DARI PEMBERONTAKAN KE INTEGRASI:
SUMATERA BARAT DAN POLITIK INDONESIA, 1926-1998
KARYA AUDREY
KAHIN
Oleh: Dirgantara Wicaksono
Audrey Kahin, pakar Sejarah Asia Tenggara dari
Cornell University, melakukan penelitian yang mendalam tentang pergulatan yang
dialami masyarakat Sumatera Barat menuju integrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang lebih dari tujuh
dasawarsa (1926 – 1998) coba diungkap dan ditelaah lagi secara mendalam.
Didukung oleh data primer dan sekunder yang baik, khususnya akses Audrey untuk
mendapatkan data sekunder berupa buku-buku dan dokumentasi mengenai Sumatera
Barat yang justru lebih banyak tersebar di luar negeri, penelitian ini mampu
menggali hal-hal yang selama ini tidak atau belum terungkap dalam penelitian
sebelumnya.
Hasil penelitian tersebutlah yang kemudian
dituangkan Audrey ke dalam buku yang terdiri dari empat bagian utama ditambah
satu bagian prolog dan satu bagian epilog. Setiap bagian menggambarkan suatu
periode yang menggambarkan pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat.
Buku tersebut berjudul Rebellion To
Integration, West Sumatera And The Indonesian Polity 1926-1998 yang kemudian
diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan Judul Buku: Dari Pemberontakan ke
Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998
Buku ini berisi studi tentang sejarah politik Sumatra Barat sejak
periode akhir penjajahan sampai masa kini, dengan fokus pada proses dan kadar
kesungguhan orang Minangkabau berintegrasi ke dalam negara Indonesia kontemporer.
Dipapar-kan perspektif lokal tentang pertumbuhan dan perkembangan gerakan
nasionalis di Indonesia, perjuangan kemerdekaan, dan trauma yang dialami rakyat
Minangkabau dalam beradaptasi dengan pemerintahan Indonesia yang berlandaskan
pada konsep yang sangat berbeda dari konsep-konsep yang menjiwai perjuangan
anti-penjajahan di daerah itu.
Buku terbagi dalam empat bagian dan terdiri atas 11 Bab. Dalam
menjelaskan sejarah polotik di Sumatera Barat ini, Kahin menggunakan pendekatan
structural dalam historiografinya, hal ini ditandai oleh beberapa hal antara
lain ; pertama studi tidak hanya sekedar menjelaskan peristiwa saja, tapi jga
berupaya menjelaskan struktur-struktur yanga da dalam masyarakat yang turut
mendorong terjadinya peristiwa secara tidak langsung. Kedua setiap bagian bab
dan bab-bab memiliki tema sendiri yang dianggap mempunyai hubungan terhadap
kjalannya peristiwa. Ketiga digambarkan bagaimana peranan orang-orang kecil
dalam sejarah. Keempat, tidak ada tokoh utama dalam penulisan sejarah dan tanda-tanda
lainnya.
Membaca buku ini seolah kita terbawa akan sejarah panjang perpolitikan
di Indonesia khususnya di Sumatera Barat.buku ini juga menggambarkan bagaimana
sikap politik orang minang yang tidak lepas dari karakter dan falsafah
Minangkabau. Yang menggambarkan politik orang minang sejak tahun 1926 hingga
1998, sejak Indonesia terjajah hingga berakhirnya masa orde baru. Berikut
pemaparannya.
Pada bagian prolog dipaparkan ketika tatanan
politik Minangkabau mulai disusun dua tokoh legendaris, Datuak Katumanggungan
(DK) dan Datuak Parpatiah nan Sabatang (DPS). DK lebih berkiblat ke sistem
pemerintahan Majapahit (Jawa) dalam menyusun tatanan politik di Minangkabau.
Sebaliknya, DPS yang tak lain adalah adik DK (mereka satu ibu, tetapi berbeda
ayah), lebih menekankan partisipasi masyarakat untuk membangun sebuah tatanan
politik. Menurut DK, kemajuan suatu negara tergantung pada kuatnya pusat
pemerintahan atau diumpamakan seperti menitis dari langit. Pemimpin sebagai
pusat merupakan sumber inspirasi, gagasan, dan keputusan, dan ini sangat dekat
dengan tatanan politik Majapahit. Sebaliknya DPS lebih menekankan bahwa
kemajuan suatu negara justru tergantung pada partisipasi rakyatnya atau
diumpamakan seperti membersit dari bumi. Rakyat merupakan sumber gagasan,
sumber inisiatif karena mereka lebih tahu keadaan di lapangan. Pertentangan ini
kemudian diselesaikan dengan sebuah perjanjian Batu Batikam yang berisi
kesepakatan bahwa dua sistem tersebut harus bisa hidup berdampingan di Alam
Minangkabau.
Periode selanjutnya ketika Islam masuk ke
Minangkabau. Sistem yang telah baku, terutama masalah garis keturunan
matrilineal dan sistem warisan yang telah mengakar pada masyarakat Minangkabau
harus berhadapan dengan hukum Islam yang lebih menekankan segi patrilineal.
Apalagi ketika paham Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji yang baru pulang dari
Mekkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tatanan masyarakat
Minangkabau kembali mendapat tekanan dari gerakan radikal Islam ini. Akhirnya
melalui perjanjian Bukit Marapalam, disepakatilah sebuah adagium adat yang
sampai saat ini masih berlaku, adaik basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah, dimana tatanan ada disempurnakan oleh Islam, yang artinya dua
sistem yang terlihat bertentangan ini (khususnya masalah garis keturunan dan
warisan) dapat hidup dan berjalan beriringan di Alam Minangkabau.
Memasuki zaman pemerintahan kolonialisme Hindia
Belanda, sebuah kejadian yang besar adalah pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI) tahun 1926-1927 di Silungkang. Pemberontakan Silungkang ini
merupakan manifestasi dari Keputusan Prambanan yang justru ditentang oleh Tan
Malaka. Sebuah pertanyaan cukup menggelitik sebenarnya tentang pemberontakan
ini, mengapa pemberontakan PKI 1926-1927 terjadi hanya di Sumatera Barat dan
Jawa Barat? Padahal keputusan itu diambil di Jawa Tengah yang nota bene
pada tahun-tahun itu tidak ada gerakan radikal seperti di Silungkang. Apakah
ini merupakan sebuah kesalahan strategi anggota PKI yang berada di Sumatera
Barat?
Berbicara kesalahan strategi, sangat menarik
untuk menguliti bagian ketiga dari buku ini. Pada bagian ini Audrey mencoba
memaparkan lebih lanjut temuannya tentang kejadian pada penghujung tahun 50-an
dan awal 60-an. Pada masa ini terjadi serangkaian peristiwa besar dalam tatanan
politik Indonesia yang berujung pada peristiwa (pemberontakan?) PRRI di Sumatera
Barat.
Berawal dari kekecewaan terhadap pemerintahan
yang sangat sentralistik, berlanjut pada kekecewaan terhadap pembubaran Devisi
Banteng yang akhirnya melahirkan Dewan Banteng. Dewan Banteng ini kemudian
menjadi cikal bakal Dewan Perjuangan. Dimotori oleh Letkol Ahmad Husein, meletuslah
peristiwa (pemberontakan?) PRRI yang mengeluarkan tuntutan yang termaktub dalam
Piagam Perjuangan Menyelamatkan Bangsa. Pemerintah pusat tidak menanggapi
tuntutan tersebut sehingga lima hari setelah ditandatanganinya piagam ini (15
Februari 1958) Dewan Perjuangan membentuk kabinet baru yang diberi nama
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sumatera Barat sepenuhnya
mendukung gerakan PRRI ini.
Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan.
Padang dan Bukittingi menjadi sasaran pengeboman dari tentara pusat (TNI).
Perang yang berlangsung selama kurun waktu 1958 – 1961 sangat dahsyat dan
memakan korban dalam jumlah yang sangat besar. Kekalahan akhirnya dialami oleh PRRI. Dampak kekalahan
ini justru terbesar dialami oleh masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang
digambarkan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengatar buku ini, ketika ia pulang
ke Padang tahun 1961, ia merasakan perubahan yang sangat besar terjadi pada
masyarakat Sumatera Barat. Tidak ditemukannya lagi kekhasan orang Minangkabau.
Kekalahan PRRI, dilanjutkan dengan berbagai
peristiwa selanjutnya dengan puncak tragedi 1965 yang kemudian melahirkan era
baru dalam sistem pemerintahan Indonesia yang lebih sentralistik di bawah
kekuasaan Presiden Soeharto, membuat masyarakat Minangkabau tambah tenggelam
dan kehilangan identitasnya. Sistem pemerintahan Minangkabau yang terkenal
dengan keegaliterannya benar-benar tenggelam dalam bayang-bayang sistem
pemerintahan sentralistik dan hierarkis ala Jawa.
Kahin sendiri mencoba menjelaskan, bagaimana
pikiran orang Minang mampu “memanipulasi” modernitas sesuai kebutuhannya.
Misalnya, bagaimana bisa komunisme-agamis muncul di Sumatra Barat, yang
sebelumnya seperti tidak mungkin bahkan di negara manapun. Mana ada komunisme
yang agamis, kira-kira demikian stereotipnya. Namun di Minang, itu menjadi
mungkin. Begitu pula dalam merumuskan Indonesia, orang Minang ternyata sangat
realistis dalam memahami konsep integrasi demi kemajuan bersama (melalui konsep
otonomi: sebagai negara kepulauan).
Sumatera Barat adalah daerah luar Jawa yang paling banyak
menyumbang tokoh di panggung politik nasional, sejak era kolonial sampai era
Soeharto.Tokoh-tokoh Sumbar itu juga mewakili semua spektrum ideologi
politik, mulai dari Tan Malaka hingga Hamka. Karena itu, Sumbar memiliki
tempat tersendiri dalam sejarah politik Indonesia. Sumbar pernah menggelorakan
pemberontakan terhadap penguasa pusat yang dianggap otoriter dan sentralis,
baik di era kolonial maupun di masa Indonesia merdeka. Namun, ketika penguasa
paling sentralis dan otoriter berkuasa di Indonesia, yaitu rezim militer Orde
Baru, Sumbar menjadi anak manis.
Dari Sumbar, kita dapat melacak sejarah
visi Indonesia merdeka, terutama dalam hal hubungan pusat dengan daerah.
Sejarah Sumbar memperlihatkan bahwa hubungan pusat dengan daerah adalah
hubungan yang saling mencemburui karena
pusat selalu bernafsu menguasai dan menundukkan,
sementara daerah cenderung menuntut lebih. Audrey Kahin mengkaji hubungan
saling mencemburui itu dari perspektif lokal dengan kacamata sejarah politik.
Elaborasinya tersaji dalam buku ini dengan sangat memikat.
Kahin mengemukakan asal- muasal
ketegangan integrasi Sumbar dengan pusat, bukan sekadar masalah porsi pembagian
kue ekonomi atau jabatan,melainkan perbedaan visi mengenai Indonesia merdeka.
Budaya politik Minang yang egaliter meyakini keutuhan Indonesia ditentukan oleh
kerelaan pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada setiap
daerah. Sementara budaya politik Jawa yang sentralistis hierarkis yang meyakini
keutuhan dan kemakmuran Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat.
Masyarakat Minang melihat pemimpin
hanyalah orang yang "ditinggikan seranting dan didahulukan
selangkah", bukanlah penguasa tunggal yang mengambil kata putus.
Masyarakat Minang memandang bahwa kekuasaan menyebar dalam nagari-nagari karena
nagari berfungsi sebagai kesatuan adat dan sekaligus politik. Cara untuk
mengambil keputusan adalah musyawarah antara seluruh unsur nagari.
Watak politik Minang itu kemudian mewarnai watak
nasionalisme Indonesia yang tumbuh di Sumbar. Ideologi yang diusung untuk
Indonesia merdeka merupakan paduan dari pandangan Islam modern dan sekuler
radikal, misalnya marxisme.
Aktornya datang dari kalangan ulama,
guru-guru, dan murid-murid perguruan swasta (Perguruan Diniyah dan
sumatera Thawalib), komunitas pedagang, pemimpin nagari yang berpadu dengan
aktivis politik. Perpaduan ketiga unsur itu membuat nasionalisme Indonesia di
Minang menjadi tidak elitis dan menghargai keotonoman para pihak dalam
menentang kolonial Belanda. Dengan sikap yang otonom itulah Sumbar menjadi
benteng bagi Republik ketika terancam agresi Belanda. Bersama Syafruddin
Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), segenap tokoh politik dan birokrasi
sipil dan militer di Sumbar menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) tahun 1948 sebagai pemerintahan yang sah (hal 213). Berkat sokongan
masyarakat Minang, PDRI berhasil menjaga integrasi Republik. Sekaligus berhasil
pula menjaga eksistensi Republik di mata dunia. Berkat kerja sama itu,
rencana Belanda untuk mendirikan negara Minangkabau sebagai daerah otonom dalam
Negara Federasi Sumatera berhasil digagalkan (hal 234).
Setelah tahun 1955, orang Minang
melihat otonomi daerah hanya tinggal omongan. Orang Minang melihat Soekarno
menjalankan kekuasaan secara draconian (keras dan kejam) baik terhadap
institusi sipil maupun militer. Di era ini visi Sumbar yang demokratis dan
egaliter berhadapan dengan konsep kekuasaan Jawa yang feodal dan sentralistis. Para
mantan pimpinan Divisi Banteng yang merasa berjasa untuk Republik di era
revolusi dan PDRI kecewa ketika Soekarno tidak menggubris tuntutan otonomi yang
luas bagi daerah. Pemimpin Divisi Banteng kemudian mengorganisir reuni.
Kelanjutan dari reuni ini adalah pembentukan Dewan Banteng yang kemudian
mengambil alih kekuasaan Gubernur Sumatera Tengah oleh Komandan Brigade Banteng
Letkol Ahmad Husein Desember 1956 di Bukittinggi.
Dalam rangka menentang Soekarno ini,
isu antikomunisme dijadikan wacana, meskipun sebagian pengurus cabang PKI
daerah mendukung Dewan Banteng. Bak gayung bersambut, gerakan ini kemudian
disokong pula oleh tokoh-tokoh Minang di Jakarta, yaitu Natsir dan Assa'at yang
kecewa terhadap Soekarno. Para pemimpin Masyumi lainnya—Syafruddin
Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap—turut pula bergabung. Akhirnya Sumbar
jatuh ke dalam skenario para pembangkang dari Jakarta, yaitu Zulkifli Lubis dan
Sumitro Djojohadikusumo yang gencar mengampanyekan gerakan antikomunis atau PKI
untuk menentang Soekarno.
Ketika perlawanan ini telah melibatkan
tokoh politik dan militer dari Jakarta, serta tercium melibatkan kekuatan asing
yaitu Amerika, Soekarno bertindak cepat. Kota-kota utama PRRI, yaitu Pekanbaru
dan Padang dibom dan langsung dikuasai militer pusat yang dipimpin Kolonel
Ahmad Yani. Sejak kedua kota itu jatuh, umur PRRI secara militer tinggal
menghitung hari. Kalahnya PRRI berarti kalahnya orang Minang. Dengan
sendirinya, konsep Minang tentang Indonesia merdeka yang egaliter dan
menjunjung otonomi juga rontok. Harga diri orang Minang sebagai benteng
Republik dan penyumbang elite terbanyak di pentas politik nasional juga hancur.
Kekalahan itu meninggalkan kepedihan di hati rakyat Minang dan elitenya. Setelah
PRRI kalah dan banyaknya pejabat sipil dan militer dari Jawa tumpah ke Sumbar,
Audrey menggambarkan Sumatera Barat seperti daerah taklukan. Orang Sumbar
diperlakukan sebagai warga negara kelas dua (hal 360).
Dikala G30S meletus, jagad politik
masyarakat Minang kembali jungkir balik. Kekerasan, pembunuhan, dan penangkapan
membuncah. Keadaan kian genting setelah Mayor Imam Suparto (Kepala Penerangan
Kodam 17 Agustus) kembali dari Jakarta, memerintahkan media lokal menyebarkan
pamflet anti-PKI tanggal 6 Oktober 1965 (hal 380). Sejak ini kekuatan radikal
yang menentangpemberontakan PRRI, yang sebelumnya dianggap pendukung setia
pusat, sontak menjadi musuh pemerintah, lantas diburu. Sementara "para pemberontak" menjadi bagian dari politik baru,
kemudian terlibat dalam pengganyangan komunis.
Setelah melalui
hari yang berdarah-darah dalam dua gelombang, untuk memulihkan harga diri dan
menghidupkan perekonomian daerah, elite-elite Sumbar mulai meninggalkan medan
tarung politik, dan berupaya memasuki medan pembangunan ekonomi. Dipimpin Harun
Zain seorang ekonom dari Barkley sebagai gubernur, Sumbar menyerah bungkuk
kepada Jakarta. Di tangan Zain dan beberapa gubernur setelahnya, Sumbar memang
mendapatkan hal yang secara lahiriah menakjubkan, dan beberapa kali mendapat
anugerah Adipura.Untuk keberhasilan itu, para mantan gubernur Sumbar pun naik
kelas menjadi menteri di Era Soeharto.
Hasil yang digapai
Sumbar di masa Orde Baru ternyata harus dibayar mahal dan kontan.
Pertama, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu
sikap kritisnya terhadap kekuasaan pusat. Kedua, Sumbar
kehilangan sistem pemerintahan Kanagarian (hal 406-409) yang menjadi ruh
politiknya. Akibatnya, karakter politik Minang yang menekankan desentralisasi
dan egaliter dalam politik Indonesia merdeka lenyap dari pentas politik
nasional. Sejak ini Sumbar tidak lagi menjadi "pusat alternatif",
melainkan hanya sekadar menjadi satu daerah di antara daerah lainnya.
Seluruh dinamika politik Sumbar dan
hubungannya dengan pemerintah pusat bisa kita katakan sejalan dengan
pepatah Minang yang mengatakan, "sakali aie gadang, sakali tapian
barubah". Integrasi Sumbar ke dalam Indonesia, seperti yang diuraikan oleh
Audrey Kahin, dari tahun 1926 sampai tahun 1998 dapat kita tempatkan dalam
makna pepatah ini. Kini Sumbar terlihat sedang meraba-raba tepian baru di era
otonomi ini.
Kontribusi utamanya dari buku ini
adalah mengingatkan setiap pemimpin Indonesia agar hati-hati mengelola hubungan
pusat dengan daerah. Hubungan yang terlalu tegang akan memunculkan kekecewaan
dan pemberontakan. Sementara elite daerah yang terlalu menjadi penurut akan
terus dipaksa oleh pusat untuk memberikan konsesi yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar