Analisis Politik Media
Menjamurnya
industri media tak terlepas dari prinsip pasar. Persaingan bebas memaksa media
massa memunculkan kreativitasnya untuk tetap eksis. Akibatnya media massa
cenderung mengacu pada peluang komersialisasi media. Apa pun dinilai dengan
pemasukan uang
Wacana
terbesar dalam membahas fenomena perempuan di media massa adalah antara
‘ideologi’ dengan ‘objektivitas’. Wacana didominasi oleh ideologi patriarkhisme
sehingga objektivitas yang muncul justru menjadi subjektivitas. Informasi dan
pengetahuan tentang perempuan yang dikonstruksi oleh kalangan laki-laki justru
menjadikan perempuan kurang berpeluang untuk mengkonstruksikan dirinya sendiri.
Tak
bisa disanggah, media massa yang mengakselerasi penyebaran ideologi tersebut
mendominasi ruang publik perempuan. Perempuan sebagai pengelola media, sebagai
isi pesan media dan sebagai konsumen media, dengan kata lain sebagai objek
sekaligus subjek media atas hegemoni laki-laki.
Sosok
perempuan dalam realitas kehidupan sosial cenderung mengarah pada hal-hal yang
berbau keindahan. “Pemuja keindahan tubuh wanita” dalam hal ini laki-laki pasti
akan senang sekali memperhatikan setiap iklan yg mengekspos sisi keidahan
gemulainya wanita. Sehingga wanita menjadi tontonan yg sangat menarik di setiap
acara, dan tampilan iklan media massa lainnya (surat kabar).
Iklan
dalam media televisi contohnya, hampir dalam setiap iklan tidak pernah
terlupakan sosok seorang wanita. Namun disisi lain kita lihat dari segi
realitas, wanita seakan-akan menjadi barang yang murah, yang mudah sekali kita
lihat dan temukan di media.
Perempuan
dalam kehidupan masyarakat, biasanya terpinggirkan peranannya dalam berbagai
sektor public. Stereotip tentang perempuan biasanya muncul lantaran menganggap
perempuan sebagai makhluk yang lemah. Peranannya menjadi terbatas karena
permasalahan jender. Penggambaran perempuan yang stereotipikal seperti itu
kemudian diperparah dengan penempatan perempuan sebagai objek yang tampil
seronok dan glamor di media massa.
Representasi media atas perempuan sering menampilkan
perempuan sebagai makhluk fisik belaka yang memposisikan tubuh
perempuan sebagai komoditas media yang cenderung dikomersialkan. Penggabaran
perempuan seharusnya tidak didefinisikan sebagai makhluk domestik yang tidak
banyak berperan di sektor publik. Namun yang seharusnya patut direnungi adalah
perempuan juga sebenarnya memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam
memainkan peranannya.
Realitas
menunjukkan eksploitas perempuan dalam media dapat mempengaruhi anomali pembaca
media sekaligus sebagai hiburan khususnya bagi kaum laki-laki. Dengan kata lain, media cenderung menempatkan tubuh
perempuan sebagai penglarisnya.
Dr.
Thamrin Amal Tamagola (seorang sosiolog) menemukan 5 citra perempuan dalam
iklan, yang ia sebut sebagai P-5: citra peraduan, citra pigura, pilar rumah
tangga, citra pergaulan dan citra pinggan. Citra peraduan mengartikan perempuan
sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan
sebagainya. Citra pigura, perempuan sebagai makhluk yang cantik dan harus
selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian;
segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.
Citra
yang paling banyak dieksploitasi adalah perempuan sebagai pilar rumah tangga.
Ia harus menjalankan tugasnya mulai dari yang tradisional; sumur, kasur, dapur,
sampai dengan yang agak modern, agak mutakhir, tetapi tetap dalam lingkup
domestik. Dari dapur sudah sampai ke ruang tamu, menemani tamu suaminya, tapi
masih dilingkup domestik.
Citra
perempuan (image of women) dengan tugasnya sebagai pengurus rumah
tangga sudah jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media massa.
Ketika kita melihat iklan di berbagai media yang menayangkan perempuan sedang
memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra
tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat,
yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Tapi,
perempuan juga punya citra sebagai pilar. Dalam hal ini perempuan diharapkan
mampu me-manage rumah tangga. Ia sekurang-kurangnya harus mengelola tiga
hal. Pertama, barang-barang di dalam rumah. Kedua, mengelola belanja,
finansial. Ketiga, mengelola anak-anak dan para pembantu. Perempuan yang
bekerja di dalam rumah diharapkan mampu menerapkan manajemen modern di dalam
rumah tangga.
Perempuan
dalam citra pergaulan ada hubungannya dengan citra peraduan. Anggapan tersirat
bahwa perempuan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan perempuan
sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan,
ciuman dan sebagainya. Dalam beberapa iklan suplemen makanan dan ramuan
tradisional pembangkit gairah seksual, kepuasaan tidak hanya pada laki-laki
tetapi juga berdampak pada diri perempuan yang merasa dihargai oleh laki-laki.
Citra
pinggang lebih banyak digunakan untuk menawarkan makanan, minuman, bumbu masak,
alat-alat rumah tangga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur.
Setinggi apapun pendidikan perempuan atau berapa besarpun penghasilan
perempuan,ia tak akan dapat jauh dari dapur, kompor, asap penggorengan, bumbu
masak dan lain
1. Iklan Lebih Banyak
Menayangkan Perempuan Bekerja di Rumah dan Laki-laki di Luar Rumah.
Citra
perempuan (image of women) dalam hal ini lebih menekankan sisi
eksploitasi sosok perempuan yang sesungguhnya. Hal ini merujuk pada peranan
perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Perspektif ini sebenarnya sudah muncul
jauh lebih dahulu ketimbang kemunculan media massa.
Realitas
saat ini menunjukkan, perempuan lebih memainkan peranan utamanya sebagai
pengurus rumah tangga, seperti memasak, menyapu, membereskan perabotan rumah
dan sebagainya. Dan hal ini secara umum tidak dapat tergantikan oleh kaum
laki-laki karena image perempuan sudah sangat melekat.
Realitas
yang dapat kita amati ialah saat munculnya iklan di berbagai media yang
menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di
situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam
kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah
tangga.
Realitas
berbeda terlihat pada peranan laki-laki dalam media. Laki-laki dalam perspektif
media digambarkan sebagai sosok yang memiliki peranan lebih disbanding
perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang
menguraikan bahwa stereotif yang berkembang dalam media tentang pespektif
laki-laki yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif,
petualang, kuat, agresif secara seksual, dan memiliki siense kepemimpinan.
2. Kebanyakan Perempuan Iklan
di Televisi Muda, Sedangkan Laki-laki tidak.
Sosok
perempuan dalam realitas kehidupan social cenderung mengarah pada hal-hal yang
berbau keindahan. Khususnya bagi perempuan yang masih muda. Produsen barang,
dalam hal ini cenderung memanfaatkan perempuan sebagai senjata ampuh untuk
mempromosikan produknya. Kecantikan dan keindahan tubuh perempuan (yang masih
muda) menjadi focus utama yang ditonjolkan.
Tujuannya
jelas, untuk memancing minat audien khususnya para lelaki dan kaum perempuan
itu sendiri. “Pemuja keindahan tubuh wanita”khususnya laki-laki pasti akan
senang sekali memperhatikan setiap iklan yg mengekspos sisi keidahan gemulainya
wanita. Sehingga wanita menjadi tontonan yang sangat menarik di setiap acara,
dan tampilan iklan media televise. Tak ayal, terkadang sosok perempuan terlalu
dieksploitasi, sehingga menimbulkan kesan sensualitas yang nyata.
Fenomena
di atas menunjukkan perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan
obat-obat kuat, kondom dan sebagainya. Citra perempuan muncul sebagai makhluk
yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet,
aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.
Menurut Craft, dan Sanders and Rock, Penampilan muda dan cantik dari
seorang perempuan seringkali juga mempengaruhi harapan terhadap acara siaran
berita. Dalam hal ini, penyiar perempuan diharapkan muda, atraktif secara
fisik, dan kurang terbuka dari pada laki-laki (Craft, 1988; Sanders and Rock,
1988).
Sementara
itu perspektif tentang peranan laki-laki dalam media tidak terikat pada
kategori usia.
Permasalahan usia pada laki-laki dalam tayangan televisi digambarkan
sebagai; kategori keseriusan, konfiden, kompetensi, powerfull, dan dalam posisi
yang tinggi. McCauley, Thangavelu, dan Rozin (1988), menyatakan bahwa mayoritas
laki-laki yang ditayangkan dalam waktu primetime televisi adalah
independen, agresif, dan berkuasa.
3. Tokoh Perempuan Lebih Sedikit di Banding dengan Tokoh Laki-laki.
Studi tentang relasi laki-laki-perempuan dalam media massa yaitu, perempuan
dianggap tidak berdaya di tengah-tengah masyarakat yang dikendalikan kaum pria.
Kompetensi pria yang ditampilkan pada hakikatnya digunakan oleh mereka untuk
melindungi para perempuan dari ketidakberdayaannya. Hal ini menunjukkan
keterbatasan peranan perempuan yang cenderung diposisikan pada peranan domestik
(di dapur).
Peran televisi dalam memposisikan ketidakseimbangan peran
laki-laki-perempuan, cukup kuat. Dalam hal ini TV mengkomunikasikan pesan bahwa
pria berkuasa dan perempuan tidak. Pesan demikian makin kuat keberadaannya
tatkala disajikan dalam program-program yang ditempatkan pada waktu prime-time.
Televisi membentuk citra dengan menampilkan perempuan yang butuh pertolongan
pria dan lebih banyak menampilkan perempuan sebagai inkompeten lebih dari pada
laki-laki (Boyer dan Lichter dalam Wood, 1997).
5. TOKOH PRIA MEMAINKAN PERANAN YANG LEBIH BESAR DARI PADA PEREMPUAN
Menurut
Wood (1996) media massa telah membangun makna tentang pria dan perempuan serta
hubungan antara pria dan perempuan. Wood berdasarkan hasil
risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang yaitu;
secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat,
agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak tampil dalam hubungan yang
bersifat manusiawi. Sementara itu, makna tentang perempuan yang didasarkan pada
pandangan budaya secara konsisten, digambarkan sebagai objek seks yang selalu
langsing, cantik, pasif, tergantung (dependen), dan sering tidak kompeten.
Kesimpulannya,
perspektif media menempatkan citra laki-laki sebagai makhluk yang agresif,
kuat, dominan dalam peranannya, dan ditempatkan dalam aktivitas yang menggairahkan.
DW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar