Buku ini ditulis dengan cara yang sangat menarik,
yaitu dalam bentuk dialog antara seorang generasi muda dan seorang pelaku
sejarah. Pilihan untuk menulis karya yang dapat dikatagorikan sebagai sejarah
dalam bentuk dialog adalah pilihan yang sangat cerdas, mengingat karya-karya
tentang sejarah Indonesia hingga saat ini kebanyakan ditulis dalam bentuk
narasi panjang yang dilengkapi dengan catatan kaki dan bibliografi. Penyajian
sejarah dalam bentuk dialog bisa menghilangkan kekakuan yang lazimnya terdapat
dalam karya akademis. Meski ditulis dalam bentuk dialog namun isi buku ini
tidak bisa dikatakan ringan. Ada dua hal yang menyebabkan buku ini menjadi
karya yang patut diperhitungkan. Pertama, pilihan temanya yang merupakan tema
krusial di dalam historiografi Indonesia, yaitu tentang marxisme dan Partai
Komunis Indonesia. Kedua, pelaku sejarah yang berkisah di dalam buku ini, yaitu
Imam Achmad yang merupakan bekas wartawan Harian Rakyat yang bertugas mengurusi
karikatur di surat kabar tersebut.
Hampir
lebih dari separuh isi buku ini digunakan untuk membahas Marxisme. Bagian awal
buku dibuka dengan cara yang menarik dengan memperbandingkan antara komunisme
dengan narkoba. Di bagian ini Imam Achmad secara kritis mengkritik pandangan
para pimpinan PKI tentang Marxisme. Para pimpinan PKI seperti Aidit, Nyoto dan
Sudisman menurut Imam memiliki pemahaman yang rancu mengenai marxisme. Pesan
yang ingin disampaikan Imam di bagian awal buku ini adalah bahwa apa yang
dipikirkan dan dilakukan oleh para pimpinan PKI tidak seperti marxisme yang
digagas oleh Karl Marx. Menurut Imam marxisme tidak bisa dijelaskan dari sudut
pandang politik karena ajaran marxisme terutama adalah tentang bagaimana
“kelompok manusia mencari penghidupan secara ekonomi dan berkembang sesuai
keadaan perkembangan ekonomi”.
Dalam
bab selanjutnya dijelaskan lebih jauh bahwa marxisme adalah ilmu dan aliran
filsafat. Marxisme bagi Imam bukanlah dogma atau ajaran kepercayaan. Pada
bagian ini kita menemukan suatu pandangan tentang marxisme yang dikemukakan
dengan lugas. Imam menyampaikan gagasan-gagasannya tentang marxisme dengan cara
yang sepertinya sederhana tetapi sebenarnya tetap tidak kehilangan kedalaman. Melalui
pembahasannya tentang riwayat Karl Marx dan bagaimana pemikiran Marx tentang
tahap-tahap perkembangan masyarakat kita sebagai pembaca dibawa berkelana untuk
melihat perkembangan pemikiran marxisme dari sudut pandang penggagasnya
sendiri. Di bagian ini kita bisa merasakan Imam Achmad bukan hanya sebagai
pelaku sejarah tetapi juga sebagai seorang pemikir kritis yang berusaha
memahami marxisme dengan bersumber pada apa yang dikatakan oleh Marx sendiri.
Dalam
buku ini, selain Indonesia, ada dua negara yang dijadikan contoh dari penerapan
marxisme, yaitu di Rusia dan di Cina. Berdasarkan sejarah Marxisme di Rusia,
Imam mengatakan bahwa fase kapitalisme yang seharusnya dilalui oleh Rusia telah
dilewati begitu saja karena Lenin sebagai pendiri Uni Sovyet memilih untuk
langsung menuju ke tahap sosialisme dengan membentuk negara “sosialis/komunis”.
Langkah ini dilakukan karena adanya ketakutan terhadap kapitalisme. Padahal
bagi Imam kapitalisme sebagai tahapan perkembangan masyarakat tidak perlu
dikuatirkan karena fase itu memang harus dilewati untuk melahirkan sosialisme
dan memunculkan negara. Apa yang patut digaris bawahi adalah pernyataan Imam
bahwa kesalahan Lenin ini ternyata kemudian ditiru oleh partai komunis di
negara lain termasuk juga Indonesia.
Pada
bagian tentang marxisme di Cina, Imam Achmad memperlihatkan
pemahaman yang baik tentang sejarah modern negeri tirai bambu tersebut. Cina
yang pada awal abad 20 pernah diperintah oleh kaum nasionalis pada akhirnya
jatuh ke tangan kaum komunis di bawah pimpinan Mao Tse Tung. Serupa dengan
Stalin di Uni Sovyet, Mao juga cenderung untuk melakukan kultus individu. Sikap
Mao tentang kultus individu mendapat tentangan dari kawan-kawan Mao sendiri
seperti Liu Shao Chi dan Deng Shiao Ping. Kuatnya posisi Mao dalam Partai
Komunis Cina menyebabkan kultus individu terhadap dirinya terus berlangsung.
Apa yang menarik dari Liu Shao Chi
adalah upayanya untuk mengangkat ekonomi Cina dari keterpurukan. Berbagai
kebijakan yang diterapkan olehnya seperti kebebasan berusaha, pengelolaan
perusahaan negara secara efisien dan pengutamaan keahlian dari ideologi telah
menjadi pemicu perkembangan ekonomi Cina. Langkah-langkah Liu Shao Chi
dilanjutkan oleh Deng Shiao Ping setelah Mao meninggal pada tahun 1976. Deng
memimpin Cina untuk masuk ke tahap kapitalisme. Bagi Imam Achmad apa yang
dilakukan oleh Liu dan Deng merupakan langkah-langkah yang tepat. Hal ini
karena sesuai dengan apa yang dikatakan Marx bahwa masyarakat sosialis atau
komunis hanya dapat terwujud setelah tahapan kapitalisme dilewati.
Pembahasan
tentang marxisme di Rusia dan Cina menjadi pintu masuk ke pembahasan tentang marxisme
di Indonesia. Setelah menelusuri perkembangan marxisme di Rusia dan di Cina,
maka perkembangan marxisme di Indonesia dapat dilihat dalam perspektif
perbandingan dan dalam konteks yang lebih luas. Sejarah marxisme di Indonesia
telah berawal sejak permulaan abad 20. Marxisme sebagai suatu kesadaran politik
diperkenalkan ke Indonesia seoleh orang Belanda yang bernama H.J.F.M.
Sneevliet. Tokoh ini masuk ke Indonesia pada tahun 1913 dan untuk selanjutnya
tinggal di Indonesia untuk masa lima tahun. Setelah bergabung dengan VSTP (Vereeniging Voor Spooren En Tramweg Personeel)
Sneevliet kemudian berinisiatif mendirikan ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging) di tahun 1914.
Dengan dimotori
oleh Semaun dan Darsono pada tahun 1920
ISDV berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).
PKI
memanfaatkan SI (Sarekat Islam) untuk dapat mengembangkan dirinya menjadi
partai politik yang kuat. Melalui strategi infiltrasi ke dalam SI partai
komunis ini berhasil menyusup ke dalam organisasi rakyat Indonesia yang
terbesar di masa pergerakan nasional. Strategi infiltrasi menyebabkan munculnya
SI merah dan SI putih, yang pertama untuk mereka yang beraliran marxis
sedangkan yang kedua bagi mereka yang menentangnya. Untuk mencegah berlanjutnya
dualisme, para pemimpinan SI seperti Haji Agus Salim dan Abdul Muis menegakkan
disiplin intern yang berujung pada keluarnya anggota PKI dari SI. Infiltrasi
PKI ke dalam SI tidak hanya menyebabkan berkembangnya pengaruh komunis di
kalangan Islam, tetapi juga sebaliknya. Hal ini ditandai dengan adanya para
aktivis komunis yang berlatar belakang tokoh Islam seperti Haji Misbach, Haji
Datuk Batuah, Haji Moh. Siradi dan Haji Muchlas. Orang yang terakhir merupakan
ayah dari tokoh PKI tahun 1960-an, M.H. Lukman.
Titik
balik yang menentukan dari kiprah PKI pada masa pergerakan nasional adalah
pemberontakan yang dilakukannya pada tahun 1926. Menurut penilaian Imam Achmad,
pemberontakan tersebut dilakukan tanpa suatu persiapan yang matang.
Pemberontakan itu lebih disebabkan karena semangat yang mengebu-gebu daripada
perhitungan yang rasional. Tanpa dukungan kekuatan militer, persenjataan yang
memadai dan masa rakyat yang militan maka dapat diperkirakan bahwa
pemberontakan itu akan berujung pada kegagalan. Setelah pemberontakan yang
gagal ini para aktivis PKI dibuang ke Boven Digoel dan pemerintah Belanda
bersikap semakin represif terhadap kaum pergerakan. PKI dijadikan partai
terlarang dan tidak muncul lagi sampai dengan masa revolusi kemerdekaan
Indonesia. Bagi Imam Achmad, meskipun menemui kegagalan, pemberontakan PKI
tahun 1926 telah memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa kekuasaan
kolonial Belanda dapat digoyangkan. Pemberontakan itu memberi kesadaran politik
dan mendorong munculnya kaum non-kooperator dalam dunia pergerakan nasional.
Salah
satu bagian paling menarik dari buku ini adalah bagian yang membahas tentang peristiwa G 30 S. Hingga saat ini ada berbagai penjelasan tentang siapa yang menjadi
dalang dari peristiwa tersebut. Ada penjelasan yang menyatakan PKI merupakan
dalang. Kemudian ada yang mengatakan peristiwa G 30 S adalah masalah internal
Angkatan Darat. Penjelasan lain mengatakan Sukarno adalah orang yang berada di
belakang peristiwa itu. Sedangkan penjelasan terakhir yang juga banyak dikutip
mengatakan bahwa Suharto merupakan otak di belakang G 30 S. Imam Achmad memberi
penjelasan yang berbeda. Menurutnya G 30 S digerakkan oleh biro khusus yang
dipimpin langsung oleh ketua umum PKI, D.N. Aidit. Sepak terjang dari biro
khusus tidak diketahui oleh para pimpinan PKI yang lain. Akibatnya biro khusus
bertindak tanpa ada kendali dan akhirnya terjerumus dalam suatu upaya kudeta
yang gagal yang berujung pada kehancuran PKI. Secara kritis Imam tidak sekedar
berhenti dengan hanya menyalahkan biro khusus yang dipimpin oleh Aidit. Lebih
jauh lagi menurutnya kesalahan juga ada di pihak partai, anggota, simpatisan,
dan termasuk dirinya sendiri yang membiarkan Aidit bertindak semau sendiri
tanpa pernah ditegur dan dikoreksi.
Meski
menceritakan tentang kehancuran PKI tetapi bagian penutup buku ini
menggambarkan optimisme Imam achmad terhadap masa depan sosialisme atau
komunisme. Kegagalan komunisme yang terjadi di Rusia ataupun di Cina pada masa
Mao Tse Tung baginya bukan karena komunisme tidak bisa diwujudkan. Tetapi lebih
karena Stalin dan Mao menolak untuk melewati tahap kapitalisme. Menurut Imam
saat ini kita sedang melewati tahap kapitalisme dan setelah itu barulah tahap
komunisme bisa dicapai. Baginya marxisme dan komunisme tidak perlu ditakuti
karena ia sebetulnya adalah suatu cara pandang dalam melihat dinamika dan
perkembangan masyarakat. Bagi kita tentu pandangan Imam ini dapat kita terima.
Bagi orang-orang yang tidak menganut pandangan marxisme atau komunisme ajaran
itu tetap merupakan alat analisa yang perlu diperhitungkan dalam melihat
dinamika yang ada di dalam masyarakat. Dalam pengertian inilah kita menemukan
relevansi dari buku ini terhadap situasi Indonesia saat ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar