Jumat, 12 April 2013

ILMU DAN KEBUDAYAAN


ILMU DAN KEBUDAYAAN
OLEH : DIRGANTARA WICAKSONO
Manusia dan Kebudayaan
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E. B. Taylor pada tahun 1871, lebih dari seratus tahun yang lalu, dalam bukunya Primitive culture di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai ang­gota masyarakat..2) Meskipun pada tahun 1952 Kroeber dan Kluckholn menginventarisasikan lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan yang dihasilkan oleh publikasi tentang kebudayaan selama lebih kurang tiga perempat abad3) namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definisi pertama yang dicetuskan Taylor. Kuntja­raningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, ke­senian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan ter­sebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan men­cerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan binatang bukan Baja dalam banyaknya ke­butuhan namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebu­dayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara
manusia dan binatang. Maslow mengidentifikasikari lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Binatang kebutuhannya kepada dua kelompok pertama dari kategori Maslow yakni fisiologis dan rasa aman serta memenuhi kebutuhan ini secara Sedangkan manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak otomatis yang berdasarkan instink tersebut dan oleh sebab itu dia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan cara hidup. Pada hakikatnya menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat penyelamatan (survival kit) kemanusiaan di muka bumi.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instinktif ini diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai obyek-obyek yang, bersifat fisik. Kemampuan belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan berpikir simbolik. Terlebih-lebih lagi manusia mempunyai budi ya-ir merupakan poly kejiwaan yang di dalamnya terkandung. "dorongan hidup yang dasar, inseting, perasaan, dengan pikiran, budi inilah yang menyebabkan manusia mengembang.

Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan yang kongkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak: kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera Sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh nusia. Di samping itu make nilai budaya dan tata hidup ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berup kebudayaan. Sarana kebudayaan ini pads dasarnya merupakan judan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan faset dari kebudayaan tersebut di atas sangat berbungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah diteruskan kebudayaan dari gene­rasi yang situ kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian make ke­budayaan diteruskan dari waktu ke waktu: kebudayaan yang telah lalu bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang. Atau, menurut Alfred Korzybski, kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Tanaman mengikat bahan­-bahan kimiawi, binatang mengikat ruang, tetapi hanya manusia seorang yang mampu mengikat waktu.
Dalam kaitan pendidikan dengan kebudayaan inilah akan dicoba di­kaji beberapa masalah pokok yang patut mendapatkan perhatian. Peng­ajian in: ditujukan untuk menyelami beberapa gejala yang mempunyai pengaruh penting dalam proses pendidikan kita. Masalah ini akan dide­kati dari segi nilai-mlai budaya sebab obyek inilah yang merupakan dasar ideal bagi perwujudan kebudayaan lainnya.
Kebudayaan dan pendidikan
Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Yang dimaksudkan dengan nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai bends dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai' estetika ber­hubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberi­kan kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hu­bungan antarmanusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Mai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh balk dalam ke­hidupan bermasyarakat maupun dunia golitik. Sedangka-n. nilai agama merefigkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bu.mi.11) Setiap kebudayaan mempunyai Skala hirarki mengenai mans yang lebih penting dan mana yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut di atas Berta mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori.
Berdasarkan penggolongan tersebut di atas maka masalah pertama yang dihadapi oleh pendidikan ialah menetapkan nilai-nilai.budaya apa saja yang has-us dikembangkan dalam diri anak kita. Pendidikan yang dapat diartikan secara luas sebagai usaha yang sadar dan sistemads dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadi­an dan kemampuan fisiknya, mengharuskan kita setiap waktu untuk mengkaji kembali masalah tersebut. Hal ini harus dilakukan disebabkan oleh dua hal yakni, pertama, nilai-nilai budaya yang harps dikembang­kan dalam diri anak didik kita haruslah relevan dengan kurun zaman mana anak itu akan hidup kelak dan, kedua, usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan  kita untuk lebih eksplisit dan definia. tentang hakikat nilai-nilai budaya tersebut. Keharusan kita untuk ber­sifat eksplisit dan definitif ini disebabkan gejala kebudayaan, yang me­minjam perkataan Hall, lebih banyak bersifat tersembunyi (implisit) daripada terungkap (eksplisit), dan anehnya, hakikat kebudayan im justru lebih tersembunyi bagi anggota masyarakatnya. Gejala yang kelihatannya bersifat paradoks ini mungkin ddak mengherankan lagi bila diingat bahwa banyak aspek kebudayaan yang kita ierima begitu saja tanpa pengenalan dan pendalaman yang sadar.
Untuk . menentukan nilai-nilai mana yang patut mendapatkan perhatian kita sekarang ini maka pertama sekah kits harus dapat mem­perkirakan skenario dari masyarakat kita di masa yang akan datang. skenario masyarakat Indonesia di masa yang akan datang tersebut, memperhatikan indikator dan perkembangan yang sekarang ada, cenderung untuk mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional kita maka masyarakat Indonesia akan beralih dari masyarakat tradisional yang rural agraris menjadi masyarakat modern yang urban dan bersifat industri serta (2) Pengembangan kebudayaan kita ditujukan ke arah per­wujudan peradaban yang bersifat khas berdasarkan filsafat clan pan­dangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Suatu masyarakat modern yang berasaskan efisiensi bertumpu kepada ilmu dan teknologi sebagai landasan utamanya. Semua aspek kehidupan bermasyarakat ditata secara rasional berdasarkan analisis. Pengambilan keputusan dalam berbagai hal didasarkan kepada kerangka argumentasi yang didukung penalaran yang kuat. Kekuatan berpikir akan bersifat dominan dan mendesak ke belakang cara penarikan kesimpulan berdasarkan intuisi, perasaan dan tradisi. Dalam masyarakat sekarang keadaan ini bersifat terbalik di mana justru intuisi, perasaan dan intuisi itulah yang bersifat dominan. Peranan berpikir belum mendapat tempat dengan prioritas yang relatif rendah dari nilai teori dalam stelsel nilai­-nilai kita. Patut ditandaskan di sini bahwa dalam masyarakat modern bukan tidak terdapat tempat bagi intuisi, perasaan dan tradisi, namun peranan ketiga cumber pengetahuan ini menjadi relatif kurang penting dibandingkan dengan berpikir.
Secara bertahap masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status akan beralih menjadi masyarakat modern yang berorientasi kepada prestasi. Persaingan akan lebih tampak umpamanya saja dalam mencari tempat dalam sistem pendidikan dan mencari pekerjaan di mana gejala ini sudah kita rasakan sekarang. Hubungan antarmanusia akan lebih bersifat individual di mana survival seseorang ditentukan oleh ke­mampuannya untuk bersaing secara produktif dalam masyarakat yang menekankan kepada prestasi. Untuk terjun ke gelanggang yang keras ini manusia harus dibekali dengan kepercayaan pada diri sendiri serta per­siapan mental dan kemampuan untuk bersaing. Tanpa kelengkapan ini maka dia akan tersingkir dan gagal menjadi anggota masyarakat yang berguna. Mereka akan menjadi golongan yang dropout dari masyara­kat sekitarnya dan membeniuk kelompok sendiri yang bersifat disfungsi­sionai. Suatu gejala yang  sekarang ini sudah tampak di negara-negara industri yang maju dalam bentuk hippies, beatnik dan kelompok­kelompok lainnya yang bersifat deviatif. Sekiranya kesimpulan semen­tara Sheldon Shaeffer itu ternyata benar dan bersifat universal  maka perlu diambil tindakan-tindakan preventif dan kuratif sebelum semuanva terlambat. Adalah lampu merah yang patut diperhatikan oleh segenap para pendidik di negara kita jika sekiranya benar bahwa sistem pendidikan kita gagal dalam memberikan pengetahuan, nilai dan sikap yang diperlukan anak didik kita di masa yang akan datang.
Pengembangan kebudayaan nasional kita ditujukan ke arah terwujud­nya suatu peradaban yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan dasar bagi pengembangan peradaban ter­sebut. Namun untuk mewujudkan peradaban tersebut diperlukan nilai khusus yang bernama kreativitas. Kreativitas dapat diartikan sebagai ke­mampuan untuk mencari pemecahan barn terhadap suatu masalah. Nilai ini bersifat mendorong ke arah pengembangan segenap potensi ke­budayaan dalam mewujudkan peradaban yang khas.

11mu Sebagai Suatu Cara Berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu ke­simpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu me­rupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persya­ratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya men­cakup dua kriteria utama yakni, pertama, berpikir ilmiah harus mempu­nyai alur jalan pikiran yang logis dan, kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengeta­huan ilmiah yang telah ada sedangkan persyaratan kedua mengharuskan kita untuk menerima pernyataan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yang benar secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenar­annva ini kemudian rnemperkaya khasanah pengetahuan ilmiah yang u1susun secara sisternatik dan kumulatif. Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis ke­mudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah -baru atau per­nyataan yang sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuari baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.
Dari hakikat berpikir ilmiah tersebut maka kita dapat menyimpul­kan beberapa karakteristik dari ilmu. pertama ialah bahwa ilmu mem­percayai rasio sebagai alas untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Walaupun demikian maka berpikir secara rasional ini pun harm memenuhi syarat-syarat tertentu agar sampai kepada kesimpulan yang dapat diandalkan. Untuk itu maka ilmu mempunyai karakteristik yang kedua yakni alurjalan pikiran yang logis yang konsisler, dengan pengeta­huan yang telah ada. Walaupun demikian maka tidak semua yang logis itu didukung fakta atau mengandung kebenaran secara empiris. Untuk itu maka ilmu mensyaratkan karakteristik yang ketiga yakni pengujian ,secara empiris sebagai kriteria kebenaran obyektif. pernyataan yang di­jabarkan secara logis dan telah teruji secara empiris lalu dianggap benar secara ilmiah dan memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah. Walau­pun demikian tidak ada jaminan bahwa pernyataan yang sekarang benar secara ilmiah kemudian lalu tidak sahib lagi. Untuk itu maka ilmu men­syaratkan karakteristik keempat yakni mekanisme yang terbuka terha­dap koreksi.
Dengan demikian maka manfaat nilai yang dapat ditarik dari karakte­ristik ilmu ialah sifat rasional, logis, obyekiif dan terbuka. Di samping itu sifat kritis merupakan karakteristik yang melandasi keempat sifat ter­sebut.


Dua Pola Kebudayaan
Ilmuwan - pengarang terkenal C.P. Snow dalam bukunya yang sangat provokatif The Two Cultures) mengingatkan negara-negara Barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh mereka yakni masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan, yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Analogi ini dapat diterapkan pula di negara kita, bahkan lebih jauh lagi, di mana dalam bidang keilmuan itu sendiri, di negara kita telah mengalami polarisasi dap membentuk kebudayaan sen­diri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu ke dalam dua golongan yakni ilmu­ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan ini menjadi sedemikian tajam seolah-olah kedua golongan ilmu ini membentuk dirinya sendiri yang masing-masing terpisah satu sama lain. Seakan-akan terdapat dua kebu­dayaan dalam bidang keilmuan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Terdapat pranata-pranata sosial, bahkan pranata-pranata pendi­dikan, yang masing-masing mendukung kebudayaan tersebut, yang makin memperluas jurang perbedaan antara keduanya.
Tak dapat disangkal bahwa terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial, namun perbedaan ini hanyalah bersifat teknis yang tidak menjurus kepada perbedaan yang fundamental. Dasar ontologis,epistemologis, dan aksiologis dari kedua ilmu tersebut adalah sama.Metode yang dipergunakan dalam mendapatkan pengetahuannya adalah metode ilmiah, tak terdapat alasan yang bersifat metodologis yang membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar