Kamis, 24 Januari 2013

TEORI KEBENARAN


TEORI KEBENARAN
Oleh : Dirgantara Wicaksono,M.Pd ,MM
A. Latar Belakang
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya. Sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip melalui penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Ilmu harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Ilmu dicirikan dengan pemakaian sistem dan metode ilmiah yang dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Metode ilmu dapat bersifat sangat teoritis dan apriori dengan membuat unsur-unsur bangunannya sendiri. Metode ilmu juga dapat bersifat empiris dengan unsur-unsur bangunan yang seakan-akan diolah dari lingkungan.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu bergantung dari objek ilmu yang bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio politis, humanistis dan religius.
Filsafat memiliki tiga cabang besar kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi (Ahmad Tafsir, 2004:23). Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan positivistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berarti bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif terkadang diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis. Dengan demikian setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan (Suriasumantri, 1999:5).
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Suriasumantri, 2003). Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang serius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang dimiliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para ahli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth) yang akan di bahas dalam makalah ini.
B. Permasalahan
  1. Apakah manusia itu?
  2. Bagaimana upaya manusia dalam mencari kebenaran?
  3. Apa kegunaan kebenaran itu bagi manusia?
  4. Bagaimana penjelasan tentang teori kebenaran?
C. Tujuan dan Manfaat
  1. Untuk dijadikan sebagai kerangka acuan dalam menemukan kebenaran.
  2. Untuk dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kerangka berpikir ilmiah.
  3. Untuk dijadikan sebagai panduan agar bersikap logis-rasional dan sistematik dalam beropini dan berargumentasi.
  4. Untuk dijadikan wahana dalam mengembangkan sikap toleransi dalam perbedaan pandangan (pluralitas)
A. Ulasan-Ulasan Umum Mengenai Manusia
            Menurut Kattsoff (2004:388), pemakaian kata ‘manusia’ bermakna ganda, seperti dibuktikan dalam kalimat-kalimat:
  1. Manusia tiada lain kecuali hewan.
  2. Manusia merupakan hasil sejarah.
  3. Manusia adalah makhluk rohani
  4. Ia mencoba mempertahankan kemanusiaannya di dalam keadaan yang gawat itu
Masing-masing kalimat di atas mengandung pra-anggapan suatu teori tentang hakikat manusia dan mengacu kepada manusia dalam makna yang berbeda-beda (Kattsoff, 2004:388). Kalimat (a) mengandung makna bahwa manusia adalah hewan; kalimat (b) kiranya tidak mengacu kepada manusia, melainkan mengacu kepada kepribadiannya; kalimat (c) mengandung makna bahwa manusia adalah sesuatu yang lebih daripada raga suatu nyawa atau jiwa; dan kalimat (d) sekali lagi, mengandung barang sesuatu yang terdapat di dalam raga, namun berbeda dari c sejenis kebajikan atau kedirian.
Jawaban tentang manusia ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem dan masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah makhluk yang “misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan (Setiardja, 2005: 21).
Dalam sejarah filsafat manusia dapat kita temukan jawaban mengenai manusia dari berbagai aliran. Aliran yang pertama adalah aliran materialisme belaka (ekstrim) yang dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie yang hidup pada tahun 1709-1751. Menurut aliran ini manusia adalah materia belaka. Aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan mengingkari adanya pendorong hidup. ( Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain yang dapat digolongkan dalam materialisme adalah darwinisme meskipun aliran ini kurang ekstrim. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang, segala tindak tanduk manusia itu ditentukan oleh alam.
Menurut Titus (1959:26) ketika berbicara tentang manusia yang terdidik beliau mengatakan:
“Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself as an organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human existence. To do so he must be able in some sense to stand outside of, or to transcend, the life and condition which he judges and compares. Man lives at the point where nature and spirit somehow meet”.
“Manusia adalah organisme hewani, itu memang benar, namun dia mampu mempelajari dirinya sendiri sebagai suatu organisme yang membandingkan dan menafsirkan bentuk-bentuk hidup serta mampu menyelidiki makna eksistensi insane. Untuk melakukan hal itu dia harus sanggup seakan-akan berdiri di luar atau di atas kehidupan dan kondisi yang ditimbang dan dibandingkannya itu. Manusia hidup pada titik dimana natur dan spirit bertemu”.
Menurut Drijarkara (1988:22) ketika berbicara tentang hakikat manusia beliau mengatakan:
“Lihatlah hidup tanam-tanaman dan hewan. Di situ hidup hanya berjalan. Yang hidup tidak mengangkat diri dan hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi; yang hidup disitu tidak menguasai dan tidak bisa campur tangan. Berlainanlah manusia. Dia tidak hanya hidup; dia juga subjek yang sadar diri. Dia subyek rohani. Hidupnya tidak hanya berjalan; dia mengerti, menguasai dan bisa campur tangan. Dia menentukan dan mengatur hidupnya. Dengan semua ini dia mengangkat hidupnya ke tingkat insani (human level). Hidupnya menjadi hidup insani. Hidup yang demikian bukan hanya alam yang berjalan, melainkan alam yang dibudayakan, atau dengan kata lain: kebudayaan”.
Menurut Almaraghi dalam Anshori (dalam pokok-pokok pikiran tentang Islam) bahwa Tuhan menganugrahi hidayah kepada manusia dengan lima macam tingkatan:

  1. Hidayah Al-Ilhami atau instink
  2. Hidayah Al-Hawasi atau Indra
  3. Hidayah Al-Aqli atau akal-budi
  4. Hidayah Al-Adyani atau agama
  5. Hidayah At-taufiqi
Menurutnya akal-budi lebih tinggi tingkatannya dari pada instink dan indra. Oleh karena itu akal-budilah yang membedakan manusia dengan hewan, di atas akal budi terdapat agama, dan diatas agama ada taufiqi.
MANUSIA
HEWANI/BASARI
INSANI/MANUSIAWI
JASAD/FISIK/BIOLOGIS

JIWA/AKAL/RUHANI
MAKAN

BERFIKIR
MINUM

BERPENGETAHUAN
TUMBUH

BERMASYARAKAT
BERKEMBANGBIAK

BERBUDAYA/BERETIKA/
BERTUHAN
Dimensi-Dimensi Manusia
Dengan demikian maka manusia memiliki perbedaan mendasar atau fundamental dibandingkan dengan hewan, walaupun secara struktur biologis hampir sama. Manusia adalah makhluk yang berakal sehat, pandai membandingkan dan menafsirkan, suka mempertanyakan segala sesuatu, kratif dan sebagainya. Jadi kalau meminjam istilah Drijarkara bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbudaya.
B. Manusia Berfikir Mencari Kebenaran
Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari  anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban.
Dalam Ilmu Manthiq (logika) kita bisa menemukan rumusan tentang manusia yang sekaligus membedakannya dari hewan yaitu Al-Insaanu Hayawanun Nathiqun (Manusia adalah hewan yang berfikir), senada dengan Aristoteles bahwa “man as the animal that reason”. Rene Descartes berpendirian “Cogito ergo sum” (saya berpikir sebab itu saya ada).
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, Menurut Suriasumantri (1999:1-2) bahwa Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut.
Manusia berusaha dengan akalnya memikirkan segala sesuatu yang dia alami dan dianalogikan kepada yang lainnya. Berfikir juga berguna untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat, berfikir untuk berfikir, yang pertama melahirkan ilmu-ilmu terapan (teknologi), sedangkan yang kedua melahirkan ilmu-ilmu murni. Berfikir terhadap alam semesta melahirkan filsafat alam, dan ilmu-ilmu lainnya, contoh berfikir tentang obyek manusia melahir: Ilmu Jiwa, Ilmu kedokteran, logika, antropologi, sosiologi dan sebagainya.  Berfikir menurut Kitab Suci berjalan seimbang antara fikir dan zikir. Kecerdasan yang  sempurna adalah berpadunya antara zikir dan fikir, memikirkan sesuatu melahirkan zikir terhadap yang menciptakan sesuatu Yaitu Allah SWT sesuai firman-Nya dalam Kitab Suci:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (cendekiawan), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS 3:190-191)
Dengan demikian manusia adalah makhluk yang dengan akalnya berfikir selalu mencari kebenaran sebagai makhluk yang mengemban tugas mengelola muka bumi ini.
C. Instrumen Untuk Mencari Kebenaran
1. Ilmu
2. Filsafat
3. Agama
            Menurut Tafsir (2004:16) membagi Pengetahuan Manusia ke dalam tiga jenis seperti dalam tabel berikut:
MACAM PENGETAHUAN
OBJEK
PARADIGMA
METODE
UKURAN
SAINS
EMPIRIS
POSITIVISTIS
SAINS (ILMIAH)
LOGIS DAN BUKTI EMPIRIS
FILSAFAT
ABSTRAK-LOGIS
LOGIS
RASIO
LOGIS
MISTIK
ABSTRAK-SUPRALOGIS
MISTIS
LATIHAN MISTIK
RASA YAKIN, KADANG-KADANG EMPIRIS
D. Teori-Teori Kebenaran (Teori Kebenaran Ilmiah)
            Menurut para ahli merumuskan, umumnya kebenaran ilmiah dapat diterima dikarenakan oleh 3 hal yaitu adanya koheren adanya koresponden dan adanya pragmatis.

1.      Teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth)
Teori ini pertama kali dimunculkan oleh Aristoteles “VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” (kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan).  Menurut Aristoteles kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya.  Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.  Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.  Oleh karenanya ini disebut pula kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak.  Contohnya “ bumi ini bulat” adalah suatu pernyataan benar, karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.  Intinya realitas adalah hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal pokok yang perlu digarisbawahi dalam teori ini. Pertama, teori ini sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek. Subyek atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh obyek. Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat menekankan bukti (eviden) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi pengamatan atau penangkapan fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.
  1. Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth)
Teori ini dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya.  Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.  Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini. Contohnya, pengetahuan “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”. 
Bagi kaum empiris (kebenaran persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.  Tetapi bagi kaum rasionalitas, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini cukup mencek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya, atau apakah  pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya.   Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu  60C.   Karena air mendidih pada suhu 1000 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.   Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 600 C dan sejalan dengan pengetahuan lain bahwa iar mendidih pada suhu 1000 C.  Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”, hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.
  1. Teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth)
Teori ini dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti Charles, S. P dan William James.  Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.  Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat gunaBerhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak.  Contoh, ide bahwa kemacetan  jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang.  Maka penyelesaiannya “mewajibkan jalan pribadi ditumpangi oleh tiga orang atau lebih”.  Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah kebenaran  yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know how). Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tetapi juga “pengetahuan bagaimana”.

KESIMPULAN

1)      Manusia adalah makhluk yang berakal sehat, pandai membandingkan dan menafsirkan, suka mempertanyakan segala sesuatu, kratif dan sebagainya. Jadi kalau meminjam istilah Drijarkara bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbudaya.
2)      Manusia adalah makhluk yang dengan akalnya berfikir selalu mencari kebenaran sebagai makhluk yang mengemban tugas mengelola di muka bumi.
3)      Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori ini kebenartan iaah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu sendiri. Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari ARIESTOTELES, dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” (kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan).
4)      Teori Koherensi tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa: Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini.
5)      Teori Pragmatis tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa: kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.  Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.


DAFTAR PUSTAKA

Drijarkara SJ, N (1988). Filsafat Manusia. Yogyakarta
Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar Filsafat. (Penerjemah: Soejono Soemargono) Cetakan ke-9. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Poedjawijatna. (1997). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Saifuddin Anshari, Endang . Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam. Tanpa Tahun
Setiardja, A. Gunawan. (2005). Manusia dan Ilmu Telaah Filsafat atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan. Cetakan Ke-3. Semarang.
Suriasumantri, Jujun S. (1999). Ilmu Dalam Perspektif. Cetakan ke-14. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-16. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad (2004). Filsafat Umum, Akal Dan Hati Dari Thales Sampai Chapra. Cetakan ke-13. Bandung: Remaja Rosdakarya
Titus, Harold H (1959). Living  issues in philosophy, New York, American Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar