ILMU DAN KEBUDAYAAN
OLEH : DIRGANTARA WICAKSONO
Manusia dan Kebudayaan
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E.
B. Taylor pada tahun 1871, lebih dari seratus tahun
yang lalu, dalam bukunya Primitive culture
di mana kebudayaan diartikan
sebagai keseluruhan yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat..2) Meskipun pada tahun
1952 Kroeber dan Kluckholn menginventarisasikan
lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan yang dihasilkan oleh publikasi tentang kebudayaan selama lebih kurang tiga perempat abad3) namun pada dasarnya
tidak terdapat perbedaan yang bersifat
prinsip dengan definisi pertama yang dicetuskan Taylor. Kuntjaraningrat (1974)
secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem
mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan
yang banyak sekali. Adanya kebutuhan hidup inilah yang
mendorong manusia untuk melakukan berbagai
tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan
dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan
binatang bukan Baja dalam banyaknya kebutuhan
namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebudayaanlah, dalam
konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara
manusia dan binatang. Maslow
mengidentifikasikari lima kelompok kebutuhan
manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Binatang kebutuhannya kepada dua kelompok pertama dari kategori Maslow
yakni fisiologis dan rasa aman serta
memenuhi kebutuhan ini secara Sedangkan
manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak otomatis yang berdasarkan instink tersebut dan oleh sebab
itu dia berpaling kepada kebudayaan
yang mengajarkan cara hidup. Pada hakikatnya menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat penyelamatan
(survival kit) kemanusiaan di muka bumi.
Ketidakmampuan manusia untuk
bertindak instinktif ini diimbangi oleh
kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai
obyek-obyek yang, bersifat fisik. Kemampuan belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan berpikir simbolik. Terlebih-lebih lagi manusia
mempunyai budi ya-ir merupakan poly kejiwaan yang di
dalamnya terkandung. "dorongan hidup
yang dasar, inseting, perasaan, dengan pikiran, budi inilah yang
menyebabkan manusia mengembang.
Nilai-nilai
budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar
dari segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang
merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya.
pada dasarnya tata hidup merupakan
pencerminan yang kongkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak:
kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera
Sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh nusia. Di samping itu make nilai budaya dan tata hidup ditopang
oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berup kebudayaan. Sarana kebudayaan ini pads dasarnya merupakan judan yang bersifat fisik yang merupakan
produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam
berkehidupan.
Keseluruhan
faset dari kebudayaan tersebut di atas sangat berbungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang
terkandung dalam suatu
kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah
diteruskan kebudayaan dari generasi yang situ kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian make kebudayaan diteruskan dari waktu ke waktu: kebudayaan yang telah lalu bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa
kini disampaikan ke masa yang akan
datang. Atau, menurut Alfred Korzybski, kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Tanaman
mengikat bahan-bahan kimiawi,
binatang mengikat ruang, tetapi hanya manusia seorang yang mampu
mengikat waktu.
Dalam kaitan pendidikan dengan kebudayaan inilah akan dicoba dikaji beberapa masalah pokok yang patut
mendapatkan perhatian. Pengajian in:
ditujukan untuk menyelami beberapa gejala yang mempunyai pengaruh penting dalam proses pendidikan kita.
Masalah ini akan didekati dari segi
nilai-mlai budaya sebab obyek inilah yang merupakan dasar ideal bagi
perwujudan kebudayaan lainnya.
Kebudayaan dan pendidikan
Allport, Vernon dan Lindzey (1951)
mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Yang dimaksudkan dengan nilai teori adalah
hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai
metode seperti rasionalisme, empirisme
dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai
bends dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai' estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik
yang menyangkut antara lain bentuk,
harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi-segi
kemanusiaan yang luhur. Mai politik
berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh balk dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dunia golitik. Sedangka-n. nilai agama merefigkuh penghayatan yang bersifat mistik
dan transedental dalam usaha manusia
untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bu.mi.11)
Setiap kebudayaan mempunyai Skala hirarki mengenai mans yang lebih penting dan mana yang kurang
penting dari nilai-nilai tersebut di atas Berta mempunyai penilaian
tersendiri dari tiap-tiap kategori.
Berdasarkan penggolongan tersebut di atas maka masalah pertama yang dihadapi oleh pendidikan ialah
menetapkan nilai-nilai.budaya apa saja yang has-us dikembangkan dalam diri anak kita. Pendidikan yang dapat diartikan secara luas sebagai
usaha yang sadar dan sistemads dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian dan kemampuan fisiknya, mengharuskan
kita setiap waktu untuk mengkaji
kembali masalah tersebut. Hal ini harus dilakukan disebabkan oleh dua hal yakni, pertama, nilai-nilai
budaya yang harps dikembangkan dalam diri anak
didik kita haruslah relevan dengan kurun zaman mana anak itu akan hidup kelak dan, kedua, usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan kita untuk lebih eksplisit dan definia. tentang hakikat nilai-nilai budaya tersebut.
Keharusan kita untuk bersifat
eksplisit dan definitif ini disebabkan gejala kebudayaan, yang meminjam perkataan Hall, lebih banyak bersifat
tersembunyi (implisit) daripada
terungkap (eksplisit), dan anehnya, hakikat kebudayan im justru lebih tersembunyi bagi anggota
masyarakatnya. Gejala yang kelihatannya
bersifat paradoks ini mungkin ddak mengherankan lagi bila diingat bahwa banyak
aspek kebudayaan yang kita ierima begitu saja tanpa pengenalan dan
pendalaman yang sadar.
Untuk .
menentukan nilai-nilai mana yang patut mendapatkan perhatian kita sekarang ini maka pertama sekah kits
harus dapat memperkirakan
skenario dari masyarakat kita di masa yang akan datang. skenario masyarakat Indonesia di masa
yang akan datang tersebut, memperhatikan
indikator dan perkembangan yang sekarang ada, cenderung untuk mempunyai
karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan
nasional kita maka
masyarakat Indonesia akan beralih dari masyarakat tradisional yang rural agraris menjadi
masyarakat modern yang urban dan bersifat industri serta (2) Pengembangan kebudayaan kita
ditujukan ke arah perwujudan
peradaban yang bersifat khas berdasarkan filsafat clan pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Suatu masyarakat modern yang berasaskan efisiensi bertumpu kepada ilmu dan teknologi sebagai landasan utamanya. Semua aspek kehidupan bermasyarakat ditata secara rasional berdasarkan
analisis. Pengambilan keputusan dalam
berbagai hal didasarkan kepada kerangka argumentasi yang didukung
penalaran yang kuat. Kekuatan berpikir akan bersifat dominan dan mendesak ke belakang cara penarikan kesimpulan berdasarkan intuisi, perasaan dan tradisi. Dalam
masyarakat sekarang keadaan ini bersifat terbalik di mana justru
intuisi, perasaan dan intuisi itulah yang
bersifat dominan. Peranan berpikir belum mendapat tempat dengan prioritas yang relatif rendah dari nilai
teori dalam stelsel nilai-nilai
kita. Patut ditandaskan di sini bahwa dalam masyarakat modern bukan tidak
terdapat tempat bagi intuisi, perasaan dan tradisi, namun peranan ketiga
cumber pengetahuan ini menjadi relatif kurang penting dibandingkan dengan
berpikir.
Secara bertahap masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status akan beralih menjadi masyarakat
modern yang berorientasi kepada
prestasi. Persaingan akan lebih tampak umpamanya saja dalam mencari tempat dalam sistem pendidikan
dan mencari pekerjaan di mana gejala ini sudah kita rasakan sekarang. Hubungan antarmanusia akan lebih bersifat individual di mana survival seseorang
ditentukan oleh kemampuannya untuk bersaing secara produktif dalam masyarakat
yang menekankan kepada prestasi. Untuk terjun ke gelanggang yang keras ini manusia harus dibekali dengan kepercayaan pada diri
sendiri serta persiapan mental dan
kemampuan untuk bersaing. Tanpa kelengkapan ini maka dia akan tersingkir dan
gagal menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Mereka akan menjadi golongan yang dropout dari masyarakat sekitarnya dan membeniuk kelompok sendiri yang
bersifat disfungsisionai. Suatu
gejala yang sekarang ini sudah tampak di
negara-negara industri yang maju dalam
bentuk hippies, beatnik dan kelompokkelompok lainnya yang bersifat deviatif. Sekiranya kesimpulan sementara Sheldon Shaeffer itu ternyata benar dan
bersifat universal maka perlu diambil tindakan-tindakan preventif dan
kuratif sebelum semuanva terlambat.
Adalah lampu merah yang patut diperhatikan oleh segenap para pendidik di
negara kita jika sekiranya benar bahwa sistem pendidikan
kita gagal dalam memberikan pengetahuan, nilai dan sikap yang diperlukan
anak didik kita di masa yang akan datang.
Pengembangan kebudayaan nasional kita
ditujukan ke arah terwujudnya
suatu peradaban yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan
filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan dasar bagi pengembangan peradaban tersebut.
Namun untuk mewujudkan peradaban tersebut diperlukan nilai khusus yang bernama kreativitas. Kreativitas dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mencari pemecahan barn
terhadap suatu masalah. Nilai ini bersifat mendorong ke arah
pengembangan segenap potensi kebudayaan dalam mewujudkan peradaban yang khas.
11mu
Sebagai Suatu Cara Berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang
dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan
pengetahuan, demikian juga
ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir
menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat
disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut
pada hakikatnya mencakup dua
kriteria utama yakni, pertama, berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan
pikiran yang logis dan, kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut
harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada sedangkan persyaratan
kedua mengharuskan kita untuk
menerima pernyataan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yang benar
secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannva ini kemudian rnemperkaya khasanah pengetahuan
ilmiah yang u1susun secara sisternatik
dan kumulatif. Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah -baru
atau pernyataan yang sekarang
didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuari baru. Kebenaran ilmiah
terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.
Dari hakikat berpikir ilmiah tersebut
maka kita dapat menyimpulkan
beberapa karakteristik dari ilmu. pertama ialah bahwa ilmu mempercayai rasio sebagai alas untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Walaupun demikian maka berpikir secara rasional ini pun harm memenuhi syarat-syarat tertentu agar sampai kepada
kesimpulan yang dapat diandalkan.
Untuk itu maka ilmu mempunyai karakteristik yang kedua yakni alurjalan
pikiran yang logis yang konsisler, dengan pengetahuan yang telah ada. Walaupun
demikian maka tidak semua yang logis itu
didukung fakta atau mengandung kebenaran secara empiris. Untuk itu maka ilmu mensyaratkan karakteristik yang
ketiga yakni pengujian ,secara empiris sebagai kriteria
kebenaran obyektif. pernyataan yang dijabarkan secara logis dan telah teruji secara empiris lalu dianggap benar
secara ilmiah dan memperkaya khazanah
pengetahuan ilmiah. Walaupun
demikian tidak ada jaminan bahwa pernyataan yang sekarang benar secara ilmiah
kemudian lalu tidak sahib lagi. Untuk itu maka ilmu mensyaratkan karakteristik keempat yakni mekanisme
yang terbuka terhadap koreksi.
Dengan demikian maka manfaat nilai yang
dapat ditarik dari karakteristik
ilmu ialah sifat rasional, logis, obyekiif dan terbuka. Di
samping itu sifat kritis merupakan karakteristik yang melandasi keempat
sifat tersebut.
Dua
Pola Kebudayaan
Ilmuwan - pengarang terkenal C.P. Snow dalam
bukunya yang sangat provokatif
The Two Cultures) mengingatkan negara-negara Barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh
mereka yakni masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan, yang menghambat kemajuan di bidang
ilmu dan teknologi. Analogi
ini dapat diterapkan pula di negara kita, bahkan lebih jauh lagi, di mana dalam bidang
keilmuan itu sendiri, di negara
kita telah mengalami polarisasi dap membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada
kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu ke dalam dua golongan yakni ilmuilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan ini menjadi sedemikian
tajam seolah-olah kedua golongan ilmu ini membentuk dirinya sendiri yang masing-masing terpisah satu sama lain. Seakan-akan
terdapat dua kebudayaan dalam bidang
keilmuan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Terdapat pranata-pranata sosial, bahkan pranata-pranata pendidikan, yang masing-masing mendukung kebudayaan
tersebut, yang makin memperluas jurang perbedaan antara keduanya.
Tak dapat disangkal bahwa terdapat perbedaan
antara ilmu alam dan ilmu sosial,
namun perbedaan ini hanyalah bersifat teknis yang tidak menjurus kepada perbedaan yang
fundamental. Dasar ontologis,epistemologis,
dan aksiologis dari kedua ilmu tersebut adalah sama.Metode yang dipergunakan dalam mendapatkan
pengetahuannya adalah
metode ilmiah, tak terdapat alasan yang bersifat metodologis yang membedakan antara ilmu sosial dan
ilmu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar