Jumat, 12 April 2013

Analisis Politik media


Analisis Politik Media

Menjamurnya industri media tak terlepas dari prinsip pasar. Persaingan bebas memaksa media massa memunculkan kreativitasnya untuk tetap eksis. Akibatnya media massa cenderung mengacu pada peluang komersialisasi media. Apa pun dinilai dengan pemasukan uang
Wacana terbesar dalam membahas fenomena perempuan di media massa adalah antara ‘ideologi’ dengan ‘objektivitas’. Wacana didominasi oleh ideologi patriarkhisme sehingga objektivitas yang muncul justru menjadi subjektivitas. Informasi dan pengetahuan tentang perempuan yang dikonstruksi oleh kalangan laki-laki justru menjadikan perempuan kurang berpeluang untuk mengkonstruksikan dirinya sendiri.
Tak bisa disanggah, media massa yang mengakselerasi penyebaran ideologi tersebut mendominasi ruang publik perempuan. Perempuan sebagai pengelola media, sebagai isi pesan media dan sebagai konsumen media, dengan kata lain sebagai objek sekaligus subjek media atas hegemoni laki-laki.
Sosok perempuan dalam realitas kehidupan sosial cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau keindahan. “Pemuja keindahan tubuh wanita” dalam hal ini laki-laki pasti akan senang sekali memperhatikan setiap iklan yg mengekspos sisi keidahan gemulainya wanita. Sehingga wanita menjadi tontonan yg sangat menarik di setiap acara, dan tampilan iklan media massa lainnya (surat kabar).
Iklan dalam media televisi contohnya, hampir dalam setiap iklan tidak pernah terlupakan sosok seorang wanita. Namun disisi lain kita lihat dari segi realitas, wanita seakan-akan menjadi barang yang murah, yang mudah sekali kita lihat dan temukan di media.
Perempuan dalam kehidupan masyarakat, biasanya terpinggirkan peranannya dalam berbagai sektor public. Stereotip tentang perempuan biasanya muncul lantaran menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah. Peranannya menjadi terbatas karena permasalahan jender. Penggambaran perempuan yang stereotipikal seperti itu kemudian diperparah dengan penempatan perempuan sebagai objek yang tampil seronok dan glamor di media massa.
Representasi media atas perempuan sering menampilkan perempuan sebagai makhluk fisik belaka yang memposisikan tubuh perempuan sebagai komoditas media yang cenderung dikomersialkan. Penggabaran perempuan seharusnya tidak didefinisikan sebagai makhluk domestik yang tidak banyak berperan di sektor publik. Namun yang seharusnya patut direnungi adalah perempuan juga sebenarnya memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memainkan peranannya.
Realitas menunjukkan eksploitas perempuan dalam media dapat mempengaruhi anomali pembaca media sekaligus sebagai hiburan khususnya bagi kaum laki-laki. Dengan kata lain, media cenderung menempatkan tubuh perempuan sebagai penglarisnya.
Dr. Thamrin Amal Tamagola (seorang sosiolog) menemukan 5 citra perempuan dalam iklan, yang ia sebut sebagai P-5: citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan. Citra peraduan mengartikan perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya. Citra pigura, perempuan sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.
Citra yang paling banyak dieksploitasi adalah perempuan sebagai pilar rumah tangga. Ia harus menjalankan tugasnya mulai dari yang tradisional; sumur, kasur, dapur, sampai dengan yang agak modern, agak mutakhir, tetapi tetap dalam lingkup domestik. Dari dapur sudah sampai ke ruang tamu, menemani tamu suaminya, tapi masih dilingkup domestik.
Citra perempuan (image of women) dengan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga sudah jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media massa. Ketika kita melihat iklan di berbagai media yang menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Tapi, perempuan juga punya citra sebagai pilar. Dalam hal ini perempuan diharapkan mampu me-manage rumah tangga. Ia sekurang-kurangnya harus mengelola tiga hal. Pertama, barang-barang di dalam rumah. Kedua, mengelola belanja, finansial. Ketiga, mengelola anak-anak dan para pembantu. Perempuan yang bekerja di dalam rumah diharapkan mampu menerapkan manajemen modern di dalam rumah tangga.     
Perempuan dalam citra pergaulan ada hubungannya dengan citra peraduan. Anggapan tersirat bahwa perempuan merupakan alat pemuas kebutuhan laki-laki, kecantikan perempuan sepantasnya dipersembahkan kepada laki-laki lewat sentuhan, rabaan, pandangan, ciuman dan sebagainya. Dalam beberapa iklan suplemen makanan dan ramuan tradisional pembangkit gairah seksual, kepuasaan tidak hanya pada laki-laki tetapi juga berdampak pada diri perempuan yang merasa dihargai oleh laki-laki.
Citra pinggang lebih banyak digunakan untuk menawarkan makanan, minuman, bumbu masak, alat-alat rumah tangga dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur. Setinggi apapun pendidikan perempuan atau berapa besarpun penghasilan perempuan,ia tak akan dapat jauh dari dapur, kompor, asap penggorengan, bumbu masak dan lain
1.      Iklan Lebih Banyak Menayangkan Perempuan Bekerja di Rumah dan Laki-laki di Luar Rumah.
Citra perempuan (image of women) dalam hal ini lebih menekankan sisi eksploitasi sosok perempuan yang sesungguhnya. Hal ini merujuk pada peranan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Perspektif ini sebenarnya sudah muncul jauh lebih dahulu ketimbang kemunculan media massa.
Realitas saat ini menunjukkan, perempuan lebih memainkan peranan utamanya sebagai pengurus rumah tangga, seperti memasak, menyapu, membereskan perabotan rumah dan sebagainya. Dan hal ini secara umum tidak dapat tergantikan oleh kaum laki-laki karena image perempuan sudah sangat melekat.        
Realitas yang dapat kita amati ialah saat munculnya iklan di berbagai media yang menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Realitas berbeda terlihat pada peranan laki-laki dalam media. Laki-laki dalam perspektif media digambarkan sebagai sosok yang memiliki peranan lebih disbanding perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang dalam media tentang pespektif laki-laki yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan memiliki siense kepemimpinan.
2. Kebanyakan Perempuan Iklan di Televisi Muda, Sedangkan Laki-laki tidak.
Sosok perempuan dalam realitas kehidupan social cenderung mengarah pada hal-hal yang berbau keindahan. Khususnya bagi perempuan yang masih muda. Produsen barang, dalam hal ini cenderung memanfaatkan perempuan sebagai senjata ampuh untuk mempromosikan produknya. Kecantikan dan keindahan tubuh perempuan (yang masih muda)  menjadi focus utama yang ditonjolkan.
Tujuannya jelas, untuk memancing minat audien khususnya para lelaki dan kaum perempuan itu sendiri. “Pemuja keindahan tubuh wanita”khususnya laki-laki pasti akan senang sekali memperhatikan setiap iklan yg mengekspos sisi keidahan gemulainya wanita. Sehingga wanita menjadi tontonan yang sangat menarik di setiap acara, dan tampilan iklan media televise. Tak ayal, terkadang sosok perempuan terlalu dieksploitasi, sehingga menimbulkan kesan sensualitas yang nyata.
Fenomena di atas menunjukkan perempuan sebagai obyek seksual. Paling jelas dalam iklan obat-obat kuat, kondom dan sebagainya. Citra perempuan muncul sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu menjaga kecantikannya dengan latihan fisik, diet, aksesori, pakaian; segala sesuatu yang mewah diasosiasikan sebagai perempuan.
Menurut Craft, dan Sanders and Rock, Penampilan muda dan cantik dari seorang perempuan seringkali juga mempengaruhi harapan terhadap acara siaran berita. Dalam hal ini, penyiar perempuan diharapkan muda, atraktif secara fisik, dan kurang terbuka dari pada laki-laki (Craft, 1988; Sanders and Rock, 1988).
Sementara itu perspektif tentang peranan laki-laki dalam media tidak terikat pada kategori usia. Permasalahan usia pada laki-laki dalam tayangan televisi digambarkan sebagai; kategori keseriusan, konfiden, kompetensi, powerfull, dan dalam posisi yang tinggi. McCauley, Thangavelu, dan Rozin (1988), menyatakan bahwa mayoritas laki-laki yang ditayangkan dalam waktu primetime televisi adalah independen, agresif, dan berkuasa.
3. Tokoh Perempuan Lebih Sedikit di Banding dengan Tokoh Laki-laki. 
Studi tentang relasi laki-laki-perempuan dalam media massa yaitu, perempuan dianggap tidak berdaya di tengah-tengah masyarakat yang dikendalikan kaum pria. Kompetensi pria yang ditampilkan pada hakikatnya digunakan oleh mereka untuk melindungi para perempuan dari ketidakberdayaannya. Hal ini menunjukkan keterbatasan peranan perempuan yang cenderung diposisikan pada peranan domestik (di dapur).
Peran televisi dalam memposisikan ketidakseimbangan peran laki-laki-perempuan, cukup kuat. Dalam hal ini TV mengkomunikasikan pesan bahwa pria berkuasa dan perempuan tidak. Pesan demikian makin kuat keberadaannya tatkala disajikan dalam program-program yang ditempatkan pada waktu prime-time. Televisi membentuk citra dengan menampilkan perempuan yang butuh pertolongan pria dan lebih banyak menampilkan perempuan sebagai inkompeten lebih dari pada laki-laki (Boyer dan Lichter dalam Wood, 1997).

5.  TOKOH PRIA MEMAINKAN PERANAN YANG LEBIH BESAR DARI PADA PEREMPUAN
Menurut Wood (1996) media massa telah membangun makna tentang pria dan perempuan serta hubungan antara pria dan perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak tampil dalam hubungan yang bersifat manusiawi. Sementara itu, makna tentang perempuan yang didasarkan pada pandangan budaya secara konsisten, digambarkan sebagai objek seks yang selalu langsing, cantik, pasif, tergantung (dependen), dan sering tidak kompeten.
Kesimpulannya, perspektif media menempatkan citra laki-laki sebagai makhluk yang agresif, kuat, dominan dalam peranannya, dan ditempatkan dalam aktivitas yang menggairahkan.


DW



Tidak ada komentar:

Posting Komentar