Kemiskinan yang Dimiskinkan
Pendahuluan
Sistem
kapitalis dan sosialis dengan asas manfaat bebas nilai, telah melahirkan elit
politik dan konglomerat yang menghalalkan segala cara. Bergelimang dalam
kemewahan dengan mengorbankan sebagian besar masyarakat.
Kita
semua sadar dan tahu bahwa kemiskinan akan selalu ada dalam masyarakat apapun.
Hanya saja masalahnya adalah, bagaimana upaya untuk menanggulangi dan
memecahkan problem kemiskinan tersebut. Bila bicara tentang pengaturan dan
pemecahan problem kemiskinan, maka hal ini jelas berkaitan erat dengan sistem
yang diterapkan oleh negara yang bersangkutan. Tak mustahil, kemiskinan yang
sifatnya sudah sunatullah akan tetap langgeng karena negara membantu
memperparah kemiskinan tersebut dengan sistem yang diterapkannya. Inilah yang
berbahaya dan sangat mematikan kehidupan umat.
Dalam sistem kapitalis, para konglomerat dengan leluasa
bisa mengendalikan sistem perekonomian. Penimbun misalnya, mereka bisa dengan
bebas mengumpulkan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, kemudian menunggu
waktu yang pas untuk dilempar ke konsumen dengan harga yang melambung. Jelas
ini akan membuat masyarakat menderita karena harus merogoh kocek lebih dalam
lagi. Wal hasil, kemiskinan alaminya sudah ditambah dengan kemiskinan
struktural yang membuat masyarakat semakin terpuruk.
Tentu, hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja, karena
menyangkut hajat hidup orang banyak. Sistem Islam akan mengupayakan
langkah-langkah dalam mensejahterakan rakyat. Pertama, mengharamkan
penimbunan harta.Kedua, memerintahkan agar harta beredar di seluruh
anggota masyarakat, tidak hanya beredar di kalangan tertentu saja. Ketiga,
pemerintah hendaklah mengeluarkan dana khusus untuk kebutuhan mendesak anggota
masyarakatnya. Keempat, menetapkan hukum waris, sebagai upaya untuk
memecah dan membagikan harta kepada yang berhak atasnya. Kelima, Islam
melarang berlaku kikir dengan tidak menikmati dan memanfaatkan harta yang
dimilikinya dalam batas-batas yang ditentukan syara’. Keenam, Islam
menjadikan sebab-sebab pemilikan harta berdasarkan hukum syara’, dengan
beberapa cara. Dalam hal ini Islam jelas akan melarang bentuk sistem ekonomi
ribawi.
Usaha mengatasi kemiskinan bisa saja diawali dari
individu, misalnya dengan pendidikan. Namun hal ini sangat timpang dengan
keadaan pendidikan yang ada di Indonesia, saat ini pendidikan hanya dapat
dikenyam oleh orang-orang yang berduit saja. Sehingga kemiskinan yang terjadi
sulit untuk diatasi dan buituh waktu yang lama.
Isi
Paling sedikit
23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan saat ini, di antaranya 4,35
juta tinggal di Jawa Barat. Ancaman kelaparan ini akan semakin berat, dan
jumlahnya akan bertambah banyak, seiring dengan Mereka yang terancam kelaparan
adalah penduduk yang pengeluaran per kapita sebulannya dibawahRp30.000,00.
Di antara orang-orang yang terancam kelaparan, sebanyak 272.198 penduduk Indonesia, berada dalam keadaan paling mengkhawatirkan. Dari jumlah itu, sebanyak 50.333 berasal dari Jawa Barat, di antaranya 10.430 orang tinggal di Kabupaten Bandung dan 15.334 orang tinggal di Kabupaten Garut. Mereka yang digolongkan terancam kelaparan dengan keadaan paling mengkhawatirkan adalah penduduk yang pengeluaran per kapitanya di bawahRp15.000,00sebulan.
Angka-angka ancaman kelaparan itu dapat disimak dalam laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional 1996 dalam buku "Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 1996" yang dipublikasikan Biro Pusat Statistik, dan buku "Data Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Barat Tahun 1996" yang dipublikasikan Kantor StatistikProvinsiJawaBarat.
Di antara orang-orang yang terancam kelaparan, sebanyak 272.198 penduduk Indonesia, berada dalam keadaan paling mengkhawatirkan. Dari jumlah itu, sebanyak 50.333 berasal dari Jawa Barat, di antaranya 10.430 orang tinggal di Kabupaten Bandung dan 15.334 orang tinggal di Kabupaten Garut. Mereka yang digolongkan terancam kelaparan dengan keadaan paling mengkhawatirkan adalah penduduk yang pengeluaran per kapitanya di bawahRp15.000,00sebulan.
Angka-angka ancaman kelaparan itu dapat disimak dalam laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional 1996 dalam buku "Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 1996" yang dipublikasikan Biro Pusat Statistik, dan buku "Data Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Barat Tahun 1996" yang dipublikasikan Kantor StatistikProvinsiJawaBarat.
Karena data dalam
laporan itu diperoleh pada tahun 1996, saat Indonesia belum terpuruk dalam
krisis ekonomi, maka sudah selayaknya perlu disimak dengan lebh hati-hati.
Salah satu rambu kehati-hatian yang diperlukan adalah keadaan Indonesia saat
ini yang ditandai dengan meroketnya harga, sedangkan pendapatan penduduk
merosot yang antara lain disebabkan oleh banyaknya orang yang terkena PHK. Ada
kemungkinan angka tahun 1996 itu lebih baik daripada keadaan Indonesia 1998.
(Pada saat makalah ini ditulis, penulis belum membaca buku "Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1997" yang diterbitkan BPS,Maret1998).
Dalam keadaan yang begitu berat, sebagian penduduk Indonesia terpaksa mengais sah untuk mempertahankan hidupnya, seperti terpang dalam cover majalah internasional Newsweek, 27 Juli 1998, dan Pikiran Rakyat, 6 Agustus 1998.Sebelum Indonesia terperosok ke dalam krisis ekonomi, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan "hanya" 22,5 juta. Oleh karena pemerintahan Orde Baru gagal menanggulangi krisis ekonomi, maka jumlah orang miskin membengkak menjadi 78,9 juta. Keadaan ini memaksa Soeharto, lengser keprabon. Ini adalah angka kemiskinan versi BPS.
Dalam keadaan yang begitu berat, sebagian penduduk Indonesia terpaksa mengais sah untuk mempertahankan hidupnya, seperti terpang dalam cover majalah internasional Newsweek, 27 Juli 1998, dan Pikiran Rakyat, 6 Agustus 1998.Sebelum Indonesia terperosok ke dalam krisis ekonomi, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan "hanya" 22,5 juta. Oleh karena pemerintahan Orde Baru gagal menanggulangi krisis ekonomi, maka jumlah orang miskin membengkak menjadi 78,9 juta. Keadaan ini memaksa Soeharto, lengser keprabon. Ini adalah angka kemiskinan versi BPS.
Bila berpatokan pada angka kemiskinan BPS ini, maka
jumlah orang miskin di Jawa Barat sekitar 14,85 juta, yang di antaranya 1,19
juta tinggal di Kabupaten Bandung, dan 284.000 orang tinggal di Kotamadya
Bandung.
Ada kemungkinan angka kemiskinan versi BPS terlalu kecil, apalagi bila pengukuran kemiskinan itu menggunakan patokan pengeluaran rumah tangga "ekuivalen nilai tukar beras" (dalam kg/orang/bulan). Bila mengacu pada tulisan Prof. Dr. Sajogyo, "Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan" (Yogyakarta, Aditya Media, 1996), maka yang digolongkan miskin adalah orang yang pengeluaran rumahtangganya sama dengan, atau di bawah 320 kg/orang/tahun untuk perdesaan, dan 480 kg/orang/tahun untuk perkotaan.
(Sebagai perbandingan, dalam "Statistik Indonesia 1996" yang diterbitkan BPS Pusat, garis kemiskinan di daerah perkotaan Rp 38.246,00 dan di daerah pedesaan Rp 27.413,00 per bulan per kapita). Oleh karena pada tahun 1996 harga eceran beras di pasar bebas sekitar Rp 1.000,00/kg, maka garis kemiskinan orang kota itu setara 38 kg/bulan/kapita, sedangkan orang desa setara27,5kg/bulan/kapita).
Jika patokan "ekuivalen nilai tukar beras" ini dipakai untuk menentukan garis kemiskinan, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 116,2 juta, sebanyak 37,6 juta tinggal di kota dan 78,6 juta tinggal di desa. Sedangkan orang yang terancam kelaparan di Indonesia menjadi 33,57 juta. Perlu dicatat bahwa nilai tukar beras dalam perhitungan ini adalah Rp 2.000,00/kg (harga tanggal 5 Agustus 1998). Dan hari-hari terakhir ini harga beras sudah mencapai Rp 4.000,00/kg. Jika dihitung dengan harga beras 4.000,00/kg berapa puluh juta lagi manusia Indonesia yang tergolong miskin? Dalam keadaan krisis seperti ini, kita tak perlu berdebat mengenai angka kemiskinan mana yang lebih benar. Angka yang dikeluarkan BPS saja sudah mengerikan, apalagi bila kita menggunakan ukuran-ukuran yang lain.
Ada kemungkinan angka kemiskinan versi BPS terlalu kecil, apalagi bila pengukuran kemiskinan itu menggunakan patokan pengeluaran rumah tangga "ekuivalen nilai tukar beras" (dalam kg/orang/bulan). Bila mengacu pada tulisan Prof. Dr. Sajogyo, "Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan" (Yogyakarta, Aditya Media, 1996), maka yang digolongkan miskin adalah orang yang pengeluaran rumahtangganya sama dengan, atau di bawah 320 kg/orang/tahun untuk perdesaan, dan 480 kg/orang/tahun untuk perkotaan.
(Sebagai perbandingan, dalam "Statistik Indonesia 1996" yang diterbitkan BPS Pusat, garis kemiskinan di daerah perkotaan Rp 38.246,00 dan di daerah pedesaan Rp 27.413,00 per bulan per kapita). Oleh karena pada tahun 1996 harga eceran beras di pasar bebas sekitar Rp 1.000,00/kg, maka garis kemiskinan orang kota itu setara 38 kg/bulan/kapita, sedangkan orang desa setara27,5kg/bulan/kapita).
Jika patokan "ekuivalen nilai tukar beras" ini dipakai untuk menentukan garis kemiskinan, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 116,2 juta, sebanyak 37,6 juta tinggal di kota dan 78,6 juta tinggal di desa. Sedangkan orang yang terancam kelaparan di Indonesia menjadi 33,57 juta. Perlu dicatat bahwa nilai tukar beras dalam perhitungan ini adalah Rp 2.000,00/kg (harga tanggal 5 Agustus 1998). Dan hari-hari terakhir ini harga beras sudah mencapai Rp 4.000,00/kg. Jika dihitung dengan harga beras 4.000,00/kg berapa puluh juta lagi manusia Indonesia yang tergolong miskin? Dalam keadaan krisis seperti ini, kita tak perlu berdebat mengenai angka kemiskinan mana yang lebih benar. Angka yang dikeluarkan BPS saja sudah mengerikan, apalagi bila kita menggunakan ukuran-ukuran yang lain.
Walau hingga saat ini ditentang berbagai gelombang protes
dimana-mana, Pemerintah akhirnya memberlakukan penghapusan subsidi BBM
terhitung 1 Oktober 2000 yang lalu. Setelah kenaikan tahap pertama tersebut
pada bulan April 2001 yang akan datang Pemerintah akan menaikkan kembali BBM
tersebut. Selain untuk menghilangkan disparitas harga dengan yang berlaku di
pasar international sehingga telah mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke
luar negeri, penghapusan subsidi tersebut juga secara filosofis dimaksudkan
untuk mengalihkan subsidi tersebut secara tepat kepada mereka yang berhak.
Selama ini subsidi yang melekat pada BBM tersebut lebih banyak dinikmati oleh
mereka yang berdaya beli tinggi. Sementara penduduk miskin yang seharusnya
mendapat prioritas menikmati subsidi tersebut tidak atau sedikit sekali
menikmatinya.
Subsidi
Sejak awal sebenarnya pola subsidi yang dilekatkan pada
sumber daya (resource-based subsidy) seperti berlaku pada BBM tersebut
dikritik para pakar. Pola subsidi tersebut hanya akan menguntungkan mereka yang
berdaya beli tinggi. Sementara masyarakat yang berdaya beli rendah hanya
sedikit sekali menikmatinya. Oleh karena itu sebagai gantinya diusulkan agar
subsidi tersebut langsung diberikan kepada mereka yang tepat melalui mekanisme user-based
subsidy. Pola ini pula yang direncanakan akan diterapkan dalam penyaluran
dana Rp 800 milyar yang diperoleh dari kenaikan harga BBM rata-rata 12%
tersebut. Seperti yang pernah dilansir oleh Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah, Erna Witoelar, selain dalam bentuk pembangunan prasarana dan bantuan
kredit, penyaluran dana tersebut juga akan diberikan dalam bentuk tunai (cash
transfer).
Pertanyaannya
seberapa efektif penyaluran dana tersebut dalam membantu penduduk miskin yang
akan atau telah mengalami goncangan akibat kenaikan BBM beserta dampak
ikutannya. Karena pada saat yang sama kenaikan BBM tersebut juga akan
berpengaruh terhadap sektor-sektor lain, yang tidak menutup kemungkinan memicu
kenaikan harga dan peningkatan inflasi. Walaupun secara teoritis kenaikan harga
BBM sebesar 12% tersebut hanya berimbas pada kenaikan 1% per produk, tapi tidak
ada jaminan kalau tidak akan ada gejolak kenaikan harga. Selain itu
dikhawatirkan program tersebut hanya dijadikan kamuflase untuk meredam
resistensi di masyarakat. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan pengalaman
kegagalan dan kesemrawutan penyaluran dana JPS pada masa lalu.
Penyesuaian Struktur Ekonomi
Penghapusan subsidi BBM tersebut juga merupakan konsekwensi langsung dari
kesepakatan Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) yang tertuang
dalam LOI (Letter of Intent), yang salah satu klausalnya menghendaki
penyesuaian dan reformasi struktur ekonomi, termasuk penghapusan segala bentuk
subsidi yang tidak efisien. Program penyesuaian struktural yang dimaksud secara
ringkas dapat digambarkan sebagai upaya yang dilakukan suatu negara agar
merampingkan ekonominya menuju ekonomi pasar (market-driven economy).
Konsekwensi yang terjadi akibat dari penyesuaian tersebut adalah pemotongan
subsidi pemerintah untuk pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, transportasi
umum (dalam bentuk penghapusan subsidi BBM dan kenaikan tarif angkutan) dan
lain-lain. Dampak penyesuaian struktural ini lebih lanjut semakin menciptakan
kemiskinan. Untuk itulah diperlukan program untuk melindungi kelompok masyarakat
yang paling rentan, baik dalam bentuk program strategis jangka panjang maupun
program darurat jangka pendek seperti Jaring Pengaman Sosial (social safety
net). sehingga yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya.
Dalam buku Social Safety Net, Issues and Recent
Experiences terbitan IMF tahun 1988 yang diedit oleh Ke young Chu dan
Sanjeev Gupta, JPS secara umum di definisikan sebagai sejumlah instrumen yang
ditujukan untuk meringankan orang miskin terhadap dampak terburuk dari
reformasi ekonomi. Instrumen itu setidak-tidaknya ada tiga, yakni subsidi,
pengamanan sosial (social security), serta padat karya yang jelas
kelompok sasarannya (target group). Subsidi yang dimaksud adalah untuk
meningkatkan daya beli masyarakat miskin, sehinggga mempunyai akses untuk
membeli kebutuhan pokoknya seperti bahan pangan, produk-produk energi, dan
pelayanan transportasi.
IMF sebenarnya sudah memaklumi adanya perlindungan sosial yang sudah
berkembang secara tradisional di masyarakat tertentu seperti di Cina, Indonesia,
India, Afrika Sub Sahara. Masyarakat di negara-negara ini sudah mengembangkan
pengamanan sosial melalui jaringan keluarga. Anggota masyarakat yang mengalami
kesulitan ekonomi akan dibantu oleh anggota keluarga yang telah hidup mapan.
Kesimpulan
Masalah kelaparan dan kemiskinan di Indonesia itu sangat
mengerikan, lebih-lebih karena menimpa saudara-saudara kita sebangsa dan
setanah air. Adalah kewajiban kita untuk menghindarkan masyarakat Indonesia
dari kelaparan, jangan sampai gambaran penderitaan kelaparan yang terjadi di
Afrika menimpa Indonesia.
Salah satu kunci utama untuk menghindarkan penderitaan
itu menjadi musibah lebih berat adalah keterbukaan dan kelancaran informasi
tentang kelaparan dan kemiskinan di tiap daerah.
Akhir-akhir ini terlihat kecenderungan bahwa kemiskinan
akan lebih banyak ditemui di wilayah perkotaan seiring dengan meningkatnya
urbanisasi den krisis ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Padahal sebelumnya kemiskinan diidentikkan dengan fenomena desa atau daerah terpencil
yang minus sumber dayanya. Tapi kemiskinan tetap sebagai suatu kondisi sosial
yang umumnya invisible dan belum dipahami sepenuhnya oleh para pengambil
keputusan. Ini pula yang menjadi motif utama pelaksanaan Proyek Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotnan (P2KP) yang dalam pelaksanaannya menggunakan paradigma
dan pemahaman baru.
Kemiskinan
sebagai masalah nasional, tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah
melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga harus menjadi tanggung
jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan termasuk masyarakat itu
sendiri. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada
penduduk miskin untuk ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan aset
produksi. Proyek P2KP yang telah diluncurkan pemerintah dengan penekanan pada
pendekatan komunitas dan bertumpu pada pengembangan manusia.
Ini terlihat jelas dalam latar belakang proyek yang menegaskan bahwa Proyek
P2KP dirancang secara khusus dengan pengertian bahwa upaya pengentasan
kemiskinan yang berkelanjutan akan dapat diwujudkan dengan lebih memberdayakan
komunitas itu sendiri khususnya komunitas ditingkat kelurahan. Pemberdayaan
komunitas dilaksanakan dengan menyediakan sumberdaya yang tepat dan menekankan
bahwa pengambilan keputusan maupun tanggung jawab berada di tangan komunitas
sendiri.
Memang ironis
bahwa walaupun kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban
manusia, tapi pemahaman terhadapnya dan upaya untuk mengentaskannya belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dengan terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia orang miskin "baru" semakin bertambah.
BomBoM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar