TEORI KEBENARAN
Oleh : Dirgantara Wicaksono,M.Pd ,MM
A. Latar Belakang
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam
memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia
Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam
dirinya. Sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari
aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan
konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi,
ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya makna
bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa
cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio
seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman
yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip melalui penalaran rasional,
sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Ilmu harus
dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk
pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah
formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena
tersebut.
Struktur
pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.
Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat
kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam
struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan
rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara
tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada
pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus
dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan
rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur
dengan jelas.
Ilmu dicirikan
dengan pemakaian sistem dan metode ilmiah yang dapat diberikan dalam berbagai
bentuk. Metode ilmu dapat bersifat sangat teoritis dan apriori dengan membuat
unsur-unsur bangunannya sendiri. Metode ilmu juga dapat bersifat empiris dengan
unsur-unsur bangunan yang seakan-akan diolah dari lingkungan.
Metode ilmiah
yang dipakai dalam suatu ilmu bergantung dari objek ilmu yang bersangkutan.
Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio
politis, humanistis dan religius.
Filsafat memiliki
tiga cabang besar kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi (Ahmad
Tafsir, 2004:23). Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya
dengan ilmu, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai
objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi
pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari
pandangan positivistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berarti bahwa
aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif terkadang diabaikan. Epistemologis
membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern,
jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar
utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya
ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis. Dengan
demikian setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada
dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari pemikiran yang
bersangkutan (Suriasumantri, 1999:5).
Dari semua
pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi,
dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin
(Suriasumantri, 2003). Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman
mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan
perhatian yang serius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas
pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang dimiliki seseorang itu benar/valid
atau tidak, untuk itu para ahli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth) yang akan di bahas
dalam makalah ini.
B. Permasalahan
- Apakah manusia itu?
- Bagaimana upaya
manusia dalam mencari kebenaran?
- Apa kegunaan
kebenaran itu bagi manusia?
- Bagaimana penjelasan
tentang teori kebenaran?
C. Tujuan dan Manfaat
- Untuk dijadikan
sebagai kerangka acuan dalam menemukan kebenaran.
- Untuk dijadikan
sebagai landasan dalam menyusun kerangka berpikir ilmiah.
- Untuk dijadikan
sebagai panduan agar bersikap logis-rasional dan sistematik dalam beropini
dan berargumentasi.
- Untuk dijadikan wahana dalam mengembangkan sikap toleransi dalam perbedaan pandangan (pluralitas)
A. Ulasan-Ulasan Umum Mengenai Manusia
Menurut Kattsoff (2004:388),
pemakaian kata ‘manusia’ bermakna ganda, seperti dibuktikan dalam kalimat-kalimat:
- Manusia tiada lain
kecuali hewan.
- Manusia merupakan
hasil sejarah.
- Manusia adalah
makhluk rohani
- Ia mencoba
mempertahankan kemanusiaannya di dalam keadaan yang gawat itu
Masing-masing
kalimat di atas mengandung pra-anggapan suatu teori tentang hakikat manusia dan
mengacu kepada manusia dalam makna yang berbeda-beda (Kattsoff, 2004:388).
Kalimat (a) mengandung makna bahwa manusia adalah hewan; kalimat (b) kiranya
tidak mengacu kepada manusia, melainkan mengacu kepada kepribadiannya; kalimat
(c) mengandung makna bahwa manusia adalah sesuatu yang lebih daripada raga
suatu nyawa atau jiwa; dan kalimat (d) sekali lagi, mengandung barang sesuatu
yang terdapat di dalam raga, namun berbeda dari c sejenis kebajikan atau
kedirian.
Jawaban
tentang manusia ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem dan
masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia
memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah makhluk yang
“misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan (Setiardja,
2005: 21).
Dalam sejarah
filsafat manusia dapat kita temukan jawaban mengenai manusia dari berbagai
aliran. Aliran yang pertama adalah aliran materialisme belaka (ekstrim) yang
dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie yang hidup pada tahun 1709-1751.
Menurut aliran ini manusia adalah materia belaka. Aliran ini mengingkari
kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan mengingkari adanya pendorong hidup. (
Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain yang dapat digolongkan dalam materialisme
adalah darwinisme meskipun aliran ini kurang ekstrim. Aliran ini berpendapat
bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang, segala tindak tanduk manusia
itu ditentukan oleh alam.
Menurut Titus
(1959:26) ketika berbicara tentang manusia yang terdidik beliau mengatakan:
“Man is an
animal organism, it is true but he is able to study himself as an organism and
to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human
existence. To do so he must be able in some sense to stand outside of, or to
transcend, the life and condition which he judges and compares. Man lives at
the point where nature and spirit somehow meet”.
“Manusia
adalah organisme hewani, itu memang benar, namun dia mampu mempelajari dirinya
sendiri sebagai suatu organisme yang membandingkan dan menafsirkan
bentuk-bentuk hidup serta mampu menyelidiki makna eksistensi insane. Untuk
melakukan hal itu dia harus sanggup seakan-akan berdiri di luar atau di atas
kehidupan dan kondisi yang ditimbang dan dibandingkannya itu. Manusia hidup
pada titik dimana natur dan spirit bertemu”.
Menurut
Drijarkara (1988:22) ketika berbicara tentang hakikat manusia beliau
mengatakan:
“Lihatlah
hidup tanam-tanaman dan hewan. Di situ hidup hanya berjalan. Yang hidup tidak
mengangkat diri dan hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi; yang hidup disitu
tidak menguasai dan tidak bisa campur tangan. Berlainanlah manusia. Dia tidak
hanya hidup; dia juga subjek yang sadar diri. Dia subyek rohani. Hidupnya tidak
hanya berjalan; dia mengerti, menguasai dan bisa campur tangan. Dia menentukan
dan mengatur hidupnya. Dengan semua ini dia mengangkat hidupnya ke tingkat
insani (human level). Hidupnya
menjadi hidup insani. Hidup yang demikian bukan hanya alam yang berjalan,
melainkan alam yang dibudayakan, atau dengan kata lain: kebudayaan”.
Menurut
Almaraghi dalam Anshori (dalam pokok-pokok pikiran tentang Islam) bahwa Tuhan
menganugrahi hidayah kepada manusia dengan lima macam tingkatan:
- Hidayah Al-Ilhami
atau instink
- Hidayah Al-Hawasi
atau Indra
- Hidayah Al-Aqli atau
akal-budi
- Hidayah Al-Adyani
atau agama
- Hidayah At-taufiqi
Menurutnya
akal-budi lebih tinggi tingkatannya dari pada instink dan indra. Oleh karena
itu akal-budilah yang membedakan manusia dengan hewan, di atas akal budi
terdapat agama, dan diatas agama ada taufiqi.
|
MANUSIA
|
|
HEWANI/BASARI
|
|
INSANI/MANUSIAWI
|
JASAD/FISIK/BIOLOGIS
|
|
JIWA/AKAL/RUHANI
|
MAKAN
|
|
BERFIKIR
|
MINUM
|
|
BERPENGETAHUAN
|
TUMBUH
|
|
BERMASYARAKAT
|
BERKEMBANGBIAK
|
|
BERBUDAYA/BERETIKA/
BERTUHAN
|
Dimensi-Dimensi
Manusia
Dengan
demikian maka manusia memiliki perbedaan mendasar atau fundamental dibandingkan
dengan hewan, walaupun secara struktur biologis hampir sama. Manusia adalah
makhluk yang berakal sehat, pandai membandingkan dan menafsirkan, suka
mempertanyakan segala sesuatu, kratif dan sebagainya. Jadi kalau meminjam
istilah Drijarkara bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbudaya.
B. Manusia Berfikir Mencari Kebenaran
Semua karakteristik manusia
yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat
dari anugrah akal yang dimilikinya,
serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas
kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada
manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan,
serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang
tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai
pertanggungjawaban.
Dalam Ilmu Manthiq (logika) kita bisa menemukan rumusan
tentang manusia yang sekaligus membedakannya dari hewan yaitu Al-Insaanu Hayawanun Nathiqun (Manusia
adalah hewan yang berfikir), senada dengan Aristoteles bahwa “man as the animal that reason”. Rene
Descartes berpendirian “Cogito ergo sum” (saya berpikir sebab itu saya ada).
Kalau berfikir (penggunaan
kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan
hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, Menurut Suriasumantri (1999:1-2) bahwa Berfikir
merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan
serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan
demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai
berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek
sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut.
Manusia berusaha dengan akalnya memikirkan segala
sesuatu yang dia alami dan dianalogikan kepada yang lainnya. Berfikir juga
berguna untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat, berfikir untuk berfikir, yang
pertama melahirkan ilmu-ilmu terapan (teknologi), sedangkan yang kedua
melahirkan ilmu-ilmu murni. Berfikir terhadap alam semesta
melahirkan filsafat alam, dan ilmu-ilmu lainnya, contoh berfikir tentang obyek
manusia melahir: Ilmu Jiwa, Ilmu kedokteran, logika, antropologi, sosiologi dan
sebagainya. Berfikir menurut Kitab Suci berjalan seimbang antara fikir
dan zikir. Kecerdasan yang sempurna adalah berpadunya antara zikir dan
fikir, memikirkan sesuatu melahirkan zikir terhadap yang menciptakan sesuatu
Yaitu Allah SWT sesuai firman-Nya dalam Kitab Suci:
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (cendekiawan), (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS 3:190-191)
Dengan demikian manusia adalah makhluk yang dengan
akalnya berfikir selalu mencari kebenaran sebagai makhluk yang mengemban tugas
mengelola muka bumi ini.
C. Instrumen Untuk
Mencari Kebenaran
1. Ilmu
2. Filsafat
3. Agama
1. Ilmu
2. Filsafat
3. Agama
Menurut
Tafsir (2004:16) membagi Pengetahuan Manusia ke dalam tiga jenis seperti dalam
tabel berikut:
MACAM
PENGETAHUAN
|
OBJEK
|
PARADIGMA
|
METODE
|
UKURAN
|
SAINS
|
EMPIRIS
|
POSITIVISTIS
|
SAINS
(ILMIAH)
|
LOGIS
DAN BUKTI EMPIRIS
|
FILSAFAT
|
ABSTRAK-LOGIS
|
LOGIS
|
RASIO
|
LOGIS
|
MISTIK
|
ABSTRAK-SUPRALOGIS
|
MISTIS
|
LATIHAN
MISTIK
|
RASA
YAKIN, KADANG-KADANG EMPIRIS
|
D. Teori-Teori Kebenaran
(Teori Kebenaran Ilmiah)
Menurut
para ahli merumuskan, umumnya kebenaran ilmiah dapat diterima dikarenakan oleh
3 hal yaitu adanya koheren adanya koresponden dan adanya pragmatis.
1.
Teori
kebenaran sebagai persesuaian (the
correspondence theory of truth)
Teori ini pertama kali dimunculkan oleh Aristoteles “VERITAS
EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” (kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan
kenyataan). Menurut
Aristoteles kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya.
Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan
kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran
terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui
subyek dan realitas sebagaimana adanya.
Oleh karenanya ini disebut pula kebenaran empiris, karena kebenaran
suatu pernyataan, proposisi atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan,
proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak. Contohnya “ bumi ini bulat” adalah suatu
pernyataan benar, karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung sesuai
dengan kenyataan.
Kebenaran terjadi pada pengetahuan.
Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan
apa yang diungkapkan pernyataan itu.
Intinya realitas adalah hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal
pokok yang perlu digarisbawahi dalam teori ini. Pertama, teori ini sangat
menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi
sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung
menegaskan dualitas antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang
dikenal. Bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia
adalah obyek. Subyek atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang
diberikan oleh obyek. Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat
menekankan bukti (eviden) bagi
kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori
oleh akal budi, bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan
disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi
pengamatan atau penangkapan fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.
- Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth)
Teori ini dianut oleh kaum
rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya. Kebenaran
ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu
pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau
sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu
kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang
dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu
pasti sangat menekankan teori kebenaran ini. Contohnya, pengetahuan “lilin
akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”.
Bagi kaum
empiris (kebenaran persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan
memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah
pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Tetapi bagi kaum rasionalitas, untuk mengetahui
kebenaran pernyataan ini cukup mencek apakah pernyataan ini sejalan dengan
pernyataan lainnya, atau apakah
pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin
termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu 600
C. Karena air mendidih
pada suhu 1000 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan
ke dalam air yang sedang mendidih.
Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin
adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 600 C dan sejalan
dengan pengetahuan lain bahwa iar mendidih pada suhu 1000 C. Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau
dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih”, hanya merupakan konsekuensi
logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.
- Teori pragmatis tentang
kebenaran (the pragmatic theory of
truth)
Teori ini dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika
Serikat seperti Charles, S. P dan William James. Bagi
kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang
benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu
memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling
berhasil dan tepat guna. Berhasil
dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar
atau tidak. Contoh, ide bahwa
kemacetan jalan-jalan besar di Jakarta
disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu
orang. Maka penyelesaiannya “mewajibkan
jalan pribadi ditumpangi oleh tiga orang atau lebih”. Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna
dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah
kebenaran yang menyangkut “pengetahuan
bagaimana” (know how). Suatu ide yang
benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan
sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum
rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis
suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam
penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi
kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau
teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran,
manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak
hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tetapi juga
“pengetahuan bagaimana”.
KESIMPULAN
1)
Manusia adalah makhluk yang berakal sehat, pandai
membandingkan dan menafsirkan, suka mempertanyakan segala sesuatu, kratif dan
sebagainya. Jadi kalau meminjam istilah Drijarkara bahwa manusia itu adalah
makhluk yang berbudaya.
2)
Manusia adalah makhluk yang dengan akalnya berfikir selalu
mencari kebenaran sebagai makhluk yang mengemban tugas mengelola di muka bumi.
3)
Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa
Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut
teori ini kebenartan iaah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesuatu sendiri. Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu
bermula dari ARIESTOTELES, dan disebut teori penggambaran yang definisinya
berbunyi sebagai berikut :“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” (kebenaran
adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan).
4)
Teori Koherensi tentang kebenaran
dapat disimpulkan bahwa: Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru
dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan,
proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan,
teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan
dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan
ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini.
5)
Teori Pragmatis tentang kebenaran dapat disimpulkan bahwa:
kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.
Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang
berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang
(berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
DAFTAR PUSTAKA
Drijarkara SJ, N (1988).
Filsafat Manusia. Yogyakarta
Kattsoff, Louis O. (2004).
Pengantar
Filsafat. (Penerjemah: Soejono Soemargono) Cetakan ke-9. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Poedjawijatna.
(1997). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Saifuddin Anshari, Endang . Pokok-Pokok
Pikiran Tentang Islam. Tanpa Tahun
Setiardja, A. Gunawan.
(2005). Manusia dan Ilmu Telaah Filsafat atas Manusia yang
Menekuni Ilmu Pengetahuan.
Cetakan Ke-3. Semarang.
Suriasumantri, Jujun S.
(1999). Ilmu Dalam Perspektif. Cetakan ke-14. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S.
(2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-16. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad (2004). Filsafat
Umum, Akal Dan Hati Dari Thales Sampai Chapra. Cetakan ke-13. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Titus, Harold H (1959).
Living issues in philosophy, New York,
American Book
Tidak ada komentar:
Posting Komentar