PLATO: PRINSIP-PRINSIP DASAR PENDIDIKAN
Oleh :
Dirgantara Wicaksono. S.Pd, M.Pd,MM
I.
ASAL-MUASAL
PEMIKIRAN PLATONIK TENTANG PENDIDIKAN
1.1
Tempat Plato Dalam Teori Pendidikan
Barat
Plato
menduduki tempat sentral dalam filsafat dan teori pendidikan Barat. Ide-idenya
tentang pendidikan tidak hanya merupakan gagasan yang termuat dalam teks-teks mati,
melainkan digunakan secara tetap sebagai sebuah doktrin hidup dalam dunia
pendidikan. Dia bukan hanya merupakan seorang filsuf dan pengarang yang
briliant dan sulit ditandingi, melainkan juga seorang yang memiliki panggilan
hidup praktis sebagai seorang pendidik.
1.2
Sumbangsih Plato Bagi Pemikiran Dan Praktek Modern Dalam Dunia Pendidikan
Sumbangan
Plato bagi pemikiran dan praktek pendidikan dalam dunia modern antara lain: a) penggunaan
diskusi sebagai bagian dari metode ajar; b) gagasan
bahwa universitas merupakan titik tertinggi dari sistem pendidikan publik,
terutama untuk pengajaran dan riset; c) divisi
sekolah dan kurikulum atas tingkatan-tingkatan, yakni tingkat dasar, tingkat
kedua, dan tingkat lanjut; d) sistem ko-edukasi, dan e) kombinasi
antara “pendidikan” fisik dan mental pada tingkat pra-riset.
Di Amerika
Serikat, tempat buku ini diterbitkan dan digunakan, pemikiran Plato digunakan antara
lain a) sebagai dasar mengapa diberikan porsi ajar lebih banyak
bagi sains ketimbang humaniora pada pendidikan tingkat SLTP dan SLTA, dan b) sebagai
alasan mengapa pengetahuan umum dengan standar tertentu harus dipenuhi lebih
dahulu sebelum si terdidik diizinkan mengambil studi speasialisasi.
II.
FILSAFAT PLATO
Filsafat Plato
mengusung tiga tema penting: a) pandangannya bahwa filsafat adalah sebuah pencarian
bersama atas pengetahuan tentang diri (self-knowledge)
dan tentang realisasi diri (self-realization), b) penemuan
forma (the discovery of form), dan c) relasi antara
forma dan nilai.
2.1
Inquiry
(pencarian, tindakan meminta informasi)
Dari Socrates,
Plato belajar bahwa pengetahuan tentang diri adalah sesuatu yang sulit dan
kompleks. Socrates sendiri dihukum mati pada 399 SM (dengan minum racun secara
suka rela sekalipun ia sebenarnya bisa melarikan diri dari hukuman) atas
penolakannya untuk berhenti mempersoalkan kemapanan moral, sosial, dan politik.
Plato mencium bahaya dalam konservatisme dan kemapanan tak kritis masyarakat
ini akhirnya memutuskan untuk berbalik dari pilihan pertamanya untuk berkarir
di bidang politik dan memusatkan perhatiannya pada pendidikan sebagai sarana
untuk membentuk kaum muda Athena agar bisa berpikir mandiri.
2.2
Form (forma)
Dari Socrates juga, Plato mengadopsi optimisme
bahwa manusia mampu mempelajari fitur formal dari suatu benda secara terpisah
dari benda itu sendiri. Forma, menurut Plato, adalah karakteristik yang
memberikan identitas pada sebuah benda, atau ciri yang membuat sebuah benda
disebut dengan nama tersebut. Misalnya,
dua kursi mempunyai forma yang sama, yakni forma ke-kursi-an (“tempat
duduk dengan empat kaki”), sehingga kita bisa memberi keduanya nama yang sama,
yaitu kursi, sekalipun materinya berbeda (kayu, logam atau plastik). Forma
ke-kursi-an ini membedakan kursi tersebut dari benda lain, misanya, dari rak
buku. Semakin sama forma benda-benda, semakin miriplah benda-benda tersebut.
Berkaitan
dengan pemikiran Plato tentang forma ini, dua hal perlu diingat. Pertama, forma bukanlah sekadar
struktur; alih-alih, ia adalah juga ‘yang ideal’ dan mengandung tingkatan
nilai. Misalnya, ada kursi yang lebih baik daripada kursi yang lain. Semakin
dekat ke forma kursi ideal, semakin baiklah sebuah kursi. Kedua, forma itu bersifat real, objektif, berada pada sebuah benda,
dan bukannya merupakan rekaan pikiran manusia. Ketiga, forma sebuah benda bersifat tetap, tidak berubah, sekalipun
materinya diganti.
2.3
Value (nilai)
Selain
berupaya menemukan kesamaan kodrat benda-benda, Socrates juga mendalami
nilai-nilai sebagai hal yang dihayati manusia dalam kehidupannya, misalnya
keberanian dan persahabatan. Sambil meneruskan minat gurunya, Plato menaruh
minatnya lebih jauh lagi: mendalami forma-forma yang merupakan penyebab atau
alasan dari nilai-nilai.
Menurut Plato,
nilai-nilai selalu membutuhkan sebuah forma yang membuat nilai-nilai tersebut
berada dalam urutan yang koheren. Misalnya, keindahan (beauty) mensyaratkan pola organik, kebajikan (virtue) mensyaratkan relasi harmonis antara kekuatan manusia
dan kemampuannya, kebenaran (truth) mensyaratkan
adanya koherensi sistematik dalam langkah-langkah pembuktian atau pencarian.
Menurut Plato, ketiga nilai tersebut – yakni keindahan,
kebajikan, dan kebenaran – adalah bawahan dari sebuah nilai sekaligus
forma lain yang lebih tinggi, yakni Yang-Baik atau Kebaikan (the Good). Forma Kebaikan, menurut
Plato, pastilah ada di semua benda sehingga benda-benda tersebut memiliki nilai
dan, lebih jauh lagi, membuat kita ingin memiliki benda-benda tersebut atau
ingin mengetahuinya.
“Mengetahui” (knowing), dalam pandangan Plato, tidak
bisa dibatasi hanya pada deskripsi objektif tanpa evaluasi, sebagaimana terjadi dalam program
aplikasi matematika a la Pythogoras.
Sebaliknya, kata Plato, tindakan-mengenal kita selalu melibatkan elemen
pencarian akan tujuan dan hal-hal ideal, yang memberi arti-penting pada forma.
Kita, misalnya, selalu ingin tahu mengapa
benda-benda berbentuk seperti ini atau itu, dan bukan hanya sekadar bagaimana bentuknya.
Dalam pelbagai
tingkatan, pengetahuan akan tujuan dari benda-benda membantu kita menjelaskan
dan memahami struktur-strukturnya. Menurut Plato, struktur memang penting
artinya karena ia merupakan tujuan akhir dari benda-benda. Namun pemahaman kita
akan ‘forma’ tidak boleh dipersempit hanya sebatas pada struktur belaka, dan
lalu mendepak keluar nilai. Sebab, kata Plato, tanpa nilai, struktur akan
menjadi tidak penting dan tidak dapat dipahami. Karena itu, menurut Plato, kita
tidak dapat memisahkan antara ‘deskripsi’ dan ‘evaluasi’.
2.4
Forms of Human Nature (Forma Kodrat Manusia)
Dalam usahanya
membedah tema seputar pengetahuan-tentang-diri (self-knowledge), Plato menemukan bahwa kodrat manusia (human nature), atau jiwa (the soul), adalah sebuah entitas yang
sangat kompleks. Soalnya, jiwa pada saat yang sama mampu mengenal dunia forma
yang notabene tidak berubah, tetapi juga sensitif terhadap dunia indrawi yang
notabene berubah. Selain itu, kodrat manusia pada dasarnya menginginkan
kebaikan, namun ia juga rentan terhadap kemalasan, mau cari gampang, dan masa
bodoh. “Diri”, karena itu, kelihatan merupakan gabungan dari akal budi, ambisi,
dan rasa, lewatnya ia berpikir, menghendaki, dan mengindrai.
Menurut Plato,
idealnya, hidup manusia hendaknya merupakan keselarasan yang efektif antara
semua aspek jiwa ini, sebuah harmoni yang menghasilkan seorang manusia yang
sejati. Jiwa memiliki kepekaan terhadap pola-pola tetap dan tujuan-tujuan yang
menarik; ia memiliki kebebasan untuk memilih menjadi seorang dengan karakter
khusus. Pribadi yang luar biasa adalah seorang pribadi yang memiliki keseimbangan
antara kebijaksanaan, keberanian, dan penguasaan diri, yang diperoleh melalui
penggunaan daya pikir untuk mencapai pengenalan akan diri dan peningkatan
kualitas diri.
III.
GARIS PEMISAH:
PENGETAHUAN DAN KURIKULUM
3.1
Hubungan
Antara Dialog Plato dan Filsafat Pendidikan
Dari paparan
tentang filsafat Plato bisa dikatakan bahwa sulitlah memisahkan dialog-dialog
Plato dari filsafat pendidikan. Sebagaimana halnya Dewey, Plato agaknya juga
setuju bahwa filsafat pendidikan adalah sama dengan filsafat itu sendiri dalam
artian luas. Dalam bukunya Republic,
Plato memberikan gambaran umum tentang tahap-tahap pencarian yang membentuk
baik sebuah diskusi yang baik maupun sebuah pendidikan yang efektif. Pola-pola
tersebut tidak dia berikan dalam bentuk abstrak saja. Alih-alih, dia juga
mempraktekkan pola-pola konkret mengenai pengembangan diskusi-diskusi dalam
buku tersebut.
3.2
Empat Tingkatan Dari Upaya Memahami
Dalam Republic, Plato menyebut empat tingkatan
dalam usaha memahami sesuatu. “Pengetahuan bermula dari motivasi, dengan
entusiasme dan keinginan untuk mengetahui...bergerak melalui fase
ekperimentasi, di dalamnya kita mengecek perasaan dan pikiran subyektif kita di
hadapan pengalaman orang lain dan dunia publik....kemudian, masih
dalam upaya mencari penjelasan yang lebih jelas, kita harus membuat
generalisasi, dan mencari hukum-hukum dan teori...akhirnya, dalam
sebuah upaya pencarian yang sukses, kita tiba pada pengenalan akan forma:
melihat sebuah ideal atau nilai yang telah beroperasi pada tiap tingkatan
pemahaman, yang telah menarik kita selama ini lantaran tidak jelasnya visi kita
akan kodrat sejati dari sesuatu.”
Buku Republic itu sendiri membahas teori
pendidikan secara cukup mendalam. Ia memberi contoh tentang sebuah metode
mengajar, mengembangkan sebuah teori pengetahuan, memaparkan garis besar kurikulum pendidikan, menjelaskan tempat
khusus edukasi dalam keseluruhan peran sosialnya, dan memberikan sebuah
analisis tentang kodrat manusia.
Dalam Republic dan Meno, Plato – dengan meminjam mulut Socrates – membedakan empat
level pengetahuan berdasarkan “tingkat kejelasannya”:
3.2.1
Eikasia –
Kasak-Kusuk dan Fiksi (Hearsay and
Fiction)
Bagian paling
bawah dari garis pengetahuan a la
Plato adalah “pengetahuan” yang bertumpu terutama pada imij dan imajinasi.
Termasuk di dalamnya adalah cerita, mitos, kasak-kusuk, dan opini yang
tergesa-gesa. Menurut Plato, “mengetahui” itu lebih daripada sekadar “memiliki
bayangkan akan sesuatu di kepala”. Eikasia, menurut Plato, memiliki kualitas
yang subyektif personal. Ia menempati urutan terendah dalam tingkatan
pengetahuan karena kita menata jenis-jenis tindak-mengetahui berdasarkan
kejelasan, obyektivitas, dan kesejatian daya menjelaskan. Namun demikian, imij,
mitos, dan imajinasi tidak serta-merta dicampakkan. Plato bahkan mengakhiri Republic dengan sebuah mitos tentang
keyakinannya akan kekekalan jiwa manusia, dan dengan itu menunjukkan perlunya
benda-benda penjelasan gambaran, bahkan pada tingkat tertinggi dari pemahaman.
3.2.2
Pistis –
Keyakinan Berdasar dan Ketrampilan Praktis (Grounded
Belief and ‘Know-How’)
Level kedua
dari tindak mengetahui adalah pistis,
yakni keyakinan yang bisa dibuktikan lewat uji-coba. Pistis dibedakan dari
imajinasi individual. Ini merupakan level teknik, level di mana orang mempunyai
pengetahuan tentang cara kerja benda-benda. Plato menggambarkan perbedaan
antara level 1 dan 2 pengetahuan dalam analogi “Gua”. Plato menamai ketrampilan
praktis, atau pistis, ini empeirea, yang berarti pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman praktis.
3.2.3
Dianoia –
Generalisasi dan Menjelaskan Alasan (Generalization
and Knowing Why)
Plato menyebut
jenis ketiga pengetahuan dengan nama dianoia. Pengetahuan jenis ini lebih jelas
ketimbang tahu-bahwa (knowing-that) dan
tahu-bagaimana (knowing-how). Contoh
dianoia adalah pengetahuan yang dimiliki seorang ilmuwan tentang teori fisika
umum yang mendasari cara kerja televisi saya, sebuah pengetahuan yang berbeda
dengan ketrampilan yang dimiliki oleh seorang tukang servis televisi.
Pengetahuan dianoetik adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang tetap
sifatnya dan yang membatasi dan mengontrol perilaku benda-benda tertentu. Matematika
merupakan salah satu contoh penjelasan dianoetik.
3.2.4
Noesis –
Teori yang Telah Diuji-Coba dan Evaluasi (Tested
Theory and Evaluation)
Noesis adalah
pengetahuan yang memiliki kepastian yang benar, yakni meliputi 1) kepastian
bahwa kita tahu, dan 2) bahwa kombinasi antara teori dan data telah
menghasilkan sebuah jawaban yang baik. Jika dalam dianoia kita memiliki lebih
dari satu hipotesis yang bisa menjelaskan suatu kejadian khusus, dalam noesis
kita mendapatkan kepastian bahwa dari sekian banyak pilihan, ada satu hipotesis
terbaik. Hipotesis itu disebut ‘terbaik’ karena ia telah lulus uji coba. Ia
lalu menjadi teori. Pada level pengetahuan ini, yang kita cari adalah ideal
kejelasan, universalitas, dan kesederhanaan. Di sini, selueuh usaha menjelaskan
didominasi oleh keinginan untuk memperoleh pemahaman paling baik dari perspektif
pribadi, perspektif umum, maupun perspektif teoretis.
3.2.5
To Agathon –
Forma Kebaikan (the Form of the Good)
Obyek
tertinggi dari noesis dalam sistem pengetahuan a la Plato adalah forma kebaikan. Ia merupakan forma yang berkaitan
dengan nilai dan merupakan daya tarik bagi forma-forma lain, serta yang
menyulam seluruh kepingan realitas dalam sebuah keterkaitan sistematis. Untuk
mencapai tingkatan tertinggi ini, keempat tingkatan pengetahuan sebelumnya
harus dilewati. Menurut Plato, pengetahuan tentang kebaikan adalah tujuan
ultim, akhir, dari semua jenis pendidikan.
3.3
Implikasi Dari Tingkatan Pengetahuan Menurut Plato
Tingkatan
pengetahuan menurut Plato tersebut di atas memiliki implikasi bagi praktek
pendidikan dan teori pendidikan. Yakni bahwa pendidikan harus mengakomodasi
nilai pencarian, aktivitas sosial, disiplin intelektualm dan visi tentang
sebuah ideal moral. Adalah sebuah kesalahan fatal apabila salah satu dari
elemen-elemen ini dihilangkan dalam praktek dan teori pendidikan.
IV.
CINTA AKAN
YANG-IDEAL
Apa yang
menggerakan orang-orang beradab untuk menaruh perhatian pada pendidikan,
membangun sekolah-sekolah, mengangkat guru-guru, dan membeli buku-buku? Mengapa
selalu ada kontroversi antara pemikiran lama dan pemikiran baru? Mengapa kita
ingin agar anak-anak kita dididik dalam sebuah lingkungan dengan kualitas disiplin
yang baik?
Jawabannya,
tentu saja, adalah bahwa kita ingin anak-anak kita menjadi lebih baik daripada
kita. Namun di lain pihak, juga karena kita ingin agar prestasi dan pencapaian
kita diingat dan dihargai oleh mereka. Dari kodratnya, semua makhluk hidup
mencintai anak-anak mereka dan melindungi mereka. Menurut Plato, makhluk
ciptaan memiliki keinginan kodrati akan kekekalan, yakni keinginan untuk
“memiliki dan tetap selalu memiliki kebaikan” melewati batas ruang dan waktu;
dan mereka merasa bahwa kekekalan mereka justru berada di tangan anak-anak
mereka. Dalam buku Symposium,
persoalan ini dibahas dan ditempatkan Plato (dengan meminjam mulut Socrates) di
bawah tema “cinta”. Cinta dan kerinduan akan kebaikan di satu pihak dan
keinginan untuk mengekalkan diri itulah yang, menurut Plato, menjadi motivasi
pendidikan bagi generasi muda.
V.
MOTIVASI DAN METODE
PENCARIAN
Visi tentang
cinta, kreativitas, dan imortalitas (kekekalan, kebakaan) adalah sesuatu yang
diidealkan. Dari sana kita dapat menarik kriteria untuk menentukan suksesnya
bermacam-macam institusi pendidikan, kurikulum, dan metode yang kita rancang.
Namun agar hal ini bisa berjalan efektif, ia mesti dikaitkan dengan level lain
dari diskusi untuk menunjukkan apa artinya dalam bingkai forma, masyarakat, dan
individu. Dalam bagian ini, kita akan kembali ke fase yang paling rendah.
Seperti apa
pengalaman pendidikan itu jika dilihat dari perspektif orang yang belajar alias
si terdidik? Apakah perlu dimasukkan ke dalamnya isu-isu seputar pengembangan
diri, keinginan yang genuine untuk mengetahui, jika memang tujuan pendidikan
adalah untuk membuat siswa menjadi lebih baik? Haruslah pembelajaran itu
dilakukan dengan memahami dan mengerti kebenaran bagi diri sendiri? Atau,
apakah kita mesti setuju dan bersepakat dengan siswa yang menaruh perhatian
serius, mengingat informasi yang diberikan, melakukan tugas-tugas, dan tahu di
mana dia dapat menemukan referensi dan otoritas yang memberinya informasi? Cara
kita menakar tingkatan efektivitas pendidikan yang telah kita capai, cara kita
memberikan peniliaian, memilih bahan ajar, melakukan aktivitas
belajar-mengajar, etc. pada akhirnya bergantung pada cara kita menggambarkan
arti “pembelajaran” dalam benak pada siswa. Para guru profesional pada masa
Plato, yakni kaum Sofis, berpendapat bahwa pembelajaran pada dasarnya adalah
menangkap dan mengingat informasi serta menguasai seni retorika dalam
menggunakan informasi tersebut. Keuntungannya bagi siswa bersifat instrumental,
yakni sebagai jalan untuk memperoleh kekayaan atau kekuasaan. Benak siswa penuh
dengan barang hafalan yang akan digunakan untuk menggapai tujuan eksternal di
masa depan. Socrates tidak setuju dengan pemahaman pembelajaran seperti ini.
Tidak adakah aspirasi dan ideal yang muncul dari dalam diri di murid itu
sendiri? Bukankah realisasi-diri adalah sesuatu yang berharga dalam dirinya
sendiri, tanpa iming-iming kegunaan yang bersifat eksternal?
Socrates telah
membingungkan warga Athena dengan debat-debatnya dengan kaum Sofis. Plato
mematahkan argumen mereka satu per satu dalam sebuah dialog brilian, yang
berkisar seputar oposisi antara dua ide tentang pendidikan. Meno, buku yang kita analisis secara
agak mendalam, sebenarnya adalah nama seorang responden. Meno adalah seorang
pemuda berbakat hasil didikan seorang Sofis bernama Gorgias. Ketika mengunjungi
Athena, Meno diperhadapkan dengan Socrates, dan menjadi jelas saat itu bahwa
metode ajar kaum Sofis ternyata tidak membuat Meno menjadi seorang yang
sungguh-sungguh terdidik. Plato menggambarkan perubahan suasana batin Meno manakala
ia coba “belajar” untuk dirinya sendiri alih-alih menghafal belaka. Di sana
Plato mau menunjukkan bahwa motivasi adalah sesuatu yang “atau berasal dari
dalam diri seseorang atau tidak ada sama sekali”; dia tidak pernah boleh
berasal dari sesuatu di luar diri.
Telah jelas
sejak awal dalam dialog-dialog Plato bahwa Meno tidak dididik menjadi seorang
manusia yang baik. Ia tidak mampu membuat generalisasi. Dia mengharapkan agar
Socrates memberi jawaban atas pertanyaan “Dapatkah kebajikan diajarkan?”. Dia
menjadi patah semangat dan berubah kasar ketika menawarkan diri untuk menolong
dia mengeksplorasi pertanyaan tersebut. Meskipun begitu, ia adalah seorang yang
pintar, kaya, dan menarik: ia memiliki prospek menjanjikan. “Bagaimana mungkin
kita menyelidiki sesuatu yang tak satu pun dari kita tahu,” tanya Meno.
Socrates tidak memberikan jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut.
“Sekalipun jika kita menemukan jawabannya, kita tidak akan tahu bahwa kita
memiliki jawabannya!” Socrates lalu merespons Meno dengan sebuah mitos, sebuah
eksperimen, dan satu pernyataan umum tentang metode penyelidikan. Ada sebuah
mitos, kata Socrates kepada Meno, bahwa semua pengetahuan adalah rekoleksi;
jiwa, sebelum “menjadi manusia real” tahu esensi dan kebenaran tentang segala sesuatu
dan memiliki dalam dirinya ingatan bawaan. Ketika kita menyelidiki sesuatu,
kita sedang mencoba membuat lebih jelas apa yang sebenarnya telah kita ketahui.
Namun perlu usaha keras untuk “mengingat”. Jika tidak ada persoalan yang
mendorong kita untuk mengangkat pengetahuan bawaan ini ke permukaan, maka kita
pun cenderung mau berusaha menyelidiknya. Dengan demikian, pengetahuan tidaklah
diperoleh secara mekanis dengan cara mengisi kepala seseorang dengan
fakta-fakta seolah-olah kepalanya adalah tempat sampah. Alih-alih, siswa harus
menghidupkan motivasi dirinya dan ambil bagian secara aktif jika ia memang
ingin “memanggil kembali” pengetahuan apa saja. Socrates sendiri tidak berusaha
membuktikan bahwa semua detail mitos tersebut benar adanya, namun dia siap
membuktikan dan membela kesimpulan bahwa kita akan menjadi lebih baik dan lebih
bijaksana jika kita melakukan penyelidikan ketimbang jika kita tidak
melakukannya.
Dalam Meno, Plato menggunakan mitos sebagai
sarana populer untuk memaparkan pokok-pokok pikiran yang penting dan mendasar
dalam teori pendidikannya. Kemampuan laten jiwa untuk mengingat kebenaran yang
telah ia punya dalam diri memiliki korespondensi dengan daya pikiran untuk
menemukan pola-pola tak berubah dalam dunia yang berubah. Forma-forma (i.e.
pola tetap itu) direalisasikan dalam benda-benda dengan tingkatan kepastian dan
adekuasi yang berbeda-beda. Entahkah benda-benda atau obyek-obyek tersebut bisa
“dilihat” oleh si pengamat secara jelas, itu tergantung pada kemampuan dan
pendidikannya. Dalam pandangan Plato, “mengetahui” (knowing) bukanlah sebuah relasi “atau...atau...” di mana
alternatifnya hanyalah “mengetahui sesuatu” atau “tidak mengetahuinya”.
Alih-alih, kata Plato, semua kita “mengetahui” forma-forma namun masih
samar-samar dan membingungkan. Hal ini bisa terjadi karena sejak dari
permulaan, kita semua memiliki notion yang sama bahwa ada forma “kebajikan” (virtue).
Pendek kata,
menurut Plato, 1) pembelajaran harus bermula dari keinginan si murid untuk
tahu; 2) bahwa dalam pembelajaran harus diusahakan sekian agar si murid ketika
“melihat” sebuah jawaban, merasa “mengenal” sesuatu yang sebenarnya sudah ada
dalam benaknya meskipun masih samar-samar; dan 3) bahwa kapasitas dasar bagi
kemajuan pendidikan harus dicari dalam diri si terdidik sendiri, dan bukannya
dari luar dirinya.
Pertanyaan
relevan berikutnya adalah: apa persisnya metode pencarian atau penyelidikan menurut
Plato? Jawabannya, sekali lagi, dapat ditemukan dalam buku Meno, dan dapat diringkas sebagai berikut:
1)
Dalam penjelasan
lanjutannya untuk Meno, Socrates menampilkan sebuah eksperimen yang kemudian
menjadi sebuah contoh klasik bagi metode pengajaran. Di keseluruhan proses
dialog dan pencarian jawaban itu, Socrates berulang-ulang kali menggunakan “pertanyaan-pertanyaan
penuntun” (leading questions) dan
diagram-diagram. Sekalipun Meno masih sulit percaya akan keampuhan mitos metode
rekoleksi (mengingat kembali), ia harus menerima bahwa metode yang dipraktekkan
Socrates memang menantang dan memacu seseorang untuk berpikir bagi dirinya
sendiri.
2)
Socrates kemudian
menyarankan kepada Meno agar mereka
kembali kepada pertanyaan awal mereka tentang apa sebenarnya arti kebajikan,
namun Meno menegaskan bahwa ia ingin mereka kembali kepada pertanyaan-nya dan meminta untuk diajari. Sebagai
tanggapan atas permintaan itu, Socrates menggunakan “metode hipotesis”: di
hadapan sebuah persoalan, kita melihat asumsi-asumsi umum apa yang kiranya akan
mengantar kepada solusi, kemudian kita melakukan deduksi (atau generalisasi)
dan mengecek konsekuensi-konsekuensi dari dari generalisasi-generalisasi
tersebut. Misalnya, kalau memang kebajikan adalah sebuah pengetahuan, maka
tentu ia dapat diajarkan; dan karena kebajikan itu baik, tiap orang yang
mengetahuinya akan juga meresapkannya dan karena itu akan senang mengajarkannya
kepada orang lain. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa jika kebajikan adalah
sebuah pengetahuan maka pastilah akan ada guru yang mengajarkan kebajikan,
entah lewat kata-kata maupun teladan. Namun dari perdebatannya dengan para lawan
bicaranya, Plato membuktikan bahwa kebajikan tidak dapat diajarkan baik lewat
kata-kata maupun teladan. Ia membuktikan secara meyakinkan (juga kepada kita
saat ini) bahwa kebajikan hanya dapat diajarkan secara berhasil dengan
menggunakan metodenya (yang kemudian dikenal dengan nama “Metode Socrates”),
yakni teknik mengajukan pertanyaan-pertanyaan supaya si murid mengingat kembali
apa yang telah ia ketahui, meskipun masih samar, sebagai pengetahuan bawaan.
3)
Penemuan Socrates
(yang tak lain adalah penemuan Plato) bahwa pengajaran harus dari keberanian
menerima tantangan untuk melakukan penggalian dan pencarian yang semakin lebih
dalam ini merupakan salah satu dari sekian banyak kontribusinya bagi pemikiran
modern tentang pendidikan. Sampai dengan saat ini masih diyakini bahwa cinta
akan pencarian dan penyelidikan lebih dalam yang muncul dari rasa incompleteness (rasa bahwa “masih belum
cukup pengetahuanku”) dan desire
(keinginan untuk tahu) mesti merupakan motivasi utama pembelajaran.
VI.
PENDIDIKAN DAN
MASYARAKAT
Persoalan-persoalan
yang dibahas dalam bagian ini adalah ihwal diri-sosial (social self) dan pendidikan sebagai sebuah persoalan publik, yang
ditujukan untuk membentuk karakter warga negara, mengembangkan teknik, dan
mengasah kemampuan adaptasi sosial. Dalam bentuk pertanyaan: dapatkah kita
menerima pandangan obyektif tersebut tanpa menyangkal pentingnya individu dan
haknya atas hidup dan diri privatnya? Apakah pembentukan “manusia organisasi,
manusia sosial” secara niscaya meremukkan jiwa yang berada di bawah beratnya
tekanan sosial? Menurut Plato, pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah pertanyaan
abstrak, melainkan pertanyaan personal mahapenting.
Perlu
diketahui bahwa pada di Yunani pada zaman Plato, diyakini bahwa fungsi utama
masyarakat adalah meneruskan tradisi dari satu generasi ke generasi yang lain.
Dengan demikian, pendidikan adalah sebuah training/latihan yang penuh dengan
kepentingan masyarakat demi menjaga stabilitas masyarakat. Lebih lagi,
ketaaatan, kepatuhan, dan kesetiaan terhadap negara-kota (polis) adalah kriteria utama untuk menilai baik-buruk,
terhormat-tidaknya, seorang warga negara-kota. Dari sini lahir pertanyaan yang
sangat signifikan berkenaan dengan pendidikan: apabila pendidikan dimaksudkan
terutama untuk melayani kepentingan negara-kota, dapatkan seorang individu
mencapai kepenuhan dan impian pribadinya? Tidakkah kepentingan negara-kota dan
kepentingan pribadi berbenturan?
Dalam Republic, Plato memberikan jawaban
sebagai berikut: ekses dari dominasi pemerintah untuk menjaga interese
negara-kota dan tuntutan akan kualitas yang-cukup-pas-pasan-saja (mediocrity) dari warga sebagai
konsekuensi dari primat kepentingan negara adalah dua hal yang tidak bisa
dihindari, dan akibatnya adalah bahwa akan tercipta visi yang tidak jelas di
kalangan warga dan akan banyak terjadi kesalahan dalam keputusan-keputusan yang
berkenaan dengan kepentingan umum. Namun, menurut Plato, hal ini dapat
diperbaiki. Dengan menaruh perhatian lebih dekat pada pendidikan, kata Plato,
masyarakat dapat meningkatkan kebajikan warganya dan warga tersebut pada
gilirannya dapat memodifikasi tradisi dan institusi mereka ke arah yang lebih
baik.
Pendidikan,
sekali lagi menurut Plato, dimaksudkan untuk melayani baik kepentingan negara
maupun kepentingan si individu. Kepada individu, pendidikan memberikan
kesempatan untuk merealisasikan kemampuan dirinya sebaik-baiknya. Sedangkan
bagi negara, pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan warga
negara agar terampil dan bahagia dengan peran yang ia jalankan dalam kehidupan
komunitas. Negara yang adil adalah sebuah negara di mana peran-peran ini
dijalankan secara benar oleh orang-orang terdidik dan yang termotivasi oleh
pendidikan. Orang yang adil adalah seorang yang bagian-bagian jiwanya danb
kehidupan batinnya berjalan secara harmonis. Keadilan (terjemahan paling dekat
dengan kata Yunani dike) baik dalam
diri individu maupun dalam negara adalah tujuan dari pendidikan. Keadilan
adalah “tiap bagian menjalankan bagiannya secara benar” (each part performing its proper share). Keadilan adalah “forma”
ideal bagi kemantapan negara dan kemantapan individu. Namun seperti telah kita
lihat, sebuah “forma” memiliki bermacam-macam tingkatan dan jenis. Kita
memiliki “kodrat manusia” yang sama, namun ada perbedaan di antara
individu-individu (yang menurut Plato mungkin bersifat turunan), yang berarti
bahwa interese dan kemampuan kita berbeda. Dapat adakah suatu relasi antara
negara dan individu yang sedemikian rupa sehingga fungsi sosial tiap orang
adalah fungsi yang si individu anggap paling bernilai dan yang akan ia pilih
secara bebas?
Tentu saja hal
ini bergantung pada relasi antara tingkat-tingkat perbedaan antarindividu dan
tingkat fungsi sosial khusus. Plato membagi ke-diri-an manusia dalam tiga
“bagian” yang berbeda tapi saling berhubungan: dorongan (drive), disposisi (disposition),
dan interese (interest). Ketiganya
disting alias berbeda, namun tidak terpisah, karena ketiganya dapat saja
bertentangan satu sama lain dalam situasi yang sama. “Bagian-bagian dari jiwa”
tersebut adalah nafsu (appetite), roh
(spirit) yang dapat kita namai
“ambisi” plus keinginan untuk berkompetisi, dan akal budi (reason). Adalah dalam kuasa tiap orang untuk menghidupi sebuah
kehidupan yang penuh pertimbangan, di mana ia tidak mengizinkan nafsunya akan
kemasyuran ataupun keberuntungan melejit melampaui batas sehingga menimbulkan
ketidak-bahagiaan. Namun karena fisik dan tendensi karakter bawaannya,
sekelompok orang mencari dan menemukan kepuasan dalam kompetisi dan perlombaan,
sementara kelompok lain lebih memilih bekerja sebagai tukang atau petani,
sedangkan kelompok ketiga memilih pekerjaan intelektual dan riset. Jika kita
memahami “kelas-kelas” sosial lebih sebagai fungsi ketimbang sebagai
karakteristik tambahan (seperti kepemilikan barang dan latar belakang
keluarga), maka demikian pulalah ada tiga “kelas” fungsional dalam sebuah
negara yang baik. Di sana harus ada kelompok produsen (producers), kelompok pelindung (protectors),
dan kelompok pemimpin (directors).
Kini Plato dapat menawarkan solusi terhadap problem, meskipun solusi tersebut
berlawanan secara radikal dengan pemikiran dan praktek Yunani pada masa itu. Ketika
tiap individu mempunyai tempat dalam kelas sosial di mana interese dan
talentanya cocok satu sama lain, maka keadilan bagi seseorang sebagai individu
dan bagi masyarakat menjadi mungkin. Bagaimana teori ini diterapkan secara
rinci dalam situasi nyata, hal itu terlalu kompleks dan baru bagi Plato. Namun Republic telah membuka jalan ke arah itu
dan membuktikan bahwa sekalipun negara merupakan sebuah organisme-tertinggi
yang memiliki tujuannya dan kepentingan sendiri, tidak perlu harus ada konflik
antara masyarakat dan individu. Dalam sebuah negara yang tahu bagaimana
menggunakan talentanya untuk kebaikan umum, seorang individu yang sungguh-sungguh
baik (seperti Socrates) tidak akan dieksekusi, melainkan akan menjadi seorang
warga negara yang berguna dan dihargai.
Untuk memenuhi
kebutuhan ketiga kelas ini, sistem pendidikan umum harus dirancang. Tujuan dan
isi dari skema pendidikan ini menduduki tempat utama dalam buku Republic.
Dengan
demikian, Republic merupakan hasil
dari sebuah kritik atas gagasan bahwa pendidikan merupakan sebuah adaptasi
sosial (pandangan konvensional) atau sebagai sebuah penyesuaian hidup (posisi
kaum Sofis). Dalam sebuah seri dialog awal antara Socrates (tokoh rekaan Plato)
dan berbagai pemikir Sofis terkemuka dan negarawan pada masa itu, Plato
menegaskan bahwa adaptasi haruslah bersifat realistis. Menurut Plato, baik
sikap tak kritis dalam menjaga tradisi maupun kontrol penuh kuasa atas media
untuk mempengaruhi opini publik sama-sama tidak dapat menjadi tujuan akhir yang
benar dari negara dan individu. Di mata Plato, pendekatan “asal selesai
sekolah” (finishing school) a la kaum Sofis dan pengajaran
ketrampilan bagi sekelompok elite ekonomi adalah sesuatu yang tidak realistis
sebagai sebuah metode adaptasi.
Pendidikan dan
kecerdasan yang diwujud-nyatakan dalam tindak nyata dapat mengubah dan melayani
masyarakat, namun pelayanan tersebut benar-benar genuin hanya ketika hasil sosialnya
mengantar kepada kepenuhan pribadi si individu. Plato akan sulit memahami
pandangan tentang pendidikan yang mempertentangkan realisasi diri individu dan
efektivitas sosial; sebab menurut dia, keduanya merupakan prinsip yang
cocok-klop satu sama lain.
Kesimpulan
apakah yang bisa kita tarik dari analisis filosofis ini? Pertama, lantaran pendidikan memainkan peran yang sedemikian
sentral dalam masyarakat dan lantaran lewat pendidikan sajalah kemampuan
individu dan fungsi sosial dapat dibuat saling melengkapi, masyarakat atau
negara hendaknya mendirikan sekolah-sekolah publik gratis. Kedua, Direktur Pendidikan harus merupakan seorang yang paling
teliti dipilih dan paling dihargai di antara deretan pejabat dan pegawai dalam
sebuah negara. Dalam jargon Republic,
dua tugas yang membutuhkan orang yang paling berbakat dan terdidik adalah
legislasi (pembuatan undang-undang) dan pendidikan –keduanya adalah penjaga
masyarakat. Ketiga, sosialisasi atau
kepentingan negara tidak perlu harus mengorbankan individualitas.
Praktek-praktek tertentu dalam negara akan melahirkan sikap kooperasi dan
konformitas alias ikut-arus; dan barangkali di negara real di masa hidupnya
Plato melihat bahwa sikap tersebut berbahaya dan fatal bagi realisasi-diri
individu. Itulah sebabnya, alih-alih menjadi seorang politikus, Plato memilih
menjadi seorang pendidik.
VII.
KURIKULUM YANG KONKRET
Dalam paparan
tentang keempat aspek pengetahuan a la
Plato, kita telah mendiskusikan tentang ‘yang-ideal’ (the ideal) dan relevansinya untuk pendidikan, pengalaman individual
akan motivasi dan rasa ingin tahu yang merupakan titik tolak yang niscaya bagi
pembelajaran, dan konteks sosial di mana pendidikan menjadi sebuah praktek
ketrampilan di medan seni hidup. Kita telah mendiskusikan ide-ide dalam pemikiran
Plato yang penting bagi idealisme Platonik, wilayah-wilayah di mana terdapat
kesepakatan antara Plato dan eksistensialisme modern, dan kedekatan antara
Plato dan pragmatisme. Dalam bagian vii ini kita akan mendiskusikan persoalan
seputar kurikulum yang ideal. Di sini penekanan akan diberikan pada ihwal
struktur pendidikan (yakni metode definitif, isi dan tata susunan pendidikan),
di mana kita meneropong forma pendidikan dengan menggunakan dianoia (level ketiga pengetahuan menurut Plato) sebagai titik pijak. Di sini kita
berharap untuk menemukan Plato yang sedang coba menyelesaikan masalah, dan
mungkin juga sedang membagikan gagasan-gagasannya tentang humanisme liberal
dalam pendidikan.
Dalam buku Republic, dipaparkan tiga jenis sekolah,
yakni 1) sekolah dasar (elementary school),
yang notabene memberikan pendidikan dasar umum bagi semua orang; 2) sekolah
menengah (secondary school), yang
memberikan latihan fisik dan intelektual yang lebih keras bagi para siswa untuk
menyiapkan mereka bekerja di bidang kemiliteran, pegawai sipil, riset, dan
kerja legislatif; dan 3) pendidikan tinggi (higher
education), yang memberikan latihan
lebih lanjut bagi kelompok siswa terpilih yang akan menjadi ilmuwan peneliti,
pendidik, dan legislator.
7.1
Sekolah Dasar
Yang menjadi
isi dari pendidikan dasar adalah musike
(yang meliputi studi sastra, musik, dan pendidikan kewarganegaraan) dan gymnastike (yang meliputi atletik dan
menari). Tujuannya adalah menumbuhkan cinta akan sopan santun dan keindahan,
untuk mengembangkan sikap tahu menahan diri (temperance). “Tahu menahan diri” adalah kebajikan moderasi dan
kontrol-diri: sebuah pengakuan bahwa upaya mengejar kesenangan atau kekayaan
secara berlebihan tidak hanya merupakan sebuah selera yang buruk melainkan juga
kekalahan untuk diri. Jika kita tidak dapat meyakinkan para produsen dan
konsumen kita bahwa hidup yang elegan itu berbeda dari kemewahan dan foya-foya,
lahirnya keinginan-keinginan baru dan nafsu untuk “memiliki lebih lagi dan
lagi” akan membuat setiap orang dalam komunitas merasa tidak puas dengan apa
yang dimilikinya. Akibatnya adalah akan terjadi kekacauan dan kegilaan ekonomi
di dalam negara.
Tujuan dari
pendidikan pada tingkat dasar adalah mengajarkan estetika dan nilai-nilai etis.
Kedua hal ini diajarkan dengan cara mempraktekkan tindakan sopan santun dan
dengan mempelajari karya-karya sastra yang mengkombinasikan gaya dan forma yang
luar biasa dengan plot dan karakter yang memantik kekaguman dan rasa hormat si
terdidik. Para siswa kita belajar antara lain lewat imitasi dan inspirasi:
menempatkan diri mereka sendiri pada posisi para pahlawan, posisi orang tua
mereka, dan posisi para atlet. Diharapkan bahwa dengan ini para siswa akan
bertumbuh sesuai dengan kualitas dari tokoh-tokoh yang hikayatnya mereka baca
dan tiru. Menurut Plato, agar hal ini bisa terlaksana, perlu ada seleksi dan
sensor yang ekstra ketat. Alih-alih menjadi seorang humanis universal yang
percaya bahwa universalitas daya pikat mengawetkan warisan terbaik dari masa
lampau, Plato menggunakan dua bagian dari Republic
untuk mengkritik Homerus, yang cerita epiknya diajarkan di sekolah-sekolah
dasar pada masa itu sebagai contoh karya sastra terbaik dan sebagai buku sumber
untuk pendidikan kewarganegaraan. Yang menjadi masalah, menurut Plato, adalah
bahwa Homerus bisa membujuk kita - lewat
keindahan puisi-puisinya – bahwa Achilles adalah seorang pahlawan yang patut
dicontohi. Namun dilihat secara lebih obyektif dari sudut pandang Plato,
Achilles itu kadang histeris, bernafsu membalas dendam tanpa alasan, tamak, tidak
disiplin, dan tidak dapat dipercaya! Di mata Plato, gambaran laki-laki santun
berbudi (gentleman) a la Homerus tidaklah cocok dan bahkan
menggelikan untuk masyarakat pada zaman Plato.
Meskipun ia
sendiri senang mengkritik putusan-nilai humanistik yang diterima secara
universal pada masa itu, kesadaran Plato akan pengaruh lingkungan terhadap
karakter dan apresiasinya terhadap forma membuatnya menjadi seorang konservatif
yang ekstrem. Dia tidak ingin para muridnya mengalami secara langsung situasi
kehilangan-kontrol-diri dan keterkekangan. Dia juga menginginkan agar direktur
pendidikan dapat memilih bagi para murid sebuah lingkungan di mana tak ada
godaan maupun kesempatan untuk mengalami situasi kehilangan-kontrol-diri dan
keterkekangan tersebut. Dari antara sekian pilihan yang merupakan warisan masa
lalu – i.e musik dan puisi, tarian dan ketrampilan – ia menginginkan agar si
direktur memilih hanya yang terbaik dan mencampakkan apapun saja yang tidak
potensial menghasilkan apa yang terbaik (caranya adalah dengan menjalankan
sensor yang ketat). “Terbaik” menurut Plato memiliki dua arti. Pertama, yang
paling memuaskan secara estetis; kedua, yang paling mulai dilihat dari aspek
efek etisnya. Penyensoran adalah sebuah topik yang kontroversial, bahkan sampai
dengan saat ini. Ada sejumlah orang yang tidak percaya akan penyensoran.
Perlukan murid-murid kelas 5 SD membaca Henry Miller? Persoalan seputar
penyensoran tidak pernah merupakan persoalan “apakah perlu?” (whether), melainkan persoalan “seberapa
banyak kadarnya?” (how much). Seperti
semua psikolog modern, Plato percaya bahwa formasi awal memiliki pengaruh yang
sangat penting. Namun apabila kita mempertimbangkan semua hal, kita merasa
perlu mengatakan bahwa di sini Plato menekankan peran humanis klasik dengan
begitu ketatnya sampai-sampai dia terjebak dalam inkonsistensi filosofis.
Humanisme modern berpendapat bahwa kita tidak hanya mesti menghormati forma
yang merupakan pencapaian tertinggi masa lalu, melainkan juga perlu mencari
forma-forma baru seiring perkembangan kebudayaan.
7.2. Pendidikan
Menengah
Dalam Republic, Sekolah Menengah didesain
untuk mengetes dan mengasah kecerdasan para murid melalui “sepuluh tahun
belajar matematika sebagai sebuah disiplin mental”. (Dalam konteks ini, Plato
sepertinya telah membesar-besarkan isu. Salah satu di antaranya adalah
kecenderungan untuk mempraktekkan periode 10 tahun dan obsesi untuk
mempraktekkan pendapatnya secara murni dan absolut, sekalipun harus kita akui
bahwa rekomendasinya untuk menjadikan matematik sebuah latihan asah-pikiran
memiliki arti yang lumayan serius). Pada level ini, para siswa belajar untuk
menemukan pola-pola dan forma-forma permanen dengan cara mempelajari
aritmatika, geometri, astronomi teoretis, dan harmoni. Latihan ini dimaksudkan
untuk menumbuh-kembangkan perhargaan terhadap kebenaran sebagai sebuah nilai:
ketepatan, keketatan, dan konsistensi dalam seni berpikir.
Dari deskripsi
singkat atas level pendidikan sesudahnya, jelaslah bahwa maksud utama dari
disiplin ini adalah untuk mengasah ketrampilan dalam metode umum berpikir, yang
mesti menjadi otomatis dan menyatu sebelum siswa bergerak ke level pendidikan
tinggi. Tak ada satu pun disiplin yang hendaknya terlewatkan dalam mendidik
orang-orang yang akan memikul tanggung jawab paling besar di kemudian hari.
Eksekutif and legislator harus menggunakan daya berpikir; mereka tidak boleh
percaya pada sekadar rekaan-rekaan atau pemikiran gampangan dalam tindakan
politik mereka. Untuk para siswa yang tidak melangkah lanjut ke pendidikan
tinggi dan yang menjadi anggota militer, pegawai sipil, dan polisi, latihan
tersebut tidaklah tanpa guna sebab masalah yang mereka hadapi persis sama
dengan yang dihadapi orang-orang yang mengaplikasikan aturan-aturan legislatif.
Pemikiran untuk mengajarkan sebuah metode berpikir adalah sebuah ide yang
menarik. Ia merupakan ide yang memperoleh banyak pembela di kalangan teoretisi
pendidikan di masa-masa yang lebih kemudian. Namun ia menganggap bahwa studi
tentang pola kosong akan sangat menarik, dapat diaplikasikan dalam hidup, dan
secara otomatis dapat ditransfer; dan pengalaman selama ini cenderung menghapus
keraguan akan tiap klaim tersebut. Dialog-dialog pasca Republic mendapatkan Plato memikirkan kembali atau menginterpretasi
ulang proposal kurikulum ini, sebagaimana ia mengkritik logika formal lantaran
tendensinya untuk menaruh perhatian pada struktur tanpa isi dan forma.
7.3 Pendidikan Tinggi
Pendidikan
tinggi, yang diperuntukkan lagi para legislator masa depan, berisikan apa yang
disebut “dialektik”. Dialektik adalah sebuah istilah yang memiliki sejarah arti
yang beragam. Plato sendiri kadang-kadang menggunakannya dalam artian informal
dan mengartikannya sebagai percakapan terpimpin, kadang-kadang juga
menggunakannya sebagai sebuah nama bagi sebuah metode pencarian praktis, namun
di lain kesempatan ia kadang-kadang juga mengartikannya sebagai ketepatan logis
alam mendefinisikan dan mengklasifikasi. Glaucon meminta Socrates untuk
menyampaikan kepadanya tentang apa sebenarnya arti dari “dialektik”, namun
padanya hanya diberikan jawaban garis besar saja. Namun demikian, jika semua
siswa kiranya harus belajar dialektik sebagai satu-satunya mata pelajaran,
jelaslah bahwa ide Plato tentang “pokok bahasan” (subject matter) pada level ini sama sekali tidak sama dengan pemahaman
kita akan departementalisasi atau penjurusan dalam sistem universitas kita saat
ini. Kita tidak memperoleh informasi lengkap tentang kursus yang dimaksudkan.
Namun dengan menyusun kepingan-kepingan tersebut secara bersama-sama kita dapat
melihat mengapa Plato meninggalkan detail yang sangat tidak lengkap dalam
pembahasannya tentang kurikulum.
Kelihatan
eviden bahwa di sini Plato mengartikan dialektik sebagai sebuah ikhtiar
penerapan metode matematika yang logis jelas pada fenomena kodrat dan perilaku manusia
yang rumit. Jika program ini dijalankan, hasilnya kira-kira adalah sebuah
penyelidikan tentang konsep-konsep seperti “keadilan” berdasarkan pola “garis
terbagi”. Dan telah ditunjukkan dalam studi-studi mutakhir bahwa penyelidikan yang seperti itulah yang dimaksudkan Plato
dalam buku Republic bagian i-iv.
Dalam bagian-bagian buku tersebut, kita berawal dari kasak-kusuk atau
kata-orang, bergerak melalui level pengalaman, dan berhadapan dengan dua
“hipotesis umum” yang saling bertentangan tentang kodrat masyarakat. Konflik
antara kedua hal ini diatasi dengan memasukkan baik “teori” yang lebih umum dan
adekuat, konsekuensi-konsekuensi, dan pengandaian-pengandaian yang akan
berkembang dalam diskusi-diskusi selanjutnya. Karena itu, tidak diperlukan sebuah
deskripsi detail atas dialektik dalam Republic
bagian vii, sebab kita telah memiliki penjelasannya dalam tindakan, yakni dalam
langkah-langkah nyata dalam buku Republic
itu sendiri.
Di balik
ketrampilan berdialektika ini terletak visi cinta akan kebaikan, yang merupakan
tujuan akhir dari semua pemahaman filosofis. Gagasan tentang kebaikan meresapi
seluruh level pemahaman dan memberikannya suatu kelayakan yang mengantar kita
ke realisasi-diri melalui pengetahuan kita tentangnya. Plato menyamakan forma
dari segala forma ini dengan matahari. Matahari adalah sumber terakhir cahaya
dengannya benda-benda aktual terlihat, yakni diketahui dan dipahami. Ia juga
menyokong keberlanjutan eksistensi benda-benda tersebut. Demikian pula,
kebaikanlah yang menerangi benda-benda yang coba kita pahami, dan realitas
benda-benda tersebut bergantung padanya.
“Kebaikan
(Yang-Baik)” adalah salah satu ide Plato yang paling sulit, dan volume demi
volume telah didedikasikan untuk membahas ide tersebut. Untuk kebutuhan kita,
ide tersebut dipahami secara sederhana sebagai nilai utama, di atasnya
nilai-nilai lain bergantung. Perkembangan pendidikan seseorang bergantung pada
seberapa jauh talenta dan motivasi mereka membawa mereka ke arah visi tertinggi
ini. Dalam pemikiran Plato, visi tersebut tidak dapat diterjemahkan ke dalam
sebuah doktrin dan dipresentasikan dalam buku referensi atau bahan kuliah,
meskipun rute penyelidikan dapat diajarkan.
Perlu
diperhatikan bahwa menurut Plato, pendidikan tinggai adalah sebuah pendidikan
sintesis, dan bukannya pendidikan spesialisasi. Dalam Symposium Plato menulis bahwa sama seperti penyair, dokter, dan
ahli hukum dikumpulkan bersama dalam usaha mensintesiskan obervasi dan gagasan
mereka ke dalam sebuah permenungan tentang kodrat “cinta”, demikian pula
pendidikan tinggi hendaknya didesain untuk mengapreasi dan mensintesiskan
penemuan-penemuan umum ke dalam satu teori yang padu.
Demikianlah,
pendidikan Platonik adalah sebuah latihan tentang apa yang dapat kita sebut
sebagai ‘filsafat” dan “visi filosofis”. Dalam dunia pendidikan tinggi Amerika
Serikat saat ini, kita masih bergulat dengan persoalan ini. Haruskah kepada
mahasiswa/i kolese (setingkat S1 di Indonesia), di setiap tingkatannya atau
minimal di dua tahun pertama, diajarkan “pendidikan umum”? Jika ya, dapatkah
hal ini dilakukan dengan menggunakan sistem sampel luas dengan memilih les-les
detail dalam bidang yang berbeda-beda, atau dengan menggunakan les-les umum
melampaui batas-batas fakultas tradisional? Apakah bidang-konsentrasi-utama (major) di tahun-tahun terakhir
pendidikan S1 dapat dianggap sebagai training pra-profesional alias
spesialisasi, ataukah ia merupakan kelanjutan saja dari pendidikan liberal yang
kurang terspesialisasi? Apakah perlu keharusan bagi “bidang-konsentrasi-utama”
itu untuk berjalan sendiri, ataukah perlu ada fleksibilitas untuk memberikan
studi “divisional” dan “antar-fakultas” di sana? Pertanyaan-pertanyaan ini
vital adanya, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang serta-merta muncul dan,
sebagai implikasinya, memiliki efek signifikan terhadap pendidikan pada level
menengah. Jika sekolah menengah adalah titik akhir bagi sejumlah siswa/i,
apakah ini berarti bahwa hendaknya ada sejumput perhatian untuk melakukan
sintesis dan visi sinoptik pada level ini? Ataukah yang perlu kita usahakan
hanyalah sekadar kompetensi dalam sosialisasi dan dalam teknik-teknis
instrumental yang diperlukan seorang warga negara untuk bisa “beradaptasi” dan
menjadi “efektif”?
Pertanyaan-pertanyaan
ini muncul juga pada tingkat pendidikan dasar dan menengah jika kita berpegang
pada kurikulum yang ditawarkan Plato. Karena pertanyaan-pertanyaan ini
dicuatkan juga oleh filsuf-filsuf pendidikan yang lebih kemudian, kita memiliki
kesempatan untuk mendiskusikannya di bab-bab mendatang. Untuk saat ini, kita dapat
menyimpulkan rancangan kurikulum Plato dengan mengatakan bahwa kurikulum
tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan intelektual tiap individu
untuk memilih studi formal yang paling tepat untuk membuatnya peka akan keindahan, kebaikan, dan kebenaran.
VIII. KESIMPULAN
Kita mengakhiri
percakapan kita dengan Plato –sebuah percakapan yang kita mulai dengan visi akan
sebuah harmoni dan realisasi diri manusia sebagai sebuah ideal yang menanti
untuk diwujud-nyatakan dalam sebuah situasi manusiawi yang kompleks, manusia
yang di satu pihak rindu akan kekekalan namun yang di lain pihak berubah dalam
aliran waktu.
Kini tiba
saatnya untuk mengundang sejumlah filsuf yang hidup di masa lebih kemudian
untuk datang ke simposium Akademik modern kita. Kita akan menemukan bahwa
pendekatan mereka terhadap pendidikan dibentuk oleh pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang telah Plato kemukakan. Namun penting untuk dilihat akibat-akibat
dari eksplorasi yang lebih detail atas ide-ide seperti pertumbuhan, kebebasan
dan forma di satu pihak; dan, di lain pihak, perubahan-perubahan dan
interpretasi baru yang diperlukan untuk menjelaskan kemajuan yang telah terjadi
sejak masa Plato. Kemajuan yang telah dicapai dalam pengembangan masyarakat
demokratis, teknologi, kepekaan etnis, dan teknik mengajar di sejumlah bidang
sangatlah mengejutkan. Ambil misal, divisi panjang tidak lagi meruapakan sebuah
misteri yang membingungkan yang membutuhkan kursus khusus dalam bidang
komputasi; dan kita tidak lagi perlu bergantung pada tenaga budak sebagai
satu-satunya sumber energi yang tersedia bagi pekerjaan-pekerjaan publik. Studi
tentang karakter herediter dan lingkungan menunjukkan bahwa semua atau sebagian
besar manusia mempunyai potensi untuk mengambil keuntungan dari pendidikan
menengah dan tinggi dan ambil bagian dalam fungsi-fungsi sosial di bidang
legislasi, produksi, dan proteksi.
Jika kita
memperhatikan cara para filsuf di masa belakangan memperlakukan pendidikan,
kita akan menemukan bahwa tiap pemikir yang telah kita pilih menawarkan sejumlah
klarifikasi distingtif atau memberikan revisi mendasar atas skema yang
dipaparkan Plato. Aristoteles mengklarifikasi idea kausalitas dan pertumbuhan.
Rousseau merevisi konsep klasik tentang kodrat manusia dan mengangkat ke
permukaan sejumlah bahaya yang inheren dalam masyarakat. Kant memperluas notion
tentang kebebasan dan tanggung jawab serta implikasinya bagi pendidikan. Dewey
merevisi secara total notion klasik tentang struktur kelas dalam masyarakat dan
secara jitu mengkritik banyak model pemikiran yang bersifat “dualistik”.
Whitehead menekankan pentingnya kreativitas dan sensitivitas terhadap
pengalaman langsung. Namun
ideal untuk menemukan dengan jelas bentuk-bentuk dan tujuan-tujuan pendidikan
masih menyisakan sebuah usaha yang menantang, yang ditinggalkan sebagai sebuah
warisan oleh Plato.
ini Referensinya dari apa ya?
BalasHapus