ANALISIS
FILOSOFIS ATAS
BUKU
“FIVE MINDS FOR THE FUTURE” KARYA
HOWARD GARDNER
Oleh : Dirgantara Wicaksono
Howard
Gardner dalam bukunya yang bertajuk Five Minds for the Future memperkenalkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Melalui
serangkaian riset yang ekstensif, Gardner menyimpulkan adanya lima jenis pola
pikir yang akan memiliki peran makin penting dalam perjalanan sejarah masa
depan. Lima pola piker tersebut adalah:
I. DISCIPLINE MIND – Kerangka Dasar atau Kerangka Utama Kecerdasan/
Pemikiran
Pola
pikir yang pertama adalah disciplined
mind (pikiran terdisiplin) atau suatu perilaku kognisi yang
mencirikan disiplin ilmu, ketrampilan, atau profesi tertentu. Seseorang harus memiliki paling
tidak satu disiplin ilmu atau kerangka berpikir yang sangat dikuasai untuk
memecahkan masalah di segala hal. Disiplin Mind juga berarti seseorang harus
selalu melatih keahliannya tersebut untuk meningkatkan performansinya.
Pola pikir disciplined mind sesungguhnya sudah terlebih dahulu menjadi
sorotoan dan titik pijak dalam filsafat sepanjang masa, sejak filsafat kuno
hingga filsafat modern dan post modern. Sebagaimana ciri khas filsafat adalah
membangun pemikiran secara kritis-analitis, sistematis, totalitas dan
komprehensif – yang merupakan ciri khas disciplined
mind – demikian pun filsafat mendorong setiap ilmu apapun untuk memiliki
ciri khas yang demikian. Ciri ini pun pada tataran selanjutnya harus dimiliki oleh
setiap orang yang menggeluti ilmu tertentu. Menurut filsuf Karl Pearson, pikiran adalah lukisan atau
keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dan
diungkapkan dengan istilah sederhana. Setiap orang yang menekuni disiplin ilmu
tertentu harus mampu menguasai secara komprehensif dan selanjutnya diungkapkan
secara tepat dalam praksis hidup.
Seorang praktisi yang menekuni dunia bisnis dan manajemen
misalnya, setidaknya mesti menguasai ilmu dan ketrampilan yang solid dalam
bidang tersebut. Demikian pula, semua profesional lainnya – entah arsitek, ahli
komputer, perancang grafis – harus menguasai jenis-jenis pengetahuan dan
ketrampilan kunci yang membuat mereka layak menjadi bagian dari profesi mereka
masing-masing. Keahlian itu sendiri tidak bisa dicapai dalam waktu
singkat, butuh waktu. Namun seiring sejalan peningkatan dan penambahan area
keahlian seseorang maka pemecahan masalah pun bisa lebih terarah dan lebih
mudah jika menerapkan discipline mind tersebut karena dilandasi oleh kerangka
berpikir yang tepat dan keahlian yang mumpuni.Esensi dari pola pikir yang pertama ini adalah : untuk
benar-benar menjadi manusia yang profesional, kita mestinya menguasai secara
tuntas, komprehensif, mendalam dan terdisiplin satu bidang
pengetahuan/ketrampilan tertentu.
II. SYNTHESIZING MIND
– Mensinergikan Ide dan Pemikiran dari Disiplin Ilmu Yang Berbeda
Pola
pikir yang kedua adalah : synthesizing
mind (pikiran mensintesa). Atau juga pola untuk mencerap
informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya menjadi
satu pengetahuan baru yang powerful.
Pola pikir ini juga merupakan salah satu ciri khas
filsafat. Filsafat selalu menekankan kemampuan pikiran untuk mensintesiskan
pengetahuan. Filsuf Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal
terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of
Pure Reason), memberi arah baru mengenai pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan yang dimiliki manusia
merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran
dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant
yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang
direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda
itu sendiri
Seseorang harus
mampu menggabungkan berbagai pola pemikiran dan disiplin ilmu agar dapat
mengumpulkan informasi dan pengetahuan seluasnya dari berbagai macam sumber
serta melahirkan berbagai macam ide dan ilmu pengetahuan baru yang bermanfaat.
Oleh karenanya seseorang dituntut untuk dapat mensinergikan berbagai macam
disiplin ilmu, pengetahuan, serta kerangka berpikir. Kemampuan untuk mensinergikan
tersebut sangatlah vital untuk masa sekarang dan masa depan karena merupakan
keahlian dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang inovatif.
III. CREATIVITY MIND – Membuka Tabir dan Memecahkan
Masalah Melalui Kreativitas dan Ide Inovatif
Pola
pikir yang ketiga adalah creating
mind (pikiran mencipta). Pikiran ini menggedor kita untuk
senantiasa merekahkan ide-ide baru, membentangkan pertanyaan-pertanyaan tak
terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru, dan sekaligus memunculkan
unexpected answers. Pola pikir inilah yang akan membawa kita masuk dalam
wilayah-wilayah baru yang menjanjikan harapan dan peluang untuk direngkuh dan
dimanfaatkan. Pola pikir inilah yang akan membuat kita mampu berpikir secara
lateral dan bukan sekedar berpikir
linear mengikuti jalur konvensional yang acap hanya akan membuat kita stagnan.
Dan pola pikir inilah yang akan menemani kita untuk bergerak maju, progresif,
demi terciptanya sejarah hidup yang positif dan bermakna (meaningful life).
Dalam
filsafat, pola pikir kreatif merupakan hal penting yang menuntut setiap orang
untuk melihat ilmu atau pun pandangan apa saja sebagai sesuatu yang selalu
terbuka untuk disempurnakan. Kreativitas dalam berpikir mendorong setiap orang
untuk selalu mencoba, menguji, dan mencari jawaban yang paling sempurna tentang
sesuatu. Radhakrishnan dalam bukunya, History
of Philosophy, menyebutkan tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan
semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai,
menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat
hendaknya mengilhamkan pikiran dan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia
baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan
berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia
kemanusiaan.
Di dalam pola pikir ini, seseorang
dituntut harus memiliki kreativitas berpikir. Kreativitas tersebut digunakan
untuk membantu pemecahan masalah di luar cara yang sudah ditentukan sebagai
alternatif pemecahan masalah juga kemampuan membuat terobosan baru. Kreativitas
disini juga adalah suatu kemampuan menciptakan sesuatu yang tidak bisa
diidentifkasi komponennya. Kreativitas tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi
sehingga diharapakan para pemimpin sangat mengerti akan kunci kreativitas
berpikir tersebut sehingga dapat respek akan ide-ide kreatif, membuka ruang dan
kesempatan serta menciptakan atmosfer yang mendukung.
Etika: memperhatikan dan mempertimbangkan dengan
sungguh-sungguh kebutuhan dan keinginan publik di mana ia berada, atau dengan
kata lain tidak egois. Selalu berorientasi pada kemaslahatan bagi semaksimal
mungkin anggota masyarakat
IV. RESPECTFUL
MIND – Penghargaan Perbedaan Dengan Orang Lain
Pola
pikir berikutnya adalah respectful
mind (pikiran merespek). Atau sebuah pola pikir untuk menerima perbedaan
pandangan dengan sikap terbuka, dan bukan dengan sikap saling curiga. Sebuah pola pikir yang akan membuat kita terhindar dari
anarki akibat pemaksaan kepentingan. Sebuah pola pikir yang senantiasa mengajak
kita untuk merayakan keragaman pandangan dan sekaligus menghadirkan empati bagi
pendapat/pikiran orang lain – meski pendapat itu mungkin berbeda dengan yang
kita hadirkan.
Filsafat yang
autentik sangat respek terhadap perbedaan pandangan, ide, gagasan, atau
pemikiran. Filsafat tidak pernah merasa “puas” atau “sempurna” dengan apa yang
telah dicapai, tetapi senantiasa melihat sisi-sisi lain dari pelbagai pandangan
yang ada untuk mendapatkan suatu kebenaran universal. Di dalam filsafat, tidak
ada diskriminasi pandangan. Yang ada adalah penghargaan atas perbedaan dan
membangun sikap dialog yang kritis untuk menemukan dan menyepakati kebenaran
yang dapat diterima umum. Sebagai misal,
ketika berhadapan dengan pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum
rasionalisme versus kaum empirisme, Immanuel Kant berupaya “mendamaikan”
pertentangan itu. Pada dasarnya Kant tidak mengingkari kebenaran pengetahuan
yang dikemukakan baik oleh kaum rasionalisme maupun empirisme. Menurutnya, kesalahan terjadi bila
masing-masing pihak mengklaim secara ekstrem pendapatnya dan menolak pendapat
yang lain.
Seseorang yang memiliki respectful mind dapat menerima dan
menghargai pendapat dan perbedaan dengan orang lain, agar dapat bekerja sama,
dan mampu menciptakan suasana keterbukaan dan hubungan timbal-balik serta
tenggang rasa dan toleransi.
Sangat penting untuk ditanamkan
pemikiran bahwa hak dan kewajiban serta kemauan seseorang itu terbatas oleh
hak, kewajiban, dan kemauan orang lain. Sehingga apabila pemikiran itu bisa
diterapkan maka setiap orang sudah memiliki respectful
mind yang diharapkan.
Pekerjaan yang dilakukan dalam tim
pun dapat secara langsung atau tidak langsung membangun respectful mind orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan bukan
tidak mungkin kekuatan kerja dari tim tersebut bisa berkurang atau hilang
sehingga gagal jika tidak memiliki respectful
mind yang tinggi.
V. ETHICAL MIND – Berpikir untuk orang lain demi
kepentingan bersama
Dan
pola pikir yang terakhir atau kelima yang juga amat dibutuhkan adalah ethical mind (pikiran
etis). Inilah pola pikir yang terus mendorong kita untuk berikhtiar membangun
kemuliaan dan keluhuran dalam kehidupan personal dan profesional kita.
Ethica mind adalah kemampuan/kecerdasan
seseorang untuk berpikir di luar keinginan pribadi dan diluar kemampuan diri
yang telah dimiliki.
Filsafat mengartikan pikiran etis
atau berpikir etis sebagai kegiatan berpikir dengan budi yang baik dan
diterapkan dalam kehidupan setiap hari. Menurut Plato, berpikir etis adalah
kegiatan manusia untuk mencapai budi atau pengetahuan yang baik. Dengan
pengetahuan yang baik, manusia berupaya mencapai kebahagiaan hidup sebagai
nilai yang dituju setiap manusia.
Sebenarnya ethical mind ini sangat
erat hubungannya dengan respectful mind dan synthesizing mind, serta creativity
mind. Seperti dasar pemikiran respectful mind bahwa hak, kewajiban, serta
kemauan seseorang terbatas oleh hal yang sama dari orang lain, maka ethical
mind pun seperti itu sehingga dia sangat tahu di mana menempatkan diri dan
bersikap serta apa yang boleh dan dapat diperbuatnya. Seseorang yang memiliki
ethical mind itu tentunya sangatlah cerdas karena dia harus dapat respek ke
lingkungan sekitar sehingga dengan kemampuannya dapat bekerjasama dan
mensinergikan berbagai pengetahuan dipadu dengan creativity mind yang dimiliki.
Dia juga sangat tahu bagaimana caranya menerapkan segala pemikirannya pada
lingkungannya di mana hal ini dimungkinkan karena dia memiliki pengetahuan di
luar kemampuan yang sudah dimiliki sendiri tersebut.
BY : dw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar