Minggu, 07 April 2013


DARI PEMBERONTAKAN KE INTEGRASI:
SUMATERA BARAT DAN POLITIK INDONESIA, 1926-1998
KARYA  AUDREY KAHIN

Oleh: Dirgantara Wicaksono

Audrey Kahin, pakar Sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, melakukan penelitian yang mendalam tentang pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat menuju integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang lebih dari tujuh dasawarsa (1926 – 1998) coba diungkap dan ditelaah lagi secara mendalam. Didukung oleh data primer dan sekunder yang baik, khususnya akses Audrey untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku dan dokumentasi mengenai Sumatera Barat yang justru lebih banyak tersebar di luar negeri, penelitian ini mampu menggali hal-hal yang selama ini tidak atau belum terungkap dalam penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian tersebutlah yang kemudian dituangkan Audrey ke dalam buku yang terdiri dari empat bagian utama ditambah satu bagian prolog dan satu bagian epilog. Setiap bagian menggambarkan suatu periode yang menggambarkan pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat. Buku tersebut berjudul Rebellion To Integration, West Sumatera And The Indonesian Polity 1926-1998 yang  kemudian diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan Judul Buku: Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998
Buku ini berisi studi tentang sejarah politik Sumatra Barat sejak periode akhir penjajahan sampai masa kini, dengan fokus pada proses dan kadar kesungguhan orang Minangkabau berintegrasi ke dalam negara Indonesia kontemporer. Dipapar-kan perspektif lokal tentang pertumbuhan dan perkembangan gerakan nasionalis di Indonesia, perjuangan kemerdekaan, dan trauma yang dialami rakyat Minangkabau dalam beradaptasi dengan pemerintahan Indonesia yang berlandaskan pada konsep yang sangat berbeda dari konsep-konsep yang menjiwai perjuangan anti-penjajahan di daerah itu.
Buku terbagi dalam empat bagian dan terdiri atas 11 Bab. Dalam menjelaskan sejarah polotik di Sumatera Barat ini, Kahin menggunakan pendekatan structural dalam historiografinya, hal ini ditandai oleh beberapa hal antara lain ; pertama studi tidak hanya sekedar menjelaskan peristiwa saja, tapi jga berupaya menjelaskan struktur-struktur yanga da dalam masyarakat yang turut mendorong terjadinya peristiwa secara tidak langsung. Kedua setiap bagian bab dan bab-bab memiliki tema sendiri yang dianggap mempunyai hubungan terhadap kjalannya peristiwa. Ketiga digambarkan bagaimana peranan orang-orang kecil dalam sejarah. Keempat, tidak ada tokoh utama dalam penulisan sejarah dan tanda-tanda lainnya.
Membaca buku ini seolah kita terbawa akan sejarah panjang perpolitikan di Indonesia khususnya di Sumatera Barat.buku ini juga menggambarkan bagaimana sikap politik orang minang yang tidak lepas dari karakter dan falsafah Minangkabau. Yang menggambarkan politik orang minang sejak tahun 1926 hingga 1998, sejak Indonesia terjajah hingga berakhirnya masa orde baru. Berikut pemaparannya.
Pada bagian prolog dipaparkan ketika tatanan politik Minangkabau mulai disusun dua tokoh legendaris, Datuak Katumanggungan (DK) dan Datuak Parpatiah nan Sabatang (DPS). DK lebih berkiblat ke sistem pemerintahan Majapahit (Jawa) dalam menyusun tatanan politik di Minangkabau. Sebaliknya, DPS yang tak lain adalah adik DK (mereka satu ibu, tetapi berbeda ayah), lebih menekankan partisipasi masyarakat untuk membangun sebuah tatanan politik. Menurut DK, kemajuan suatu negara tergantung pada kuatnya pusat pemerintahan atau diumpamakan seperti menitis dari langit. Pemimpin sebagai pusat merupakan sumber inspirasi, gagasan, dan keputusan, dan ini sangat dekat dengan tatanan politik Majapahit. Sebaliknya DPS lebih menekankan bahwa kemajuan suatu negara justru tergantung pada partisipasi rakyatnya atau diumpamakan seperti membersit dari bumi. Rakyat merupakan sumber gagasan, sumber inisiatif karena mereka lebih tahu keadaan di lapangan. Pertentangan ini kemudian diselesaikan dengan sebuah perjanjian Batu Batikam yang berisi kesepakatan bahwa dua sistem tersebut harus bisa hidup berdampingan di Alam Minangkabau.
Periode selanjutnya ketika Islam masuk ke Minangkabau. Sistem yang telah baku, terutama masalah garis keturunan matrilineal dan sistem warisan yang telah mengakar pada masyarakat Minangkabau harus berhadapan dengan hukum Islam yang lebih menekankan segi patrilineal. Apalagi ketika paham Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tatanan masyarakat Minangkabau kembali mendapat tekanan dari gerakan radikal Islam ini. Akhirnya melalui perjanjian Bukit Marapalam, disepakatilah sebuah adagium adat yang sampai saat ini masih berlaku, adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dimana tatanan ada disempurnakan oleh Islam, yang artinya dua sistem yang terlihat bertentangan ini (khususnya masalah garis keturunan dan warisan) dapat hidup dan berjalan beriringan di Alam Minangkabau.
Memasuki zaman pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda, sebuah kejadian yang besar adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926-1927 di Silungkang. Pemberontakan Silungkang ini merupakan manifestasi dari Keputusan Prambanan yang justru ditentang oleh Tan Malaka. Sebuah pertanyaan cukup menggelitik sebenarnya tentang pemberontakan ini, mengapa pemberontakan PKI 1926-1927 terjadi hanya di Sumatera Barat dan Jawa Barat? Padahal keputusan itu diambil di Jawa Tengah yang nota bene pada tahun-tahun itu tidak ada gerakan radikal seperti di Silungkang. Apakah ini merupakan sebuah kesalahan strategi anggota PKI yang berada di Sumatera Barat?
Berbicara kesalahan strategi, sangat menarik untuk menguliti bagian ketiga dari buku ini. Pada bagian ini Audrey mencoba memaparkan lebih lanjut temuannya tentang kejadian pada penghujung tahun 50-an dan awal 60-an. Pada masa ini terjadi serangkaian peristiwa besar dalam tatanan politik Indonesia yang berujung pada peristiwa (pemberontakan?) PRRI di Sumatera Barat.
Berawal dari kekecewaan terhadap pemerintahan yang sangat sentralistik, berlanjut pada kekecewaan terhadap pembubaran Devisi Banteng yang akhirnya melahirkan Dewan Banteng. Dewan Banteng ini kemudian menjadi cikal bakal Dewan Perjuangan. Dimotori oleh Letkol Ahmad Husein, meletuslah peristiwa (pemberontakan?) PRRI yang mengeluarkan tuntutan yang termaktub dalam Piagam Perjuangan Menyelamatkan Bangsa. Pemerintah pusat tidak menanggapi tuntutan tersebut sehingga lima hari setelah ditandatanganinya piagam ini (15 Februari 1958) Dewan Perjuangan membentuk kabinet baru yang diberi nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sumatera Barat sepenuhnya mendukung gerakan PRRI ini.
Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan. Padang dan Bukittingi menjadi sasaran pengeboman dari tentara pusat (TNI). Perang yang berlangsung selama kurun waktu 1958 – 1961 sangat dahsyat dan memakan korban dalam jumlah yang sangat besar. Kekalahan akhirnya dialami oleh PRRI. Dampak kekalahan ini justru terbesar dialami oleh masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang digambarkan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengatar buku ini, ketika ia pulang ke Padang tahun 1961, ia merasakan perubahan yang sangat besar terjadi pada masyarakat Sumatera Barat. Tidak ditemukannya lagi kekhasan orang Minangkabau.
Kekalahan PRRI, dilanjutkan dengan berbagai peristiwa selanjutnya dengan puncak tragedi 1965 yang kemudian melahirkan era baru dalam sistem pemerintahan Indonesia yang lebih sentralistik di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, membuat masyarakat Minangkabau tambah tenggelam dan kehilangan identitasnya. Sistem pemerintahan Minangkabau yang terkenal dengan keegaliterannya benar-benar tenggelam dalam bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik dan hierarkis ala Jawa.
Kahin sendiri mencoba menjelaskan, bagaimana pikiran orang Minang mampu “memanipulasi” modernitas sesuai kebutuhannya. Misalnya, bagaimana bisa komunisme-agamis muncul di Sumatra Barat, yang sebelumnya seperti tidak mungkin bahkan di negara manapun. Mana ada komunisme yang agamis, kira-kira demikian stereotipnya. Namun di Minang, itu menjadi mungkin. Begitu pula dalam merumuskan Indonesia, orang Minang ternyata sangat realistis dalam memahami konsep integrasi demi kemajuan bersama (melalui konsep otonomi: sebagai negara kepulauan).
Sumatera Barat adalah daerah luar Jawa yang paling banyak menyumbang tokoh di panggung politik nasional, sejak era kolonial sampai era Soeharto.Tokoh-tokoh Sumbar itu juga mewakili semua spektrum ideologi politik,  mulai dari Tan Malaka hingga Hamka. Karena itu, Sumbar memiliki tempat tersendiri dalam sejarah politik Indonesia. Sumbar pernah menggelorakan pemberontakan terhadap penguasa pusat yang dianggap otoriter dan sentralis, baik di era kolonial maupun di masa Indonesia merdeka. Namun, ketika penguasa paling sentralis dan otoriter berkuasa di Indonesia, yaitu rezim militer Orde Baru, Sumbar menjadi anak manis.
Dari Sumbar, kita dapat melacak sejarah visi Indonesia merdeka, terutama dalam hal hubungan pusat dengan daerah. Sejarah Sumbar memperlihatkan bahwa hubungan pusat dengan daerah adalah hubungan yang saling mencemburui karena
pusat selalu bernafsu menguasai dan menundukkan, sementara daerah cenderung menuntut lebih. Audrey Kahin mengkaji hubungan saling mencemburui itu dari perspektif lokal dengan kacamata sejarah politik. Elaborasinya tersaji dalam buku ini dengan sangat memikat.
Kahin mengemukakan asal- muasal ketegangan integrasi Sumbar dengan pusat, bukan sekadar masalah porsi pembagian kue ekonomi atau jabatan,melainkan perbedaan visi mengenai Indonesia merdeka. Budaya politik Minang yang egaliter meyakini keutuhan Indonesia ditentukan oleh kerelaan pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada setiap daerah. Sementara budaya politik Jawa yang sentralistis hierarkis yang meyakini keutuhan dan kemakmuran Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat.
Masyarakat Minang melihat pemimpin hanyalah orang yang "ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah", bukanlah penguasa tunggal yang mengambil kata putus. Masyarakat Minang memandang bahwa kekuasaan menyebar dalam nagari-nagari karena nagari berfungsi sebagai kesatuan adat dan sekaligus politik. Cara untuk mengambil keputusan adalah musyawarah  antara seluruh unsur nagari.
Watak politik Minang itu kemudian mewarnai watak nasionalisme Indonesia yang tumbuh di Sumbar. Ideologi yang diusung untuk Indonesia merdeka merupakan paduan dari pandangan Islam modern dan sekuler radikal, misalnya marxisme.
Aktornya datang dari kalangan ulama, guru-guru, dan murid-murid  perguruan swasta (Perguruan Diniyah dan sumatera Thawalib), komunitas pedagang, pemimpin nagari yang berpadu dengan aktivis politik. Perpaduan ketiga unsur itu membuat nasionalisme Indonesia di Minang menjadi tidak elitis dan menghargai keotonoman para pihak dalam menentang kolonial Belanda. Dengan sikap yang otonom itulah Sumbar menjadi benteng bagi Republik ketika terancam agresi Belanda. Bersama Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), segenap tokoh politik dan birokrasi sipil dan militer di Sumbar menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948 sebagai pemerintahan yang sah (hal 213). Berkat sokongan masyarakat Minang, PDRI berhasil menjaga integrasi Republik. Sekaligus berhasil pula  menjaga eksistensi Republik di mata dunia. Berkat kerja sama itu, rencana Belanda untuk mendirikan negara Minangkabau sebagai daerah otonom dalam Negara Federasi Sumatera berhasil digagalkan (hal 234).
Setelah tahun 1955, orang Minang melihat otonomi daerah hanya tinggal omongan. Orang Minang melihat Soekarno menjalankan kekuasaan secara draconian (keras dan kejam) baik terhadap institusi sipil maupun militer. Di era ini visi Sumbar yang demokratis dan egaliter berhadapan dengan konsep kekuasaan Jawa yang feodal dan sentralistis. Para mantan pimpinan Divisi Banteng yang merasa berjasa untuk Republik di era revolusi dan PDRI kecewa ketika Soekarno tidak menggubris tuntutan otonomi yang luas bagi daerah. Pemimpin Divisi Banteng kemudian mengorganisir reuni. Kelanjutan dari reuni ini adalah pembentukan Dewan Banteng yang kemudian mengambil alih kekuasaan Gubernur Sumatera Tengah oleh Komandan Brigade Banteng Letkol Ahmad Husein Desember 1956 di Bukittinggi.
Dalam rangka menentang Soekarno ini, isu antikomunisme dijadikan wacana, meskipun sebagian pengurus cabang PKI daerah mendukung Dewan Banteng. Bak gayung bersambut, gerakan ini kemudian disokong pula oleh tokoh-tokoh Minang di Jakarta, yaitu Natsir dan Assa'at yang kecewa terhadap Soekarno. Para pemimpin Masyumi lainnya—Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap—turut pula bergabung. Akhirnya Sumbar jatuh ke dalam skenario para pembangkang dari Jakarta, yaitu Zulkifli Lubis dan Sumitro Djojohadikusumo yang gencar mengampanyekan gerakan antikomunis atau PKI untuk menentang Soekarno.
Ketika perlawanan ini telah melibatkan tokoh politik dan militer dari Jakarta, serta tercium melibatkan kekuatan asing yaitu Amerika, Soekarno bertindak cepat. Kota-kota utama PRRI, yaitu Pekanbaru dan Padang dibom dan langsung dikuasai militer pusat yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani. Sejak kedua kota itu jatuh, umur PRRI secara militer tinggal menghitung hari. Kalahnya PRRI berarti kalahnya orang Minang. Dengan sendirinya, konsep Minang tentang Indonesia merdeka yang egaliter dan menjunjung otonomi juga rontok. Harga diri orang Minang sebagai benteng Republik dan penyumbang elite terbanyak di pentas politik nasional juga hancur. Kekalahan itu meninggalkan kepedihan di hati rakyat Minang dan elitenya. Setelah PRRI kalah dan banyaknya pejabat sipil dan militer dari Jawa tumpah ke Sumbar, Audrey menggambarkan Sumatera Barat seperti daerah taklukan. Orang Sumbar diperlakukan sebagai warga negara kelas dua (hal 360).
Dikala G30S meletus, jagad politik masyarakat Minang kembali jungkir balik. Kekerasan, pembunuhan, dan penangkapan membuncah. Keadaan kian genting setelah Mayor Imam Suparto (Kepala Penerangan Kodam 17 Agustus) kembali dari Jakarta, memerintahkan media lokal menyebarkan pamflet anti-PKI tanggal 6 Oktober 1965 (hal 380). Sejak ini kekuatan radikal yang menentangpemberontakan PRRI, yang sebelumnya dianggap pendukung setia pusat, sontak menjadi musuh pemerintah, lantas diburu. Sementara "para pemberontak" menjadi bagian dari politik baru, kemudian terlibat dalam pengganyangan komunis.
Setelah melalui hari yang berdarah-darah dalam dua gelombang, untuk memulihkan harga diri dan menghidupkan perekonomian daerah, elite-elite Sumbar mulai meninggalkan medan tarung politik, dan berupaya memasuki medan pembangunan ekonomi. Dipimpin Harun Zain seorang ekonom dari Barkley sebagai gubernur, Sumbar menyerah bungkuk kepada Jakarta. Di tangan Zain dan beberapa gubernur setelahnya, Sumbar memang mendapatkan hal yang secara lahiriah menakjubkan, dan beberapa kali mendapat anugerah Adipura.Untuk keberhasilan itu, para mantan gubernur Sumbar pun naik kelas menjadi menteri di Era Soeharto.
Hasil yang digapai Sumbar di masa Orde Baru ternyata harus dibayar  mahal dan kontan. Pertama, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritisnya terhadap kekuasaan pusat. Kedua, Sumbar kehilangan sistem pemerintahan Kanagarian (hal 406-409) yang menjadi  ruh politiknya. Akibatnya, karakter politik Minang yang menekankan desentralisasi dan egaliter dalam politik Indonesia merdeka lenyap dari pentas politik nasional. Sejak ini Sumbar tidak lagi menjadi "pusat alternatif", melainkan hanya sekadar menjadi satu daerah di antara  daerah lainnya.
Seluruh dinamika politik Sumbar dan hubungannya dengan pemerintah pusat  bisa kita katakan sejalan dengan pepatah Minang yang mengatakan, "sakali aie gadang, sakali tapian barubah". Integrasi Sumbar ke dalam Indonesia, seperti yang diuraikan oleh Audrey Kahin, dari tahun 1926 sampai tahun 1998 dapat kita tempatkan dalam makna pepatah ini. Kini Sumbar terlihat sedang meraba-raba tepian baru di era otonomi ini.
Kontribusi utamanya dari buku ini adalah mengingatkan setiap pemimpin Indonesia agar hati-hati mengelola hubungan pusat dengan daerah. Hubungan yang terlalu tegang akan memunculkan kekecewaan dan pemberontakan. Sementara elite daerah yang terlalu menjadi penurut akan terus dipaksa oleh pusat untuk memberikan konsesi yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar