
representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan
telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah
program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin
saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan
dan waktunya (Everett
M.,1995).
Melakukan monitoring dan evaluasi
untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan
sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana
pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring
dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar
siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini
adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan
kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali
evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya
selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan
untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program
di masa mendatang. Demikian aktivitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga
merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah swasta dan
bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan
kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat
diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam
proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah.
Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen
alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya
sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu
kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya
komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru,
kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud)
di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi
yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk
menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut
sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah
dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan
dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya,
dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan
kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program,
sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan
yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang
telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi,
misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan
target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan
pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat
dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di
masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang
berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk
memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini,
maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat
pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang
mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi
kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan
konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita
sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi
persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang secara cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Bendell, Tony, and Boulter, Louise,
and Kelly, John, 2003, Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman
Publishing, London, United Kingdom.
Chapman, Judith (ed), 1990,
School-Based Decision-Making and Management, The Falmer Press, Hampshire , United
Kingdom .
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu
Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja),
Depdikbud, Jakarta.
---------------, 1998, Upaya
Perintisan Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (paper kerja),
Depdikbud, Jakarta.
Hanushek,
Eric A, 2005, Economic Outcomes and School Quality, Education
Policy Series, Volume 4, IEA, Paris.
Hanushek,
Eric A, 2006, Perfor-mance Incentive for Teachers and Adminis-trators, Texas
State Senate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar