Rabu, 05 Februari 2014

BUKU MARXISME DAN KEHANCURAN PKI

Buku ini ditulis dengan cara yang sangat menarik, yaitu dalam bentuk dialog antara seorang generasi muda dan seorang pelaku sejarah. Pilihan untuk menulis karya yang dapat dikatagorikan sebagai sejarah dalam bentuk dialog adalah pilihan yang sangat cerdas, mengingat karya-karya tentang sejarah Indonesia hingga saat ini kebanyakan ditulis dalam bentuk narasi panjang yang dilengkapi dengan catatan kaki dan bibliografi. Penyajian sejarah dalam bentuk dialog bisa menghilangkan kekakuan yang lazimnya terdapat dalam karya akademis. Meski ditulis dalam bentuk dialog namun isi buku ini tidak bisa dikatakan ringan. Ada dua hal yang menyebabkan buku ini menjadi karya yang patut diperhitungkan. Pertama, pilihan temanya yang merupakan tema krusial di dalam historiografi Indonesia, yaitu tentang marxisme dan Partai Komunis Indonesia. Kedua, pelaku sejarah yang berkisah di dalam buku ini, yaitu Imam Achmad yang merupakan bekas wartawan Harian Rakyat yang bertugas mengurusi karikatur di surat kabar tersebut.
            Hampir lebih dari separuh isi buku ini digunakan untuk membahas Marxisme. Bagian awal buku dibuka dengan cara yang menarik dengan memperbandingkan antara komunisme dengan narkoba. Di bagian ini Imam Achmad secara kritis mengkritik pandangan para pimpinan PKI tentang Marxisme. Para pimpinan PKI seperti Aidit, Nyoto dan Sudisman menurut Imam memiliki pemahaman yang rancu mengenai marxisme. Pesan yang ingin disampaikan Imam di bagian awal buku ini adalah bahwa apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh para pimpinan PKI tidak seperti marxisme yang digagas oleh Karl Marx. Menurut Imam marxisme tidak bisa dijelaskan dari sudut pandang politik karena ajaran marxisme terutama adalah tentang bagaimana “kelompok manusia mencari penghidupan secara ekonomi dan berkembang sesuai keadaan perkembangan ekonomi”.
            Dalam bab selanjutnya dijelaskan lebih jauh bahwa marxisme adalah ilmu dan aliran filsafat. Marxisme bagi Imam bukanlah dogma atau ajaran kepercayaan. Pada bagian ini kita menemukan suatu pandangan tentang marxisme yang dikemukakan dengan lugas. Imam menyampaikan gagasan-gagasannya tentang marxisme dengan cara yang sepertinya sederhana tetapi sebenarnya tetap tidak kehilangan kedalaman. Melalui pembahasannya tentang riwayat Karl Marx dan bagaimana pemikiran Marx tentang tahap-tahap perkembangan masyarakat kita sebagai pembaca dibawa berkelana untuk melihat perkembangan pemikiran marxisme dari sudut pandang penggagasnya sendiri. Di bagian ini kita bisa merasakan Imam Achmad bukan hanya sebagai pelaku sejarah tetapi juga sebagai seorang pemikir kritis yang berusaha memahami marxisme dengan bersumber pada apa yang dikatakan oleh Marx sendiri.
            Dalam buku ini, selain Indonesia, ada dua negara yang dijadikan contoh dari penerapan marxisme, yaitu di Rusia dan di Cina. Berdasarkan sejarah Marxisme di Rusia, Imam mengatakan bahwa fase kapitalisme yang seharusnya dilalui oleh Rusia telah dilewati begitu saja karena Lenin sebagai pendiri Uni Sovyet memilih untuk langsung menuju ke tahap sosialisme dengan membentuk negara “sosialis/komunis”. Langkah ini dilakukan karena adanya ketakutan terhadap kapitalisme. Padahal bagi Imam kapitalisme sebagai tahapan perkembangan masyarakat tidak perlu dikuatirkan karena fase itu memang harus dilewati untuk melahirkan sosialisme dan memunculkan negara. Apa yang patut digaris bawahi adalah pernyataan Imam bahwa kesalahan Lenin ini ternyata kemudian ditiru oleh partai komunis di negara lain termasuk juga Indonesia.
            Pada bagian tentang marxisme di Cina, Imam Achmad memperlihatkan pemahaman yang baik tentang sejarah modern negeri tirai bambu tersebut. Cina yang pada awal abad 20 pernah diperintah oleh kaum nasionalis pada akhirnya jatuh ke tangan kaum komunis di bawah pimpinan Mao Tse Tung. Serupa dengan Stalin di Uni Sovyet, Mao juga cenderung untuk melakukan kultus individu. Sikap Mao tentang kultus individu mendapat tentangan dari kawan-kawan Mao sendiri seperti Liu Shao Chi dan Deng Shiao Ping. Kuatnya posisi Mao dalam Partai Komunis Cina menyebabkan kultus individu terhadap dirinya terus berlangsung.
Apa yang menarik dari Liu Shao Chi adalah upayanya untuk mengangkat ekonomi Cina dari keterpurukan. Berbagai kebijakan yang diterapkan olehnya seperti kebebasan berusaha, pengelolaan perusahaan negara secara efisien dan pengutamaan keahlian dari ideologi telah menjadi pemicu perkembangan ekonomi Cina. Langkah-langkah Liu Shao Chi dilanjutkan oleh Deng Shiao Ping setelah Mao meninggal pada tahun 1976. Deng memimpin Cina untuk masuk ke tahap kapitalisme. Bagi Imam Achmad apa yang dilakukan oleh Liu dan Deng merupakan langkah-langkah yang tepat. Hal ini karena sesuai dengan apa yang dikatakan Marx bahwa masyarakat sosialis atau komunis hanya dapat terwujud setelah tahapan kapitalisme dilewati.
            Pembahasan tentang marxisme di Rusia dan Cina menjadi pintu masuk ke pembahasan tentang marxisme di Indonesia. Setelah menelusuri perkembangan marxisme di Rusia dan di Cina, maka perkembangan marxisme di Indonesia dapat dilihat dalam perspektif perbandingan dan dalam konteks yang lebih luas. Sejarah marxisme di Indonesia telah berawal sejak permulaan abad 20. Marxisme sebagai suatu kesadaran politik diperkenalkan ke Indonesia seoleh orang Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet. Tokoh ini masuk ke Indonesia pada tahun 1913 dan untuk selanjutnya tinggal di Indonesia untuk masa lima tahun. Setelah bergabung dengan VSTP (Vereeniging Voor Spooren En Tramweg Personeel) Sneevliet kemudian berinisiatif mendirikan ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging) di tahun 1914. Dengan  dimotori oleh Semaun  dan Darsono pada tahun 1920 ISDV berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).
            PKI memanfaatkan SI (Sarekat Islam) untuk dapat mengembangkan dirinya menjadi partai politik yang kuat. Melalui strategi infiltrasi ke dalam SI partai komunis ini berhasil menyusup ke dalam organisasi rakyat Indonesia yang terbesar di masa pergerakan nasional. Strategi infiltrasi menyebabkan munculnya SI merah dan SI putih, yang pertama untuk mereka yang beraliran marxis sedangkan yang kedua bagi mereka yang menentangnya. Untuk mencegah berlanjutnya dualisme, para pemimpinan SI seperti Haji Agus Salim dan Abdul Muis menegakkan disiplin intern yang berujung pada keluarnya anggota PKI dari SI. Infiltrasi PKI ke dalam SI tidak hanya menyebabkan berkembangnya pengaruh komunis di kalangan Islam, tetapi juga sebaliknya. Hal ini ditandai dengan adanya para aktivis komunis yang berlatar belakang tokoh Islam seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, Haji Moh. Siradi dan Haji Muchlas. Orang yang terakhir merupakan ayah dari tokoh PKI tahun 1960-an, M.H. Lukman.
            Titik balik yang menentukan dari kiprah PKI pada masa pergerakan nasional adalah pemberontakan yang dilakukannya pada tahun 1926. Menurut penilaian Imam Achmad, pemberontakan tersebut dilakukan tanpa suatu persiapan yang matang. Pemberontakan itu lebih disebabkan karena semangat yang mengebu-gebu daripada perhitungan yang rasional. Tanpa dukungan kekuatan militer, persenjataan yang memadai dan masa rakyat yang militan maka dapat diperkirakan bahwa pemberontakan itu akan berujung pada kegagalan. Setelah pemberontakan yang gagal ini para aktivis PKI dibuang ke Boven Digoel dan pemerintah Belanda bersikap semakin represif terhadap kaum pergerakan. PKI dijadikan partai terlarang dan tidak muncul lagi sampai dengan masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Bagi Imam Achmad, meskipun menemui kegagalan, pemberontakan PKI tahun 1926 telah memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa kekuasaan kolonial Belanda dapat digoyangkan. Pemberontakan itu memberi kesadaran politik dan mendorong munculnya kaum non-kooperator dalam dunia pergerakan nasional.  
            Salah satu bagian paling menarik dari buku ini adalah bagian yang membahas tentang peristiwa G 30 S. Hingga saat ini ada berbagai penjelasan tentang siapa yang menjadi dalang dari peristiwa tersebut. Ada penjelasan yang menyatakan PKI merupakan dalang. Kemudian ada yang mengatakan peristiwa G 30 S adalah masalah internal Angkatan Darat. Penjelasan lain mengatakan Sukarno adalah orang yang berada di belakang peristiwa itu. Sedangkan penjelasan terakhir yang juga banyak dikutip mengatakan bahwa Suharto merupakan otak di belakang G 30 S. Imam Achmad memberi penjelasan yang berbeda. Menurutnya G 30 S digerakkan oleh biro khusus yang dipimpin langsung oleh ketua umum PKI, D.N. Aidit. Sepak terjang dari biro khusus tidak diketahui oleh para pimpinan PKI yang lain. Akibatnya biro khusus bertindak tanpa ada kendali dan akhirnya terjerumus dalam suatu upaya kudeta yang gagal yang berujung pada kehancuran PKI. Secara kritis Imam tidak sekedar berhenti dengan hanya menyalahkan biro khusus yang dipimpin oleh Aidit. Lebih jauh lagi menurutnya kesalahan juga ada di pihak partai, anggota, simpatisan, dan termasuk dirinya sendiri yang membiarkan Aidit bertindak semau sendiri tanpa pernah ditegur dan dikoreksi.
            Meski menceritakan tentang kehancuran PKI tetapi bagian penutup buku ini menggambarkan optimisme Imam achmad terhadap masa depan sosialisme atau komunisme. Kegagalan komunisme yang terjadi di Rusia ataupun di Cina pada masa Mao Tse Tung baginya bukan karena komunisme tidak bisa diwujudkan. Tetapi lebih karena Stalin dan Mao menolak untuk melewati tahap kapitalisme. Menurut Imam saat ini kita sedang melewati tahap kapitalisme dan setelah itu barulah tahap komunisme bisa dicapai. Baginya marxisme dan komunisme tidak perlu ditakuti karena ia sebetulnya adalah suatu cara pandang dalam melihat dinamika dan perkembangan masyarakat. Bagi kita tentu pandangan Imam ini dapat kita terima. Bagi orang-orang yang tidak menganut pandangan marxisme atau komunisme ajaran itu tetap merupakan alat analisa yang perlu diperhitungkan dalam melihat dinamika yang ada di dalam masyarakat. Dalam pengertian inilah kita menemukan relevansi dari buku ini terhadap situasi Indonesia saat ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar